Pagi yang dingin, langit kelabu. Rintikan satu dua air hujan menghiasi alam yang menyegarkan. Aku membuka jendela kamar. Hembusan angin dingin menerpa tubuhku. Ada beberapa mobil yang melintas di depan kamarku. Maklum komplek tempat tinggalku ini adalah komplek para pejabat. Jadi mobilnya pun mewah-mewah. Mungkin yang tidak memiliki mobil di daerah ini bisa dihitung dengan tangan termasuk keluargaku.
Ibu ikutan duduk di kursi meja makan. “Rara, hari ini kamu ada kegiatan apa? Ibu harap kamu tidak keman-mana hari ini”, Ibu berjalan menenteng piring lalu menyusunnya di rak. “Temani Ibu ya?”.
“Memangnya Ibu mau kemana sih? Tumben ngajak Rara”, segarnya setelah kerongkonganku telah basah oleh susu coklat hangat.
“Tidak kok, begini ... nanti sore Pa’de Wirja datang bersama anaknya”, kata Ibu.
“Oh begitu ... Pa’de Wirja yang tinggal di Jogja itu kan Bu?”
“Iya, dia kemari dalam rangka ... katanya sih hasil panen keluarganya melimpah. Siapa tahu ke sini bawa beras hasil panennya jadikan Ibu punya persediaan beras banyak”.
Aku mengernyitkan dahi, kupandangi wajah Ibu. “Ibu kok jadi mengharapkan sesuatu dari Pa’de”, aku melesat masuk ke kamar mandi.
Pukul 10.30 aku menemani Ibu pergi ke supermarket di bilangan Bogor. Sebuah swalayan kecil berdiri tepat dekat Kebun Raya. Kudorong keranjang rolly dan Ibu sibuk memilih-milih barang belanjaan yang akan dibeli. Kami berada di tempat rak khusus sayur dan buah-buahan segar. Satu kilogram Apel hijau Ibu pilih dan meletakkannya di keranjang. Ibu hanya sibuk dengan belanjaannya. Aku memandangi dan memperhatikan orang di sekeliling. Sebenarnya aku kurang suka mengikuti Ibu belanja. Aku lebih suka bersama dengan teman-teman ataupun berada sendirian.
“Bu, Rara ke tempat cemilan dulu ya?”
Ibu mengangguk.
Aku langsung menuju rak tengah. Mataku menyapu seluruh lantai supermarket. Kupilih satu persatu coklat dari yang paling murah sampai yang paling mahal. Kuambil tiga buah coklat batangan dan dua buah bungkus biskuit coklat.
Tak banyak orang di sekitarku, mungkin ada dua atau tiga orang yang beda satu rak denganku. Aku rasa cukup cemilan yang kupilih. Pada saat aku mulai beranjak dari tempat itu. Kulihat Ibu melambai ke arahku dan menyuruhku untuk kembali bersamanya. Kusambut lambaian Ibu dengan senyuman dan anggukan.
Aku berbalik dan -oh- sesuatu yang besar telah menabrakku dengan keras. Tubuhku jatuh ke lantai, coklatku berserakan.
“Maaf mba maaf, saya terburu-buru jadi tidak sengaja”.
“Aduuuhhh kamu tidak punya mata ya? Kalau jalan pelan-pelan. Inikan tempat umum”, aku memunguti coklat dan berusaha bangun.
“Saya bantu”, dia memegangi lenganku dan berusaha membantukku berdiri. Kupandangi wajahnya yang tampan dan tubuhnya yang tinggi. Topi hitam dan merah melengkapi penampilannya yang casual dan terlihat cool sekali.
“Sudah-sudah tidak apa-apa”, aku menarik lenganku dari pegangannya, duh kok jadi deg-degan gini ya.
“Benar tidak apa-apa? Sekali lagi saya minta maaf”.
Aku menggeleng dan merapikan rambutku.
“Kalau begitu aku permisi”.
Dia pergi dan aku ... seperti pernah melihat wajahnya tapi di mana ya ... aku masih memperhatikan laki-laki itu berjalan menjauhi diriku. Dia menoleh dan tersenyum lalu melambai ke arahku.
