13. KARYA YANG MENAWAN
Aku melongok-longok mencoba mencari pandangan ini agar masuk kedalam minimarket itu, aku penasaran apakah jantung ini masih dag dig dug setiap melihat rupanya. Jika masih mungkin benar aku menyukainya tapi jika tidak pasti aku benar itu hanyalah perasaan yang lewat sesaat.
Aku berjalan dipinggiran jalan sedikit mepet ke wilayah minimarket agar bisa lebih cepat mendapatkan sosok yang sedang kuincar. Leherku seperti per-peran yang tidak mau diam, tengok kiri, kanan, samping seperti pencuri. Meskipun aku sering melakukan hal ini tapi aku jarang sekali mendapatkan sosoknya, karena setahuku ia sering bergantian jam kerja. Yang dibagi menjadi 3 Shift
Brukkkk…
Aw….
“Kau sedang apa?” ucap seseorang yang sosoknya sedikit kutakuti.
“Ayah, sedang apa kau disini?” tanyaku terkejut.
“Kalau kau, sedang melakukan apa?” balik Tanya ayahku.
“Aku mau pulang kerumah” aku mencoba untuk menyangkal.
“Kata security komplek sini. Akhir-akhir ini kamu sering sekali berjalan mengendap-ngendap seperti pencuri. Untung mereka tahu kau anak ayah, bagaimana kalau tidak?” ucap ayahku seperti mengancam.
“Pulang…” Bentak ayahku.
Dimanapun dan kapanpun. Ini adalah ayahku yang sesungguhnya. Seperti Bodyguard, ia akan selalu menunggu kehadiranku jika aku belum sampai pulang kerumah. Karena itu juga alasannya mengapa aku dilarang pulang malam-malam oleh ibuku, karena pasti ayahku akan berisik dan selalu bertanya kapan aku pulang dan akhirnya jika aku sampai kerumah aku akan terkena omelan ibuku lebih tepatnya melampiaskan apa yang ayah lakukan pada ibuku.
“Punya anak gadis satu-satunya, main sampai lupa waktu. Hobi bener sama yang namanya ngobrol?” ceplos ibuku menyindirku sesampainya dirumah.
Aku cemberut, “Emang bener bu, kalau sudah ngomongin orang itu bener-bener enak, asik dan Tidak ada duanya”.
Aku bergegas masuk kedalam kamarku utuk menghindari pertengkaran kecil yang biasanya berujung panjang, tapi itu dulu, dulu tidak ada pertengaran yang selalu aku lewatkan dengan ibuku. Apapun masalahnya pasti akan berujung pada pertengkaran yang hebat. Sedangkan ayahku, ayahku hanya diam sembari membaca buku dengan apiknya padahal aku yakin telinga ayahku dalam keadaan siaga alias terus mendengarku namun ayahku tidak pernah sekalipun ikut campur jika ibuku sedang memarahiku.
Kini aku telah sadar, aku tidak pernah sekalipun membuat ibuku bahagia karnaku yang ada hanya keributan saja. Lambat laun aku mulai menguranggi kebiasan ku yang selalu membuat ibu marah, awalnya terasa aneh karena ibuku bingung melihat perubahanku dan jujur terkadang itu juga membuatku takut. Meski sebal aku selalu memberikan dua jempol untuk kakakku. Entah apa yang telah dilakukan dan digunakan oleh kakakku, karena jika kakakku berbuat salah pasti tidak kena marah oleh ibu dan selalu membuat ayahku bungkam didepannya. Dan yang paling utama dan pertama ibuku hanya cukup melontarkan satu kalimat pendek untuk memarahi kakakku. Setelah itu sudah selesai. Aku yang menontonnya dengan semangat justru bingung. Apa yang dilakukan ibu dan kakakku sehingga masalah itu selesai dalam sekejap. Aku hanya menggelengkan kepala karena sepertinya mereka menggunakan telepati untuk menyelesaikan masalah tersebut, benar-benar tidak ada keributan sekecil apapun.
“Ayah, darimana saja?” Tanya ibu.
“menunggu anakmu didepan sana” jawab ayahku singkat.
“Ayah ini modus, bilang saja kalau ayah juga mau mengobrol” ketus ibuku.
“Sedikit modus bu, tapi sepertinya akhir-akhir ini anakmu aneh bu” ucap ayahku yang langsung menghentikan langkah kakiku untuk menuju kamar.
