Nngghhh... Gila. Apa sih ini isinya?! Nngghh...
"Hahh~ Dia yang pindahan kenapa gue yang repot, coba?" rutukku kesal sendiri. Sambil menyeka keringat dan membenarkan ikatan rambutku agar semakin tinggi, aku kembali lagi menggeser satu kardus berisi—entah batu entah jutaan kerikil yang dibawa Akssa dari apartemennya ini.
Aku yang sudah mengenakan kaos oblong kebesaran dengan celana kolor pendek rela repot-repot menyusun barang Akssa sementara yang pindahan justru enak-enakan mandi dan berendam. Lelaki macam lekong benar dia itu.
"Kalau sampe ini kardus nggak kegeser juga, gue tendang lama-lama," gumamku kesal.
"Apa yang ditendang?"
"Eh, kardus! Kampret, kardus!" teriakku gagap sambil berbalik menyandar pada si kardus sialan. Sebelah tanganku memegangi dada bagian kiriku dan sebelah tanganku lagi memegangi belakang leher. Sialan memang Akssa ini sudah mirip sekali dengan cenayang. Malu 'kan aku sampai keluar latahnya di depan dia.
"Kalau muncul bilang-bilang dong!"
Akssa tak menjawabku, dia memilih duduk di sofa sambil menggosok rambutnya yang basah menggunakan handuk kecil. Ah, aku kecewa dengan penampilannya sekarang yang tidak shirtless. Selama tiga tahun lebih ini baru satu kali Akssa menampilkan adegan shirtlessnya di depanku, yaitu waktu kemarin sebelum aku ke dokter gigi. Saat itu juga aku tidak begitu melihatnya karena panik. Sekarang aku hanya bisa menyesalinya dan berharap Akssa akan memberikanku hiburan dengan adegan shirtless itu. Aku 'kan juga penasaran seperti apa perutnya. Apa mirip seperti yang diceritakan Nina soal suaminya yang memiliki perut kotak-kotak itu? Atau mirip Erik yang hanya rata saja tanpa otot?
Rrgghh, memikirkan otot perut membuatku jadi haus.
Masa bodoh dengan kardus isi batu tadi, aku beranjak meninggalkannya ke dapur mencari minuman dingin. Karena Akssa sudah resmi pindah apartemen berdua denganku, aku berusaha keras untuk memenuhi isi lemari es dan meminimalisir untuk tidak membeli alkohol. Padahal aku paling gigit jari kalau melihat deretan alkohol yang terpajang rapi di meja bartender. Ingin sekali aku membawa pulang satu dan kembali mengisi rak stok alkoholku hingga penuh. Tapi aku harus menekan keinginan itu sedemikian rupa kalau tidak mau terjebak pada tugas mengurus bayi besar yang mabuk.
Kubuka lemari es dua pintu yang menjadi benda elektronik pertama yang kubeli menggunakan gaji pertamaku, di dalam sana isinya banyak sekali minuman dingin bersoda dan juga susu. Akssa suka sekali susu putih, sedangkan aku suka sekali minuman soda. Dua minuman yang kalau disatukan bisa menjadi soda gembira, tetapi dua manusia itu sendiri kalau disatukan menjadi kaum neraka. Aku mendengus kecil dan mengambil satu kaleng minuman soda andalanku. Membukanya pelan sampai bunyi ppstt keluar dari dalam kalengnya. Aku berbalik memunggungi lemari es dan menutup pintunya menggunakan kaki kiriku. Dari balik bibir minuman kalengku, aku melihat Akssa sedang berdiri bersidekap menyandar meja bar dapur. What?
"Apa?" tanyaku
"Apa yang kamu tahu soal Nara?"
Hampir saja aku tersedak saat meminum soda. Pelan-pelan kutaruh kaleng soda yang ada di genggamanku dan menatap Akssa setengah kikuk.
"Mona?" tanya Akssa sambil mendekatiku.
Aku diam saja tak mau berkomentar. Kalau aku menjawab juga aku takut Mona terkena getahnya. Lebih baik golput saja 'kan daripada terkena omel salah satu.
"Internet?" tanya dia lagi, sekarang Akssa sudah berdiri tepat di hadapanku.
Aku berpikir sebentar, internet? Adakah soal Nara yang tertera di internet?
Ya ampun, kenapa juga aku bisa bodoh sekali seperti ini. Akssa itu 'kan CEO hebat sekelas Sandro dari perusahaan Maurice Group yang digadang-gandang memiliki daya saing kuat dengan perusahaan luar, kok aku sampai tidak punya pikiran untuk googling nama Akssa di Wikipedia, sih.
