Setelah bermenit-menit yang Adrian habiskan untuk berbenah. Akhirnya, ia turun menuju ke ruang bawah tempat seluruh anggota keluarganya berkumpul.
“Pagi, kak.” Sapa Rheina adik perempuannya yang sedang membawa sepiring penuh omlet yang siap saji.
“Pagi, Rhein.” Sahut Adrian dengan ramah.
Rheina adalah satu-satunya saudara kandung Adrian. Umurnya sekarang menginjak 14 tahun dan dia duduk di kelas dua SMP. Parasnya tidak begitu cantik. Namun, imut dan begitu polos. Sampai-sampai Adrian takut nanti adiknya akan mudah terpengaruh oleh rayuan laki-laki playboy di luar sana. Namun, untungnya Rheina sekarang masih fokus dengan studinya dan sama sekali tak acuh terhadap pria yang mencoba menggodanya.
“Rian, sini duduk dekat mama.” Pinta seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah ibu kandung Adrian.
“Iya, ma.”
Adrian meletakkan tas yang sedari tadi dijinjingnya dan duduk di samping ibunya.
“Mau makan apa, sayang?” tawar ibunya. Namun, Adrian hanya tersenyum kecil seolah semua makanan yang tersaji di hadapannya sama sekali tak menarik minatnya sedikitpun.
Ibunya yang sudah paham akan sifat Adrian mengambil inisiatif sendiri dengan mengambil selembar roti tawar dan mengoleskan selai di atasnya.
“Ini, mama buatkan roti selai buat kamu. Kamu paling suka dengan selai strowbery, kan?”
“Iya, ma.” Sahut Adrian. Ia berusaha menampakkan senyumnya walau terlihat kentara tanpa suatu ketulusan di dalamnya.
“Ma, mau omlet buatan Rheina nggak?”
“Wah, makasih sayang. Anak mama yang paling cantik ini ternyata juga jago masak, ya.” puji Ibu Adrian dengan tulus.
“Iya, dong ma. Kan Rheina harus pinter masak biar suami Rheina nanti betah di rumah.”
Semua orang yang sedang duduk di meja makan tertawa. Termasuk Roy, sepupu Adrian. Mery, Bibi Adrian. Paman John, dan ibu Adrian sendiri. Semuanya, kecuali Adrian yang hanya menampakkan seulas senyum kecil.
Entah mengapa seolah hal-hal seperti itu tetap tak bisa mengembangkan senyum Adrian. Seolah senyumnya sudah lama hilang beserta hilangnya Meira dari kehidupannya.
Seharusnya Adrian bisa lebih bahagia lagi jika ia benar-benar seratus persen merelakan kepergian Meira. Namun, sayangnya bahkan setelah satu tahun sebagian dari hati Adrian menganggap Meira masih ada bersamanya saat ini.
Harusnya kebersamaan dengan keluarganya saat ini bisa mengugah hati Adrian. Namun, nyatanya itu hanyalah kabahagiaan semu untuk saat ini. kebahagiaannya yang nyata adalah Meira.
“Rian, nanti kamu ada pemotretan dimana lagi?” tanya Bibi Marry.
“Eh, nanti Adrian ada pemotretan di studio, Bi.” Sahut Adrian membuyarkan lamunannya.
Karir dan jalan hidupnya sebagai seorang fotografer professional memang terkadang mengharuskannya mengikuti sesi-sesi pemotretan di luar kota. Namun, belakangan ini Adrian hanya mendapatkan job di dalam studio tempat kerjanya.
“Oh, bagus deh. Soalnya nanti Bibi sama Roy dan Paman kamu mau mengunjungi nenek yang ada di Bandung. Kalau kamu juma pemotretan di studio kan Bibi jadi tenang. Soalnya Ibu kamu sama Rheina kan ada yang nemenin.”
Adrian hanya mengangguk kecil sambil menyelesaikan sarapannya.
“Ma, Adrian berangkat dulu ya. Takut telat soalnya jalannya kadang macet,” pamit Adrian pada ibunya.
“Oh, iya sayang. Hati-hati ya di jalan.”
