Sssttt....Typo nya di lewat aja ✌
Gadis itu bolak balik dari lantai dua ke lantai tiga. Dari kamar rawat Jimin ke ruang ICU Jungkook. Masih tidak satu pun yang pasti. Jimin masih ditangani dan begitupun dengan Jungkook.
Ibu Jungkook terus menangis dengan ditenangi oleh suaminya. Sementara kedua orang tua Ra In memperhatikan kecemasan anaknya.
"Tenang Ra In. Kau tidak bisa diam dan tenang saja?" Eomma membelai lembut surai putrinya. Terpaksa Ra In harus duduk disamping Ibu dan Ayahnya.
"Jungkook akan segera baik-baik saja. Kau jangan khawatir, nak" ujar Ayah Ra In.
Setidaknya Jungkook memiliki banyak doa untuk saat ini. Ra In juga percaya Jungkook pasti kuat.
"Keluarga Jeon Jungkook" tiba-tiba suara seorang Dokter menginterupsi. Sontak kedua orang tua Ra In dan Jungkook serta Ra In sendiri ikut menghampiri sang Dokter.
"Bagaimana keadaan anak saya Dokter?" panik Ibu Jungkook.
"Benturan dikepalanya begitu keras. Syukurlah pendarahannya tidak terlalu banyak. Tapi..."
"Tapi apa Dokter?" sanggah Tuan Jeon.
"Kemungkinan setelah sadar matanya mengalami sedikit gangguan. Saya harap itu hanya kesalahan saya. Kita akan menunggu hasil CT-Scan nya. Mohon jangan dulu masuk. Karena pasien akan dipindahkan ke ruang rawat, baru setelah itu boleh dijenguk. Permisi"
Semua yang ada disana hanya bisa mengangguk setelah mendengar penjelasan dokter. Air mata terus mengalir dari mata Ibu Jungkook. Sedangkan Ra In, gadis itu bahkan serasa tidak bernafas dalam beberapa detik.
...
Bip
Bip
Bip
Sekali lagi, untuk yang kedua puluh ribu kali Tuan Park menyeka air matanya. Wajahnya nampak sangat gusar dengan lekukan senyum yang menyambut anaknya.
Diatas ranjang rumah sakit itu, Jimin tengah tersenyum meskipun tubuhnya terpasang banyak alat-alat.
"Appa..A--"
"Kenapa Jimin?" Tuan Park tidak begitu jelas mendengar suara anaknya. Karena itu ia memilih duduk disampingnya sembari memperhatikan gerakan bibir Jimin.
"Appa...Ak-Aku ingin bertemu Jung-Jungkook"
"Kau tahu bahwa Jungkook kecelakaan? Seingat Appa kau masih tidur nak"
Benar, Jimin memang tertidur. Tapi, Jimin baru saja terbangun karena teriakan Ra In. Tidak ada yang menyadari sampai Jimin mengeluarkan rintihannya. Namun, untuk menjawab kalimat panjang rasanya Jimin tidak sanggup. Ia membiarkan Ayahnya menerka-nerka sendiri.
"Nanti kalau Jungkook sudah sadar kita kesana ya, sekarang kamu istirahat saja dulu biar kuat lagi"
Jimin memejamkan mata menuruti perintah Ayahnya sekaligus merasakan sesuatu lain di tubuhnya. Begitu Jimin terlelap, Tuan Park keluar dengan gontai meninggalkan ruang rawat anaknya.
Drrt...drrt...
Ponsel disaku mantelnya terus berteriak tanda notif masuk. Tapi, Tuan Park kehilangan selera untuk membukanya.
"Ahjussi..Jimin bagaimana?" tanya Jin dan Rapmon yang memang memilih menemani Ayah Jimin. Mereka tidak tega melihat pria itu sendirian menunggui anaknya. Sedangkan Jungkook, mereka yakin banyak orang mendoakannya. Cukup doa yang dipanjatkan oleh Jin dan Rapmon.
"Dia sudah sadar tadi. Tapi saya suruh tidur lagi. Jimin juga meminta agar bertemu Jungkook"
"Jimin Arra?" heran Jin.
Ayah Jimin mengangguk. Sebenarnya dia saja bingung Jimin bisa tahu.
"Kalian pergilah melihat Jungkook" pinta Tuan Park.
Jin dan Rapmon mengangguk. Memang sedari tadi mereka sangat khawatir pada Jungkook.
...
