Diriku masih tetap seperti ini tidak berubah, berubah sama sekali. Masih Rara yang suka ngambek. Kebiasaan buruk yang tak pernah bisa berubah. Jam satu ada janji dengan Lusi di tempat biasa. Kami suka sekali pergi, ya ... walau sekedar duduk-duduk ngerumpi alias ngegosip bertopikan cowok. Siapa sih yang gak tertarik sama makhluk yang satu itu apalagi kalau cowok itu keren, atletis, wuiiihhh ... langsung! Kita TePe-TePe deh (baca*Tebar Pesona).
Memilah-milah sedikit baju yang tersusun rapi di lemari sudut kamarku. Jins biru cerah dengan kaos kuning berlengan panjang. Aku tak suka memakai make-up walaupun usiaku kini sudah dua puluh tahun dan Lusi sahabatku adalah pemakai setia riasan wajah itu. Umur yang cukup dewasa bagiku yang belum pernah pacaran. Wow! Kenapa? Segalanya berawal dari apa yang kuinginkan, kukerjakan, kusebalkan, dan tak suka perlakuan mereka (terutama yang namanya laki-laki) cenderung memilih yang lebih cantik, tubuh bagus, yang berlekuk depan belakang, kulit mulus dan suara menggoda. Alaaaahhh ... aku jadi benci pada diriku sendiri mengapa Tuhan begitu jahat kepadaku sehingga diriku diciptakan sedemikian buruknya. Hush! Akhirnya kusadari untuk apa mempersoalkan yang telah terjadi? Yang kini, yang harus dilakukan adalah menerima, mensyukuri dan berterimakasih atas pemberiannya. Memperbaiki kekurangan dan menambah kelebihan yang ada di dalam diriku. Aku jadi merasa lebih baik dengan berfikir seperti itu dan tak perlu mengumpat dalam hati lagi. Yes be positif tinking.
Merapikan rambut hitamku yang panjang dan kemilau. Rambutku cukup indah untuk di pandang karena dengan rambutku, tak sedikit teman-temanku yang berkomentar bahwa mereka iri melihat rambutku dan ingin memilikinya. Satu jepitan untuk merapikan poni aku sudah tampil mempesona. Kulihat Ibu di dapur sedang memasak makanan.
“Ibu ... Rara mau pergi dulu, Lusi sudah menunggu di Bogor”, satu kecupan hangat mendarat di punggung tangan Ibu. Membuat Ibuku percaya bahwa anak gadisnya sudah bisa menjaga dirinya sendiri dengan baik. Seuntas senyum manis penuh cinta dari seorang Ibu tersungging dari wajahnya.
Aku sibuk mencari-cari sepatu putih motif bunga-bunga kesayanganku, dan selamat telah menemukannya. Kupakai dan kembali kuperiksa isi tas yang penuh dengan buku-buku kuliah Sastra.
Hari ini rencanaku setelah pulang dari Taman Topi. Aku tak perlu pulang dulu untuk mengambil buku. Aku akan langsung pergi ke kampus memenuhi mata kuliah malam. Maklumlah aku adalah Mahasiswi kelas reguler tapi malam hari, seperti kelas Karyawan yang masuk kuliahnya selepas maghrib.
Ponsel ... ponselku tertinggal di kamar tidur, runtuk dalam hati.
“Hati-hati di jalan pastikan sebelum kuliahmu dimulai, perutmu telah diisi dengan makanan”, Ibu nongol di ruang tengah.
“Jangan khawatir, Rara ingat pesan Ibu. Rara akan makan di Cafe dekat Taman”, Aku melangkah meninggalkan Ibu dan rumah. Satu lambaian membuatku tenang di perjalanan. Merasa diperhatikan dan disayang.
Ibu kalau sedang baik ramahnya bukan main tapi jika sedang marah segalanya bisa berubah. Aku seperti tinggal sendiri di planet ini. Namanya juga Ibu, ya ... selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Wajarlah kalau aku sering dimarahi oleh Ibu.