“Paman, Bibi, Roy, Rheina. Adrian duluan ya,”
Semuanya tersenyum sambil mengangguk.
“Hati-hati di jalan, ya.”
Adrian segera beranjak dan mengambil tasnya yang ia letakkan di samping kursi. Ia menuju mobilnya dan mulai menyetir perlahan.
Huft, Adrian menghela nafasnya panjang.
Sampai kapan ia akan terus hidup seperti ini. Bagaikan manusia tanpa jiwa dan hati. Hanya mengikuti dan mencoba untuk tersenyum pada hidupnya yang terasa hambar.
Semuanya karena ia kehilangan Meira.
Ah, sudahlah. Tak ada gunanya juga ia terus meratapi nasib. Ia tak bisa memutar waktu sama sekali. Ia hanya bisa berharap hal baik akan terjadi padanya kelak.
Adrian memfokuskan pandanganya pada kondisi jalan yang mulai ramai dan berhenti bersama antrean kendaraan lain yang menunggu lampu lalu lintas berubah menjadi hijau kembali.
Adrian menetuk-ngetukkan jarinya pada stir mobil mencoba menikmat alunan musik yang mengalun pelan dari radio mobilnya.
Entah hanya hayalan Adrian saja atau memang sebuah jawaban dari Tuhan, tiba-tiba mata Adrian melihat sesosok wanita yang mirip dengan Meira di halte seberang jalan.
Cantik, memakai dress elegan selutut dan rambut hitam yang digerai sebahu. Ah, wajah itu. Wajah yang pernah menghiasi hari-hari dalam hidupnya. Wajah yang begitu ia rindukan selama ini.
Adrian menggelengkan kepalanya.
Sadar Adrian! Meira sudah tiada.
Ia memfokuskan kembali pada pandangannya pada lampu jalan yang sudah berwarna hijau. Dijalankannya mobilnya perlahan.
Logika Adrian berusaha mengambil alih pikirannya yang carut-marut. Ayolah Adrian! Ini masih pagi. Jangan berhayal.
Ditolehnya kaca spion mobilnya untuk memastikan. Tunggu!
Hati Adrian berdegub kencang. Logikanya yang hampir kembali waras mendobrak kepalanya berusaha memberontak saat ia melihat bahwa sosok yang mirip Meira itu masih ada di tempat yang sama.
Ini bukan hayalan. Itu benar-benar Meira. Itu Meira, ini nyata.
Akankah Tuhan meridhoi pertemuannya kembali dengan Meira saat ini atau ini hanyalah ilusi yang didorong oleh hasratnya yang begitu menggebu untuk bertemu Meira kembali.
Sebuah senyum merekah di wajah Adrian.
Meira!
Dengan tergesa-gesa Adrian menepikan mobilnya dan menuju halte.
Adrian berusaha menyeberang jalan. Namun, sayangnya kondisi jalan yang memang dipenuhi kendaraan lalu lalang sedikit menghambatnya.
Adrian melambaikan tangannya, “Meira!” panggilnya.
Deg!
Sosok itu menoleh dan itu benar-benar Meira.
Sayangnya gadis itu lebih dulu naik angkutan umum sebelum Adrian sampai ke seberang.
“Meira! Tunggu!” teriak Adrian begitu berhasil menyeberang.
Namun, angkutan yang ditumpangi Meira sudah terlanjur menjauh.
Senyum masih terkembang di bibir Adrian. Walau rasa kecewa karena tak dapat bertemu gadis itu sempat menghampirinya.
Ya! Meira!
Ia pasti akan bertemu gadis itu lagi.
Terimkasih Tuhan,
Segala doa dan tangisannya setiap malam akhirnya didengarkan.
Pertemuannya sekilas dengan gadis itu bak setetes air yang menyirami padang gersang. Begitu menyegarkan.
Memberikan harapan.
***
Adrian tersenyum sendiri.
“Eh, kesambet apa lu, yan?”
“Eh, nggak papa.”
“Eh, yang benar nih? Tumben banget kamu senyum biasanya lo kan lempeng.”
“Yah, hari ini aku nemuin sesuatu yang menarik.”