Oh May God, benar. Orang ini mirip dengan laki-laki yang kemarin. Dia si Cowok Pelempar Bola.
“Rara lagi ngapain? Ibu tunggu dari tadi tapi kamu gak datang-datang. Apa saja yang kamu beli?”
“Ini aja kok Bu”
Kami menuju Kassa dan membayar belanjaan. Tak lama kemudian aku memanggil Taxi dan pulang bersama Ibu. Ringtone HaPe berbunyi, tampak nama Lusi di layar ponsel. Kuangkat, terdengar suara Lusi yang ribut dan tidak jelas.
“Dari siapa?”, Ibu bertanya.
“Lusi yang nelepon, berisik banget”, kutempelkan ponsel ke telingaku lebih rapat. “Halo Lusi ada apa?”, aku memulai pembicaraan.
“Rara kamu di mana? Cepat ke sini aku mau minta tolong sama kamu supaya jemput aku di persimpangan jalan”, Lusi teriak-teriak lewat ponsel.
“Iya tapi sekarang aku lagi tidak ada di rumah. Aku habis dari supermarket menamani Ibu”.
“Ya udah, kalau gitu sekarang kamu ada di mana?”, tanya Lusi lagi.
“Aku di Taxi mau pulang”
“Bisa dong jemput aku?”
“Hah! Memangnya kamu di persimpangan mana sih?”.
“Simpangan rumah kamu dong Rara, emangnya di rumahku ada simpangan?”.
“Oke deh tunggu aja ya, nanti Taxi kami lewat”, kumatikan ponsel dan meletakkannya kembali ke tas biru. “Pak-Pak nanti berhenti di persimpangan sebentar ya?”, aku berpesan pada Supir yang mengendarai mobil yang kami tumpangi.
“Baik”, kata Pak Supir.
Kubuka kaca jendela mobil lebar-lebar.
Lusi melambai dan berdiri di pinggir jalan.
“Selamat siang Tante?”, Lusi menegur Ibu.
Ibu mengangguk dan tersenyum.
Lusi membuka pintu depan dan duduk sebelah Sopir.
“Kamu dari mana Lus?”, aku mencolek pundaknya.
“Ya dari rumah dong! Masa dari Mal, gini hari gitu loh, habis ngeborong apa Tante, belanja bulanan ya?”
Ibu tertawa, “Nanti Pa’de-nya Rara yang dari Jogja mau datang. Lusi makan siang di rumah Rara aja ya?”, Ibu menawari.
“Oh dengan senang hati Tante”
Taxi berhenti di depan rumah. Kuangkat barang belanjaan di bantu oleh Lusi dan Pak Sopir. Ibu membayar ongkos Taxi dan masuk ke dalam rumah.
“Rara ambilkan minum buat Lusi”, suara Ibu terdengar dari dalam dapur.
Aku berjalan menuju dapur mengambil air dingin kemudian kuletakkan di karpet kamar. Kulihat Lusi sedang tidur di ranjangku.
“Lusi kamu tau gak apa yang kualami di supermarket tadi?”, aku duduk di sampingnya.
Lusi menggeleng.
“Aduh Lusi itu cowok yang kemarin ada di Taman. Cowok yang ngelempar bolanya sampai bajuku kotor kena Ice Cream”.
“Oh itu iya-iya kenapa?”, Lusi mendelik.
“Tadi aku di tabrak sama dia. Aku ketemu lagi”, aku menceritakan hal-hal yang terjadi di supermarket tadi kepada Lusi.
“Wah asyik banget”, Lusi meneguk airnya.
“Ini yang ketiga kalinya aku ketemu dia dan ketemunya itu selalu secara tiba-tiba”, aku peluk guling.
“Kata orang jika bertemu tiga kali berturut-turut itu namanya jodoh. Kali aja kamu jodoh sama dia”, Lusi mulai ngarang.
“Jangan ngaco deh. Kenal juga enggak. Aku aja gak tahu namanya siapa”, aku bangun dan menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.
