Happy Reading....
.
.
Suara dengusan keluar dari mulut seorang gadis yang baru saja terbangun dari tidurnya. Sebab, ia melihat seorang pria paruh baya yang sedang membuka tirai jendela kamarnya. Seseorang yang sampai detik ini masih dibencinya.
“Ah, kau sudah bangun, Jeong-Min~a?” ucap pria paruh baya itu saat melihat putri tersayangnya menatapnya dengan wajah datar.
Gadis itu tak menyahut. Lalu, dia memalingkan wajah dan beranjak turun dari ranjang. Kenapa Jong-In membiarkan Appa membawaku pulang? Tsk, menyebalkan. Gadis itu membatin. Dia melangkah menuju kamar mandi. Kali ini, lebih baik pergi ke sekolah daripada harus berada di rumah.
~bad~
“Ah, Jeong-Min~a!”
Jeong-Min lantas menoleh saat Shin-Young menyerukan namanya. Detik selanjutnya, dia mendengus. Gadis itu kemudian menatap datar ayah, ibu tirinya, serta Soo-Kyo yang sedang sarapan di ruang makan.
“Kemarilah! Ayo kita makan bersama,” lanjut Shin-Young. Tentunya, sambil menampilkan senyum hangatnya.
Jeong-Min dengan setengah hati berjalan menghampiri ketiganya. Ia sebenarnya sedikit heran, kenapa tiba-tiba saja ibu tirinya itu berbicara dengannya dengan nada lembut. Tidak seperti biasanya. Dia lalu duduk tepat di depan Shin-Young atau di sebelah kiri Soo-Kyo.
“Kau harus sarapan,” ujar Shin-Young sambil mengambilkan Jeong-Min nasi. “Aku tidak mau kalau sampai putriku yang cantik ini jatuh pingsan di sekolah.”
Jeong-Min tersentak. Apa aku tidak salah dengar? batinnya. Ini betul-betul aneh. Ada banyak terkaan yang muncul di kepala Jeong-Min. Apa Shin-Young semalam mimpi didatangi ibunya? Apa Shin-Young baru mendapat hidayah dari Tuhan? Apa Shin-Young sudah bertobat? Dan, apa ayahnya yang membuat ibu tirinya itu jadi bersikap seperti itu padanya?
Tak hanya Jeong-Min saja yang tersentak, Soo-Kyo pun juga demikian. Gadis itu kini menatap ke arah Jeong-Min dingin. Tatapan yang penuh dengan rasa kebencian. Ya, Soo-Kyo benci Jeong-Min.
Jeong-Min hanya memakan beberapa sendok nasi saja. Setelah itu, dia beranjak dari sana. “Terima kasih makanannya. Aku pergi,” pamitnya. Dia belum terbiasa dengan keadaan yang seperti ini. Di mana ayah dan ibu tirinya menjadi peduli dengannya.
“Tunggu, Jeong-Min~a!”
Jeong-Min menghentikan langkahnya saat mendengar suara Tuan Lee menginterupsi.
“Appa akan mengantarmu dan Soo-Kyo ke sekolah,” lanjut Tuan Lee.
“Tidak perlu. Aku bisa berangkat sendiri,” tolak Jeong-Min, tanpa berbalik untuk melihat wajah Tuan Lee yang sedang menatap punggungnya. Dia lalu kembali melangkah pergi.
“Jeong-Min~a!” Tuan Lee mengejar putrinya itu. Ia ingin sekali menebus segala kesalahannya selama ini. Terlalu banyak hal buruk yang sudah ia lakukan terhadap putrinya itu.
Jeong-Min tak menyahut. Sampai detik ini, rasa sakit yang disebabkan oleh Tuan Lee masih membekas di hatinya. Dia belum menemukan cara agar dia bisa memaafkan segala kesalahan ayahnya tersebut. Jeong-Min sebenarnya mendengar seruan itu, namun dia sengaja tak menyahut. Gadis itu menggigit bibir bawahnya. Ingin rasanya dia menangis saat mengingat kejadian semalam.
“Jeong-Min~a!”
Jeong-Min akhirnya berhenti melangkah saat tangan kekar itu berhasil mencekal lengannya.
“Maafkan Appa. Appa mohon,” lirih Tuan Lee.