“Maksud ayah?” ucap ibu tidak mengerti.
“Ayah aneh saja, diakan bisa cari uang sendiri, kalau tidak punya dia bisa minta…”
Aku cemberut mendengar ucapan jujur ayahku yang sebelumnya dibahas oleh Rosella. Ayah dan ibu diam-diam membicarakanku dibelakang.
Lanjut ayahku, “… ayah dengar dari security katanya anakmu itu suka sekali jalan mengendap-ngendap seperti pencuri “.
“Anakmu, anakmu. Ayah dia juga anakmu juga. Ayah ini jika dia sedang berbuat buruk bilangnya anak ibu, jika bangga bilangnya anak ayah” ketus ibuku.
Aku tertawa pelan mendengar percakapan ibu dan ayah yang sungguh lucu sekali. Tapi mendengar kata “bangga”. Aku sedikit mendengar kata itu. Ayah dan ibu yang sedang memebahas tentang diriku memberikan sebuah teka teki untukku. Apa benar aku pernah membuat mereka bangga? Aku menggelengkan kepala karena aku tidak ingat pernah membuat mereka bangga. Tapi aKu bahagia.
Aku merasa mendengar ucapan kedua orang tuaku membuat hatiku merasa terharu dan bersediih. Aku tidak menyangka jika selama ini ibu dan ayah memperhatikanku sampai hal terkecil aku pikir mereka tidak peduli padaku dan aku pastikan hanya peduli pada kakakku. Kini aku melihat mereka berdua membicarakanku dibelakang membuatku benar-benar senang.
Begitupun sisi Hatiku yang lain saat ini benar–benar senang aku mengepakkan tanganku bak sayap diranjang lembutku ini. Meremas selimutku, meremas rambutku, memeluk bantal guling dan lain sebagainya. sejenak aku terdiam dan aku teringat kembali padanya. Yap betul pada “Olaku”. Entah mengapa disetiap perjalanan hidupku semenjak aku bertemu dengannya aku tidak berhenti terus memikirkannya. Aku merasa lelah terus memikirkannya karena aku tahu dia tidak mungkin memikirkanku, itu jelas tidak adil untukku. Tapi tetap saja aku merasa senang.
Sungguh aneh pertemuanku dengannya. Aneh, padahal bukan kali ini saja aku menghampiri minimarket itu dan bertemu para pegawai yang sedang bekerja tapi tidak pernah ada yang berkesan bagiku. Bahkan sudah banyak pegawai yang sering berubah-rubah ditempat itu dan semuanya terlihat sama dimataku.
Entah mengapa Sore itu sangat berbeda sekali. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku bertemu dengannya. Ketika itu aku akan membayar semua barang yang kubeli, aku melihat sesosok pria yang sedang sibuk merapikalan barangj. Ya… pria itu adalah pegawai yang baru pertama kali kulihat di minimarket itu. Entah ia baru datang hari itu atau memang aku yang baru kembali lagi mampir ke minimarket itu, entahlah. Hatiku merasakan sesuatu yang berbeda dan kuyakini bahwa hatiku telah lama tidak merasakannya. Aku sangat terpesona melihatnya, aku merasakan getaran di jantungku menjadi lebih cepat bahkan aku tidak sanggup menatapnya lama-lama karena tidak sanggup menahan degup di jantungku.
Dalam perjalanan pulang, aku pun kembali berpikir “Apakah Tuhan telah mengirimnya untuk mengganti kenangan buruk atau apakah ini hanya sebatas pandangan mata karena parasnya yang tampan". “Ah… tidak mungkin, selama ini tidak hanya dia lelaki tampan yang sering kutemui.” Gerutu dalam hatiku. Gelisah dalam pikiran ini semakin menguatkan perasaanku kalau aku benar-benar menyukainya. Tapi bagaimana itu bisa tumbuh dengan sekali melihatnya.
Apakah ini cinta pada pandangan pertama? Aaahhh… Tidak mungkin!!!! Kata orang mustahil bisa jatuh cinta hanya dalam waktu beberapa menit saja. Sepertinya aku korban sinetron karena terlalu banyak menonton film. Aku terus menepuk-nepuk pipi mencoba untuk menyadarkanku.
@yurriansan Iya memnag sedihhh... Aku menulis ni diatas rasa sakit hatiku π... Eaaaaa
Comment on chapter 03. HITAM DAN PUTIH