Untuk sampai tujuan aku harus menaiki dua kali kendaraan angkutan umum. Seperti biasa aku merasa agak risih bila berhadapan dengan orang-orang yang lebih dulu naik angkot. Merasa seperti melihatku aneh lebih tepatnya mungkin terpesona, hi ... hi ... hi. PeDe banget! Mau negur tapi gak kenal, ya sudah diam saja. Tetiba senyum, nanti malah dibilang SKSD lagi (SKSD*Sok Kenal Sok Dekat).
Taman Topi, perlu berjalan lagi sepuluh menit untuk sampai dari terminal Merdeka Bogor. Itu yang harus kulakukan. Berjalan kaki sama sekali tidak indah walau banyak orangtua mengatakan berjalan kaki itu sehat, membakar kalori, namun pribadiku berpendapat berbeda. Berjalan kaki itu membuang-buang waktu. Sama sekali tidak indah dan itu hanya akan membuatmu merasa lelah dan membuat sepatumu kotor. Jika ada orang yang sengaja menginjak sepatu bersihmu.
Ayolah Rara ... berjalan kaki tidak akan membunuh dirimu melainkan membunuh kemalasan dan keangkuhanmu di atas mobil. Tapi rupanya suasana berandalan yang membuatku malas seribu bahasa dengan canda tawa dan godaannya yang menjengkelkan hati.
Satu belokan lagi setelah melewati stasiun kereta api akan sampai di Taman Topi. Diriku memperhatikan orang-orang yang berjalan berdua dengan pasangannya. Sedikit membuatku iri sekali. Ouh tidak! Melangkah di trotoar jembatan merah sungai Ciliwung. Begitu banyak manusia berlalu lalang namun tak satu pun yang menghiraukan kehadiranku di sini padahal tampang sudah cantik siang ini. Gak penting!.
Pukul 13.12 sepertinya aku terlambat lama sekali. Pasti Lusi sudah jengkel menungguku di Taman, pikirku. Hanya sedikit lingak-linguk untuk mencari Lusi di antara orang-orang yang juga sedang duduk-duduk di taman.
Kursi taman sebelah utara dengan pemandangan bunga Lonceng yang bergelantungan indah sekali mirip bunga kertas buatan tangan. Di situlah Lusi berada, menatapku, memandangku, seperti kucing kesal, kemudian tersenyum kecut. Hatiku lega karena Lusi tidak meninggalkanku karena datang terlambat lama sekali. Maklumlah jalanan macet, gak becek tapi gak ada ojek.
“Lusi maaf ya?”
“Cerita lama!”, Lusi mencibir. “Kebiasaan Rara itu sukanya telat ya ...”
Aku duduk di samping Lusi untuk menghilangkan rasa lelah, letih, lesu, lama berjalan, sambil kipas-kipas pake buku bacaan. “Panas!”, celotehku merapikan rambut yang panjang kemudian Lusi membuka topik pembicaraan.
“Hei, kamu udah ketemu Dedi?”, tanyanya.
“Sejak perpisahan di gedung Prom Night itu aku gak pernah ketemu lagi dengannya, yang lain pun aku gak tahu kabarnya”, aku membuka tasku mengambil beberapa permen coklat lalu kutawarkan kepada Lusi.
“Dedi itu sekarang hebat loh, dia udah mapan”.
“Ouh! Ya? ... kerja di mana dia?”, aku mendelik.
“Sekarang dia udah jadi Polisi”, terang Lusi.
“Waah ... hebat!”, aku mulai takjub.
Laki-laki yang telah memiliki pekerjaan tetap baru bisa dikatakan hebat. Apalagi kalau pekerjaan itu bergaji besar. Sudah tak perlu repot lagi mengurus rumah tangga. Siapa pun pasti ingin menjadikannya suami. Seperti diriku, andaikan dia mau, aku akan menyuruhnya agar segera melamarku. Jangan coba-coba mengkhayal begitu.
“Kapan kamu ketemu dengan dia Lus?”,
“Waktu aku mau fotocopy surat penting. Aku lihat Rizky di situ, eh ... ternyata dia lagi menemani Dedi foto”, Lusi membuka permen dan mulai memakannya.