Jeong-Min menoleh. “Harusnya bukan denganku Appa meminta maaf. Tapi dengan eomma,” ucapnya, lalu melepas paksa cekalan tangan ayahnya. Gadis itu kemudian melenggang pergi dari sana, menginggalkan Tuan Lee yang menatap punggung putrinya itu sendu.
Ini bahkan lebih sakit daripada sakit yang kurasakan di jantungku.
~bad~
Rooftop sepertinya sudah menjadi tempat yang istimewa bagi Jeong-Min. Karena, hampir setiap hari gadis itu berada di sana.
“Jong-In~a, kenapa kau semalam membiarkan appa membawaku? Kau tahu, aku masih belum bisa menerima semua pengkhianatan yang dia lakukan ke eomma.”
“Mianhae. Aku hanya tidak tega melihat appa-mu yang memohon dengan wajah sedih di hadapanku dan eomma. Mianhae, Jeong-Min~a.”
“Ne.”
Jeong-Min menutup obrolannya dengan Jong-In di telepon secara sepihak. Dia tidak mau menyalahkan pemuda itu. Jong-In sudah banyak membantunya.
“Lee Jeong-Min.”
Seorang gadis berperawakan tinggi memanggilnya. Dia lantas menoleh ke belakang, dan langsung mendengus saat melihat gadis tersebut. Itu Lee Soo-Kyo, berjalan menghampiri Jeong-Min dengan menampilkan ekspresi wajah dinginnya.
“Wae? Kenapa kau kemari?” tanya Jeong-Min malas.
“Selamat, kau telah berhasil membuat eomma luluh padamu. Tsk, kau memang pandai mencari muka,” ucap Soo-Kyo.
Jeong-Min mendesah. Gadis itu kemudian bangkit dari duduknya dan menatap ke arah Soo-Kyo dingin. “Apa aku terlihat seperti itu? Tsk, maaf. Tapi aku lebih memilih untuk pergi ke kelab malam daripada harus mencari muka di hadapan eomma-mu itu. Kurang kerjaan,” balas Jeong-Min, lalu melangkah pergi dari sana. Tak lupa untuk menabrak bahu Soo-Kyo.
Mencari muka? Apa itu sesuatu hal yang bisa mengantarkanku pada kebahagiaan? Kalau iya, maka aku akan melakukannya.
~bad~
“Jeong-Min~ssi!” panggil Sehun saat melihat Jeong-Min tengah berjalan di koridor sekolah.
Belum ada setengah hari, terhitung sudah ada empat orang yang memanggil gadis itu. Yang pertama ada ibu tirinya saat mengajaknya sarapan tadi, yang kedua ada ayahnya, yang ketiga ada Soo-Kyo, dan yang keempat ada Sehun.
Jangan kau panggil namaku, jika itu hanya untuk menyakitiku.
Jeong-Min tak menyahut. Bukan berarti dia tak mendengarnya. Dia mendengarnya. Hanya saja, dia terlalu malas untuk meladeni pemuda itu.
“Jeong-Min~ssi!”
Tsk, dia memang menyebalkan, Jeong-Min membatin. Dia tidak mengerti, kenapa dia harus berurusan dengan Sehun. Ah, tidak. Sehun-lah yang mendekatinya. Bahkan, di hari pertama bertemu pun, dia sudah berurusan dengannya.
Grep!
Sehun berhasil meraih lengan Jeong-Min. “Jeong-Min~ssi!”
Jeong-Min menepis tangan Sehun, tanpa menatap wajah pemuda itu. Mood-nya hari ini masih buruk. Dia ingin sendiri, tanpa adanya pengganggu. Gadis itu kemudian melanjutkan langkahnya.
“Jeong-Min~ssi!”
Namun, Sehun menahan lengannya lagi dan lagi, yang membuat Jeong-Min mendengus kesal. Tak tahukah Sehun sekarang, kalau banyak pasang mata yang menatap ke arah mereka? Jeong-Min tak suka itu. Ada saatnya hal seperti itu terjadi, tapi tidak untuk sekarang.
Jeong-Min pun menoleh, menatap wajah Sehun kesal. Tidak bisakah dia menikmati kesendiriannya sekarang? Ya, meskipun tidak ada kebahagiaan di dalamnya. “Kenapa kau selalu mengikutiku?” tanya Jeong-Min.
