Previous
Jeong-Min mengernyitkan dahinya heran saat ia dan Sehun sudah turun dari mobil. Ia bingung. Di hadapannya tampak berdiri sebuah rumah– ah, lebih tepatnya sebuah mansion mewah berlantai tiga. Gadis itu kemudian menatap ke arah Sehun, menuntut sebuah jawaban. Apakah benar yang ada di hadapannya itu adalah hotel?
“Waeyo?” tanya Sehun.
“Ini ... di mana?” tanya Jeong-Min balik.
“Ah ... ini. Oke, selamat datang di rumah keluarga Oh.”
“Mwo?!”
Tanpa banyak bicara, Sehun langsung menarik tangan Jeong-Min dan mengajaknya untuk masuk ke dalam rumahnya.
“Yak, Sehun~ssi!” Jeong-Min benar-benar ingin protes sekarang. Namun, interior rumah Sehun mampu membiusnya. Gadis itu mengernyit. Kenapa bisa ada rumah seperti ini? Eksterior yang pure bergaya Eropa. Namun, begitu melihat interiornya, sangat-sangat berbeda. Modern, itulah kata yang dapat menggambarkan desain interior rumah keluarga Oh. Segala jenis furniturnya betul-betul modern. Hanya pigura foto sajalah yang masih bergaya klasik. Gadis itu melamun.
“Ekhem,” Sehun berdeham. “Kenapa? Bukankah kau anak orang kaya? Harusnya kau tidak seperti ini saat melihat rumahku.”
Jeong-Min langsung berdecak mendengarnya. “Sehun~ssi, bukankah tadi aku bilang padamu kalau aku ingin pergi ke hotel? Kenapa kau malah membawaku ke sini?”
Bukannya merasa bersalah, Sehun malah nyengir lebar. “Memangnya kenapa? Bukankah di sini lebih baik? Kau tidak perlu mengeluarkan uang.” Pemuda itu lalu kembali menarik tangan Jeong-Min menuju kamarnya. “Ayo!”
“Yak, Sehun~ssi!”
Sehun baru melepaskan tangan Jeong-Min begitu sampai di dalam kamarnya. Pemuda itu tampak santai-santai saja saat melihat tatapan tajam yang Jeong-Min tujukan padanya. “Kenapa?” tanyanya. “Apa kau marah?”
“Ya, aku marah,” jawab Jeong-Min dingin.
Sehun kemudian tersenyum. “Daripada kau marah, lebih baik kau duduk di sini dahulu,” Sehun menggiring Jeong-Min agar duduk di atas ranjangnya, “aku akan ke dapur sebentar. Ini memang sudah lewat jam makan malam. Namun, instingku mengatakan kalau kau belum makan. Jadi, kau harus makan.”
“Tapi–”
“Hush,” Sehun langsung menaruh jari telunjuknya ke bibir Jeong-Min, yang mampu membuat gadis berkulit pucat itu langsung terdiam. “Tidak ada penolakan. Aku tidak menerima alasanmu. Biarpun kau mengatakan kalau kau sudah kenyang, aku tidak peduli. Jadi, kau tunggu di sini dulu, oke?” Sehun lalu melangkah pergi dari sana.
Jeong-Min tidak menjawab. Gadis itu hanya menatap kepergian Sehun dalam diam. Dan, tak lama kemudian, gadis itu menghela napas berat. “Astaga, kenapa aku bisa berada di tempat asing seperti ini?”
Beberapa menit kemudian, akhirnya Sehun kembali. Namun, bukannya makanan yang ia bawa, melainkan sebuah paper bag. “Ini adalah piyama. Kau bisa memakainya nanti setelah makan malam. Tidak mungkin, ‘kan, kalau kau memakai pakaian seperti itu saat tidur? Sama seperti tadi. Kali ini, aku juga tidak menerima penolakan,” cerocos Sehun sambil memberikan paper bag tersebut kepada Jeong-Min.