"Jawab."
"Nggak."
"Mona atau internet," geramnya.
Parah nih kalau sudah main geram-geraman. Jadi seperti ini, ya, kehidupan di apartemenku setelah kedatangan Akssa, pasti penuh oleh ancaman-ancaman darinya.
"Mona," jawabku jujur. Lagian kalau jawab internet pasti dia tanya-tanya soal yang lain. Padahal aku 'kan cuma diberitahu kalau Akssa ini sempat menjadi seorang brother complex dan tidak lebih.
"Dan yang kamu tahu?"
"Nggak banyak."
"Apa?"
"Cuma satu."
"Apa?"
"Lupa," jawabku cepat. Kedua bola mataku bergerak liar menatap ke sekeliling kecuali Akssa.
"Aw!" jeritku menahan sakit cengkeraman Akssa di lengan kiriku. Apa-apaan dia ini.
"One."
"There's no fact about you, okey?!"
"Two."
Sialan, cengkeraman Akssa semakin keras. Sepertinya dia benar-benar berniat membuat lengan kiriku patah. Dasar orang gila.
"Aawwhh!! Akssa!!"
"Thre-"
"BROTHER COMPLEX!!" Jeritku lantang, sedetik kemudian Akssa baru mau melepaskan cengkeramannya di lenganku.
Aku mundur dua langkah menjauhinya sambil menyeka bagian lenganku yang barusan di cengkeram olehnya. Kedua mataku terasa berair.
"Sinting kamu, Ssa," lirihku gemetar, setengah takut dan setengah tidak percaya pada apa yang sudah dilakukan oleh Akssa kepadaku.
Hanya karena Nara dia bisa segila ini. Hanya karena adik kandungnya sendiri yang sudah lama meninggal. Aku jadi merasa pesimis untuk hanya sekadar memperjuangkan Akssa. Aku memiliki lawan yang tak bisa kusentuh apalagi kulihat, tetapi memiliki hak paten atas perasaan lelaki yang selama tiga tahun ini selalu berada di pusat duniaku.
***
Proses evakuasi korban bencana longsor masih belum maksimal dikarenakan-
Aku tak lagi menyimak berita apa yang sedang tayang di televisi yang kunyalakan sejak sejam lalu. Pandanganku kosong melihat si presenter yang berbicara melaporkan kejadian bencana alam namun suaranya seperti membisu.
Kami berdua hanya duduk berdampingan dengan jarak satu bantal yang ada di antara kami berdua. Diam tanpa berkata-kata apalagi mengobrolkan sesuatu.
Ini sudah jam 9 malam lewat dan acara pindahan Akssa harus rusak karena ulahnya sendiri. Hatiku meringis meratapi tiga kardus yang masih terbengkalai di samping meja televisi. Mereka semua belum terurus.
"Laras," panggil Akssa seperti terdengar samar di telingaku.
"Don't you dare to remember me about Nara, again. Lupakan soal itu."
"Kenapa?" Tantangku. "Kamu nyuruh aku buat perjuangin kamu 'kan? Terus apa gunanya kalau kamu sendiri nutupin jati diri kamu?"
"Not now."
"Kapan?"
Akssa mengacak rambutnya sendiri gemas. Dia seperti frustrasi sekali. Lalu dia berdiri dan pergi entah kemana, aku tidak mempedulikannya tetapi baru dua menit dia menghilang, Akssa sudah muncul lagi dengan membawa ice bag yang entah darimana dia dapatkan. Jadi gitu ulahnya? Tiga tahun keluar-masuk apartemenku kelakuannya geledahin barang-barang. Buktinya dia sampai tahu dimana aku menaruh ice bag, padahal aku sendiri juga lupa naruhnya dimana.
"Lengan."
Aku hanya meliriknya malas. Sakit sekali lho dicengkeram seperti itu sudah mau retak rasanya. Seenaknya dia hanya bilang, lengan. Boro-boro kek minta maaf atau basa basi menanyakan, sakit? Ini tidak sama sekali.
Lengan. Lengan, lengan gundulmu.
Karena tidak mendapat respond dariku, Akssa menarik lembut lenganku yang tadi menjadi korban keberingasannya, lalu ia menempelkan ice bag tadi ke daerah lenganku yang tampak mulai kebiruan samar. Wah, wah, penyalahan ini namanya. Aku kok baru sadar sih kalau lenganku sudah biru seperti ini?