“Ekhem,” Sehun berdeham. Dia lalu mendekatkan mulutnya ke telinga Jeong-Min. “Itu karena kau spesial. Tidak ada seorang pun yang boleh menyakitimu,” ucapnya, dan mampu membuat Jeong-Min membulatkan matanya.
Sehun tersenyum. “Bagaimana? Aku benar, ‘kan?”
Jeong-Min berdecak. “Tapi sayang, banyak yang tidak menyukaiku,” ucapnya, lalu melangkah pergi.
“Yak, Jeong-Min~ssi!” Sehun mengejar Jeong-Min.
“Apa lagi?” kesal Jeong-Min.
“Ikutlah denganku.” Sehun meraih tangan Jeong-Min, dan mengajaknya pergi dari sana. “Aku akan mengajakmu ke suatu tempat. Sepertinya kau sedang membutuhkan hiburan.”
“Apa?” Jeong-Min tersentak. “Yak, Oh Sehun! Kau akan membawaku ke mana, hah?”
Sehun membawa Jeong-Min ke tempat mobilnya terparkir. Lalu, menyuruh gadis itu untuk masuk ke dalamnya.
Jeong-Min ingin menolak, namun tidak bisa. Sebab, Sehun terus memaksanya.
“Ke mana kau akan membawaku pergi, hah?” tanya Jeong-Min saat Sehun mulai melajukan mobilnya keluar dari area sekolah.
“Yang jelas, bukan ke kelab malam yang sering kau datangi,” jawab Sehun santai.
“Mwo?”
“Kau tahu, demi dirimu aku rela membolos.”
“Tidak ada yang menyuruhmu membolos.”
“Hatiku yang menyuruhnya.”
Jeong-Min terdiam. Sehun adalah seorang pemuda yang sangat aneh menurutnya. Terkadang, pemuda itu bisa membuatnya mendengus kesal, dan terkadang juga, pemuda itu bisa membuatnya terenyuh. “Terserah kau saja,” ucap Jeong-Min malas. Protes pun tak membuahkan hasil apa-apa sekarang. Dia sudah berada di dalam mobil ini. Terjebak bersama seorang pemuda yang baru dikenalnya, namun berlagak seperti sudah mengenalnya lama.
~bad~
“Ige mwoya? Kenapa kau membawaku ke tempat ini?” Jeong-Min tak mengerti kenapa Sehun bisa membawanya ke tempat ini. Sebuah gereja yang terletak tidak begitu jauh dari sekolahnya. Gadis itu menatap Sehun penuh selidik.
“Ya ... ingin saja,” jawab Sehun santai.
“Aku ingin pulang.” Jeong-Min mengayunkan kakinya, berniat untuk pergi dari sana. Namun, Sehun dengan sigap langsung menahan lengannya.
“Eits, kau tidak boleh pergi begitu saja. Aku tahu, kau pasti sangat jarang, ah, mungkin saja tidak pernah pergi ke tempat ini, ‘kan?” terka Sehun.
Jeong-Min terdiam. Terakhir kali dia pergi ke gereja adalah saat ibunya masih hidup dulu. Saat di mana segala kesedihan yang terjadi sekarang belum ada.
“Ayo, kita masuk,” ajak Sehun kemudian sambil menarik lengan Jeong-Min untuk masuk ke dalam gereja.
Apa dengan aku pergi ke tempat ini aku akan hidup bahagia?
Sehun dan Jeong-Min kemudian duduk di salah satu bangku yang ada di dalam gereja tersebut. “Aku tahu, pasti ada banyak beban di dalam dirimu. Berdoalah kepada Tuhan, agar beban itu berkurang,” ujar Sehun.
“Tidak usah sok tahu,” balas Jeong-Min.
“Aku tidak sok tahu. Melihat wajahmu saja, itu sudah kentara sekali kalau kau sedang mempunyai masalah. Ayo, kita berdoa. Kau tahu caranya berdoa, ‘kan?”
Jeong-Min mendesah. “Aku bukan orang bodoh yang kerjaannya hanya mengganggu hidup orang lain. Tentu saja aku tahu,” ujarnya tak terima.
“Baguslah kalau begitu.” Sehun lalu menghadap ke depan dan mengepalkan kedua tangannya yang saling bertaut di depan dada. Tak lupa pula untuk menutup kedua matanya.