Diusapnya penuh kasih sayang wajah Jungkook oleh Ibundanya. Air mata perempuan paruh baya itu seolah tidak pernah habis walau terus mengalir. Dadanya sesak melihat keadaan anaknya. Akhir-akhir ini masalah terus mendatangi Jungkook. Malam itu, dimana Jungkook meracau soal Ra In dan Jimin, Ibunya menyadari betapa sulitnya hari-hari putranya.
Ra In terus memandangi perilaku Ibu Jungkook. Gadis itu bahkan menolak ikut pulang dengan kedua orangtuanya demi melihat Jungkook.
"Bibi...berhentilah menangis. Kookki adalah anak yang kuat. Ku yakin dia baik-baik saja" ujar Ra In menenangkan dengan tangannya yang sibuk mengelus pundak Ibu Jungkook.
"Ra In-ah...Jungkook pasti merasa bersalah pada Jimin. Dia cerita pada Bibi kalau--"
"Tidak, Bi. Ini semua bukan salahnya. Kanker Jimin memang sudah parah"
"Semoga Jimin juga baik-baik saja ya"
Ra In mengangguk disusul senyuman hangat Ibu Jungkook. Jika Jungkook saja merasa bersalah lalu apa kabar dengan Ra In? Bukankah Jungkook emosi karena melihat dia jalan dengan Jimin.
Jungkook menggeliat kemudian mengerjapkan mata.
"Kookki kau sudah sadar, nak?" enang Ibunya.
"Syukurlah Kookki"
Jungkook mengucek matanya karena pandangannya gelap. Tidak mungkin kalau rumah sakit bisa gelap.
"Kenapa Kook?" panik Ra In teringat kalimat Dokter setelah keluar dari ruang ICU beberapa jam yang lalu.
"Apa aku tidak bisa melihat?"
Nyonya Jeon menutup mulutnya dengan sebelah tangannya seraya menggelengkan kepala. Tidak mungkin! anak semata wayangnya. Putra kesayangannya harus mengalami ini semua.
"Eomma....Ra In...Jawab!" bentak Jungkook.
Braakkk!
Pintu ruang rawat dibuka keras oleh Dokter yang tergesa-gesa bersama Ayah Jungkook, Jin dan Rapmon.
...
Sekolah yang biasanya merupakan tempat teramai bagi Ra In seolah sepi tanpa penghuni. Istirahatnya kini digunakan untuk mempelajari soal di perpustakaan.
Gadis itu menenggelamkan kepala pada buku nya. Tiba-tiba isakan kecil keluar begitu saja. Dadanya sesak mengalami semua hal itu. Seolah takdir tengah mempermainkan nya.
"Well...ducky doll itu mirip kamu Jimin"
"Ko bisa?"
"Bibirnya mirip denganmu"
"Kau mengataiku dower? oh ya Tuhan, Nam Ra In. Kau merendahkan harga diriku. Aku tidak terima dikatai seperti itu. Apa-apaan, dari sekian banyak jenis boneka. Kau memilih ducky doll karena bibirnya mirip dengan---"
Cup!
"Kita seri. Kalau kau terus mengomel kapan akan memberikan ducky doll itu untukku? Aku juga tidak mengatimu dower. Bibirmu itu seksi"
"Salah siapa menciumku"
"Jadi kau tidak mau aku cium?"
"Cium aku lagi kalau aku berhasil"
"Mwo? akan aku pikirkan"
Betapa manisnya hari itu. Ra In masih ingat bagaimana senyum Jimin begitu bahagia. Jimin yang ceria, Jimin yang perhatian.
"Jimin....hiks..hikss..."
"Huwaaa....hiks..."
Ra In menangis melupakan dimana ia kini berada. Dengan menutup wajahnya gadis itu menghalau setiap pandangan yang mengarah padanya.
"Ra In" sebuah suara lembut masuk kedalam telinganya. Ra In mendongak dan mendapati Minhyun berada didepannya dengan seorang petugas perpustakaan.
"Kau kenapa Ra In?" tanya Minhyun.
"Aku sakit kepala. Sungguh...hiks. Rasanya sangat sakit. Huwaaa...." tangisan Ra In makin kencang. Minhyun segera menuntun gadis itu menuju UKS.
Butuh beberapa menit untuk menghentikan tangisnya, Ra In kini berbaring di ranjang UKS dengan Minhyun yang setia menemani.
"Ra In-ah...Gwenchana?"
"Ne.Gomawo Minhyun sunbae"
Minhyun tersenyum hangat kearah Ra In. Begitu melihat Ra In akan bangun dengan cepat Minhyun membantunya.