“Kayak apa tampang Dedi?”, aku penasaran ingin mengetahui lebih banyak lagi.
“Gak ada yang berubah, dia keliatan lucuuuu ... banget pake pakaian begitu”, tawa Lusi cekikikan.
“Seragam Polisi maksudnya?”, tanyaku lagi.
Lusi mengangguk cepat.
Seculun apapun jika menurut kita cowok itu lumayan, tetap saja katakan keren. Wow! Siapa sangka Dedi sewaktu SMU dulu, ya ... bisa di bilang Play Boy cap Teri ternyata yang suka sama dia itu banyak juga loh. Walaupun aku tidak suka memperhatikannya tapi aku jelas tahu kalau temanku si Lusi ini begitu ingin memikatnya. Berhubung yang antri Dedi itu banyak, tentu saja Lusi harus tahu diri karena bukan Lusi seorang yang menunggunya. Waduuuuhh ... kecian ya?.
“Aku beberapa kali SMS dia dan dibalas”, Lusi memencet-mencet ponselnya. “Nih salah satunya”, Lusi memberikan ponselnya padaku. Aku pun membacanya.
Lus, gw skrg lg d
PLAZA SENAYAN
Lo mo th g kl gw ker
D’polda metro jaya
Masih jamannya hape buat eSeMeSan. Bahasa di singkat-singkat tujuannya biar hemat pulsa dan ngetiknya cepet.
“Ternyata dia baik juga ya? Mau balas SMS kamu”, aku mencatat nomor HaPe Dedi di kertas.
“Coba aja SMS dia kali aja dibalas”, Lusi mengambil kembali ponselnya dan menaruh kembali ke tas hitam miliknya.
Sore ini taman cukup ramai dengan anak-anak sekolahan karena sekarang telah jamnya pulang sekolah. Memperhatikan para pelajar yang berseragam, ada yang putih-biru kotak-kotak hitam, ada yang hijau-putih, ada yang putih-coklat, dan ada juga yang berseragam olahraga. Aku tahu persis, berasal dari mana mereka sekolah, karena aku sangat akrab dengan seragam-seragam itu. Maklum jaman SMU aku dulu teman-temannya gak cuma teman satu sekolah saja tapi juga teman dari sekolah-sekolah lain. Gahool yah!.
“Ra! Andaikan waktu dapat berputar lagi ke jaman SMU dulu ya? Aku mau manfaatin banget hari-hariku di SMU itu. Bergaul dengan banyak cowok dan aku bisa berdekatan lebih dekat dengan Dedi”, Lusi seperti terbengong-bengong di tengah keramaian.
“Gak usah ngayal, walaupun jaman bisa diputar, toh! Kamu gak bisa semudah itu buat mewujudkan mimpi-mimpimu itu kan?”.
“Ya ... habisnya ... kok aku dulu begitu menutup diri banget ya Ra ...”.
“Sama! Sama aja dengan aku. Aku dulu juga begitu seperti gak butuh laki-laki sama sekali, tapi emang iya kok! Ha ... ha ... ha”, aku mencoba membenarkan omongan Lusi.
“Iya, kamu kok jutek banget sih sama cowok. Jadi kamu tuh kayak ngejauhin mereka”, Lusi bertanya.
“Hemmm ... sebenarnya gak tahu juga. Aku sebel banget sih sama mereka. Kaum cowok yang kerjaannya suka ngeledek. Mengejek dan pokoknya nyebelin banget tahu gak sih!”, aku menyentuh keningku sendiri dan mulai lesu bila mengingat memori yang telah lewat. Udahlah gak usah di inget-inget, sakitnya tuh disini ... .
Sesungguhnya bisa dibilang aku memang KuPer alias Kurang Pergaulan. Dulu tentunya sama yang namanya laki-laki. Entah mengapa dahulu hati dan pikiranku begitu sensitif, sehingga apa yang mereka lakukan dan katakan rasa-rasanya kok yang tidak berkenan di hati langsung aku masukan dalam-dalam ke dalam hati, sampai jantung dan sulit aku buang jauh-jauh. Jadilah kepikiran terus. Timbulah sifat introvert dalam diri.
