Lagi-lagi Ra In menyeka matanya. Total dua puluh kali perempuan itu melakukannya. Setelah mendengar semua cerita dari Min Rae tentang kejadian setelah ia meninggalkan rumah, Ra In menjadi semakin menyalahkan dirinya sendiri.
Andai saja waktu itu ia mendengar penjelasan Jungkook. Mungkin Jungkook tidak akan mengalami koma seperti ini.
Ra In memandang ragu wajah Minhyun didepannya. Bibirnya terasa amat ketat dan tidak bisa digerakkan. Ia ingin meminta maaf pada Minhyun tapi tubuhnya menolak.
"Ra In...Sekarang kau tau bahwa Myeon Ji adalah istriku bukan? Jadi, kau tidak perlu merasa ragu pada Jungkook" Minhyun meraih tangan Ra In yang basah karena air mata.
"Oppa...Mianhe" akhirnya kata itu lolos dari bibir Ra In meski dengan sedikit bergetar. Hingga tangisnya pecah seketika.
Minhyun tidak bisa membiarkan Ra In menangis lagi. Matanya sudah bengkak. Maka Minhyun menarik Ra In dan memeluknya. Hanya sebentar lalu melerainya. Minhyun yang sekarang berbeda dengan Minhyun dulu yang masih terbawa perasaan pada Ra In. Minhyun sadar ia sudah memiliki wanita lain. Dan akan menjaga hubungannya.
"Kau bilang tadi Jungkook sudah sadar kan?" tanya Min Rae mengalihkan pembicaraan.
Ra In menggeleng lemas. Ia pikir juga Jungkook akan terbangun. Tapi sudah dua jam sejak Ra In mendengar Jungkook memanggil namanya, suaminya itu belum juga membuka mata.
...
Amel hampir saja akan terjatuh kalau Suga tidak segera menarik lengannya. Jantung Suga sudah akan terlepas kalau sampai hal itu benar terjadi. Bagaimana nasib anaknya didalam sana.
"Gwenchana?" tanya Suga halus memegangi bahu istrinya sedangkan tangan lainnya mengelus perut Amel yang bahkan masih terlihat rata.
Amel tersenyum dengan wajah pucatnya yang masih berusaha menenangkan emosinya.
"Aku tadi syok"
"Jalan pelan-pelan"
Amel mengangguk dan memegangi tangan Suga sebagai penuntunnya. Mereka membuka perlahan ruang rawat Jungkook.
Pria itu masih setia terbaring dengan mata terpejam diatas bangsal rumah sakit. Dengan bunyi alat EKG mengisi keheningan. Rasanya semua ini Deja vu. Bukankah terasa seperti mengingat Jimin dulu?
"Suga..." usapan lembut dari telapak tangan wanita yang berharga dalam hidupnya membuat Suga tidak jadi meneteskan air mata.
"Kau harus kuat"
Suga memang tersenyum dan ia membawa Amel duduk di sofa. Untuk hari ini mereka memang bertugas menemani Jungkook. Mereka berlima sudah sepakat mengatur jadwal untuk menemani Jungkook di rumah sakit sebelum atau setelah Ra In datang.
"Amel, Suga. Sudah lama?"
Praktis Amel dan Suga menoleh kesumber suara. Ra In menghampiri pasangan itu lalu meletakkan tote bag yang dibawanya didepan meja sofa. Sedangkan dirinya kembali berbalik dan memilih duduk dikursi dekat ranjang Jungkook.
Terdapat perbedaan diwajah suaminya setelah dua minggu lamanya ia tinggalkan. Pipi Jungkook terlihat sangat tirus. Bibirnya kering,seolah tidak pernah menyentuh air. Tapi, melihat warna rambut yang masih sama--Sesuatu yang dulu Ra In benci--membuat Ra In sangat merindukan Jungkook. Sungguh sangat tidak benar apa yang Ra In lakukan. Ia melukai perasaan Jungkook. Ia menyalahkan Jungkook atas apa yang terjadi. Seharusnya, Ra In bersyukur memiliki seorang pendamping hidup yang berhati baik.
