.....
Buku novel itu Jeong-Min jatuhkan ke atas meja, tepat di hadapan wanita penjaga perpustakaan. “Seperti yang kau bilang. Hari ini aku mengembalikannya. Tepat waktu,” ujar Jeong-Min dengan wajah datarnya.
Wanita penjaga perpustakaan itu pun mengambil novelnya. “Kau sudah selesai membacanya?” tanyanya pada Jeong-Min.
“Belum,” jawab Jeong-Min singkat.
“Kenapa kau tidak menyelesaikannya? Kau bisa meminjamnya lagi kalau kau mau.”
Jeong-Min menggeleng. “Aku terlalu malas untuk melakukan hal itu,” katanya, lalu melangkah pergi dari sana.
Setelah dari perpustakaan, Jeong-Min pergi ke rooftop, tempat biasa ia menenangkan diri. Ini masih jam istirahat, dan rencananya nanti, ia ingin membolos lagi. Pelajaran selain Matematika membuatnya malas untuk ikut belajar di kelasnya.
Namun, Jeong-Min menghentikan langkahnya saat baru sampai di dekat ruang guru. Di sana, ia melihat seorang pria paruh baya baru saja keluar dari ruang guru. Pria paruh baya itu adalah Lee Sae Jong, ayah Jeong-Min. Kening Jeong-Min berkerut. “Apa yang appa lakukan di sini?” gumamnya. Satu hal yang ia tahu alasan ayahnya bisa datang ke sekolah, yaitu karena perbuatannya yang suka membolos.
“Lee Jeong-Min!” Tuan Lee memanggil putrinya tersebut saat melihat gadis itu hanya berdiri mematung tak jauh darinya.
Merasa dipanggil, Jeong-Min pun datang menghampiri ayahnya. “Apa yang Appa lakukan di sini?” tanya Jeong-Min.
“Bisa Appa berbicara denganmu sebentar?” pinta Tuan Lee.
Seluruh pasang mata yang kebetulan lewat di sana pun pada melihat ke arah ayah dan anak tersebut. Ini adalah hal yang langka. Tidak biasanya Tuan Lee berbicara dengan Jeong-Min saat berada di sekolah. Biasanya, beliau akan langsung pulang tanpa mencari atau berbicara dengan putrinya tersebut.
Jeong-Min mengangguk.
“Ikut Appa sekarang,” perintah Tuan Lee, lalu melangkah pergi menuju tempat mobilnya terparkir, diikuti oleh Jeong-Min di belakangnya.
Begitu sampai di tempat parkir, bukan tatapan sayang atau pun tatapan lembut seorang ayah kepada anaknya yang di dapat oleh Jeong-Min, melainkan tatapan marah serta dingin. “Kenapa Appa mengajakku kemari?” tanyanya. Gadis itu balas menatap ayahnya dingin.
“Sampai kapan kau akan seperti itu terus? Kapan kau akan berubah, Jeong-Min~a?” tanya Tuan Lee.
“Maksud Appa?” Jeong-Min tak mengerti akan pertanyaan ayahnya tersebut.
Tuan Lee menghela napas berat. “Appa sudah tua. Seharusnya kau menjadi anak yang lebih baik. Membuat Appa bangga misalnya.”
Jeong-Min yang mendengarnya mendengus. “Membuat Appa bangga? Hh, apa selama ini Appa sudah membuatku bangga?” balasnya berani.
“Lee Jeong-Min!” Tuan Lee meninggikan volume suaranya. “Appa tahu apa saja yang kau lakukan selama ini. Setiap hari kau membolos. Dan, Appa juga tahu kalau kau semalam pergi ke bar.”
Jeong-Min terkesiap. Ia tidak menyangka bahwa ayahnya akan tahu ke mana ia pergi semalam. Namun, detik berikutnya, ekspresi wajahnya kembali seperti semula, datar dan dingin. “Dari mana Appa tahu? Apa Appa menyuruh orang lagi untuk mengawasiku?!” terkanya.
“Ya. Appa melakukan itu,” jawab Tuan Lee.
Jeong-Min mendesah. Ia tak menyangka bahwa ayahnya akan melakukan hal itu lagi. Sebegitu sayangnya ‘kah ayahnya, sampai-sampai menyuruh orang lain untuk mengawasinya? Pasti Jeong-Min akan menjawab tidak, karena jika memang ayahnya benar-benar menyayanginya, tentunya beliau sendirilah yang akan turun tangan untuk mengawasi putrinya tersebut.
