Seorang gadis tampak membuang napasnya. Bola matanya bergerak acak memandangi aula kampus yang tampak ramai pagi ini. Dia bersandar pada tembok sambil mengamati para mahasiswa baru yang mondar-mandir mencari kelompoknya. Hari yang sibuk, pikirnya. Jika bisa, ingin rasanya dia pergi ke tengah aula, berteriak membubarkan kerumunan massa, dan dia bisa cepat pulang lalu tidur. Sayangnya, dia belum segila itu. Tidak sekarang, mungkin nanti.
Dalam pandangannya, para mahasiswa baru yang melaksanakan Ospek hari ini tak lebih dari nasi tumpeng berjalan. Lihat saja topi kerucut berwarna kuning yang mereka gunakan, benar-benar seperti nasi tumpeng. Mengingatnya saja sudah membuat dia kelaparan.
"Hoy, Edrea," panggil lelaki bernama Arsan.
"Apa?"
"Kerja, malah nyantai di mari. Tuh, ambil kamera lo di si Gilang. Bentar lagi dia pidato, minta di candid yang cakep katanya buat postingan di Nistagram." Arsan melemparkan kartu tanda pengenal Rea yang dia temukan di depan ruang Ormawa.
"Mau di foto sama fotografer sekelas Andreas Darwis pun, kalau udah jelek mah jelek aja." Rea lantas berjalan melewati Arsan menuju tempat di mana Gilang berada.
Tidak perlu diambil hati. Seketus apa pun Rea, dia tetap menjalankan tugasnya dengan baik walau harus menggerutu di awal. Tolong, jangan dicontoh.
"Rea." sang empu nama menegakkan badannya. Dia hapal suara ini, suara yang masih dia rindukan. Suara dari seseorang yang masih berdiri angkuh menjajah hatinya sejak satu tahun lalu hingga saat ini.
"Kavi? Lo... disini?"
Ya, Kaviar Putra Liandra, mantan pacar Rea di SMA. Benarkah sudah mantan? Bahkan keluar kata putus saja tidak. Karena Kavi menghilang tanpa kabar setahun yang lalu, bisakah Rea menyebut dia mantan?
Kavi tersenyum tipis, membenarkan topi kerucut miliknya yang sudah penyok di mana-mana. "Kuliah disini juga, bareng kamu."
"Jangan bilang jurusan--"
"Iya, ngambil arsitektur. Satu jurusan. Cuma beda angkatan."
Boom!!
Rea terdiam. Ia benar-benar tidak tahu bahwa keduanya akan bertemu kembali. Setelah putus, Rea memang memblokir semua akses bagi keduanya untuk berhubungan. Rea seakan-akan menghilang ditelan bumi kala itu. Tidak ada yang bisa Kavi hubungi mengenai Rea. Lelaki itu bernar-benar kehilangan kontak dirinya secara total.
"Kavi!" baru saja Kavi ingin membuka suara, seorang gadis bertubuh tinggi semampai menghampirinya.
"Kina?"
"Eh, pagi, Kak. Vi, ayo, cari kelompok dulu."
"Tunggu--" Kina langsung menarik Kavi menjauh dari Rea yang masih termenung melihat mereka berdua. Ah, lebih tepatnya ke arah tangan yang saling bertautan.
Runtuh semua usaha move on gue.
tata bahasanya bagussss!
Comment on chapter Prolog