Happy reading...
.
.
.
Sejak kejadian Jungkook mencium pipi Ra In kemarin malam, membuat Ra In akan beringsut menjauhi Jungkook kalau namja itu mendekatinya.
Apa yang Ra In rasakan malam itu adalah sebuah perasaan yang merasa bersalah. Ra In merasa sudah terlalu jauh membuat Jungkook salah paham.
Seandainya Jungkook mengetahui perasaan Ra In yang sebenarnya. Apakah dia akan tetap mencintai gadis itu. Perasaan seperti itulah yang kian hinggap dihati gadis itu.
Ra In menghela napas melihat makan siangnya terasa cepat sekali habis. Bukan berarti Ra In berlebihan. Hanya, perutnya tiba-tiba terasa semua isi didalamnya hilang begitu saja.
"Kau sedang makan banyak ya?" tanya Min Rae.
"Aku sedang ingin makan.....yang banyak. Hehe..."
"Ambil punyaku kalau kau kurang"
Ra In menggeleng memilih meminum saja. Benar, perutnya memang masih lapar. Tapi, Ia juga takut kalau-kalau sakit perut akibat makan banyak.
"Haii pacarku..."
Ra In menoleh saat Jungkook menyapanya dan sudah mengambil tempat disamping gadis itu. Ia membawa nampan makanannya dan mengunyah tanpa ragu.
"Makananmu sudah habis?"
"Hmm"
Ra In menolehkan kepalanya mencari teman-teman Jungkook. Karena biasanya saat istirahat mereka suka berkumpul.
"Haii guyss..."
Baru saja Ra In akan bersyukur hanya Jungkook yang menghampirinya, tidak tahunya semua datang dan mengerubungi Ra In dan Min Rae.
Rapmon dan Taehyung duduk dikanan dan Kiri Min Rae, sedangkan Jin, J-Hope dan Suga duduk disebelah Ra In. Hari ini semua ada kecuali Jimin.
Ra In mengabsen satu persatu teman Jungkook tapi ia tidak menemukan Jimin disana. Apa Jimin memang tidak suka masuk sekolah?
Ra In akan berdiri kalau Jungkook tidak menahan tangannya. Alhasil Ra In kembali duduk dan menunggui Jungkook makan.
"Min Rae kau mau sosis ini?" Rapmon mengacungkan sumpitnya kearah Min Rae.
"Tidak usah"
"Hahaha...si Sate, pengen modus tapi gagal" ejek Suga seraya memakan sosis yang akan Rapmon berikan pada Min Rae.
"Haii...Semua" Nayeon datang dan langsung duduk disebelah Jin karena Suga bergeser supaya gadis itu bisa duduk disamping Jin.
"Kau sudah sembuh Nayeon?" tanya Ra In senang akhirnya gadis itu sehat kembali. Nayeon mengangguk seraya tersenyum.
"Gomawo Ra In kau sudah mau mengantarku"
"Jin-ah...kenapa kau tidak menjengukku?" rajuk Nayeon. Sementara yang ditanya malah cengengesan dan mengelus puncak kepala Nayeon.
"Kemarin aku sibuk membantu Jungkook menyiapkan pesta orangtuanya. Mianhee"
"Begitukah?"
Entah apa yang ada ditangan Jin hingga berhasil membuat Nayeon luluh begitu saja. Nayeon menerima suapan dari Jin dan begitupun sebaliknya. Semua mata yang ada dimeja itu hanya bisa menyaksikan mereka dengan gumaman-ria.
"Ra In-ah..." Ra In menoleh dan mendapati Jungkook tengah mendekatkan wajahnya dengan tangan yang terulur kebelakang gadis itu. Pikiran Ra In seolah teracuni akibat kelakuan Jungkook malam itu. Ia menegang ditempat sambil menahan nafasnya.
"Andwae!!" Ra In bangkit dari duduknya dan melenggang meninggalkan kantin dengan berlari.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Taehyung. Jungkook mengangkat bahunya, dia heran juga ada apa dengan Ra In. Jungkook tadi memanggilnya supaya Ra In mengambil jarak karena Jungkook akan mengambil minum dari Suga.