Jeong-Min menatap Sehun dalam diam. Gadis itu melihat pemuda di sebelahnya tersebut tampak serius berdoa kepada Tuhan. Apa dia selalu tampak bahagia karena selalu berdoa kepada Tuhan? Kalau iya, maka aku akan melakukannya, batinnya. Jeong-Min pun melakukan hal yang sama dengan apa yang Sehun lakukan. Berdoa kepada Sang Pencipta.
Tuhan ....
Mungkin aku adalah salah satu hamba-Mu yang mempunyai banyak kesalahan.
Apakah hidupku seperti ini karena takdir-Mu? Kalau iya, aku menerimanya.
Tuhan ....
Maafkanlah hamba-Mu ini yang kadang kala selalu melupakan-Mu.
Tuhan ....
Aku mohon, tempatkanlah eomma di surga. Ia adalah sosok seorang ibu yang baik.
Sehun menyelesaikan doanya. Pemuda itu lalu melihat Jeong-Min yang duduk di sebelahnya. Gadis itu menangis dengan kedua mata yang masih tertutup. Dia merasa iba melihatnya.
Tuhan ....
Terima kasih karena Engkau telah mengirimkan orang-orang baik di antara orang-orang yang tidak baik di sisiku.
Amin.
Jeong-Min mengakhiri doanya. Dia lalu menghapus air mata yang mengalir di kedua pipinya. Tak menyadari bahwa sedari tadi Sehun terus-terusan menatapnya.
“Hiks, eomma ... bogoshipeoyo ...,” lirih Jeong-Min.
Melihat Jeong-Min yang menangis, hati Sehun pun tergerak untuk mencoba menenangkan gadis itu. Tangannya terulur ke punggung Jeong-Min. “Semua orang yang ada di dunia ini pasti akan mati. Begitu pun kita. Tapi, kita tak pernah tahu kapan Tuhan akan memanggil kita.”
“Semua orang juga tahu hal itu,” sahut Jeong-Min dengan suara yang bergetar.
“Ya, kau benar.”
Bukannya tenang, Jeong-Min malah semakin terisak.
“Kau kenapa? Kau merindukan eomma-mu?” tanya Sehun.
Jeong-Min tak menjawabnya, dan semakin terisak.
Sehun pun dengan segera memeluk gadis itu. Menenangkannya. “Uljima ....”
Eomma mungkin akan sedih jika melihatku seperti ini. Tapi ... aku tidak bisa untuk tidak seperti ini. Eomma ... maafkan aku.
~bad~
Aku ingin melihat senyuman yang berasal dari bibirmu itu. Ya, walaupun hanya sedetik.
Jeong-Min keluar dari dalam mobil Sehun tanpa sepatah kata pun. Gadis itu hanya menampilkan ekspresi wajah sendunya. Lalu, dia berdiri di depan rumahnya sembari menunggu Sehun pergi.
“Hei, Jeong-Min~ssi. Apa kau tidak ingin menawariku untuk mampir ke rumahmu?” ujar Sehun sambil menyembulkan sedikit kepalanya keluar dari jendela mobil.
“Tidak. Ini sudah sore,” sahut Jeong-Min datar.
“Ah ... begitu, ya. Baiklah, aku akan pulang. Tapi ... bisakah kau tersenyum kepadaku meskipun hanya sedetik saja?”
Bukannya menuruti keinginan Sehun, Jeong-Min malah berdecak. “Yak, Oh Sehun. Aku bukanlah seorang gadis yang dengan mudahnya menuruti segala keinginan seorang lelaki sepertimu. Dan, senyum tak bisa membuat kehidupanku menjadi seperti dahulu,” tolaknya mentah-mentah.
“Aku tahu itu. Tapi, asal kau tahu, Jeong-Min~ssi. Senyum memang tak bisa mengembalikan kenangan indah yang telah lalu, tetapi senyum mampu membuat orang lain yang melihatnya menjadi ikut tersenyum. Tanpa sadar, kau telah membagikan sebuah kebahagiaan kepada orang lain.”
Benarkah seperti itu? Lalu, kenapa setiap kali dia tersenyum kepadaku, aku tidak bisa ikut tersenyum juga?
“Kau terlalu kebanyakan teori, Sehun~ssi.” Jeong-Min kemudian mulai melangkah pergi. “Terima kasih atas tumpangannya,” ucapnya sebelum benar-benar pergi.