“Percuma Appa melakukan itu padaku,” ucap Jeong-Min. “Karena aku, tak mungkin akan berubah.”
Plak!
Tamparan keras pun mendarat tepat di permukaan pipi Jeong-Min. Tuan Lee-lah yang melakukannya. “Kenapa kau jadi tidak sopan pada Appa-mu ini, hah?!” Tuan Lee mulai menunjukkan amarahnya.
“Kenapa? Apa Appa marah?” Jeong-Min tertawa miris. Ia sama sekali tidak memiliki rasa takut terhadap ayahnya. Rasa sakit akibat tamparan itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan rasa sakit waktu kehilangan sosok ibu di dalam hidupnya.
“Ne! Appa marah!” teriak Tuan Lee, tak memedulikan beberapa pasang mata yang melihat ke arah mereka. “Kau berubah, Jeong-Min~a.” Nada bicaranya mulai lirih.
“Berubah?” Jeong-Min lalu mendengus. “Bukankah selama ini Appa yang berubah?!” balasnya.
“Mwo?”
“Semenjak eomma meninggal, apa Appa pernah memperhatikanku? Apa Appa pernah bertanya tentang keadaanku? Bagaimana sekolahku? Apa aku makan dengan teratur? Apa aku baik-baik saja? Tidak, ‘kan!” Jeong-Min mulai terisak. “Appa tak pernah mengerti. Aku benci Appa!” Ia kemudian berbalik dan berlari pergi dari sana.
“Jeong-Min~a!” seru Tuan Lee, sama sekali tak ada niatan untuk mengejar langkah Jeong-Min yang mulai menjauh.
Tak jauh dari sana, ada dua pasang mata yang berada di tempat berbeda diam-diam menguping pembicaraan ayah dan anak tadi. Yang satunya tampak menyeringai penuh kemenangan, sedangkan yang satunya lagi tampak iba saat melihat Jeong-Min yang menangis.
~bad~
Jeong-Min menangis tersedu-sedu sambil duduk di balik tembok yang ada di rooftop sekolah. Ini adalah tempat yang menurutnya paling pas untuk menyendiri. Tidak akan ada yang datang ke tempat ini, kecuali dirinya dan seseorang yang ingin mengakhiri hidupnya saja.
Jeong-Min tak mengerti kenapa ia bisa menangis sampai seperti ini hanya karena berdebat dengan ayahnya. Tidak biasanya ia akan seperti ini. Sudah lama rasanya ia tidak berbicara panjang lebar dengan ayahnya setelah ibunya meninggal. Dadanya terasa sesak jika mengingat perubahan ayahnya sekarang. Tak pernah lagi memberikan kasih sayang untuknya, yang ada hanyalah teguran.
Jeong-Min lelah. Selama ini, ia selalu memendam unek-unek tentang ayahnya seorang diri. Dan sekarang, sedikit demi sedikit sudah mulai ia keluarkan.
Sepasang kaki milik pemuda berperawakan tinggi tampak berjalan mendekati Jeong-Min. Di tangannya terdapat sebuah sapu tangan berwarna putih hitam. Ia kemudian berjongkok di sebelah Jeong-Min. Lalu, ia mengulurkan sapu tangan tersebut ke hadapan Jeong-Min, menyuruh gadis itu agar menghapus air matanya.
Jeong-Min menoleh, dan ia langsung memalingkan wajahnya serta buru-buru menghapus lelehan air mata di permukaan pipinya. Sedikit malu, karena pertahanannya selama ini untuk pura-pura kuat harus runtuh hanya karena adu mulut dengan ayahnya. “Kenapa kau ke sini?” tanyanya, mencoba menetralkan nada bicaranya agar tak bergetar.
“Bertemu denganmu. Sepertinya kau sedang membutuhkan bahu seseorang untuk bersandar,” jawab pemuda itu, Sehun.
“Tidak,” elak Jeong-Min. Namun, air mata kembali mengalir di permukaan pipinya. Itu tidak bisa menutupi kebohongannya.