"Kookki...kapan kau sadar?"
Telapak tangan Jungkook terasa sangat dingin seolah membeku setelah beberapa hari berdiam diruangan itu. Tempat dimana cerita duka mereka selalu terbayang.
Ra In sibuk memperhatikan bibir suaminya. Jelas sekali kemarin ia mendengar Jungkook hampir mengucapkan namanya. Dan hari ini pun perempuan itu sangat berharap Jungkook sadar.
"Ra In...kau tidak membawa Jimin?" tanya Amel.
"Eomma bilang tidak baik anak kecil berlama-lama dirumah sakit. Lagian nanti kalau Jimin disini ia malah akan menangis lagi. Katanya Jimin pernah menangis waktu itu meminta Jungkook sadar"
"Iya benar. Aku juga mendengar cerita itu dari Dokter Niel"
Ra In tertegun sejenak. Syukurlah banyak orang-orang yang peduli pada Jimin. Ada Dokter Niel, Minhyun dan teman-teman Jungkook. Ra In jadi makin merasa gagal menjadi istri sekaligus ibu.
Setetes air mata luruh begitu saja. Ra In menunduk agar Suga dan Amel tidak menyadari isakannya. Buku-buku jarinya mengerat di telapak tangan Jungkook. Dengan pelan Ra In menciumi punggung tangan suaminya.
Kookki kumohon buka matamu...
Marahi aku...
Kookki...
...
Bunyi 'klik' di mesin pembuatan kopi dirumah sakit terdengar saat kedua gelas yang Dokter Niel sodorkan terisi penuh. Namja itu berjalan menghampiri seorang perempuan yang tengah melamun memperhatikan langit yang sunyi. Malam ini, langit saja merasa sepi. Seakan dunia tengah merasakan kegundahan Ra In.
"Ini" Dokter Niel menyodorkan salah satu gelasnya kehadapan Ra In.
"Gomawo, Dokter Niel"
Ra In merasakan kehangatan yang merambat dari telapak tangannya seakan menyebar ke seluruh tubuh. Tanpa berniat meminumnya, dia itu malah lebih suka memeganginya.
Disebelahnya, Dokter Niel tengah memperhatikan wajah sahabatnya yang begitu terlihat kusut.
"Dulu aku sering sendirian disini. Saat ada Jimin aku merasa tidak lagi sendirian"
Dokter Niel menengguk sedikit isi gelasnya sebelum kembali bercerita.
"Lalu, dia juga pergi dan membuat aku sendirian"
Ra In menolehkan kepalanya. Menatap horor Dokter Niel. Hampir saja pria itu tidak jadi menelan kopinya gara-gara ketakutan melihat bola mata Ra In yang sudah seperti akan keluar saja.
"Kau mendoakan suamiku meninggal?"
"Yakh! Bukan begitu. Aku kan belum selesai bicara" bela Dokter Niel. Kemudian tangannya sibuk mengeluarkan sesuatu dari jas snelinya. Sebuah kertas berwarna biru terulur kedepan Ra In. Perempuan satu anak itu mengambil kertasnya dari tangan Dokter Niel.
"Ini..." Ra In menatap wajah Dokter Niel, mencari tau jawabannya.
"Itu harapan Jimin sebelum pergi"
Perlahan-lahan dibukanya kertas biru itu. Mata Ra In berkaca-kaca melihat tulisan tangan orang terkasihnya. Setumpuk rasa rindu kian menggerogoti perasaan Ra In. Membuat air mata luruh tanpa sadar.
Sebegitu kasihnya Jimin terhadap teman-temannya? Hingga harapan terakhirnya juga namja itu masih saja memikirkan mereka.
"Aku hanya jadi nomor dua dihati Jimin. Selalu saja dia memikirkan teman-temannya"
Dokter Niel membuang gelasnya ketempat sampah. Hembusan napasnya mengeluarkan beberapa asap. Memang malam ini suasana terasa lebih dingin dari biasanya.