“Ya, sama-sama.” Sehun tersenyum simpul melihat punggung Jeong-Min yang mulai menghilang di balik pintu gerbang. “Gadis yang unik,” gumamnya, lalu menghidupkan mesin mobilnya dan melajukannya untuk pergi dari sana.
Jeong-Min berjalan dengan santai menuju kamarnya. Seperti biasa, rumah selalu sepi. Gadis itu tanpa sadar tersenyum tipis. Ini berkat Sehun. Karena pemuda itu, dia sadar bahwa tak ada untungnya terlalu larut dalam kesedihan. Dan, selalu mengingat Tuhan adalah yang utama.
Ceklek
“Appa?”
Jeong-Min terkejut begitu membuka pintu kamarnya. Di dalam sana, dia melihat Tuan Lee yang sedang duduk di atas ranjangnya dengan kepala yang tertunduk. “Apa yang Appa lakukan di kamarku?”
Tuan Lee mendongak, dan menatap Jeong-Min sendu. “Kenapa kau tidak pernah cerita ke Appa, Jeong-Min~a?”
“M-maksud Appa?” Jeong-Min tak mengerti dengan maksud pertanyaan ayahnya itu.
“Kenapa kau tidak pernah cerita ke Appa kalau kau sakit, Jeong-Min~a?”
“Ne?” Jeong-Min terkejut bukan main. Bagaimana ayahnya bisa tahu tentang rahasia yang hanya diketahui oleh Tuhan, dia, dan Jong-In saja? Gadis itu diam di tempat. Dadanya sudah bergemuruh, karena was-was. “T-tidak. A-aku baik-baik saja,” elak Jeong-Min.
Tuan Lee lalu bangkit dari duduknya. Ia kemudian mengambil sebuah botol obat di atas kasur yang tadi ia letakkan di belakangnya. “Jangan berbohong, Jeong-Min~a. Appa tidak suka kau berbohong.” Ia menghampiri putrinya tersebut dengan mata yang berkaca-kaca.
“A … Appa ... i-itu vitaminku. K-kenapa Appa mengambilnya?” ucap Jeong-Min gagap. Dia ceroboh, sangat-sangat ceroboh. Bagaimana bisa dia hanya menaruh benda yang menurutnya laknat itu hanya di dalam laci meja belajarnya?
“Jangan bohong, Jeong-Min~a ... Appa sudah tahu semuanya.”
“Ya?”
Tuan Lee langsung memeluk Jeong-Min saat ia sudah berada di dekat putrinya itu. “Wae?! Kenapa kau tidak pernah bilang hal ini ke Appa, Jeong-Min~a?! Wae?!” teriaknya sambil terisak.
Jeong-Min pun menangis. Bukan karena melihat ayahnya yang menangis, tetapi karena melihat kecerobohannya sendiri.
“Appa menyayangimu, Jeong-Min~a ... tak seharusnya kau seperti ini. Appa tidak mau kehilangan orang yang Appa sayangi untuk yang kedua kalinya.”
Jeong-Min tak mampu berkata-kata lagi. Percuma saja dia mengelak. Semuanya sudah jelas sekarang. Ayahnya tahu. Dan, selamat datang rumah sakit tak lama lagi.
“Appa ....”
Tuan Lee melepaskan pelukannya. “Kau jangan pernah berpikir bahwa Appa tak menyayangimu, Jeong-Min~a. Appa sangat menyayangimu.”
“Appa ....”
~bad~
Jeong-Min menatap pantulan dirinya di cermin sendu. Kini, hidupnya telah berubah 180°. Tidak ada lagi senyum di wajahnya. Yang ada hanyalah ekspresi datar. Sebuah ekspresi yang menggambarkan bahwa gadis itu adalah sosok yang dingin. Berat badannya juga tampak menurun. Bahkan, baju berukuran M pun tampak kedodoran di badannya. Sekurus itukah dia?
Jeong-Min kemudian berjalan menuju nakas. Diambilnya ponsel yang tergeletak di atas sana. Satu-satunya orang yang bisa mendengarkan keluh kesahnya saat ini adalah Jong-In, sahabat baiknya. Gadis itu menghubungi pemuda itu.
“Ya, Jeong-Min~a ... ada apa?”