Sehun yang melihatnya langsung menghapus air mata tersebut dengan sapu tangan miliknya. Sungguh, dia paling tidak tega jika melihat ada seorang gadis yang menangis di hadapannya. “Uljimayo ...,” katanya pelan. “Menangis tidak akan menyelesaikan masalahmu.”
Bukannya berhenti menangis, Jeong-Min malah semakin terisak. Dan, itu membuat Sehun langsung memeluk gadis itu. Membiarkannya menangis di permukaan dada bidangnya. “Baiklah. Kalau begitu, menangislah ... jika itu bisa membuatmu tenang.”
Beberapa menit kemudian
Jeong-Min akhirnya melepaskan pelukannya saat ia sudah mulai merasa tenang. Dihapusnya jejak-jejak air mata yang masih tersisa di pipinya dengan sapu tangan milik Sehun tadi. Gadis itu kemudian menghela napas panjang. Lalu, ia menatap Sehun sambil menyunggingkan senyum tipis.
“Apa kau sudah merasa lebih baik?” tanya Sehun.
“Ya. Terima kasih,” jawab Jeong-Min.
Sehun tersenyum. “Sama-sama,” balasnya.
~bad~
Jam baru menunjukkan pukul 15.12 waktu setempat. Namun, Jeong-Min sudah pulang dari sekolahnya. Mood yang kurang begitu baik pasca berdebat dengan ayahnya tadi tidak memungkinkannya untuk mengikuti pelajaran sampai habis. Ya, meskipun dalam mood baik pun, gadis itu akan tetap membolos juga.
Jeong-Min berjalan memasuki rumahnya dengan wajah datar. Terlalu malas rasanya untuk sekadar mengucapkan kata ‘permisi’ atau pun yang lainnya. Tidak akan ada yang menyahut juga.
“Nanti untuk makan malam, kau mau memasak apa?”
“Um, bagaimana kalau kita makan di restoran saja?”
“Boleh. Itu ide yang bagus.”
“Kau tidak masalah, ‘kan?”
“Tentu saja tidak. Sekalian, kita jalan-jalan.”
Jeong-Min mendesah saat melihat ayah dan ibu tirinya sedang duduk berdua di sofa ruang keluarga. Mereka bahkan sama sekali tak melihat kedatangannya. Terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Gadis itu tersenyum miris dan kemudian berlalu pergi menuju kamarnya.
Jeong-Min menaruh tasnya asal. Ia lalu menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Entah kenapa ia teringat saat di rooftop tadi. Mengingatnya ia merasa malu sendiri. Kalau biasanya ia akan menangis di hadapan Jong-In, namun tadi sangatlah berbeda. Ia menangis di depan Sehun, murid baru di kelasnya yang akhir-akhir ini mulai dekat dengannya. Bahkan, Sehun-lah tadi yang rela absennya tertulis bolos demi mengantarnya pulang.
“Oh Sehun? Yak, kenapa aku jadi memikirkannya? Ishh,” desisnya.
~bad~
Hari sudah semakin malam, namun Jeong-Min belum ada niatan untuk beranjak dari atas tempat tidur. Ia masih betah dengan posisi berbaringnya di sana.
Ceklek
Gadis itu menoleh saat mendengar ada yang membuka pintu kamarnya. Dan, ia langsung mendengus saat dilihatnya Soo-Kyo berjalan menghampirinya dengan wajah angkuh. Sudah menjadi kebiasaan Soo-Kyo apabila masuk ke kamar Jeong-Min, gadis itu langsung masuk saja, tanpa permisi atau pun mengetuk pintu terlebih dahulu.
Jeong-Min pun langsung bangkit dari kegiatan tidurannya. “Kenapa kau kemari?” tanyanya pada Soo-Kyo dingin.
“Appa menyuruhku untuk memanggilmu. Beliau mengajak kita pergi makan malam di restoran,” jawab Soo-Kyo tak kalah dinginnya.
Jeong-Min yang mendengarnya mendesah. Apa dia sedang bermimpi? Bukannya ayahnya tadi marah padanya? Kenapa sekarang jadi bersikap baik?
“Aku tidak tertarik.” Tapi sayang, Jeong-Min terlalu malas jika hanya untuk pergi makan malam dengan keluarganya. Apalagi bersama Soo-Kyo dan ibu tirinya itu. “Aku sedang tidak nafsu untuk makan di luar,” lanjutnya. Apalagi kalau itu denganmu.