“Sekarang memang tidak tahu tapi lihat saja besok-besok dan besok. Kamu pasti tahu”, kata Lusi sok tahu.
Aku mencoba membayangkan dalam-dalam. Ih ... jodoh kok kesan pertamanya menjengkelkan. Sama sekali tidak indah untuk bisa diingat. Terbesit wajah lelaki itu di pikiranku. Kok aku jadi memikirkannya terus sih. Kutepis jauh-jauh. Kakiku mulai beranjak dari tempat tidur. Memutar chanel radio FM. Lantunan musik dance agak nge-Rock yang dinyanyikan Avril Lavinge ‘skateboardboy’ Lusi malahan asyik menari-nari.
aku duduk mulai membuka buku. “Lusi gimana kabar Dedi, kamu udah menghubunginya lagi?”.
“Belum, tapi dua hari yang lalu dia meneleponku katanya dia lagi BeTe dan ya ... tidak ada yang istimewa dari obrolan kami cuma menanyakan ada lowongan PNS bulan depan”.
“Kamu tertarik jadi PNS? Itu bukan lamaran yang gampang”.
“Aku hanya ingin mencobanya mungkin saja dari sekedar ikut-ikutan menjadi pelamar PNS aku juga bisa berkenalan dengan cowok ganteng, he ... he”, Lusi cengengesan.
“Dari berjuta-juta orang di seluruh Indonesia begitu?”
“Apa lagi?”
“Ayolah ... Lusi aku serius. Tolong jangan buat main-main masa depanmu”
“Aku malahan lima rius Rara”, Lusi menopang dagu. “Kita kan juga butuh senang-senang sedikit iya tidak?”
“Ya ... ya ... ya”, aku keluar kamar meninggalkan Lusi yang asyik manggut-manggut mendengarkan radio.
Kulihat Ibu di ruang tengah sedang menata piring dan sendok untuk makan siang hari ini. Mataku melirik ke jam dinding di sudut ruang TV. “Ibu masak apa?”, aku bertanya.
Ibu menoleh dan menatapku. “Sup Jagung kesukaan Ayah”.
“Siang ini Ayah pulang?”.
“Ya ... Ayah tadi telepon dan pulang lebih cepat untuk menyambut kedatangan Pa’de”.
Aku manggut-manggut dan kembali ke kamar bersama Lusi. Kulihat Lusi telah terpejam di karpet kamar. Kugoyang-goyangkan badan Lusi dan bergerak. Tapi Lusi malah menoleh dan mengomeliku agar tak mengganggunya. “Lusi, ayo kita makan dulu. Ibu sudah menyiapkan makan siang untuk kita”.
Lusi beranjak dan melotot. ”Aku memang sudah lapar nih. Ayo kita makan sekarang”, Lusi tidak sabar.
“Nanti dulu. Makannya tunggu Ayah pulang”, aku menarik lengan Lusi.
“Pasti lama”
“Sebentar kok”
Kudengar suara mengucapkan salam dari luar dan aku cepat-cepat membuka pintu. Kulihat wajah Ayah lalu bersaliman.
“Pa’de belum sampai Rara?”, Ayah melihat ke dalam.
“Belum, kata Ibu nanti sore”, aku masuk lebih dulu ke dalam ruang tengah.
Ayah duduk di kursi meja makan.
Ku lihat Lusi keluar dari kamar dan menyapa Ayah. “Selamat siang Om”, Lusi menyalami Ayah.
“Oh ada Lusi juga. Ayo kalau begitu kita makan saja langsung. Lusi pasti sudah lapar ya?”, kata Ayah.
Kulihat Lusi tersenyum-senyum kearahku dan kubalas senyumannya.
***
Kampus
Aku masih duduk di tangga lantai besment. Melihat orang yang berlalu lalang kesana-kemari melintasiku. Aku sibuk dengan lembaran KRS (Kartu Rencana Study) di genggaman. Rasanya malas untuk menulis di tempat seperti ini. Jadi satu-satunya yang paling enak adalah bertopang dagu di pinggir tangga.