Di antara teman-teman atau sahabat. Aku hanya seperti tong sampah mereka. Mereka curhat masalahnya dan aku yang mendengarkan. Sedangkan aku? Aku tidak pernah curhat kepada siapa pun tentang masalah pribadi. Karena aku tidak suka membuka masalahku kepada orang lain. Biarlah orang lain cenderung lebih suka mencurahkan hatinya padaku. Sedangkan aku bukan orang yang suka mengumbar permasalahan pribadi ke orang lain. Hanya aku, Ibu dan Tuhan yang tahu.
Dalam kehidupanku, orang lain tak perlu tahu siapa aku. Apa yang ada di pikiran dan di benakku. Di Organisasi, di forum pengajian, aku orang yang tak banyak cakap. Banyak orang memandangku terlalu bahagia, penutup dan seperti tidak butuh. Butuh nasihat, butuh pendapat, dan pendamping. Terkadang aku tetap saja kesepian. Sifat introvert itu terbawa kemana-mana dan kini aku sedang memperbaiki diri agar sifat itu berkurang dalam diriku. Aku mulai membuka diri, berbicara dengan banyak orang, dan mempunyai sahabat pena dari seluruh Indonesia.
“Ra ... entar kamu kuliah?”, Lusi bangkit dari duduknya memesan Ice Cream putar di seberang.
Aku mengikutinya dari belakang. “Iya”, sambil celingak-celinguk. “Rasa coklat ya bang!”, kataku kepada pedagang Ice Cream, kemudian kembali ke tempat duduk kami.
Tak lama suasana taman menjadi senggang. Anak-anak sekolahan mulai berkurang satu demi satu, namun semua itu tak berpengaruh dengan kami. Aku mulai membaca beberapa buku yang telah ku bawa dari dalam tas. Lusi tampak asyik menikmati Ice Cream.
Satu lemparan bola basket nyasar mengenai Ice Cream yang kupegang secara tiba-tiba. “Yah ... yah ... dasar bola brengsek”, makiku menatap bola basket yang telah menjauh masuk ke dalam semak-semak. Mengotori kaos dan bukuku pun jatuh ke rumput. Aku melongo begitupun dengan Lusi.
Cepat-cepat Lusi berdiri merapikan tas agar tak terkena lebih banyak es yang berleleran. “Rara, aduuh ... kaos kamu jadi kotor”, Lusi mencoba membantuku membersihkan Ice Cream yang terlanjur melekat di kaos dan jins dengan sehelai tisu.
“Lusi ...”, erangku. “Aku gak mungkin masuk kuliah dengan baju kotor begini”, tanganku menyibak-nyibakan Ice Cream yang berleleran. “Ku hajar dia bila datang kemari”, wajahku mulai cemberut. Aku berdiri dan ...
“Aduh! Maaf, saya gak sengaja melempar bola sampai keluar lapangan”, sosok tubuh atletis berkaos tangtop putih, celana pendek hitam, bersepatu Piero hijau, jam tangan hitam G-Shock, dan kepala botak.
Aku dan Lucy langsung menoleh ke arah suara tadi. Lusi melongo seakan terpesona. Wow, kerennyaaaa ... badannya besar, tinggi dan ... ups!
“Kamu bisa main bola gak sih?! Kalau mau lempar bola jangan seenaknya dong! Kamu gak lihat apa? Gara-gara perbuatan kamu bajuku jadi kotor begini”, aku mencak-mencak menunjukan kaosku yang telah basah kena Ice cream agar si Cowok Pelempar Bola dapat melihat dengan matanya sejelas-jelasnya.
“Sekali lagi saya minta maaf, maaf ... sekali, ya?”, Cowok Pelempar Bola memohon-mohon. “Harusnya saya memang hati-hati, jadi tolong maafkan saya”, tangan si Cowo Pelempar Bola memohon-mohon.
“Harusnya-harusnya, memangnya taman ini milik nenek moyang kamu apa?”.