"Ra In, kau tau tidak? aku sering meramal sesuatu dan itu menjadi kenyataan. Jimin sendiri saksinya"
"Yah...meskipun dia sudah tidak ada dan tidak bisa membuktikan ini"
Dokter Niel mengubah posisi dengan berdiri. Ia berada beberapa meter didepan Ra In.
"Besok aku pikir Jungkook akan sadar"
...
Ra In membuka pintu kamar lamanya yang sekarang sedang ditempati putranya. Saat ini Jimin masih tertidur pulas sembari memeluk boneka Tayo nya. Ra In mengusap kening Jimin, dia pikir Jimin tidak akan terbangun. Tapi, anak itu tiba-tiba saja membuka matanya dan segera duduk.
"Eomma..."
Ra In terlonjak dan segera menangkap wajah putranya. Jimin memang sangat menggemaskan.
"Eomma pasti mau bangunin jimin. Iya kan? Jimin bangun sendili..Wlee" ledek Jimin. Anak itu sampai menjulurkan lidahnya mengejek Ra In.
"Anak Eomma yang paling pintar" Ra In menarik hidung Jimin sampai anak itu tertawa.
"Mau ikut eomma menengok Appa?"
"Tumben eomma mengajak Jimin. Biasanya Jimin tidak dibolehin ikut"
Ra In jadi merasa sangat bersalah terus-terusan menolak Jimin ikut dengannya kerumah sakit. Tapi, hari ini ia sendiri yang memutuskan akan mengajak putranya menengok Jungkook. Walau bagaimana pun Jimin adalah putra Jungkook. Mereka harus saling menguatkan.
"Eomma...jangan melamun" Jimin mengguncang lengan Ibunya yang sontak lamunan nya menghilang. Ra In lalu mengangkat tubuh anaknya dan menggendongnya.
"Jadi...ayo Jimin mandi"
...
Ra In menepuk-nepuk pantat Jimin digendongannya yang tengah tertidur pulas. Baru saja ia akan membawa Jimin pulang andai saja tidak melihat Jungkook membuka matanya.
Ra In belum ingin menghubungi siapapun sebelum Jungkook benar-benar dipastikan sadar dari komanya.
Benar, Jungkook membuka mata sangat lebar. Ra In berlari mencari Dokter Niel. Meskipun bukan Dokter Niel yang menangani Jungkook tapi, perempuan itu malah mencari Dokter Niel. Ia membuktikan bahwa ramalan Dokter Niel benar.
Ra In kembali berdiri dan mengintip Jungkook dari pintu ruang rawatnya. Kenapa Dokter begitu lama menangani Jungkook?
Jelas-jelas Jungkook sudah membuka mata. Ra In sangat yakin suaminya sudah sadar. Mungkin karena ia membawa Jimin hari ini. Atau ramalan Dokter Niel? Yang jelas Ra In sangat berharap kali ini Jungkook memang sadar dan tidak tidur lagi.
Tiba-tiba pintu didepan nya terbuka. Dokter Niel tersenyum menatap Ra In. "Jungkook sadar, Ra In"
"Benar kan Dokter Bram?" Dokter Niel menoleh ke arah seorang dokter yang rambutnya sudah berwarna putih. Dokter Bram mengangguk sambil tersenyum.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Karena Tuan Jungkook tidak mengalami lumpuh. Anda bisa masuk sekarang"
"Saya permisi"
Ra In sudah menangis karena bahagia mendengar suaminya sadar seperti sediakala. "Terima kasih, Dokter"
Begitu Dokter Bram dan para pengikutnya pergi dari ruangan Jungkook, terkecuali Dokter Niel, Ra In melangkahkan kakinya menghampiri ranjang Jungkook.
Jantungnya sudah berpacu seiring langkahnya makin dekat dengan Jungkook. Ra In mengeratkan gendongan putranya seakan bisa jatuh kalau tidak dieratkan.