"Mungkin dia berfikir kau akan menciumnya" ujar Jin.
"Liat bagaimana ia sudah berpengalaman" sahut J-Hope.
Min Rae menyesal tadi tidak ikut menyusul Ra In saja. Ia takut mengotori telinganya kalau berlama-lama ada diantara para namja BTS squad itu.
Jungkook mendongak dan dengan polosnya berkata.
"Aku sudah melakukannya"
"APA?!!" kelima temannya termasuk Min Rae dan Nayeon ikut kaget mendengarnya.
"Heii...apa yang kalian pikirkan. Aku hanya mencium pipinya. Pipi"
...
Bruk.
Ra In merutuki dirinya yang tidak berhati-hati, akhirnya ia menabrak seseorang. Ra In terjatuh kebawah dan matanya menatap sebuah tangan yang terulur kedepan.
"Minhyun sunbae---"
"Mau bilang maaf kan? tidak apa-apa. Lain kali berhati-hati ya" Minhyun tersenyum melihat wajah cemas Ra In.
Gadis ini---pikirnya. Andai saja ia bisa menjadi kekasihnya. Minhyun mengacak puncak kepala Ra In.
Ra In membungkuk sekilas kemudian kembali melanjutkan perjalanannya yang tertunda menuju kelas.
Ra In masuk ke kelasnya dan melihat teman-temannya merapat ke jendela.Mereka sedang memperhatikan sesuatu.Karena penasaran gadis itu pun ikut melihat kearah sana.
"Lee Daehwi. Itu...ada apa sih?" tanya Ra In pada Daehwi, teman sekelasnya.
"Entahlah Ra In. Sepertinya kegiatan penghijauan sekolah" jawab Daehwi.
Ra In mengangguk setuju karena yang dilihatnya juga banyak tanaman yang dibawa orang-orang. Sekolah Ra In memang sering melakukan penghijauan seperti itu. Katanya untuk menjaga kelestariannya.
"Nam Ra In" saat Ra In kembali ke tempat duduknya, tiba-tiba Min Rae datang dan duduk didepannya. Mereka saling berhadapan dengan Min Rae yang tidak hentinya tersenyum menggoda.
"Yakh! Kau sudah gila? tutup mulutmu. Kenapa tersenyum terus?"
Min Rae menutup mulutnya dengan kedua tangan supaya apa yang dikatakannya tidak sampai didengar orang lain.
"Jungkook mencium mu?"
"K-kau...tahu dari mana? itu...tidak!tidak begitu" sangkal Ra In gagap.
"Sudahlah, aku amat salah menanyaimu begitu"
Min Rae menyerah bertanya pada Ra In kalau gadis itu tetap menyangkal meskipun siapa saja tahu kalau Ra In menjawab seperti itu tandanya benar. Lagipula Jungkook sendiri yang sudah mengkonfirmasi nya.
Min Rae memilih melihat kearah teman-temannya yang sedang melihat keluar jendela.
"Sekolah akan mengadakan penghijauan lagi" kata Ra In yang melihat Min Rae penasaran.
"Oh"
"Min Rae..."
"Hmm"
"Kau benar, Jungkook menciumku. Bagaimana ini?"
Min Rae tertawa melihat wajah konyol sahabatnya. Harusnya ia senang, bukannya malah seperti dapat masalah.
"Itu bagus. Dia kan pacarmu. Ayolah...itu hanya pipi kan?"
"Kau pikir apa? bibir? Oh, yang benar saja"
...
Jimin bosan berada di rumah sakit berhari-hari. Serasa rumah sakit adalah rumah barunya. Bahkan karena koma Jimin yang begitu lama nyaris satu bulan penuh, ayahnya tidak membiarkan Jimin sekolah.
Di rumah sakit Jimin menghabiskan waktu dengan game di ponsel nya. Jika ponselnya lowbat, ia akan menonton televisi. Jika dirasa bosan Jimin akan main ke kantin untuk sekedar mengisi perut. Jimin juga suka berkeliling melihat betapa sibuk nya semua petugas rumah sakit disini. Terkadang jika sedang butuh ketenangan, Jimin akan pergi ke atap.