“Jong-In~a ...,” ucap Jeong-Min lirih
“Wae? Ada apa, hah?” tanya Jong-In dari seberang telepon.
“Bisa kita bertemu sekarang?” pinta Jeong-Min. Ini sudah jam sebelas malam, namun bagi gadis itu, jam segitu masih sangatlah sore.
“Oh, tentu. Bertemu di mana? Apa aku harus menjemputmu?”
“Tidak perlu. Kita bisa bertemu di Sungai Han.”
“Apa? Sungai Han? Ah, baiklah. Aku akan ke sana sekarang.”
“Ng ... tapi kau tidak sedang sibuk, ‘kan?”
“Hahaha, tentu saja tidak. Kau tahu, seorang Kim Jong-In tidak pernah yang namanya sibuk.”
“Baiklah ... aku akan menunggumu di sana.”
Setelah itu, Jeong-Min mengakhiri panggilannya. Lalu, gadis itu melesat pergi dari sana. Dia tidak peduli ini sudah larut atau belum. Yang jelas, dia hanya ingin berbagi cerita dengan Jong-In. Hanya Jong-In-lah yang mampu memahami perasaannya saat ini. Ya, meskipun laki-laki itu sangat genit jika melihat perempuan cantik.
~bad~
“Apa aku terlambat?” tanya Jong-In begitu sampai di Sungai Han dan duduk di sebelah Jeong-Min.
Jeong-Min menoleh. “Tidak. Aku juga baru sampai,” jawabnya.
“Ah ... baguslah kalau begitu.” Jong-In kemudian memiringkan kepalanya untuk melihat wajah Jeong-Min. “Kau kenapa, hah? Apa ada masalah?” tanyanya.
Jeong-Min mengangguk pelan. Ia lalu menyandarkan kepalanya di bahu Jong-In, dan menatap sendu air sungai yang tenang. “Jong-In~a ...,” ucapnya lirih.
“Wae? Kau kenapa, hah?” sahut Jong-In, lalu melingkarkan tangan kanannya di bahu Jeong-Min.
“Appa tahu.”
“Tahu apa?”
“Mengenai penyakitku.”
“Apa?! Bagaimana bisa?”
“Jong-In~a ... aku harus bagaimana?”
“Ng ... mungkin itu memang yang terbaik untukmu, Jeong-Min~a.”
Jeong-Min langsung menegakkan badannya. “Terbaik?” Dia lalu mendesah. “Kau tahu, dia bahkan selalu menyuruh orang lain untuk memperhatikanku.”
“Appa-mu sibuk, Jeong-Min~a.”
Jeong-Min mendengus. “Sesibuk apa pun seorang ayah, seharusnya dia masih bisa menyisihkan waktu untuk anaknya.” Dia lalu menangis.
Jong-In pun bergerak untuk memeluk gadis di sampingnya tersebut. Dia tahu banyak apa yang Jeong-Min rasakan selama ini. Semenjak ibunya meninggal, hanya dirinyalah yang selalu menjadi buku harian bagi Jeong-Min. Tempat berkeluh kesahnya selama ini. Bahagia dan sedih selalu Jeong-Min bagi dengannya.
“Kau tahu, Jong-In~a, mungkin sekarang ada seseorang yang sedang mengamatiku dari jauh.”
“Hah?”
“Tadi aku sudah bilang, ‘kan, kalau appa selalu menyuruh orang lain untuk memperhatikanku. Sekarang pun, mungkin orang suruhan appa sedang memperhatikanku.”
“Menurutku, itu cara appa-mu menyayangimu. Aw!”
Jeong-Min langsung mencubit perut Jong-In.
“Yak, kenapa kau mencubitku?”
“Jadi, kau lebih berpihak kepada appa daripada kepadaku, begitu?”
“A~a, tentu saja tidak. Aku tetap berpihak kepadamu, kok.” Jong-In nyengir lebar. Dia tidak ingin membuat Jeong-Min marah.
~bad~
Jeong-Min
Kapan kebahagiaan datang kepadaku?
Pertanyaan seperti itu entah sudah ke berapa kalinya muncul di benakku. Bahagia. Ya, suatu hal yang mampu membuatku menyunggingkan kedua sudut bibirku ke atas. Suatu hal yang mampu membuatku mengeluarkan suara tertawa karena gembira. Lupakan saja. Hal itu sudah lama berlalu.