Mau tidak mau, Jeong-Min pun menerima paper bag itu. Benar apa kata Sehun, tidak mungkin dia akan memakai pakaian seperti ini saat tidur. Gadis itu masih mengenakan seragam sekolahnya. Belum ganti pakaian biasa, bahkan mandi pun belum. “Terima kasih” ucapnya pelan, nyaris berbisik.
“Ne,” balas Sehun, lalu tersenyum.
Tak lama kemudian, datang lima orang maid yang masing-masing membawa nampan yang berisi makanan. Sehun pun tersenyum lebar melihatnya. Bahkan, Jeong-Min sampai heran melihat Sehun yang sedari tadi tersenyum melulu. Tidak seperti dirinya yang bahkan untuk menyunggingkan bibir ke atas sedikit saja rasanya begitu sulit.
“Ayo, kau harus makan.” Lagi-lagi, Sehun harus menarik lengan Jeong-Min agar gadis itu tak bergeming. Keduanya kemudian duduk di kursi yang memang sudah tersedia di dalam kamar tersebut.
“Kenapa harus makan di dalam kamar jika ada ruang makan?” kata Jeong-Min.
Sehun mendesah. “Masuk kemari saja aku harus menarik tanganmu dahulu. Kau tahu, itu juga butuh tenaga ekstra.”
Kini, giliran Jeong-Min yang mendesah. Ya, ucapan Sehun tidak sepenuhnya salah. Bahkan, benar. Dan, mungkin saja pergelangan tangan Jeong-Min akan memerah nanti jika terus ditarik-tarik melulu.
“Kalau begitu, selamat makan. Kau harus menghabiskannya. Aku masih kenyang. Jadi, kau sendiri yang harus menghabiskannya.”
“Apa?!” kaget Jeong-Min. Apa Sehun sudah gila? Makanan yang terhidang di hadapannya saat ini tidak sedikit. Dan Jeong-Min, gadis itu bukanlah manusia yang memiliki sifat rakus. Bagaimana mungkin dia bisa menghabiskannya? Mungkin bisa, jika Sehun juga ikut makan. Jeong-Min lalu melipat kedua tangannya di depan dada. “Shireo. Aku tidak mau makan kalau kau tidak ikut makan juga,” tolak Jeong-Min.
“Yak, Jeong-Min~ssi. ‘Kan, tadi aku sudah bilang, kalau aku masih kenyang. Apa kau tidak memahami perkataanku tadi, hah?”
“Pokoknya aku tidak mau memakannya sendiri. Kau harus ikut makan. Aku tidak mau menerima penolakan.”
Sehun menghela napas panjang. “Baiklah. Lebih baik aku kekenyangan daripada kau tak makan sama sekali,” putusnya kemudian.
Jeong-Min tersenyum tipis. Akhirnya, kedua bibir itu tersungging ke atas, walaupun hanya sedikit. Dan, itu karena Sehun.
Satu jam kemudian
Jeong-Min tersenyum samar saat melihat Sehun dengan keadaan mulut terbuka dan tangan yang memegangi perutnya. Pemuda itu kekenyangan. Kali ini, Jeong-Min dengan sengaja berlaku curang. Gadis itu hanya memakan sedikit makanan yang ada di atas meja, sedangkan sisanya, pemuda di hadapannya itulah yang menghabiskannya.
“Kau curang, Jeong-Min~ssi,” ucap Sehun sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah Jeong-Min.
“Curang? Siapa yang curang?” tanya Jeong-Min santai.
“Tentu saja kau,” jawab Sehun.
Brak!
Pemuda itu menggebrak meja di depannya dengan sedikit keras. “Gara-gara kau, perutku jadi buncit.”
“Oh, ya? Lantas, apakah dengan kondisi perutmu yang membucit itu adalah kesalahanku?” Jeong-Min lalu mendesah. “Kau sendiri yang terlalu nafsu. Seperti orang yang tidak pernah makan selama berhari-hari.”
“Apa?! Yak! Kau menghinaku?”