Merry melambai-lambai ke arahku lalu mendekat. Jilbab hitamnya bergerak-gerak mengikuti gerak tubuhnya. Ikut-ikutan duduk di sampingku dan melirik lembaran KRS yang aku pegang. “Udah di tulis?”, tanyanya.
Aku geleng-geleng. “Mau nulisin?”, sambil mengangsurkan lembaran KRS milikku kepadanya.
Mulutnya manyun lucu sekali, dasar Merry. Dia hanya numpang lewat dan pergi ke kantin.
Tiba-tiba pundakku ditepuk, aku kaget dengan teguran Ronnie dari belakang. Dia tersenyum geli melihat tingkahku. “Kenapa sih bengong aja dari tadi”, Ronnie duduk di belakangku.
“Sakit”, aku meringis.
Ronnie cengengesan. “Sorry gak sengaja!”.
Aku menjulingkan mataku, tidak percaya dengan kata-katanya barusan. Tepukan keras tapi dibilang gak sengaja? Haduuuuh ... dasar Ronnie.
“Gak ngapa-ngapain kok cuma lagi merhatiin orang-orang yang lewat, kali aja ada mahasiswa baru yang ganteng”, aku cengar-cengir.
“Segitunya, emang saya kurang ganteng apa?”.
Aku geleng-geleng.
Merry muncul lagi dengan membawa air mineral dan mengacungkannya padaku. “Ada yang mau?”, tawarnya.
Aku meraih botol itu dan kusedot sedikit lalu kukembalikan lagi padanya.
Ronnie beranjak dari duduknya dan melewatiku.
“Mau kemana Ron?”, aku berteriak.
“Ambil KRS!”, tolehnya padaku.
“Rara, kamu jadi ikut LDKO besok lusa?”, Merry bertanya.
“LDKO? Memangnya jadi?”, aku balik tanya.
Merry manggut-manggut.
“Kemana?”
“Gintung. Bumi Perkemahan Situ Gintung Ciputat”.
“Aku belum minta izin sama Ibu dan Ayah. Inginnya sih ikut. Tapi gak tahu juga diizinin atau gak”.
“Aku berharap kamu ikut Rara, karena aku sudah mendaftarkan diri ikut LDKO itu”, Merry menatapku.
Aku tak menganggapnya serius dengan kata-kata Merry barusan. Sebenarnya ingin ikut LDKO itu tapi bagaimana pun juga aku harus meminta izin kepada kedua orangtuaku agar mereka membolehkan aku pergi untuk beberapa hari. Aku mulai menulis mata kuliah semester tiga di lembaran KRS. Isi biodata dan menandatangani. Aku masih bingung siapa Ketua Jurusan Sastra Indonesia. Aku melangkah menaiki anak tangga. Kutinggalkan Merry di ruangan administrasi menuju lantai tiga.
Seseorang menegur dari belakang. “Permisi kakak, mau tanya kalau ruangan registrasi ulang di mana?”, suara itu membuyarkan pikiranku. Sesosok laki-laki muda berkulit putih, sepertinya usia laki-laki ini tidak jauh berbeda denganku. Wajah Timur Tengah, wajarlah di kampusku bisa di hitung dengan tangan ada mahasiswa dan mahasisiwi berasal dari Turki yang kuliah di sini. Aku pikir mereka sudah lama tinggal di Indonesia karena dari bahasa yang mereka pakai, mereka cukup fasih berbahasa Indonesia walaupun kadang ngomongnya agak blibet-blibet dikit. Tapi buatku bahasa Indonesianya sudah baik.
“Di bawah”, tanganku menunjuk ke lantai bawah.
“Apa jadi satu dengan ruang admisnistrasi?”
“Ya betul”
“Kalau begitu terimakasih”, laki-laki itu tersenyum. Berbalik dan menuruni anak tangga.
Aku masih memperhatikan pemuda itu. Hmmm ... ganteng juga.
Aku memencet tombol lift menuju ke atas. Capek ah kalau harus naik tangga. Berjalan sedikit dan sampailah di pintu Ruangan 304, cukup ramai karena dipenuhi para mahasiswa dan mahasiswi dari Sastra Inggris. Meminta tanda tangan ataupun saling berkonsultasi tentang masalah mata kuliah.