Matanya melebar begitu melihat Jungkook sudah duduk sambil menunjukkan senyuman dibibirnya yang pucat. Melihat wajah bahagia Jungkook semua rasa khawatir Ra In sirna.
"Sendok itali"
Kata itu? Panggilan yang sudah lama tidak Ra Ini dengar dari Jungkook, hari ini ia mendengarnya lagi. Meskipun terasa aneh karena semenjak menikah panggilan itu sudah tidak lagi Jungkook gunakan.
Ra In duduk di kursi dekat ranjang suaminya. Jungkook mengacak rambut Ra In gemas.
"Aku sangat merindukanmu. Aku senang kau menjengukku. Oy, kenapa wajahmu begitu pucat, sendok itali?"
Ra In menggeleng sebagai jawaban. Semua yang terjadi padanya adalah karena ia selalu menyalahkan diri atas keadaan Jungkook. Tapi, semua kelelahan itu telah sirna setelah melihat Jungkook sadar.
"Ini--" saat Jungkook menunjuk Jimin digendongan Ra In, anak itu menggeliat dan terbangun. Rupanya Jimin terusik karena obrolan kedua orangtuanya.
Jimin mengucek-ucek matanya. Dengan lucunya mengerjap kearah Jungkook. "Appa sembuh...yeay" teriak Jimin.
Ra In mengusap rambut putranya.
"Iya sayang"
Sementara itu, Jungkook malah berekspresi datar. Wajahnya membuktikan bahwa ia begitu kebingungan.
"Dia anak siapa ?"
"Heh?"
Apa yang terjadi pada Jungkook?Kenapa dia malah bertanya siapa Jimin?
"Siapa dia, sendok itali?"
"Apa..." Jungkook mengacak rambutnya frustasi.
"Apa dia anakmu dengan Jimin?"
Dokter Niel segera mendekati Jungkook dan memeriksa nadi dilengan kiri Jungkook. Menatap Ra In sekilas kemudian pergi meninggalkan ruangan Jungkook untuk mengkonfirmasi keadaan Jungkook pada Dokter Bram.
Ra In masih tidak habis pikir dengan ucapan Jungkook. Bagaimana mungkin Jungkook melupakan Jimin?
Apa ingatannya mundur dan...
"Jelaskan apa aku koma selama itu hingga melewatkan pernikahan kalian?"
"Kau dan Jimin..."
Tiba-tiba datang kedua orangtua Jungkook dan Ra In beserta kelima teman-temannya. Mereka semua mengerubungi Jungkook sementara Ra In mundur beberapa langkah. Perempuan itu masih syok dengan semua kenyataan ini.
"Rapmon, Suga, Jin, J-Hope, V. Dimana Jimin?"
Jungkook menoleh saat dengan kompak kelima temannya menunjuk anak kecil di gendongan Ra In. Nyatanya bukan si Jimin kecil yang Jungkook cari.
Beberapa detik berikutnya datang Dokter Bram bersama Dokter Niel menghampiri Jungkook.
"Tuan Jungkook sepertinya mengalami kemunduran ingatan"
...
Kenapa takdir seolah mempermainkan hidup Ra In. Belum selesai otaknya menemukan jalan meminta maaf pada Jungkook, masalah baru malah muncul kembali. Kenapa Jungkook malah terjebak dimasa lalu?
Ra In jadi ingin tenggelam saja dirawa-rawa.
Deru nafas lelah terdengar berhembus dari bibir Ra In. Ia sudah berada dirumah karena dipaksa istirahat oleh kedua mertuanya. Tapi, setelah berada didalam kamar ia hanya bisa tidur dua jam lalu terbangun kembali. Tangannya bergerak mengambil ponsel diatas nakas dan mencari nomor Min Rae.
Begitu sambungan teleponnya terhubung, ia menempelkan benda pipih itu ketelinganya.
"Wae, Ra In?"
Ra In mengambil posisi duduk dan menyenderkan punggungnya ke bantal.
"Hmm...apa Jungkook sudah tenang?"
"Ra In--" entah kenapa terdapat nada kecewa di kalimat Min Rae.