"Liat nih! Biru 'kan! Ini biru nih!" tunjukku antara terkejut dan marah pada Akssa. Ya ampun, jadi enggak cantik lagi 'kan. Apa jangan-jangan memang retak, ya? Harus di rontgen nih kayaknya.
"Tahu."
"Biru inih!" ulangku lagi.
"Diem."
"Udah ah aku sendiri aja yang kompres-"
"Just shut up, Larasati Dayu Giswara," geram Akssa membuatku sukses diam seperti apa maunya.
Bukan, bukan karena geramannya. Tetapi karena untuk pertama kalinya Akssa mengeja nama lengkapku. Dia benar-benar mengucapkan nama Dayu yang memang sama persis dengan nama tengah Nara.
"Dayu.."
Akssa melempar ice bag di tangannya ke perutku. Dia kesal. "Lupakan, atau obati sendiri," katanya tegas.
Spontan aku mengambil ice bag itu lagi dan menyerahkannya kembali pada Akssa. Sudah bersyukur dia mau mengompres lukaku, artinya dia bertanggung jawab. Jadi aku tidak boleh merusak momen ini. Kapan lagi coba diurus Akssa seperti ini, selama ini 'kan aku terus yang mengurusnya.
Kuangkat lenganku ke arahnya, menyuruhnya meneruskan kembali kegiatannya untuk mengompresku.
"Masih biru," kataku merajuk.
Akssa mendengus pelan dan mau tidak mau kembali mengompres lenganku. Bibirku berkedut menahan senyum begitu melihat wajah Akssa yang biasanya dingin dan terlihat keras juga arogan itu sekarang tampak mengernyit serius saat mengompresku. Dia seperti takut dinginnya es batu bisa membuat lenganku semakin membengkak biru.
"Kardusnya belum bener," kataku mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.
"Gampang."
"Kamu pake kamar tamu 'kan?"
"Of course not."
Lah? Keningku mengernyit mendengar jawabannya. " Kok enggak?"
"Kamarku punya kamar mandi."
Mendengar ucapan Akssa barusan membuatku melotot sempurna. Helloww, memangnya yang bayar apartemen ini sejak jaman lulus kuliah itu nenek moyang lo?! Itu 'kan kamarku!
"Nggak bisa dong! Itu kamarku."
"No."
"Na-no-na-no, jelas-jelas itu kamarku."
Akssa menggeser duduknya dan menatapku serius. Dia mengangkat sebelah alisnya persis sekali seperti orang sombong. Ya, memang dia sombong, ya. Wajar.
"Siapa yang tidur di kamar itu setiap waktu?"
"Ak-"
"Akssa," potongnya. "That's it."
Aku melongo. Antara geram dan juga geli mengetahui kalau Akssa ini humornya bobrok sekali. Siapa yang tidur di kamar itu setiap waktu? Dia pikir dia tuan rumah kali, ya. Memang setiap dia mabuk itu aku selalu susah payah menggotongnya ke kamar tamu, tapi setiap jam 12 malam Akssa selalu berjalan sambil setengah sadar untuk pergi ke kamarku dan ujung-ujungnya menjatuhkan diri di kasur kebesaranku itu.
Jadi sekarang siapa yang salah? Aku? Akssa dong!
"Itu 'kan karna kamu sering jalan sambil tidur aja, makannya bangun-bangun tahunya tidur di kamar aku!"
"Nggak."
"Iya! Kalau nggak percaya cek CCTV!"
Akssa menoleh cepat ke arahku sampai aku sendiri ngilu melihat pergerakan lehernya. Untung tidak patah tuh, berabe kalau patah.
"CCTV??"
"Iya, itu!" tunjukku pada kamera kecil yang tertanam pada suduh-sudut apartemenku. Berbeda dengan CCTV kebanyakan, milikku lebih rapih dan tak kentara. "Itu! Itu! Itu! Ada tiga! Cek sana!"
"Dimana?"
"Apanya yang dimana?"
"Operator."
"Di ponsel aku la- wei, Akssa!" panggilku karena belum selesai aku berbicara padanya, Akssa sudah beranjak dari sofa dan masuk ke dalam kamarku.
Ngapain coba dia? Cari ponsel? Beneran ngecek, ya?
***
"Tadi ngapain ke kamar?"