“Ya sudah.” Soo-Kyo lalu berbalik, dan beranjak pergi dari hadapan Jeong-Min. Namun, baru beberapa langkah gadis itu berbalik, menghadap ke arah Jeong-Min yang masih berada di posisinya tadi. “Oh, ya, aku ingin meminta satu hal padamu,” ucapnya.
“Mwoya?” sahut Jeong-Min.
“Kau ... jauhi Oh Sehun.”
“Mwo?!” Jeong-Min terkesiap. Entah apa maksud dari ucapan Soo-Kyo tersebut, ia tidak mengerti. Menjauhi Sehun? Bukankah selama ini Sehun yang selalu mendekatinya?
“Aku menyukainya,” lanjut Soo-Kyo. Dan, itu membuat Jeong-Min langsung membulatkan matanya tak percaya.
“K-kau menyukai Oh Sehun?” Jeong-Min lalu mendesah. Kemudian, gadis itu menyeringai. Jadi, selama ini Soo-Kyo memperhatikannya. Saudara tirinya tersebut mungkin saja cemburu karena melihatnya yang dekat dengan Sehun.
“Ya! Aku menyukainya. Jadi, menjauhlah darinya.”
“Bukankah kau masih menyukai Wu Yifan? Kenapa kau cepat sekali mengubah perasaanmu?”
“Kenapa? Apa aku salah jika menyukai Oh Sehun?”
“Aniya. Tentu saja tidak. Tapi ... sepertinya aku tidak bisa menjauh darinya. Dia yang terus saja mendekatiku. Dan, aku tidak bisa menghindarinya. Dia seperti memiliki daya tarik magnet yang kuat, sehingga aku tidak bisa untuk tidak ikut tertarik ke dekapannya.” Jeong-Min sengaja memanas-manasi Soo-Kyo. Sepertinya kali ini akan jauh lebih menarik dibandingkan dengan foto dia dan Yifan beberapa hari yang lalu.
“Jeong-Min~ssi!” Soo-Kyo mulai meninggikan suaranya. Wajahnya mulai memerah karena menahan amarah yang sebentar lagi siap untuk meledak.
“Kenapa? Apa kau marah?” Jeong-Min berjalan mendekati Soo-Kyo. Tangannya terlipat di depan dada. Sekali-kali bersikap angkuh di hadapan saudara tirinya tak masalah, ‘kan?
“Ya! Aku marah!”
“Sebelum kau marah, ah kau sudah marah, ya, ternyata. Aku hanya ingin bilang, kalau Sehun bahkan sudah pernah memelukku. Kau tahu, pelukannya sangat nyaman. Um ... mungkin saja tak lama lagi dia akan menciumku, atau bahkan ... menginginkanku untuk menjadi kekasihnya. Who knows?”
“Lee Jeong-Min!” Soo-Kyo maju perlahan. Dan, itu membuat Jeong-Min mau tak mau harus berjalan mundur. “Aku, sangat-sangat membencimu.” Gadis itu lalu mengulurkan kedua tangannya untuk mencekik leher Jeong-Min.
“Aku membencimu, Lee Jeong-Min! Kenapa kau selalu membuat hidupku tak tenang?!”
Jeong-Min dengan sekuat tenaga mencoba melepaskan tangan Soo-Kyo dari lehernya. Ia tidak mau mati konyol di tangan Soo-Kyo. Ya, meskipun selama ini ia sangat ingin cepat-cepat mati.
“Kau tahu, selama ini aku selalu menahannya. Kenapa selalu kau, hah? Kenapa bukan aku?!”
Jeong-Min merasakan napasnya yang mulai tercekat. Ia tahu kalau Soo-Kyo memang lebih kuat darinya. Namun, kali ini ia tidak boleh lengah sedikit pun. Ke mana ayah dan ibu tirinya? Kenapa mereka tidak datang kemari untuk melerai kedua anaknya itu? Mungkin mereka tidak mendengarnya.
“Harusnya kau yang iri padaku! Bukan malah aku yang iri padamu! Bukankah kau lebih buruk dariku, hah?!”
“Ya! Aku memang lebih buruk darimu!” Akhirnya, Jeong-Min berhasil melepaskan tangan Soo-Kyo dari lehernya.