“Rara ... sabar-sabar, mungkin dia memang gak sengaja”, Lusi menepuk-nepuk pundakku, karena sebenarnya Lusi pun terpesona dengan si cowok kece ini. Gak tega banget buat marah-marahin.
Cowok Pelempar Bola berfikir dan bertanya. “Hemmm ... begini saja, apakah Nona membawa baju ganti?”.
Oh... Tuhan, aku dipanggil Nona? Ini adalah panggilan pertama aku dari laki-laki yang tidak ku kenal, sopan sekali dia. “Kalau aku bawa, tentu aku tak perlu marah-marah”, kata-kataku ngegas, menggeleng menatap Lusi.
“Kalau begitu sebentar”, Cowok Pelempar Bola pergi meninggalkan aku dan Lusi.
Dasar gak bertanggung jawab, runtukku dalam hati.
Tak lama kemudian aku melihat Cowok Pelempar Bola itu berlari-lari kecil kembali menghampiri. “Mungkin saya bisa membantumu untuk berganti pakaian yang kotor dengan baju saya”, Cowok Pelempar Bola mengangsurkan kemeja berlengan panjang kotak-kotak hijau daun.
Aku memandangnya aneh, aku pakai baju dia? Kenal juga enggak.
“Tenang, baju ini bersih, belum saya pakai. Saya membawanya untuk ganti setelah main bola basket”, Cowok Pelempar Bola mengangsurkan bajunya. “Tapi ternyata saya melakukan kesalahan yang tidak wajar dengan mengotori baju kamu. Ini lebih diperlukan olehmu. Pakai saja, kamu bisa mengembalikannya kapanpun tidak dikembalikanpun tidak apa-apa”.
Lusi terbengong-bengong apalagi aku? Oh Tuhan ... mimpi apa aku semalam, dapet pinjaman baju dari cowok kece ini.
“Udah pake aja, apa kamu mau pergi ke kampus dengan baju kotor begitu?”, Lusi menyenggolku dan tersenyum manis.
“Enggak”, aku geleng-geleng.
Dengan terpaksa sekali aku menerima jasa peminjaman baju dari Cowok Pelempar Bola yang menyebalkan. Kakiku mulai melangkah tanpa berkata apa-apa. Aku masuk ke salah satu toilet yang ada di sekitar taman. Bajunya besar sekali ... kupakai, wah! Iya besar sekali, seperti memakai piama milik Ayah.
Diriku bercermin mencoba menyiasati baju itu agar cocok ditubuhku. Sedikit kubuat kupnat di bagian belakang pinggang dengan satu peniti. Gulungan bagian tangan agar tak kepanjangan. Tali pinggang putih Jins kupasang di luar kemeja untuk memperlihatkan bentuk pinggang. Terakhir sebagai pemanis di ujung kancing, Bros merah hati berlogo huruf ‘R’. Rambutku disisir kembali dan diikat ekor kuda. Aku keluar dari toilet kembali ke Lusi dan si Cowok pelempar Bola.
“Bajunya?”, Lusi menunjuk-nunjuk.
“Sepertinya kemeja itu lebih cocok di tubuh kamu”, Cowok Pelempar Bola memandangku.
“Aku mirip wanita berusia 30-an ya?”, kataku kepada Lusi.
“Enggak kok, cantik!”, kata Lusi menghibur.
Cowok Pelempar Bola mulai beranjak dari tempatnya mengambil bola yang berada di semak-semak dan menenteng ranselnya. “Maaf ya saya harus pergi karena hari sudah mulai gelap”.
Aku dan Lusi berpandangan. “Terimakasih ya ... aku tertolong oleh pinjaman bajumu”, kataku.
“Ah, gak usah berkata begitu, harusnya saya yang berterimakasih karena kamu mau memaafkan saya”, kata Cowok Pelempar Bola merasa bersalah.
“Mungkin kita akan berpisah di sini karena jam kuliahku satu jam lagi di mulai”, aku memandangnya dan mulai dag-dig-dug.
“Yah, kalau begitu aku pergi dulu”, Cowok Pelempar Bola pergi.