Hening, tak ada respond apapun dari Akssa. Aku jadi berpikir kalau Akssa sudah tidur sekarang setelah lelah memindahkan semua kardus-kardus bawaannya ke kamar tamu. Aku yang sejak tadi tak bisa tidur karena merasa sakit punggung hanya bisa mengedip-kedipkan kedua mataku di antara temaramnya lampu tidur.
"Akssa.."
"Hm."
Aku menghembuskan napas lega karena mendengar gumaman Akssa barusan.
"Tadi ngapain buru-buru ke kamar?" tanyaku lagi.
"Nothing."
Oke, bukan balasan yang cukup panjang untuk sekadar diajak mengobrol. Aku berusaha memutar otak cepat mencari cara agar Akssa mau mengobrol denganku selama masa insomniaku ini. Tidur di lantai ber-alaskan selimut memang menyakitkan. Punggungku rasanya kebas bukan main. Salahku juga sih tadi menolak ajakan Akssa untuk tidur satu ranjang dengannya. Sekarang aku menyesal. Yaa, 'kan tahu aku ini masih ting ting jadi otakku sering sekali menangkap banyak hal dengan sisi negatif.
"Akssa.."
"Hm."
"Goutama sama Giswara cocok, ya?"
"Hm."
Kyaa~ cocok katanya, Cin! Aku meringis girang sendiri sambil meremas sarung yang kukenakan untuk menyelimuti tubuhku, saking gregetnya mendengar jawaban dari Akssa barusan.
"Akssa.."
"Rrgghh, what's wrong with you, Laras?"
Aku diam seribu bahasa setelah tahu Akssa bangkit dari tidurnya karena terusik olehku. Dia terdengar seperti mengacak rambutnya gemas dan turun dari tempat tidur. Kutebak dia sedang minum air putih seperti kebiasaannya selama ini kalau terbangun di tengah-tengah tidurnya. Namun baru beberapa saat kemudian Akssa kelihatan berjalan ke arahku, dia membungkuk dan menarikku untuk berdiri dari lantai.
Sakit, Cinta.. Lenganku. "A-awh, sakit, sakit."
"Tidur!" perintahnya setelah menaruhku di atas tempat tidur.
Akssa langsung berjalan lagi ke sisi kanan tempat tidur dan kembali ke posisi favoritnya. Bergelung manja di dalam selimut tebal kesayanganku tanpa mengucapkan selamat tidur dulu padaku. Halah, memangnya aku ini isterinya apa sampai niat sekali harus diucapkan selamat tidur.
Sambil cemberut karena kekasaran Akssa yang tidak mau mengucapkan selamat tidur untukku, aku mulai ikut masuk ke dalam selimut dan juga tidak lupa mengontrol AC untuk lebih dingin. Aku tahu Akssa suka tidur dengan kondisi kamar yang dingin walaupun nantinya dia juga tetap tidur mengenakan selimut. Aneh memang orang itu.
Setelah mendengar bunyi tit dari mesin AC, aku langsung memejamkan mataku. Percuma mengharapkan Akssa yang tidur dengan wajah menghadap ke arahku, tidak akan pernah terwujud. Tidur berdua saja dia menghadap jendela balkon kok, pemandanganku di ranjang ini hanya sebatas punggung Akssa yang bergerak naik turun mengikuti napasnya yang teratur. Sabar ya, Laras.. Namanya juga berjuang.
Good nite.. Akssa.
***
Ada yang bilang saat kamu memimpikan wajah seseorang yang sama selama tiga hari tiga malam dan kamu masih mengingat baik wajah itu saat kamu terbangun, artinya orang dalam mimpimu merupakan jodohmu. Itulah yang sedang kualami saat ini. Memimpikan wajah Akssa selama ratusan hari selama tiga tahun ini, dan aku masih ingat betul seperti apa wajahnya saat aku dalam keadaan terbangun sekalipun.
Mungkin kami berjodoh?
Tanpa sadar aku mengeratkan pelukanku pada guling beraroma keringat khas lelaki dengan paduan cologne yang maskulin ini. Aku menghirup lapar aromanya sampai rasanya bibirku mengembang senyum di tengah-tengah kesadaranku bangun tidur.
Ck!
Gerakanku berhenti, napasku juga sama ikut berhenti beberapa saat. Aku yang masih dalam keadaan terpejam namun sudah sadar dari tidurku ini langsung shock setelah tahu siapa yang berdecak barusan dan siapa yang aku peluk saat ini.
What. Are. You. Doing. Laras?!