"Jungkook terus saja bertanya dimana Jimin. Bukan Jimin anak kalian. Tapi..."
"Arra.." potong Ra In cepat. Tangan kanannya menyibak rambut kebelakang.
"Sekarang dia sedang apa?"
"Apalagi? Bercerita seakan kita masih SMA. Rapmon dan yang lain sudah mencoba mengingatkannya. Tapi, Jungkook tidak pernah percaya"
"Eotteohge? Aku pusing Min Rae"
"Kau istirahat saja. Nanti ku kabari lagi"
Benar juga. Sepertinya Ra In harus menata hatinya mencoba menerima kenyataan. Sebelum lagi dan lagi air matanya luruh.
Setelah memutuskan sambungan teleponnya, Ra In tidak berniat kembali istirahat. Ia malah turun dari tempat tidurnya. Kakinya melangkah menghampiri lemari lamanya. Iya, Ra In tidur dirumah orangtuanya.
Sebuah peti kecil menyita perhatian Ra In. Ia membukanya dan mengeluarkan isinya. Masih begitu membekas diingatannya saat Jungkook mencium bibirnya untuk pertama kali di dalam pesawat.
Ra In beberapa kali mencoba melepaskan tangannya dari Rapmon. Ia dibuat kebingungan saat tiba-tiba pria itu menariknya paksa. Memang si Rapmon sudah gila.
"Lepaskan aku Rapmon. Aku sedang bekerja"
Ini kenapa sepertinya Jungkook dan teman-temannya sedang mengerjai Ra In.Mereka pasti sengaja mencari tahu pesawat yang akan menjadi penerbangan Ra In. Berpura-pura bertemu dan memberitahu mereka akan berlibur ke Hawai. Tapi, Ra In sudah hapal kelakuan mereka.
Setelah melewati beberapa pintu, Ra In tidak lagi ditarik oleh Rapmon. Mereka bahkan berhenti tepat ditengah kursi penumpang. Rapmon menjauh beberapa langkah dari tempat Ra In berdiri.
"Apa--" Ra In tidak jadi melanjutkan kalimatnya begitu melihat Jungkook berdiri didepannya sembari memegangi kotak...
Apa Ra In sedang bermimpi? Tidak mungkin Jungkook membawa cincin segala. Bukankah dia hanya akan mengerjainya?
"Will you marry me?"
Kenangan itu sangat indah. Dan bagaimana bisa dilupakan dalam satu bulan. Ra In mengeluarkan semua foto itu dan menyambar mantel yang berada ditempat tidur.
Sebelum melangkah pergi, Ia membawa Jimin yang bahkan masih tidur. Untung saja putranya tidak terbangun.
"Ra In mau kemana?" tanya Ayahnya. Oh, iya. Ayah Ra In belum kembali ke rumah sakit sejak mengantar Ra In pulang. Dia juga harus kembali bekerja. Ayah Ra In bahkan baru pulang dari kantor.
"Sore begini mau kemana? Jimin mau dibawa kemana?"
Ra In menatap wajah nyenyak putranya. Kemudian beralih menatap Ayahnya.
"Aku harus berusaha mengingatkan Jungkook"
"Bagaimana bisa ia melupakan putranya"
Kemudian Ra In menidurkan Jimin disamping kursi mengemudi. Ia kemudian masuk ke mobil dan melaju di bawah langit yang mulai menghitam.
Bagaimana bisa kau melupakan ciptaan mu, Jungkook!
TBC
Watduh...Eomma Ra In nge-gas gengss ...
Annyeong😉 pemirsah...pemirsah...akhirnya setelah beberapa lama bisa update juga. Maklum si Author lagi bertapa.

Hahaha...Thanks ya untuk semuanya.🤗
Jangan Lupa Voment Okay 😘
@yurriansan Iyaa ya, haha😁. Soalnya aku mikirnya kata-kata yg itu kayanya sering deh didenger, wkwkw. But, thanks masukannya. 😊
Comment on chapter Dia-ku