Lusi menenteng tasnya dan mulai merapikan barang-barang yang ada di kursi taman dan memunguti bungkus makanan bekas kami yang berserakan di rumput lalu membuangnya ke tong sampah.
“Tapi Lusi, aku lapar bagaimana kalau kita makan dulu?”
Lusi meng-iya-kan.
Kami pun berjalan dan masuk ke sebuah Restoran fastfood KFC di depan Taman Topi.
**
Awan bergemuruh, suasana langit kembali kelabu. Hiasan kilat menebar memecah cakrawala senja. Serintik dua rintik banyak rintik jadi gerimis. Berlarian kesana kemari, menatap air yang jatuh dari langit. Orang-orang berlalu lalang mencari perteduhan menghindari hujan yang bisa membasahi tubuh mereka.
Aku masih berada di sini, berteduh di bawah atap milik pertokoan Jewelery. Hujannya deras sekali, walaupun menggunakan payung bajuku akan tetap basah karena anginnya begitu kencang. Aku akan menunggu sebentar lagi. Menunggu hingga benar-benar cukup reda. Tertahan di sini gara-gara hujan membuatku tidak nyaman. Sebentar lagi maghrib. Mau sampai jam berapa tiba di kampus. Aku akan benar-benar terlambat.
“Hei, kamu masih di sini?”.
Suara pria mengagetkanku, Aku menoleh dan tertegun sesaat. Si Cowok pelempar Bola?. “Oh! Hai ... kamu?”, aku tergagap. Tak pernah kusangka akan secepat ini bisa bertemu lagi.
“Sedang menunggu hujan reda ya?”, katanya. “Hujan gak akan reda karena inikan malam Valentine”.
Aku menatapnya sesaat. Wah, benar kata Lusi. Dia cakep, cakep di luar belum tentu cakep di dalam. Bajunya gak ganti? Masih pakai baju basket, pasti bau! Bau keringat, keringatnyakan tadi banyak sekali. Oh iya ... dia kan tidak ganti baju karena kemejanya aku yang pakai. Duh! Aku mengeplak jidatku sendiri.
“Apa?”, dia tiba-tiba menatapku. “Apa ada yang aneh? Memang saya belum mandi he ... he ... he”, tawanya ngeledek.
Cuek banget ya ... padahal dengan orang yang baru dikenal. Dia seperti makhluk tak memiliki penyesalan pernah berbuat dosa. Mungkin dipikiranya ENJOY AJA ...! Kayak iklan LA Light. Baru kenaLAn.
“Boleh aku tanya?”, aku mulai membuka pembicaraan.
Dia menoleh sebentar lalu memalingkannya kembali.
“Kamu tinggal di mana?”, kataku SKSD. Aku hanya ingin sekedar tahu dan say hello agar sikapku tak membosankan.
“Kolong langit!”
Hah! Jawaban yang sangat polos dan teramat singkat. Aku tak pernah menyangka kalau jawabannya adalah kolong langit. Cek-cek-cek sebenarnya dari planet mana dia berasal?.
“Aku tahu, itu. Aku pun tinggal di kolong langit”, kataku.
Dia tertawa kecil.
“Tapi yang aku tanyakan ialah daerah mana kamu tinggal?”, aku mencoba tersenyum menganggap jawaban yang tadi itu lucu sekali. Tapi yang terjadi ialah kalau jawabanya sama sekali tidak lucu justru membuatku muak. Garing.
“Ya ... ya ... saya tinggal di salah satu komplek di daerah Bogor ini tepatnya di perumahan Yasmin”, Dia mulai aksinya memainkan bola basket lalu men-drible-nya perlahan. Lihat ototnya ... berisi ... Wah dia sungguh laki-laki.
Hujan sedikit mereda mungkin aku harus sesegera mungkin meninggalkan tempat ini sebelum hujan kembali deras.
“Oh hai ... Cowok Pelempar Bola, aku harus pergi sekarang. Oh ya ... terimakasih bajunya, kapan-kapan aku akan kembalikan sampai jumpa!”, kata-kataku tertelan suara bising kendaraan yang berlalu lalang. Cepat-cepat aku melangkah ke terminal sebelum dia sempat berkata-kata lagi, dan juga sebelum sempat berbasah-basah lebih lama lagi. Dia tadi bilang apa? Perumahan Yasmin? Itukan daerah tempat aku tinggal? Berarti kita satu komplek? Ah ... sudahlah.