Buru-buru aku menarik kedua tanganku dari guling yang kumaksut tadi. Ternyata sejak tadi aku memeluk badan Akssa. Ya ampun, pantas saja aromanya khas sekali, berbeda dengan aroma guling di tempat tidurku.
Pelan-pelan aku memundurkan badanku sampai ke pinggir tempat tidur lalu membalikkan diri menatap meja nakas di samping tempat tidurku. Aku menekan dada bagian kiriku yang menyimpan deguban jantung liar di dalamnya. Astaga, astaga, astaga, astaga. Kok bisa-bisanya aku memeluk Akssa seperti barusan. Cewek kok gercep amat sih aku ini malu-maluin kaum wanita sejati saja.
Sambil mewek tetapi tidak mengeluarkan air mata, aku melirik ke arah jam digital yang menampilkan pukul tiga dini hari.
Haduh, lega rasanya. Palingan juga Akssa belum bangun.
Pelan-pelan sambil diliputi rasa malu, aku beranjak dari tempat tidur dan bergegas pergi ke kamar mandi dengan langkah berjinjit. Malu, Cinta..
Mau ditaruh mana muka aku, keranjang cucian?
Klik!
Mmhh! Baru sampai depan pintu kamar mandi aku langsung berjongkok sambil memegangi mulutku rapat-rapat agar tidak berteriak. Tiba-tiba saja lampu menyala setelah satu kali tepukan dan itu membuatku benar-benar kaget. Akssa sudah bangun?!
"Ngapain kamu?"
Hwaa, beneran bangun dia.
Aku berdeham sekali dan mulai berdiri seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Saat berbalik, aku menatap Akssa yang masih duduk di atas tempat tidur dengan rambut super acak-acakan, muka bantal, dan juga—holly mother fu*ker shit, he was shirtless?! Kapan doi buka baju?
"Waahh," gumamku lirih sekali sambil menatap nyalang pada perut Akssa yang—satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan—eight pack!
Hebat sekali dia. Selama ini aku tidak pernah tahu Akssa berolahraga, tapi kenapa dia punya otot perut selengkap itu sih. Bikin ngiler saja. Membuat aku semakin gencar ingin berjodoh dengannya.
Akssa yang tahu kemana arah pandangku langsung menunduk menatap ke arah perutnya sendiri. Dia lalu melipat kedua tangannya di depan dada berusaha untuk menutupi otot perutnya dari pandanganku. Halah, belum juga satu menit lihatnya sudah dibaned. Aku meneguk selivaku sendiri dan menatap Akssa linglung.
"I-itu ... kok ada delapan, darimana, ya?" tanyaku polos sekali. Rasanya nyawaku seakan hilang entah kemana. Aku tidak sadar dengan apa yang aku ucapkan barusan.
Aku shock bukan main lah, kebanyakan lelaki se-keren Akssa itu maksimal hanya memiliki otot perut six pack, bukannya eight pack. Tapi rupanya Akssa pengecualian. Dia adalah lelaki ter-keren menurutku, bahkan mengalahkn Sandro dan David Beckham sekalipun.
"Apa?" tanya dia seakan tak mendengarkan apa perkataanku barusan.
"Oh, nggak. Nggak kok. Nggak jadi."
"Ngapain kamu?"
"Hah? O-oh, ini mau pipis," jawabku mencari-cari alasan. Sepertinya dia tidak tahu kalau aku tadi sudah berhasil memeluknya dari belakang saat tidur. Makannya Akssa tampak biasa saja, coba kalau sudah tahu, pasti mencak-mencak.
"Sana," katanya lalu kembali berbaring dan menyembunyikan diri di balik selimut.
Huh, aku mulai bisa bernapas lega sekarang. Akssa benar-benar menyiksaku walau hanya dengan adegan bertelanjang dada itu.
Masih dalam kondisi lemas karena hanya mendapatkan asupan kurang dari satu menit aku mulai memasuki kamar mandiku, kubiarkan pintunya tidak terkunci tetapi tetap kututup.
Rasanya aku ingin sekali mandi sekarang, gerah melihat otot perut Akssa yang kelewatan sempurna itu.
"Yakali gue mandi jam tiga pagi?" gumamku pada diri sendiri.
Tapi bodo amat sih, lagian aku gerah pagi ini, biar nanti kalau mau kerja langsungan berangkat saja tidak perlu mandi lagi.