"Ra In...." tiba-tiba Min Rae datang dan menggandeng lengan Ra In. Membuat Minhyun menggeser posisi. Ra In sangat bersyukur Min Rae datang tepat waktu. Entah bagaimana jadinya kalau dia malah dituntun Minhyun.
Mereka berdua memasuki kelas setelah Minhyun pergi kekelasnya juga.
Akibat menangis yang tidak terduga-duga, mata Ra In terlihat sembab. Wajahnya lesuh dan jangan lupakan rambutnya yang sudah dicepol asal. Min Rae menatap nanar sahabatnya. Seakan semua energi hilang dari tubuh Ra In.
"Ra In-ah...ikut yuk lihat pameran lukisan. Kamu kan suka melukis"
Ra In menggeleng. Pikirannya kacau dan tidak bisa menerima ajakan Min Rae.
"Ini hanya ada setahun sekali. Ayolah Ra In..."
"Baiklah" akhirnya Ra In mengalah. Bagaimanapun sepertinya ia perlu menenangkan hatinya.
...
Prangg!
Jungkook tersentak mendengar pecahan gelas akibat dirinya. Niatnya mengambil gelas karena haus tapi, ia malah menjatuhkannya.
"Ini Kook" tangan Jungkook diraih seseorang dan diarahkan menyentuh sebuah gelas. Namun, ia malah kembali menjatuhkannya.
Jungkook benci dikasihani.
"Mian.." Jungkook hapal betul suara berat itu. Suara itu pasti milik Suga. Andai Jungkook masih bisa melihat ia yakin wajah Suga pasti menyesali perbuatannya.
"Mian menyalahkan mu.Kook..."
"Hentikan, Suga! Kau tidak salah. Aku yang salah" Jungkook meraba-raba ranjangnya dan hendak kembali berbaring. Namun itu tidak semudah yang dia bayangkan.
Suga menuntun Jungkook dan membantunya menaiki ranjang.
"Kook, Jimin ingin bertemu"
"Andwae...Suga kumohon tolong jangan katakan apapun pada Jimin. Katakan saja, aku baik-baik saja. A-aku bisa melihat. Jebal..."
"Wae?"
"Dia akan memikirkan itu. Biarkan dia hanya mendengar kabar baik saja"
Suga mengangguk meskipun tahu bahwa Jungkook tidak mungkin melihatnya. Ia mengeluarkan ponselnya dan membuka panggilan pada Ra In.
"Yeoboseo..." sapa Suga.
"Ada apa Suga?"
"Kau dimana?"
"Sedang di pameran. Wae?"
"Kapan kesini? maksudku ke rumah sakit"
"Hari ini aku tidak kesana. Mianhe"
"Oke, arasheo"
Tut.
Diliriknya kini Jungkook yang tengah mematung dengan tatapan kosongnya. Suga memberi tepukan di bahu Jungkook. Sudah lama rasanya mereka tidak melakukan hal itu.
Suara pintu terbuka membuat Suga menoleh. Tidak dengan Jungkook yang masih diam. Mau menoleh pun percuma. Jungkook tidak akan tahu siapa orang itu.
"Annyeong..." satu-persatu temannya menyembul masuk kedalam kamar rawat Jimin. Ada Rapmon yang selalu ngeri lihat orang sakit. J-Hope yang setia menemani Jimin. Si polos Taehyung. Dan Jin yang sudah tidak lagi bermain wanita.
...
"Hai....Jimin.."
Jimin tersenyum mendapat sapaan hangat dari Jungkook. Namja itu memakai pakaian pasien senada dengannya. Jimin lega melihat Jungkook baik-baik saja. Hanya ada perban kecil di kening nya.
"Jungkook ayo duduk" Suga menarik Jungkook duduk disofa. Pandangan Jungkook lurus saja ke depan.
"Jimin sudah minum obat?" tanya Jin. Dan dibalas anggukan oleh Jimin.
J-Hope dan Rapmon sibuk menjahili Taehyung yang kalah bermain game online di ponsel Jin. Mereka tidak berhenti tertawa mengisi keheningan dikamar rawat Jimin. Hanya Jungkook yang diam dengan pandangan tetap lurus kedepan.
Jimin yang memperhatikan jadi semakin aneh.
"Kook..." panggil Jimin.