Oh Juwita
Apa kabar dengan harimu kini
Yang ku dengar saat ini
Kau tak lagi dengannya
Lagu yang menyenangkan. Aku mengambil tempat duduk pojok dekat kaca karena aku suka sekali melihat dunia luar dari dalam kaca mobil angkutan umum. Mungkin Lusi telah sampai di rumahnya sekarang. Sedangkan aku? Masih berada di atas angkutan umum 06 Parung-Bogor.
Lusi menaiki kereta Jabodetabek pukul 17.15 sekarang pukul 18.30 tiga puluh menit lagi mata kuliah pertama akan segera dimulai. Tidak mungkin dalam tiga puluh menit aku bisa sampai ke kampus. Mungkin aku akan melewatkan mata kuliah jam pertama.
**
Halaman gedung kampus tampak senggang pasti para mahasiswa dan mahasisiwi sudah berada di dalam kelas mengikuti mata kuliah pertama. Aku tak mau masuk kelas dalam keadaan terlambat. Itu hanya akan membuat masalah dicuekin Dosen. Mending dicuekin kali yah, daripada disindir-sindir.
Mataku menerawang menyapu dinding-dinding kampus mencari info. Membaca Majalah Dinding. Ruangan BEM tampak sepi hanya ada beberapa orang yang perhatian membaca buku yang entah apa judulnya. Aku masuk ruangan dan menyapanya sebentar. Orang itu tersenyum tak lama kemudian pandangan matanya dialikan kembali ke buku yang dibacanya.
Perpustakaan sepi, kulihat Widi ada di barisan rak-rak penuh buku. Mencatat buku pinjaman para mahasiswa ke buku besar. Tak banyak yang kulakukan, dia tampak asyik dengan pekerjaannya. Aku tak mau berbicara terus takut mengganggunya lebih lama. Merasa bosan, lalu aku pergi ke kantin. Cukup banyak orang yang berada di sana bila dibandingkan dengan ruangan BEM dan Perpustakaan.
Secangkir Moccacino berhasil membasahi kerongkonganku. Tak ada yang bisa diobrolkan karena aku hanya duduk sendiri di kantin ini sambil membayangkan pertemuan mendadak dengan Cowok Pelempar Bola. Kok jadi memikirkan kejadian tadi sore.
Aku bertanya-tanya, siapa ya namanya ... mengapa aku tak bertanya. Lama-lama aku bosan juga di kantin, kemudian aku melangkah keluar menuju ruang kelas. Tak langsung masuk. Aku hanya berdiri di kabin memperhatikan para pekerja bangunan yang ada di seberang menyelesaikan gedung sebelah kampus.
Aku lihat Ronnie sedang mengepulkan asap rokok yang ada di mulutnya dan memain-mainkan. Ronnie cowok berambut hitam gondrong, bertubuh kurus, anting-anting telinga di sebelah kanan menjadi ciri khas. Orangnya tidak sombong, malahan ramah sekali walaupun penampilannya mirip berandal, tapi sopan santunnya tetap terjaga.
“Tadi kenapa gak masuk?”, tanyanya menghampiri.
Aku menggeleng tersenyum simpul kepadanya.
“Ada tugas Morfologi, buat laporan”, mulutnya masih mengeluarkan asap-asap itu membuat diriku sedikit menjauh akibat bau asap rokok. Ia memberikan dua lembar kertas fotocopi Morfologi lalu ngeloyor ke lantai bawah.
“Hei, kamu mau kemana?”, aku berteriak.
“Ke kantin”, sama teriaknya.
Aku masuk kelas masih ada mahasiswa yang lain di sana. Aku memperhatikan sekilas kemudian duduk. Tak lama kemudian Dosen mata kuliah Sejarah masuk dan berbicara banyak. Aku hanya memperhatikan tidak mau mencatat. Harapanku dengan memperhatikan saja tanpa perlu mencatat kelak nilaiku jauh lebih bagus daripada yang mencatat. Kok bisa. Halusinasi berkepanjangan.