Aku mulai menanggalkan satu persatu bajuku dan masuk ke dalam shower area, bisa dibayangkan Akssa juga mandi di sini bertelanjang sepenuhnya sambil menggosok-gosok badannya sendiri. Aku meringis geli membayangkan hal itu, sambil memutar kran shower ke air hangat, aku menggosok badanku sendiri dengan sabun aroma pisang yang sengaja kupesan dari Hongkong. Aku suka sekali aroma pisang dan lavender.
Gosok terus seluruh badan sampai rasanya licin semua. Aku mulai membasahi seluruh rambutku dan juga menggosoknya dengan shampo yang menyimpan khasiat rambut rontok, rambutku akhir-akhir ini sering rontok. Mungkin gara-gara terlalu sering mumet memikirkan Akssa yang tukang mabuk itu.
Uap dari air shower sudah mulai menutupi sekeliling dinding kaca, aku jahil mengukir love sign di salah satu dindingnya namun justru tindakanku barusan membuatku berteriak histeris dan sedapat mungkin menutupi seluruh asetku.
Dari love sign tadi aku melihat pergerakan orang di luar shower areaku, siapa lagi kalau bukan Akssa.
"Brisik," gumam Akssa dengan suara mengantuknya.
"Ngapain kamu disitu?! 'Kan tahu aku lagi di kamar mandi!" bentakku sedikit teredam karena aku berada di dalam shower area.
"Pipis," jawabnya singkat.
Ya Tuhan, tolong pukul kepala Akssa keras-keras agar otaknya bisa berpikir waras barang sedetik saja. Mana aku tidak membawa kimonoku lagi. Setengah kesal aku memutar kran air panas dan bergerak minggir agar tidak terkena airnya. Aku butuh lebih banyak uap agar tubuh telanjangku ini tidak kelihatan dari luar. Akssa kenapa lama sekali sih?
"Ssa?" panggilku memastikannya.
"Hm."
"Pipis apa ngapain?! Lama banget!"
"Pipis."
"Udah 'kan?"
"Belum."
Aku kembali menggambar lingkaran kecil dan mengintipi Akssa apakah memang dia belum selesai atau dia sengaja menjahiliku. Dan jawabannya adalah, dia sengaja menjahiliku.
Lihat itu! Akssa sedang duduk di atas kloset sambil bersidekap dan menatap datar ke arah shower areaku.
"Akssa keluar!!!" jeritku lantang. Tubuhku sudah kepanasan karena uap dan juga percikan air panas dari shower, Akssa malahan enak-enak duduk di atas kloset sambil mengamatiku dari balik uap. Sialan.
Pasti 'kan kelihatan bayangannya, Ferguzo!
"Your underwear is so cute," katanya yang kuyakini sedang menonton celana dalamku yang tergeletak bersamaan dengan bajuku tadi.
Ya ampun, aku malu. Tolong uap, bunuh aku dengan panasmu!
"Keluar!! Kamu nggak tahu aku udah kepanasan di sini, hah?!"
"Tahu."
"Makannya keluar!"
"Oke," katanya lalu tidak lama kudengar pintu tertutup dari luar.
Aku kembali mengintipi dari gambaran lingkaran di dinding kaca shower areaku. Aman, sudah tidak ada Akssa di sana.
Butu-buru aku mengganti kran menjadi air hangat dan setengah buru-buru kubilas seluruh badanku di bawah guyuran air. Aku harus keluar dari sini sebelum Akssa kembali masuk ke dalam kamar mandi.
Selesai, kumatikan kran shower dan hati-hati kubuka pintu kaca yang ada di bekakangku, aku melongokkan kepalaku lebih dulu melihat apakah benar aman untukku keluar dari shower area sekarang untuk mengambil kimono atau tidak. Karena kulihat kamar mandiku memang kosong, aku berjinjit keluar dari ruang kaca ini dan bergegas mengambil kimonoku yang ada di gantungan.
Aduh, masih perawan juga cobaannya kuat sekali.
Kupakai kimonoku lalu kupunguti baju-bajuku tadi yang masih teronggok di lantai kamar mandi. Aku meringis malu karena memang celana dalamku tampak paling atas diantara tumpukan itu. Pantas Akssa berkomentar, dia tadi melihat celana dalamku yang bergambar kepala micky mouse kecil-kecil. Akssa pasti ilfeel melihat itu, celana dalamku mirip sekali seperti milik anak SD.
Sepertinya aku harus mengganti semua underwear imutku itu menjadi yang penuh renda dan seksi.