Kakiku mendekat, kemudian duduk di sebelah Ida. Dia memandangiku, senyuman manisnya tersungging dari wajahnya. Gadis berkaca mata ini adalah mahasiswi Sastra Inggris. Satu angkatan denganku.
“Mau minta tanda tangan juga?”, tanyanya.
Kuanggukan kepala.
Dia meraih KRS yang kupegang dan membacanya. “Oh Sastra Indonesia, ada mata kuliah bahasa Arab juga?”, dia keheranan.
“Sepertinya begitu ...”, belum selesai aku bicara Merry sudah berdiri di hadapanku dengan nafasnya yang naik-turun kecapekan.
“Rara jahat, kok aku di tinggal sendirian sih”.
“Kan, ada Ronnie yang menemanimu. Jadi aku tinggal aja di sana. Kupikir kamu sudah ada teman ngobrol”, aku menepuk-nepuk kursi di sebelahku. Kode ... menyuruhnya duduk di sampingku.
“Ronnie itu sibuk kesana-kemari mengurusi konsumsi untuk mahasiswa baru di Aula untuk Propesa satu jam lagi”.
“Maaf, aku kan tidak tahu”, aku bersandar. “KRS kamu mana?”.
Dia menunjukan lembaran putih yang di pegangnya. “Memang Kajurnya siapa?”.
Aku menunjuk-nunjuk ke dalam ruangan tempat kami menunggu.
“Oh ibu Nani ya?”, matanya mendelik.
Tidak lama Ibu Nani membuka pintu dan keluar lalu menghampiri kami yang sedang duduk. Kami pun berdiri, memandangnya lalu tersenyum ke Ibu Nani.
“Permisi Ibu ... kalau Kajur Sastra Indonesia, Ibu juga ya?”, aku bangkit dan bertanya saat Ibu Nani lewat di hadapan kami.
“Lho ... Kamu yang kuliah kok tanyanya sama saya”, dengan dialeg Jawa yang kental Ibu Nani tersenyum nakal kepada kami.
Aku membalas senyuman Ibu Nani dan memberikan lembaran KRS kepada Ibu Nani. “Ah, Ibu bercanda”.
“Huh kamu itu, sini! Mata kuliah apa saja yang kamu ambil?”, Ibu Nani membaca lembaran putih yang kuberikan.
“Semuanya ada 20 SKS Bu”, Jawabku.
“Ah yang benar ...”, Ibu Nani meledek lagi.
Aku kembali tersenyum dan menatap Merry.
“Nilai kamu bagus-bagus”, kata Ibu Nani lagi.
“Sungguh! IPK-nya sudah keluar?”, aku mendelik.
“Belum, tapi dari daftar nilai banyak yang memusakan”, Ibu Nani mengeluarkan daftar nilai UAS. “Untuk mata kuliah Morfologi-B, Semantik-A, Sejarah Kesusastraan Indonesia-A, Kajian Sastra-A, Bahasa Indonesia-C, Manusia dan Kebudayaan-A, dan mata kuliah lainnya belum masuk daftar nilai Ibu”, Ibu Nani menatapku.
“Wah, Rara nilainya bagus-bagus”, kata Merry.
“Makanya jadi temennya Rara biar ketularan pinter”, Ibu Nani meledek lagi.
Aku merasa senang dengan informasi nilai barusan yang dibacakan oleh Ibu Nani. Tapi setelah mendengar kalau mata kuliah Bahasa Indonesia mendapat ‘C’ aku jadi down. Beribu-ribu sedih dan juga kecewa. Masalahnya pada saat tugas membuat makalah Resensi secara berkelompok. Aku mengerjakannya sendirian dari konsep sampai pengetikan dan itu membuatku tidak terima. Ohhh ... Pak Rahmat itu jahat sekali, makiku dalam hati. Ya sudahlah, tinggal minta remedial sama pak Rahmat biar nilai C-nya berubah jadi A.
**
Kece ceritanya berasa kenal sama kotanya
Comment on chapter Cowok Pelempar Bola