Adrian menarik kursi di sampingnya dan duduk dekat Joe, teman kerjanya.
“Maksud lo?” tanya Joe keheranan. Selama setahun terakhir sama sekali tak ada hal yang bisa menarik perhatian Adrian. Jika ada pun itu pastilah hal yang sangat menarik.
“Aku hari ini ketemu Meira!”
“Nah, lho. Halu mulu sih,” geram Joe sambil menyeruput kopinya.
“Eh, beneran. Aku nggak bo’ong. Sewaktu aku tadi nyetir aku lihat Meira ada di halte. Itu beneran Meira!” sorak Adrian dengan antusias. Sementara, Joe temannya hanya melonggo.
Meira sudah meninggal setahun yang lalu. Dan semua teman-teman kerja Adrian tahu betapa besar Adrian mencintai mantan calon istrinya itu. Bahkan, sampai sekarang Adrian masih belum bisa move on.
“Yan, gini deh. Sebagai temen gue mau kasih saran aja sama lo. Gue tahu lo itu sayang banget sama Meira. Juman ya, nggak gini juga caranya. Meira itu udah meninggal, yan. Dan ini udah ada setahun. Ini saatnya lo move on. Lo harus cari cewek lain buat pengganti Meira,” nasehat Joe sambil memegang pundak Adrian.
“Joe, nggak gitu. Percaya sama aku. Aku tadi lihat Meira!”
“Yan, udah cukup.”
Adrian hanya bisa mendengus. Teman karibnya itu sama sekali tak percaya padanya, “Jujur aku kecewa sama kamu Joe, kamu harusnya support dan percaya sama aku. Tapi ya udahlah, aku bakal buktiin sama kamu biar kamu percaya.”
Selesai mengatakan hal itu Adrian beranjak dari kursinya meninggalkan Joe yang hanya menggeleng pasrah.
“Dan satu lagi Joe. Nggak ada yang bisa gantiin Meira!”
Adrian melanjutkan langkahnya dan menutup pintu di belakangnya. Ia melangkahkan kaki menuju ruang kerjanya dan merebahkan diri ke kursi.
“Huft...aku yakin itu Meira. Kalau pun bukan, aku yakin itu wajah Meira!” gumannya sendiri.
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat seharian ini.
Waktu yang terasa tak begitu berharga bagi Adrian, karena yang ia lakukan sedari tadi hanyalah mengedit foto-foto. Yang menyakitkan bagi Adrian semua itu adalah foto-foto Prewedding pasangan lain.
Mereka tampak begitu bahagia. Tertawa bersama.
Ini hanyalah nostalgia bagi Adrian. Ia juga pernah tertawa bahagia seperti itu. Dulu...
Ia pernah tertawa begitu keras bersama Meira. Namun, ia tak pernah tahu tersimpan banyak air mata setelahnya.
Di tengah lamunannya, suara telpon berdering. Adrian segera mengangkatnya.
“Halo...”
“Halo, yan. Ini gue Amira. Lo disuruh ke ruang rapat sekarang. Kita semua udah nungguin nih,” geram sebuah suara dari seberang kabel optik itu.
“Lho emangnya ada apa Mir?”
“Yah, lo sih. Makanya kalau ada notif di grup chat itu cepetan di buka dong jangan diangurin aja. Hari ini kita kedatangan anggota baru. Jadi, seperti biasa bos ngadain acara perkenalan. Udah lo cepetan ke sini!” perintah Amira dengan tidak sabar sembari menutup sambungan telepon.
Adrian dengan segera meletakkan gagang teleponnya dan meraih ponselnya. Yah, sudah sejak lama ia memang tak terlalu mengubris chat yang ada di ponselnya. Sudah cukup lama semenjak tak ada lagi chat dari Meira. Sebuah chat yang selalu ia tunggu setiap malam.
Ia beranjak dan bergegas menuju ruang rapat yang terlatak di lantai satu. Anggota baru, semoga saja tak akan terlalu menyulitkannya mengingat setiap ada perekrutan anggota baru Adrianlah yang bertugas membimbingnya.
@aiana Siap, kak.
Comment on chapter Bagian PertamaTerimakasih telah berkunjung