Bugh!
Dan, tak lupa pula membalas perbuatan yang dilakukan oleh gadis di hadapannya tersebut dengan sebuah tinjuan yang mendarat tepat di pipi sebelah kiri Soo-Kyo.
“Akh!” Soo-Kyo merintih. Tinjuan Jeong-Min ternyata cukup kuat untuk sekadar membuat ujung bibirnya berdarah.
Jeong-Min menyeringai. Ada perasaan bangga tersendiri saat ia berhasil lepas dari cekikan tangan Soo-Kyo dan juga berhasil meninju pipi saudara tirinya tersebut. “Bagaimana, hah? Apa itu sakit?”
“Neo ....” Mata Soo-Kyo mulai berkaca-kaca. Sedari tadi dia terus memegangi permukaan pipinya yang masih terasa nyut-nyutan. Dan, mungkin saja besok akan kelihatan bengkak.
“Kenapa? Kau mau lagi?” Jeong-Min memegangi tangannya yang tadi dia gunakan untuk meninju Soo-Kyo. Lalu, gadis itu mendengus. “Padahal, kekuatanku tadi belum sepenuhnya kukeluarkan. Apa kau mau lagi? Mumpung aku masih dalam mood yang buruk. Mood buruk sangat serasi dengan tingkah laku yang buruk, ‘kan?”
Jeong-Min kemudian berjalan mendekati Soo-Kyo. Malam ini, entah kenapa ia sangat ingin melampiaskan segala amarahnya pada Soo-Kyo. Tanpa memikirkan terlebih dahulu apa yang akan terjadi setelahnya.
Soo-Kyo tetap pada posisinya dengan air mata yang sudah mengalir di permukaan pipinya. Berat rasanya untuk sekadar beranjak pergi dari ruangan tersebut. Karena sepertinya sudah terlambat. Jeong-Min sudah bersiap untuk meninju wajah Soo-Kyo. Gadis bersurai kecokelatan itu mulai mengangkat tangannya. Namun ....
“Lee Jeong-Min!” Tuan Lee datang bersama dengan istrinya ke kamar itu. Jeong-Min dengan berat hati menurunkan tangannya. “Apa yang kau lakukan, hah?!”
Jeong-Min bergeming, sedangkan Soo-Kyo masih tetap memegangi pipinya sambil terisak. Jeong-Min menghela napas berat. Tak lama lagi, ia pasti akan dimarahi lagi oleh ayahnya.
“Soo-Kyo~ya, kau tak apa-apa?” tanya Choi Shin-Young dengan ekspresi wajah khawatirnya melihat Soo-Kyo yang masih terisak. “Astaga! Pipimu!”
“Eomma ... Jeong-Min hiks meninju wajahku,” ucap Soo-Kyo.
“Apa?!” Shin-Young terkesiap. Wanita paruh baya itu kemudian beralih menatap Jeong-Min marah.
Jeong-Min yang merasa ditatap seperti itu langsung memalingkan wajahnya, menatap ke arah lain, tepatnya ke arah jendela.
“Shin-Young~a, bisa kau bawa Soo-Kyo keluar dari sini? Aku ingin berbicara empat mata dengan Jeong-Min,” perintah Tuan Lee pada istrinya. Shin-Young menurut. Ia membawa Soo-Kyo pergi dari ruangan itu.
Kini, tinggallah Jeong-Min hanya berdua saja dengan ayahnya. Mata teduh pria paruh baya itu kini berubah tajam. Hanya Jeong-Min-lah yang mampu membuatnya seperti itu.
Plak!
Dan, tak membutuhkan kata-kata yang panjang untuk diucapkan, Tuan Lee langsung saja menampar permukaan pipi Jeong-Min. “Tak bisakah kau membuat Appa tersenyum sekali saja, hah?! Kenapa kau selalu berbuat ulah?”
Jeong-Min memegangi pipinya sembari tersenyum miris. Dalam satu hari ini, sudah dua kali ia kena tampar dari ayahnya. Padahal, tidak semuanya adalah kesalahannya.
“Kenapa kau hanya diam saja, Jeong-Min~a?”
“Kenapa? Apa dengan aku berbicara Appa akan berada di pihakku? Tidak, ‘kan! Apa selalu saja menyalahkanku, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa ini sosok appa-ku yang dulu?!”