“Tidak. Kau saja yang merasa seperti itu,” elak Jeong-Min. Gadis itu kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan menjauh dari Sehun.
“Kau mau ke mana?” tanya Sehun.
“Kau sendiri, ‘kan, yang bilang kalau aku harus berganti pakaian setelah makan. Apa kau lupa? Tsk, dasar pelupa,” kata Jeong-Min, lalu meraih paper bag yang tergeletak di atas ranjang, kemudian melangkah menuju kamar mandi.
“Oh, iya. Kenapa aku jadi pelupa, ya?” Sehun memukul dahinya pelan. Pemuda itu kemudian bangkit dan berjalan keluar dari kamarnya.
~bad~
Jeong-Min menatap sunyinya malam lewat jendela kamar Sehun. Pandangannya lurus ke depan, namun pikirannya berpetualang jauh ke kejadian yang terjadi tadi saat ia masih berada di rumahnya.
Tes
Tes
Tes
Tepat, bersamaan dengan turunnya air hujan, air matanya mengalir. Ya, ia menangis. Dalam diam. Melupakan itu adalah hal yang sulit, apalagi melupakan suatu hal yang menyakitkan. Dan, itu Jeong-Min alami. “Han Sae Byun, kau telah membuat appa menjadi seorang pria yang jahat,” ucapnya lirih.
Han Sae Byun. Dia adalah ibunya Soo-Kyo. Wanita yang dulu pernah dikencani oleh Lee Sae Jong dan menjadi istri keduanya. Wanita yang saat ini menjadi daftar orang yang dibenci oleh Jeong-Min.
Ceklek
Pintu kamar itu terbuka, menampilkan seorang pemuda tampan yang mengenakan setelan piyama bermotif kotak-kotak berwarna putih-biru. Itu Oh Sehun, melangkah menghampiri Jeong-Min yang sedang menatap pemuda itu dengan ekspresi datar andalannya. Ya ... meskipun tadi sempat terkejut sebentar karena mendengar suara pintu yang terbuka tiba-tiba. Buru-buru gadis itu langsung menghapus air matanya dengan telapak tangan.
“Kau belum tidur?” ucap Sehun begitu sudah berdiri di sebelah Jeong-Min.
Jeong-Min tidak menjawab. Gadis itu malah kembali menatap pemandangan luar jendela yang kini diguyur oleh air hujan tersebut.
“Hei, Jeong-Min~ssi! Kenapa kau belum tidur, hah? Apa ... kamar ini tidak nyaman untukmu?” tanya Sehun. “Ya ... aku mengerti. Tidak ada kamar yang lebih nyaman selain kamar sendiri. Bukankah begitu?”
“Tidak,” sahut Jeong-Min.
“Oh. Tidak, ya.”
“Tidak ada seorang ibu yang membuat kita nyaman selain ibu kandung kita sendiri. Tsk, bahkan aku sudah lupa bagaimana rasanya memiliki ibu kandung.”
Sehun hanya diam. Namun, matanya terus menatap gadis di sampingnya itu dalam. Dengan melihatnya saja, ia sudah tahu, kalau Jeong-Min sedang menyimpan suatu hal yang tidak ingin dibagi dengannya. Terlihat jelas dari air mata yang keluar lagi dari pelupuk matanya. Tanpa banyak pikir, pemuda itu langsung menggerakkan tangannya untuk menghapus air mata itu. “Uljima ... tak seharusnya kau menangis. Apalagi karena suatu kenangan yang buruk.”
“Sok tahu,” balas Jeong-Min sambil menepis tangan Sehun, dan menghapus air matanya sendiri.
“Hei, aku bukannya sok tahu. Tapi, memang itulah kenyataannya. Kenangan buruk memang terkadang mampu membuat seseorang bersedih. Dan sebaliknya, kenangan baik mampu membuat seseorang tersenyum,” ujar Sehun panjang lebar. Dan, itu mampu membuat Jeong-Min berdecak lidah.