Setelah membuang baju-baju kotorku tadi ke dalam keranjang baju kotor, aku keluar dari kamar mandi dengan bibirku yang sudah monyong lima sentimeter. Aku kesal.
"Ssa?" panggilku saat kulihat kamarku sudah kosong melompong, bahkan tempat tidurnya juga sudah ditata rapi.
Oh, ini kesempatanku untuk mengganti baju mumpung Akssa tidak ada.
Aku langsung pergi ke arah lemariku dan mengambil satu setelan kantor dan juga underwearku. Sebelum membuka kimonoku, aku melongok sebentar ke arah balkon kamarku yang masih terkunci, siapa tahu 'kan Akssa diam-diam bersembunyi di luar balkon.
Tapi pintunya masih terkunci, jadi dia benar-benar tidak ada di sini. Setengah ngebut aku memakai pakaianku lalu mengeringkan rambut panjangku yang basah ini dengan kimono sebelum ku hair dryer.
Sepertinya mandi di pagi buta membuatku segar sekaligus kalang kabut karena tingkah Akssa yang mirip penyusup itu.
Tok! Tok! Tok!
"Ee-eh, be-bentar lagi ganti!" teriakku.
Kulempar kimono yang ada di atas kepalaku dan kembali menyelesaikan mengenakan rok span selututku dengan cepat. Beres.
"Udah!"
Klek! Akssa masuk ke dalam kamarku sambil membawa segelas susu putih di tangannya. Wajahnya kusut sekali. Tidak ada lagi adegan shirtless karena sekarang Akssa sudah mengenakan kembali kaos you can see miliknya. Dia menatapku aneh begitu tahu aku sudah berganti pakaian dengan setelan kantor.
"Ngapain kamu?" tanya dia.
"Kerja lah," jawabku kembali menggosok-gosokkan rambutku dengan handuk kimono tadi.
"Jam empat pagi?"
"Ya nanti berangkatnya, siap-siap aja sekarang daripada nanti-nanti."
Akssa tak menjawabku lagi, dia hanya berjalan santai sambil menyeruput segelas susu putihnya yang sangat wangi itu.
"Kamu nggak kerja?" tanyaku heran begitu melihat Akssa kembali ke tempat tidur. Dia menaruh gelas susunya di nakas dan merebahkan diri ke tampat tidur.
"Nggak."
"Libur emang?"
"Nggak."
"Mentang-mentang CEO, masuk kerja sesuka hati," gumamku mencela Akssa. Kesal sendiri sih sebenarnya karena aku yang menjadi staff biasa jarang sekali mendapat libur kecuali seperti kemarin ada acara pernikahan Mona, jadi satu kantor libur karena memang diliburkan oleh Sandro.
Aku berjalan ke meja nakas dan mulai menghidupkan hair dryer untuk mengeringkan rambutku. Dengungan mesinnya membuat telingaku samar menangkap panggilan Akssa.
"Laras."
Kumatikan sebentar si hair dryer dan menoleh ke belakang. "Apa?"
"CCTV itu selalu aktif?" tanya dia yang kujawab dengan anggukan sekali.
"Selalu?"
Sekali lagi aku mengangguk mengiyakan. "Kenapa? Nggak percaya kalau kamu sering tidur sambil jalan?"
Akssa diam saja, dia malahan berguling ke samping memunggungiku. Aku tak mempedulikannya lagi dan kembali menghidupkan mesin hair dryer. Akssa aneh kalau soal CCTV, kenapa dia?
***
"Aku kerja, kamu di sini? Yakin?" tanyaku sambil menyisir rambut panjangku.
Kutatap Akssa yang sedang menggosok rambut basahnya dengan handuk kecil itu. Dia setiap hari cuci rambut kali, ya? Pantas saja tidak sampai dua minggu rambutnya sudah lebih panjang. Setahuku Akssa selalu menipiskan rambutnya dua kali sebulan. Itu artinya rambutnya bertambah panjang hanya dengan waktu dua minggu 'kan? Pasti kebanyakan mikir yang tidak-tidak deh sampai cepat sekali tumbuhnya.
"Hm."
"Mending kamu anterin aku deh ke kantor, jadi supirku."
"Nggak."
"Kalau gitu nanti siang ke AG, ya? Kita makan siang."
"Nggak."
Aku berdecak kesal mendengar jawaban Akssa yang kelewat singkat itu. Sama sekali tidak ada manis-manisnya.
"Ya daripada kamu nganggur di sini. Ngapain, coba?"