“Lee Jeong-Min!” bentak Tuan Lee.
Namun, hal itu tidak membuat Jeong-Min diam saja. “Benar, ‘kan?” Gadis itu mulai terisak.
“Jeong-Min~a, Appa–”
“Kenapa? Itu benar, ‘kan? Selama ini, aku selalu merasa kesepian. Apa Appa tahu itu? Tidak, ‘kan! Selama ini Appa selalu sibuk dengan pekerjaan Appa, sampai-sampai melupakan kewajiban Appa sebagai seorang ayah. Bahkan, saat eomma meninggal, apa Appa ada di sisinya? Tidak, ‘kan! Appa lebih mementingkan pekerjaan daripada keluarga!”
Tuan Lee terdiam. Merasa bersalah. Semua yang diucapkan oleh Jeong-Min adalah benar adanya. Selama ini, ia hanya mementingkan pekerjaan.
“Aku bahkan bingung, kenapa Appa bisa memperbolehkan Soo-Kyo untuk tinggal di rumah ini. Padahal, jelas-jelas dia hanyalah anak dari mantan istri Appa. Apa jangan-jangan, Soo-Kyo adalah anak kandung Appa? Katakan, Appa?!”
Tuan Lee masih terdiam.
“Kenapa Appa hanya diam saja, hah?! Apa yang aku katakan itu benar? Jawab, Appa!” teriak Jeong-Min.
“Ya. Itu benar, Jeong-Min~a. Soo-Kyo adalah anak kandung Appa.” Akhirnya, Tuan Lee bersuara.
“Mwo?” Jeong-Min tertegun. “S-Soo-Kyo anak kandung Appa? J-jadi ... itu benar?” Ia lalu mendesah.
“Maafkan Appa, Jeong-Min~a. Appa salah.”
“J-jadi, Appa dulu berselingkuh dari eomma?” Jeong-Min tertawa miris. “Appa jahat. APPA JAHAT!”
Tuan Lee berlutut di hadapan Jeong-Min. “Maafkan Appa, Jeong-Min~a. Appa sungguh minta maaf. Appa menyesal,” sesalnya.
“Kenapa baru sekarang Appa meminta maaf?! Kenapa tidak dari dulu sebelum eomma meninggal?!”
“Appa–”
“Aku benci Appa,” potong Jeong-Min, lalu melangkah pergi dari sana. Terlalu sakit rasanya mengetahui fakta bahwa ternyata saudara tirinya itu adalah anak kandung ayahnya sendiri. Dan, yang lebih menyakitkan lagi adalah ketika tahu bahwa ayahnya pernah berselingkuh dari ibunya. Siapa pun pasti akan sakit hati jika mengalami hal itu.
~bad~
Jeong-Min menatap air Sungai Han yang tenang dalam diam. Air mata masih mengalir di permukaan pipinya. Gemerlap cahaya yang berasal dari gedung pencakar langit pun juga ikut menemani keterdiamannya di sini. Ia sendiri.
Terkadang, alasan yang masuk akal pun tak luput dari suatu kebohongan.
“Apa eomma dulu tahu tentang perbuatan appa? Kalau iya, eomma adalah wanita paling kuat di dunia ini,” ucap Jeong-Min lirih. “Eomma ... appa jahat. Aku benci appa.”
Jeong-Min kemudian menghela napas berat. Sekarang, tak ada gunanya lagi marah-marah sama ayahnya. Semuanya sudah telanjur terjadi, walaupun telah berlalu sejak puluhan tahun yang lalu. Namun, rasa sakit itu mungkin tak akan bisa sembuh, bagaimana pun Jeong-Min mengobatinya.
Jeong-Min memegangi dada kirinya. Ada rasa sakit di sana, walaupun tidak sesakit biasanya.
Pluk
Sebotol minuman kaleng tiba-tiba saja mendarat di pangkuan Jeong-Min. Sontak saja gadis itu terperanjat dan langsung mendongak, siapa kira-kira pelaku utamanya.
“Kau menangis lagi?” ujar sang pelaku, lalu mendudukkan diri di samping Jeong-Min.
Jeong-Min mendengus saat melihat sang pelaku tersebut yang ternyata adalah seorang pemuda yang dikenalnya. Ia lantas langsung menghapus sisa-sisa air mata di pipinya. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya kemudian.