“Yah ... terserah kau saja,” kata Jeong-Min sambil berlalu pergi meninggalkan Sehun menuju ranjang.
“Apa kau sudah mengantuk? Kau ingin tidur?” tanya Sehun.
“Ya,” sahut Jeong-Min sambil menarik selimut tebal milik Sehun menutupi badannya.
“Baiklah. Kalau begitu, selamat tidur, Jeong-Minie.”
“Apa?!” Jeong-Min langsung bangun begitu ia mendengar Sehun menyebut namanya tanpa embel-embel ‘~ssi’. Tatapannya langsung berubah tajam.
“Annyeong ....” Sehun pun buru-buru keluar dari kamarnya saat melihat tatapan tajam dari Jeong-Min.
“Jeong-Minie? Tsk, bisa-bisanya dia memanggilku seperti itu.”
~bad~
“Jeong-Min~ssi! Hei, bangunlah.” Sehun menepuk-nepuk pipi Jeong-Min pelan saat pagi sudah menyapa. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 07.05, yang mana itu berarti sudah waktunya bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah.
“Eunghh ...,” Jeong-Min menggeliat. Gadis itu perlahan membuka kedua kelopak matanya. Tak biasanya ia bangun di jam segini. Mungkin karena kelelahan, jadinya ia terlambat bangun. “Aaaaaaaaa ...!!!”
Teriakan Jeong-Min yang tiba-tiba itu mampu membuat Sehun terlonjak kaget. Pemuda itu memegangi dadanya. Beruntung dia tidak memiliki riwayat penyakit jantung, jadi aman-aman saja.
“Yak! Dasar Oh Sehun mesum!” Jeong-Min berseru lantang sambil melempar bantal yang ada di dekatnya ke arah Sehun. Ya, siapa pun pasti akan seperti Jeong-Min jika melihat ada seorang lelaki yang hanya mengenakan handuk saja untuk menutupi bagian intimnya, dan berada sangat dekat denganmu. Pasti semua orang akan berpikiran yang tidak-tidak.
“Yak! Jeong-Min~ssi! Aku hanya berniat membangunkanmu saja!” elak Sehun sambil mencoba menghindari bantal yang dilempar oleh Jeong-Min ke arahnya.
“Membangunkanku?! Yak! Harusnya kau memakai pakaianmu dulu!” Wajah Jeong-Min terlihat memerah, antara malu dan marah bercampur menjadi satu.
“Kau tahu, aku tidak berpikiran sampai ke situ.”
“Bohong!”
“Aku serius, Jeong-Min~ssi.”
Akhirnya Jeong-Min berhenti melempari Sehun dengan bantal, karena stok bantal yang ada di dekatnya sudah habis. Napasnya naik turun. Kesal sekaligus lelah. Melihat Jeong-Min yang sudah bergeming, Sehun pun kemudian mendekati gadis itu.
“YAK!”
Namun, teriakan dari Jeong-Min menghentikan langkahnya. “Baiklah, baiklah. Aku akan memakai pakaian dahulu. Oh, ya, aku sudah menyiapkan pakaian untukmu. Pakaian biasa dan seragam sekolah. Apa kau ... ingin pergi ke sekolah?”
Jeong-Min menggeleng. “Buat apa? Ke sekolah pun ... tak ada gunanya.”
“Baiklah kalau begitu.” Sehun tersenyum. “Hari ini kita membolos.”
“Yak! Cepatlah pakai pakaianmu!”
“Iya, iya.”
~bad~
From : Lee Sae Jong
Apa kau tahu di mana anakku berada sekarang? Aku sangat mengkhawatirkannya. Namun, aku tidak bisa menemuinya saat ini.
Pemuda itu tersenyum saat membaca sebuah pesan yang masuk dari Lee Sae Jong tersebut. Jari-jemarinya kemudian bergerak lancar untuk membalas pesan tersebut.
To : Lee Sae Jong
Anda tidak usah khawatir. Anak Anda, Lee Jeong-Min, ada bersamaku sekarang.
.
.
.
TBC