Akssa melempar handuk kecilnya ke arahku lalu menyandar lelah ke sandaran sofa. Ia menatap tajam ke sudut apartemenku yang menyimpan CCTV itu. Dia ini kenapa sih? Sensitif sekali dengan CCTV di apartemenku. Dia habis maling apa gimana?
"Kerja saja," katanya pelan.
"Bukannya kita juga bahas proyeknya Sandro? Kok kamu malahan bolos gini."
"Gampang."
"Kok gampang sih, mending sana deh ganti baju kita berangkat bareng."
Akssa menoleh ke arahku dan kedua matanya mulai menatapku datar, membuat gerakan tanganku yang sedang menyisir ini jadi terhenti.
"Kenapa sih? Gitu amat liatnya."
"Proyekmu bersama Jo?"
"Iya, kenapa?"
Akssa menegakkan tubuhnya dan mengambil ponselnya yang ada di atas meja kaca di depan kami. Ia seperti mengetikkan sesuatu di layar ponselnya lalu bunyi tuk menandakan ia barusaja mengirimkan pesan pada seseorang.
"Tunggu," perintahnya kemudian ia beranjak dari sofa menuju ke kamarku.
"Wei, mau kemana??"
Ya ampun, yang namanya Akssa—entah aku belum tahu nama panjangnya siapa yang aku tahu hanya Akssa dan tidak lebih—itu memang aneh dan super misterius. Membuatku ingin sekali mengorek tentangnya. Oh, ingatkan aku nanti untuk men-googling nama Akssa di Wikipedia. Kupikir sumber itu pasti membawaku lima langkah lebih dekat dengan Akssa.
"Berangkat," ajak Akssa tiba-tiba yang membuatku terheran-heran.
Ternyata dia tadi ke kamar buat ganti baju dan bersiap-siap pergi kantor. Lihat, dandanannya saja sudah rapi dengan parfum aroma mint khas dirinya. Mirip milik Sandro.
Hmm, apa dia cemburu, ya, tahu aku akan bekerja di proyek bersama Jonathan? Makannya dia tidak rela dan langsung bergegas ganti baju. Aduh, Akssa ... jago ya buat aku melting.
Kuambil tas kerjaku yang sejak tadi sudah kusiapkan, aku beranjak dari sofa untuk mengambil stilettoku, tidak lupa juga aku membawakan sepatu kerja Akssa yang memang ditaruh satu rak dengan sepatu-sepatu kerjaku.
Akssa memandangku aneh saat tahu aku membawakan sepatu kerjanya. Gimana? Sudah cocok 'kan jadi isteri CEO kaya raya. Hehe..
"Pakai itu," perintahku lalu Akssa memakainya tanpa menjawabku.
"Dasimu mana?"
Akssa diam saja namun tangannya yang menggenggam dasi itu terangkat ke arahku, seakan menjawab pertanyaanku soal keberadaan dasinya. Tanpa membuang waktu lagi aku mengambil dasi itu dan kukalungkan ke leher Akssa. Untuk beberapa detik dia tampak terkejut dengan tindakanku, ia mengambil satu langkah ke belakang karena tahu aku akan memasangkan dasi untuknya. Kutarik dasi itu agar tubuh Akssa lebih dekat ke arahku dan dia maju lagi selangkah. Aku tersenyum manis menyadari kalau aku sudah cukup berani dengan berniatan memasangkan dasi kerja Akssa. Aku yakin selama ini Akssa selalu memakai dasinya sendiri.
Eehh, dulu 'kan ada Nara.
"Bisa sendiri," katanya lalu berniat menghalau kedua tanganku yang sudah bergerak cepat menalikan simpul untuknya.
Aku menggeleng menyuruhnya untuk tetap diam di posisinya selagi aku menyimpulkan dasi. "Selesai," kataku lalu mundur satu langkah dari tempat Akssa berdiri.
Kuamati hasil simpulanku yang tampak rapi itu. Tidak sia-sia dulu aku pernah belajar pada Nina untuk menyimpulkan dasi lelaki. Nina memang pakar terbaik masalah yang satu ini.
"Kita berangkat!" seruku lalu menggamit sebelah lengan Akssa untuk keluar dari apartemenku.
Katanya aku harus terus berjuang mendapatkan hati Akssa 'kan? Itu artinya aku harus mengesampingkan rasa maluku.
***
happy reading, ya!
@Ervinadyp ya. Terimakasih banyak, ya. 😍❤🙏 semangat juga untukmu..
Comment on chapter 1.