**
Merry memanggilku dari kejauhan, berteriak-teriak memanggil namaku tak lama kemudian dia mendekat dan berjalan, nafasnya naik turun. “Rara, aku pulang bareng kamu ya?”, tanyanya memegangi lenganku.
“Boleh! Memangnya kamu tidak dijemput pacar kamu?”, mataku mencari-cari sosok pria yang menjadi pacarnya yang mahasiswa Teknik itu.
“Nggak, aku gak bareng sama dia karena hari ini dia gak masuk kuliah”, tukasnya memandangiku sesaat.
Kami berjalan, mengobrol, tentang mata kuliah dan laki-laki. Sejujurnya aku katakan, Merry memang cantik, periang, banyak omong dan ramah tamah. Tidak heran jika banyak laki-laki yang mengaguminya. Tebak saja di hari valentine malam ini, berapa dia mendapatkan coklat dari para pengagumnya. Malam ini dia telah menunjukkan tiga buah coklat silverqueen berukuran besar. Belum lagi besok, janjinya para cowok-cowok akan memberikan coklat yang sama. Sebenarnya aku suka berteman dengan Merry karena anaknya tidak membosankan malahan menyenangkan. Tapi ... aku tak suka dengan sifat manjanya yang suka merengek-rengek seperti anak kecil.
“Ra ... biasanya kamu pulang dengan siapa?”, dia memberikan satu coklat miliknya kepadaku.
“Buatku?”
Dia mengangguk
“Terimakasih”, ucapku. “Aku ya biasanya ... begini, sendiri. Kalau Ayahku tidak sempat jemput, aku pulang sendirian”, aku mulai membuka pemberiannya.
Waaah ... ini adalah coklat pertamaku di hari Valentine. Sepertinya tidak ada yang akan berniat memberikan coklat kepadaku.
“Aku merasa sedikit heran, walau kita sekelas tapi aku hampir tidak pernah mengobrol seperti ini”, Merry membenarkan jilbabnya.
“Mungkin karena aku, ya ... yang jarang mengobrol di dalam kelas kali ya ...”, coklatnya enak sekali di mulutku. Namanya juga coklat gratisan pasti enak banget.
“Iya kali ya ... kamu itu memang sedikit pendiam di kelas, jadi terkadang aku agak malu untuk menegurmu. Takut tidak dihiraukan olehmu”, kata Merry.
“Itu tidak mungkin. Sebenarnya aku ingin sekali di tanya, he ... he ... he mungkin inilah sifat jelekku maunya ditegur duluan”.
“Okelah kalau begitu setiap kali aku ketemu sama kamu aku akan menegurmu. Gimana?”, Merry mendelik kemudian menoleh kembali.
Diriku cuma bisa tersenyum melihat tingkahnya yang sedikit kekanak-kanakan saat temannya datang dan meminta Merry untuk naik ke motornya.
“Rara, maaf, aku pulang duluan”, Merry melambai dan meninggalkanku.
Wah alamat pulang sendirian lagi nih.
Mobil angkutan umum warna putih melintas di depanku. Tidak lama kemudian berhenti dan aku pun menaikinya.
Wajah laki-laki di Taman masih terbayang-bayang di benakku. Si Cowok Pelempar Bola, kepala botak. Sebenernya tidak botak-botak amat sih, cuma rambutnya saja agak tipis coklat kehitaman jadi keliatan agak botak.
Telah tiba di perempatan jalan, aku turun dan kembali menaiki mobil angkutan arah yang berbeda. Mobil angkutan warna biru.
**
Halo kak, ceritanya menarik. Dikemas unik, apalagi pas ada tulisan puisinya. Aku suka. Baru sebagian baca ajah udah keren. Nanti sebagian lagi aku lanjut bacanya yaaa. Semangat dan sukses selalu kak ^^♡
Comment on chapter Ajakan BerpacaranMakasih juga ya kak udah mampir ke ceritaku ^^