"Iya?" sahut Jungkook. Satu hal membuat Jungkook lain hari ini. Setiap dipanggil harusnya ia melihat orang itu. Tapi, Jungkook malah diam saja. Ia tetap tidak memandang Jimin.
Jimin terkejut luar biasa. Apa yang sebenarnya Jungkook sembunyikan darinya. Dengan berpura-pura bisa melihat?
"Kenapa Jimin?" timpal
J-Hope. Kemudian Jimin hanya menggeleng dan menutup matanya. Jimin ingin tidur. Jimin ingin rencana apapun yang disusun sahabatnya berhasil. Jimin mungkin akan berpura-pura tidak tahu saja.
...
Tepat pagi minggu yang cerah diiringi semilir hawa dingin menuntun langkah Ra In memasuki gedung rumah sakit. Tas di punggung nya menemaninya untuk hari ini. Ada sesuatu yang ingin Ra In lakukan.
"Jimin..." Ra In berlarian menghambur ke dekat Jimin yang tengah duduk di kursi roda dan dibawa berkeliling oleh Ayahnya.
"Annyeong Jimin...Annyeong Appa" sapa Ra In bersemangat. Tuan Park tersenyum mendapat panggilan Appa dari Ra In.
Mereka berjalan bersama menuju taman rumah sakit. Jimin yang kini didorong oleh Ra In merasa sangat bahagia melihat kembali gadis itu. Tuan Park hanya menyaksikan anaknya dari tempat semula yaitu didepan rumah sakit.
Ra In menghela tubuhnya hingga sampai didepan Jimin. Ia duduk di kursi tepat didepan Jimin. Kemudian gadis itu mengeluarkan buku sketsa miliknya dan sebuah pensil.
"Hari ini. Aku ingin membuat sketsa wajahmu, Jimin. Akan ku perlihatkan kemampuan ku. Kau siap? tersenyumlah"
Pelan-pelan Jimin melengkungkan bibirnya. Bibir yang Ra In bilang mirip boneka bebek waktu itu.
Gadis itu begitu telaten mengukir pensil nya. Jimin baru bisa melihat wajah serius Ra In. Biasanya gadis itu akan bertingkah manja.
Ra In-ah...Jangan pernah menganggap bahwa perpisahan adalah akhir dari segalanya. Terima kasih sudah mau ikut pusing dengan takdir ku. Aku yakin kau akan bahagia meski bukan denganku...
Jimin merasakan kini tangannya mulai bisa digerakkan. Jari telunjuknya ia mainkan. Namun, hanya tangan kanannya saja. Jimin tidak merasakan apapun selain itu.
"Jimin...aku sudah selesai. Lihat sudah jam berapa sekarang" Ra In menunjukkan jam tangan dipergelangan tangan kirinya pada Jimin.
"Waktunya minum obat"
Gadis itu memutar tubuh ke belakang kursi roda dan mendorong Jimin memasuki gedung rumah sakit. Tuan Park ikut melangkah bersama mereka.
Sesampainya diruang rawat Jimin, Tuan Park mengambil obat Jimin dan membantunya meneguk. Dia sangat senang Jimin tidak menolak obatnya. Mungkin karena ada Ra In.
"Wah...obat Jimin habis. Appa pergi temui Dokter dulu ya" pamit Tuan Park setelah memastikan Jimin terbaring. Ra In mengangguk mengiring hingga Tuan Park keluar.
Ra In duduk disamping ranjang Jimin. Tangannya bergerak membuka buku sketsanya. Ia menunjukkan gambar wajah Jimin yang baru saja di gambar nya. Gadis bermarga Nam itu tidak berhenti tersenyum. Meski dihatinya penuh luka sekalipun, didepan Jimin dirinya tidak ingin menunjukkan kesedihan.
"Jimin...Aku ingin suatu hari nanti bisa membuka pameran lukisan. Dan lukisan pertama yang akan ada disana adalah dirimu" tunjuk Ra In.Ia menggenggam tangan Jimin yang dingin dan mengeratkan jari-jarinya.
Aku juga percaya suatu hari nanti keinginanmu itu akan terjadi.
Ada rasa bagai ditusuk tepat diulu hati Jimin. Rasanya sakit sekali. Sampai namja itu memejamkan matanya. Dan sekelebat bayangan Ibunya yang memakai gaun putih dan melambai padanya kembali bermunculan.
Ra In mengira Jimin tidur, Dielusnya pipi Jimin. Kemudian gadis itu berlalu keluar dari kamar rawat Jimin.