“Memangnya kenapa? Tidak boleh, kalau aku berada di sini?”
Jeong-Min menggeleng. “Aniya, bukan seperti itu. Hanya saja ...,” gadis itu menggantung kalimatnya.
“Ini tempat umum, Jeong-Min~ssi. Siapa pun berhak datang ke sini. Selama kita tidak menimbulkan masalah,” ujar pemuda itu. Lalu, ia menatap Jeong-Min sambil tersenyum. “Bukankah seperti itu, Jeong-Min~ssi?”
“Ya, kau benar. Siapa pun berhak datang ke tempat ini. Termasuk orang yang buruk sepertiku,” ucap Jeong-Min menyetujui.
Pemuda itu menghela napas panjang. Lalu, ia berkata, “Kau terus saja mengatakan bahwa kau itu orang yang buruk. Seakan-akan, kata buruk itu sudah menjadi bagian dari hidupmu. Tidak adakah kata lain selain buruk yang bisa menggambarkan dirimu?”
“Entah.”
“Bagaimana kalau cantik saja? Bukankah itu terdengar jauh lebih baik?”
Jeong-Min yang mendengarnya berdecak. “Oh Sehun! Kau tahu, itu terlalu mainstream. Dan juga ... semua wanita ingin disebut cantik.”
“Kau juga, ‘kan?”
“Tidak. Apa untungnya dipanggil cantik kalau tingkah laku saja masih buruk.”
Pemuda yang ternyata adalah Sehun itu berdeham. “Ya, kau benar.”
“Kau tahu, apa yang paling menyakitkan di dunia ini?” Jeong-Min bertanya kepada Sehun.
“Kehilangan orang tersayang,” jawab Sehun. Jeong-Min yang mendengarnya tertawa miris. “Kenapa? Aku benar, ‘kan?” tanya Sehun kemudian.
“Ya. Pendapat setiap orang berbeda-beda. Itu pendapatmu,” jawab Jeong-Min.
“Kalau pendapatmu bagaimana?”
“Yang paling menyakitkan di dunia ini ... adalah pengkhianatan.”
“Apa?!” Sehun tak mengerti dengan maksud jawaban Jeong-Min itu. Pengkhianatan? Siapa yang berkhianat?
“Itu adalah hal yang paling menyakitkan.”
“Kalau boleh tahu, siapa yang berkhianat?” tanya Sehun ingin tahu.
“Apa itu penting bagimu?” tanya Jeong-Min balik.
Sehun menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Ya ... tidak. Tetapi, setidaknya rasa penasaranku bisa berkurang.”
“Kau tidak perlu tahu. Tidak penting. Dan, itu sudah berlalu.” Ya, tidak penting. Namun, rasa sakitnya sulit untuk sembuh.
“Baiklah, kalau itu maumu. Aku tidak akan memaksa.” Sehun lalu merogoh ponsel di saku celananya, sekadar untuk melihat jam yang tertera di sana. “Sudah malam. Kau tak ingin pulang? Mau kuantar?” tawar Sehun.
Jeong-Min menggeleng. “Untuk apa aku pulang? Tidak ada gunanya.”
“Berarti, kau tidak ingin pulang? Kau mau tidur di sini?”
“Tidak.” Jeong-Min lalu bangkit dari duduknya. “Bisa kau antar aku ke rumah Jong-In?”
“Ya?”
“Aku akan menginap di sana. Kalau kau tidak mau, tolong pinjamkan aku uangmu untuk naik bus atau taksi.”
Sehun ikut berdiri. “Jadi, kau akan menginap di rumah Jong-In?”
“Ya.”
“Tidak boleh!”
“Kenapa?”
“Kau tahu sendiri, ‘kan, Jong-In itu seperti apa. Aku khawatir kalau dia akan berbuat macam-macam padamu.”
Jeong-Min mendesah. “Aku sudah mengenal Jong-In cukup lama. Dan, kau tahu Sehun~ssi, Jong-In tidak tinggal sendiri, tetapi dia tinggal bersama dengan appa dan eomma-nya.”
“Benarkah? Maaf, aku baru tahu.”
“Makanya, sebelum berbicara, berpikirlah terlebih dahulu.”