Kebahagiaanku.
Jangan salahkan diriku jika aku sudah lupa bagaimana caranya tersenyum. Bisa jadi, hal itu sudah hilang dari kamus hidupku.
Bahagia tidak sesederhana yang orang lain katakan. Bahagia itu bagiku sulit. Apa ini sudah kehendak dari Tuhan? Kalau iya, maka aku akan menerimanya.
Aku duduk bersandar di atas ranjang sambil menekuk kedua kakiku. Memeluk anggota badan yang berfungsi untuk menopang tubuh itu dalam diam. Ini sudah lewat tengah malam, namun mata lelah ini belum berniat untuk tertutup rapat.
Tidur adalah salah satu hal yang agak sulit untuk kulakukan. Kecuali, jika keadaan tubuhku ini sudah sangat lelah. “Hh ....” Aku menghela napas panjang. Besok atau lusa, appa pasti akan membawaku ke tempat itu. Tempat di mana terakhir kali eomma berbicara padaku. Tempat yang aku benci.
Drrrttt ... Drrrttt ....
Ponselku yang ada di atas nakas bergetar. Ada sebuah pesan yang masuk. Siapa orang yang dengan rajinnya mengirimiku pesan di jam begini? Sepertinya pesan dari operator. Aku pun meraih benda persegi panjang tersebut malas.
From : Jong-In
Biar kutebak, pasti kau belum tidur, kan? Ya, ya, ya, aku memang selalu benar. Jangan terlalu menggunakan otakmu untuk berpikir, atau otakmu akan eror. Hahaha. Aku hanya bercanda. Eum ... mungkin ini bisa sedikit menghiburmu. Tunggu sebentar.
~bad~
Jeong-Min mengerutkan dahinya heran begitu selesai membaca pesan yang dikirimkan Jong-In padanya tersebut. Jong-In memang yang paling tahu dan paham tentang dirinya. Jadi, tak heran jika tebakan pemuda itu selalu benar.
Tak lama setelah itu, ponsel Jeong-Min bergetar kembali. Ada pesan lagi yang berasal dari Jong-In.
From : Jong-In
Kuharap, mulutmu tidak menganga lebar setelah melihat ini.
*pict
Jeong-Min lalu meng-klik foto yang dikirimkan padanya tersebut. Tapi, bukannya menganga seperti yang tertulis di pesan Jong-In, Jeong-Min malah mendesah.
Itu adalah foto Sehun, dengan ekspresi wajah yang bisa dibilang absurd. Entah dari mana Jong-In mendapatkannya. Jeong-Min pun kemudian membalas pesan Jong-In.
To : Jong-In
Dari mana kau mendapatkan foto aneh seperti itu?
“Oh, astaga ... apa Jong-In seorang paparazi?” ucap Jeong-Min.
From : Jong-In
Kau tak tahu, ya, kalau aku berteman baik dengannya.
*pict
Jeong-Min mendengus melihat foto kedua yang dikirim oleh Jong-In itu. “Tsk, apa dia sudah gila? Untuk apa coba dia mengirimiku foto namja itu?”
Tak lama kemudian, Jong-In mengirimi Jeong-Min pesan lagi.
From : Jong-In
*pict
Tanpa sadar, Jeong-Min tertawa sekilas. Siapa pun itu, pasti akan tertawa -walaupun sebentar- jika disuguhkan foto derp seperti itu. “Tsk, Jong-In memang benar-benar seorang paparazi. Haha.” Dia lalu terdiam sejenak. “Apa ... aku baru saja tertawa?”
~bad~
Tak ada yang tahu bagaimana takdir seseorang di masa depan nanti. Dan, aku sangat berharap di masa depanku nanti tidak seperti ini.
Jeong-Min menatap para siswa yang sedang berlalu lalang di bawah sana dalam diam. Di sampingnya ada Sehun yang sedang berusaha untuk mengajaknya berbicara. Namun, Jeong-Min tampak tak acuh.
“Sepertinya kau sudah membuang salah satu kebiasaanmu,” ujar Sehun. Dia lalu mencolek bahu Jeong-Min. “Hei!”
Jeong-Min pun menoleh ke arah Sehun, dan menatap pemuda tinggi itu datar. “Apa kau orang yang disuruh oleh appa-ku untuk mengawasiku?”