Sepeninggal Ra In, Jimin membuka kembali matanya. Ia berusaha sekuat tenaga untuk bangkit. Menggunakan tangan kanannya yang mulai bisa digerakkan, Jimin memegangi dadanya yang sakit luar biasa. Dia meraba-raba nakas disampingnya hendak mencari ponsel.
Hingga cairan merah pekat mengalir dari hidungnya. Namun, Jimin tetap melanjutkan kegiatannya. Jimin memegang erat ponselnya.
...
Keesokan harinya, sepulang dari sekolah. Tiba-tiba Tuan Park menelfon Ra In dan memintanya datang kerumah sakit. Ra In yang saat itu pulang terlambat karena ada bimbingan dengan Minhyun sampai dirumah sakit tepat pukul 16.00 KST.
Ra In menemukan Jimin yang tengah dijaga oleh Ayahnya di taman belakang. Taman rahasia dirumah sakit yang menjadi tempat tinggal para kucing kesayangan Dokter Niel. Taman itu juga saksi awal kembali dekatnya Ra In dan Jimin.
Ra In pikir ia hanya melihat Ayah Jimin. Tidak! Ia melihat serta teman-temannya ada disana. Rapmon dan Taehyung yang duduk dibawah sembari menundukkan kepalanya. Ada Jin, Suga dan J-Hope yang sibuk bermain dengan kucing. Serta Ayah Jimin yang menghampiri Ra In.
"Ra In-ah..."
Ditatapnya wajah Tuan Park dengan pandangan haru. Ra In melihat garis kesedihan diwajah pria paruh baya yang dianggapnya seorang Ayah. Ra In menemukan sisi perbedaan di wajah pria itu.
"Jimin ingin melihatmu. Saya tinggal ya ada urusan" tutur Tuan Park beralasan.
Peralahan-lahan Ra In mendekat ke arah Jimin. Ia melangkahkan kakinya dengan tatapan yang tidak pernah lepas dari Jimin. Seolah Jimin hanya miliknya. Namun, hari ini Park Jimin nya itu berbeda. Jimin nya lebih pucat dan lemas. Ia mengelabui keadaannya dengan senyum manisnya.
Ra In berjongkok didepan Jimin. Gadis itu terkejut saat Jimin mengusap pipinya.
"Kau bisa menggerakkan tanganmu?"
Jimin beralih menggenggam tangan Ra In.
"Aku...mau jalan-jalan denganmu" pinta Jimin dengan suara paraunya. Ra In sontak mengangguk antusias. Ia segera beranjak memegangi gagang kursi roda. Di dorong nya kursi roda Jimin menuju keluar rumah sakit. Ia ingin menunjukkan udara segar sore hari pada Jimin.
"Jimin tau? aku kembali mewakili sekolah untuk lomba nanti"
"Jimin...sebentar lagi aku ulang tahun. Aku hanya memberitahu mu. Aku tidak sabar mendengar kau mengucapkannya"
Roda-roda kursi terus berputar hingga keluar dari gedung rumah sakit. Dari kejauhan, Ra In melihat ada sebuah bangku. Ia mendorongnya menuju kesana.
"Jimin...tidak terasa ya sebentar lagi kita bakalan naik ke kelas tiga. Kau harus sembuh dan ikut ujiannya nanti"
Ra In terus saja mengoceh sendiri. Ia tidak pernah mendengar sahutan dari Jimin. Begitu sampai dibangku depan rumah sakit, Ra In yang hendak mendudukan diri disana seraya melukis sketsa wajah Jimin, lebih tertarik berjongkok didepan Jimin.
Jimin pasti ketiduran, pikirnya. Jimin dengan wajah pucatnya memejamkan mata. Ra In menggerakkan jemarinya mengelus punggung tangan Jimin.
Beberapa menit berlalu dengan posisi sama. Ra In yang menggenggam tangan Jimin. Dalam beberapa menit itu Ra In meyakinkan sendiri dirinya untuk menepis hal-hal yang terjadi. Ra In mencoba menghalau kenyataan. Hingga hatinya mencelos. Ra In rapuh dan air mata luruh dengan isakannya.
"Jimin...hiks."
"Jimin...Ireona jebal..."
"Ji-jimin..."
"Jimin...andwae"
TBC
Jangan Lupa Vomentnya ☺
Jimin ❤

@yurriansan Iyaa ya, haha😁. Soalnya aku mikirnya kata-kata yg itu kayanya sering deh didenger, wkwkw. But, thanks masukannya. 😊
Comment on chapter Dia-ku