“Iya, iya. Maaf,” sesal Sehun.
Jeong-Min kemudian melangkah pergi dari sana, diikuti oleh Sehun di belakangnya.
~bad~
Jeong-Min dan Sehun kini berada di depan pintu gerbang rumah Jong-In. Di dalam sana tampak sepi. Jeong-Min kemudian menekan bel yang ada di sisi kolom gerbang tersebut. Namun, tak kunjung ada yang membukakannya. Gadis itu pun mencoba menekannya sekali lagi, tetapi hasilnya tetap nihil.
“Sepertinya di dalam sana tidak ada orang,” ujar Sehun yang sedari tadi hanya memperhatikan Jeong-Min yang sedang menekan bel.
Jeong-Min menghela napas pendek. Bingung. Kalau Jong-In tidak ada, lantas dia akan menginap di mana? Sauna? Oh, dia tidak suka tempat seperti itu. Hotel? Ingat, dia tidak membawa uang sepeser pun. Gadis itu kemudian menatap ke arah Sehun. “Sehun~ssi,” panggilnya.
“Ya?”
“Bisa kau hubungi Jong-In? Aku ingin tahu, di mana dia sekarang.”
“Ne.” Sehun menurut. Ia lalu merogoh ponselnya yang ada di saku celana, dan menghubungi nomor ponsel Jong-In.
“Yeoboseyo!” sahut Jong-In dari seberang telepon.
“Yak, Jong-In~a! Kau di mana sekarang?” tanya Sehun.
“Ah, aku di Busan sekarang. Mengunjungi kakek dan nenekku. Waeyo?”
“Ng ... anu.” Sehun lalu menatap Jeong-Min, kemudian ia memberikan ponselnya kepada gadis itu. Namun, Jeong-Min menolaknya sambil menggelengkan kepala. “Aniya. Tidak kenapa-kenapa. Aku hanya ingin bertanya saja,” ucap Sehun kemudian.
“Oh.”
“Ya sudah kalau begitu. Titip salam buat harabeoji dan halmeoni-mu di sana.”
“Ne. Annyeong!”
Sehun lalu mengakhiri panggilannya. Pemuda itu kemudian menatap Jeong-Min yang kelihatan sedang gelisah. “Kau ... tidak apa-apa, Jeong-Min~ssi?” tanyanya.
“Ah, aniya,” jawab Jeong-Min sedikit terkejut.
“Ng ... lalu, kau mau tidur di mana?” tanya Sehun.
“Entahlah ... aku tidak tahu. Yang jelas, aku sedang tidak ingin pulang ke rumah,” jawab Jeong-Min sendu. Tapi, bukan Jeong-Min namanya jika tidak memiliki ide di saat seperti ini. “Sehun~ssi, boleh aku pinjam uangmu? Aku akan menginap di hotel saja.”
Sehun mengernyit. Hotel? Kenapa harus hotel? Bukannya Sehun tak membawa uang dan tak ingin meminjamkan uangnya, ia hanya heran saja, kenapa Jeong-Min harus menginap di hotel saat masih ada dirinya?
“Kau tidak keberatan, ‘kan?” tanya Jeong-Min.
Sehun tidak langsung menjawab. Pemuda itu malah menarik tangan Jeong-Min dan mengajaknya memasuki mobil.
“Kita mau ke mana?” tanya Jeong-Min begitu mobil mulai melaju meninggalkan jalanan menuju rumah Jong-In. “Apa ke hotel?”
Sehun tersenyum. Lalu, ia berkata, “Ya, tentu saja.”
Jeong-Min tersenyum lega. Akhirnya, dia tidak bingung lagi akan menginap di mana.
~bad~
Jeong-Min mengernyitkan dahinya heran saat ia dan Sehun sudah turun dari mobil. Ia bingung. Di hadapannya tampak berdiri sebuah rumah– ah, lebih tepatnya sebuah mansion mewah berlantai tiga. Gadis itu kemudian menatap ke arah Sehun, menuntut sebuah jawaban. Apakah benar yang ada di hadapannya itu adalah hotel?
“Waeyo?” tanya Sehun.
“Ini ... di mana?” tanya Jeong-Min balik.
“Ah ... ini. Oke, selamat datang di rumah keluarga Oh.”
“Mwo?!”
.
.
.
TBC