“Ya?” Sehun tersentak.
“Kau selalu mengikutiku. Apa kau semalam juga mengikutiku ke Sungai Han?”
“Ti-tidak.”
“Benarkah?”
“Y-ya, tentu saja. Aku menyukaimu. Aku sangat ingin dekat dengan dirimu.”
Jeong-Min mendengus. Dia lalu bangkit dari duduknya. “Kau buang saja rasa sukamu itu jauh-jauh, karena aku tak akan pernah membalasnya,” ucapnya lalu mengayunkan kakinya pergi.
“Yak!” Sehun pun berdiri dan menyusul langkah Jeong-Min. Pemuda itu kemudian meraih lengan gadis itu, dan membuat Jeong-Min langsung menghentikan langkahnya. “Bisakah kau tidak seperti ini?”
Jeong-Min menghirup oksigen dalam-dalam dan mengembuskannya pelan. Gadis itu kemudian berbalik menghadap ke arah Sehun. “Yak, Sehun~ssi! Bisakah kau–”
Chu~
Sehun dengan tidak sopannya langsung mencium bibir Jeong-Min.
Deg!
Deg!
Deg!
Itu bukan suara detak jantung Sehun, melainkan suara detak jantung Jeong-Min. Ciuman Sehun sangat berbeda dengan ciuman Yifan tempo hari. Ini beda. Jeong-Min merasa berbeda. Gadis itu pun buru-buru mendorong tubuh pemuda di depannya itu. “N-neo ... michyeosseo?”
“A-aku ....”
Jeong-Min lalu melenggang pergi dari sana. Meninggalkan Sehun sendirian di sana.
“Apa yang baru saja kulakukan?” ucap Sehun. Dia lalu memegangi bibirnya. “Astaga ... aku benar-benar menciumnya? Oh, Ya Tuhan ... apa setelah ini aku bisa bertemu dan berbicara lagi dengannya? Argghhh ... Oh Sehun ... kenapa kau lakukan itu, hah?” Sehun mengacak rambutnya frustrasi.
~bad~
Jeong-Min duduk terdiam di dalam bilik toilet khusus perempuan. Ingatannya kembali ke waktu di mana Sehun tengah menciumnya tadi. Tanpa permisi, dan sangat tiba-tiba. “Dia benar-benar gila.” Itu memang bukan ciuman pertamanya. Namun, rasanya sangat tidak biasa. Dia merasakan dadanya yang bergemuruh. “Apa yang terjadi denganku?”
“Aku sering melihat Jeong-Min jalan berdua dengan Sehun. Apa mereka sepasang kekasih?”
Jeong-Min langsung menghentikan kegiatan memikirkan ciumannya dengan Sehun tadi begitu mendengar suara seorang gadis yang berasal dari bilik di sebelahnya.
“Kekasih? Hh, tentu saja tidak. Aku yakin itu.”
“Kenapa kau begitu yakin? Apa kau sudah menyelidikinya?”
Jeong-Min mengernyit. Dia tahu siapa gadis pemilik suara yang kedua tersebut. Itu suara Lee Soo-Kyo, saudara tirinya.
“Kau tahu, karena aku tidak akan membiarkan mereka berdua bersama.”
Jeong-Min kemudian mendengar suara sepatu yang bergesekan dengan lantai. Salah satu dari gadis yang ada di bilik sebelah itu keluar. Dan, Jeong-Min tebak itu pasti Soo-Kyo.
“Tsk, dia benar-benar iri pada Jeong-Min. Tapi, bukankah Jeong-Min itu saudara tirinya? Mereka memiliki ayah yang sama. Tapi ... kenapa aku melihat mereka berdua lebih seperti orang asing yang tidak saling kenal? Ah, kenapa aku jadi memikirkan mereka?”
Jeong-Min tersenyum miris mendengar ujaran gadis di bilik sebelah itu. “Dia bukan saudaraku.” Meskipun dia dan Soo-Kyo memiliki ayah yang sama, namun dia tidak akan pernah menganggap bahwa Soo-Kyo adalah saudaranya. Begitu pun sebaliknya.
Untuk apa aku harus menganggapnya saudara, jika itu pernah membuat orang yang aku sayangi terluka dan pergi untuk selamanya.
.
.
.
TBC