Jimin merindukan sekolah. Namja itu bahkan memberi tanda pada kalender dengan bolpoin tentang jadwal penting.
"Besok pasti ada penghijauan sekolah" gumam Jimin melirik nakasnya.
"Aku bosan..." Jimin melangkahkan kakinya keluar dari ruang rawatnya.
Jimin masuk ke dalam lift karena akan turun ke lantai dua, ia ingin membeli sesuatu di kantin kedua.
Jimin melihat-lihat sesuatu dan pesanannya selalu pada ramyeon cepat saji. Ia menyeringai kecil, Ini saja ia harus menunggu ayahnya pergi. Karena pastinya Ayahnya akan melarang Jimin makan makanan cepat saji.
"Huwaaa...." tangisan seorang anak kecil yang kira-kira berumur lima tahun membuat Jimin yang tengah menunggu pesanannya tertarik untuk melihat.
Anak itu memakai pakaian pasien sama seperti dirinya. Ditemani sang ibu yang sedang menenangkannya. Ibunya membawa balon ditangannya lalu kenapa anak itu tidak mau berhenti menangis.
"Huwaaa....aku tidak mau...hiks"
"Kalau tidak mau lalu kau mau apa, sayang. Ayo katakan, tadi kau bilang mau balon kan?" bujuk sang ibu.
"Jangan menangis sayang...nanti dadamu sakit lagi"
Jimin mengambil pesanannya dan menaruhnya diatas meja yang akan ia tempati untuk makan. Kemudian Jimin menghampiri anak kecil yang menangis dan berjongkok menyamakan tinggi mereka.
"Hai...anak manis kenapa kau menangis?"
Anak itu tidak menjawab malah terus menangis.
"Dia mau ketemu sama ayahnya. Suamiku janji akan menengoknya hari ini, tapi tiba-tiba dia ada meeting mendadak" jelas sang ibu. Jimin mengangguk mengerti mengapa anak laki-laki itu menangis begitu keras.
"Kau tau PS?" tanya Jimin seraya tersenyum imut membuat anak kecil itu diam dan penasaran.
"Ta-tahu" jawabnya singkat.
"Bagaimana kalau kita bermain?Hyung...tidak punya teman"
Anak kecil itu malah melirik ibunya seolah meminta izin. Setelah ibunya mengangguk anak itu menarik lengan Jimin antusias.
"Ayo Hyung...cepat lah"
...
Sampailah Jimin dan anak kecil itu diruang rawat Jimin. Bahkan ibu dari anak tersebut menitipkan anaknya pada Jimin.
"Siapa nama mu?" tanya Jimin seraya menyiapkan PS.
"Steve"
Mereka sama-sama duduk di lantai sambil bermain PS yang dijanjikan Jimin. Sesekali Jimin dapat dikalahkan oleh anak kecil tersebut. Jaman sekarang memang anak kecil lebih hebat.
"Annyeong..." pintu ruang rawat Jimin terbuka dan menampilkan seorang dokter yang datang membawa kantung kresek.
"Dokter tampan.." anak kecil itu menghambur ke pelukan Dokter Daniel. Rupanya mereka sudah sangat akrab melihat bagaimana dokter menggendong Steve.
"Kau sedang apa disini?"
"Aku bermain PS bersama Hyung tampan itu" tunjuk Steve kearah Jimin. Melihat Jimin tersipu dibilang tampan oleh Steve membuat Dokter Niel tersenyum. Ia memberikan kantung kreseknya kepada Jimin.
"Apa ini?" tanya Jimin. Saat mengetahui isinya, Jimin segera membukanya kemasannya. Ia senang bisa dibelikan ice cream gratis. Dokter Niel memang terbaik--pikir Jimin. Tapi karena gengsi namja itu cuma mengerlingkan matanya sebagai tanda terima kasih. Sekarang Dokter Niel yang bermain dengan Steve karena Jimin asyik menjilati ice cream nya.
"Hyung..." Steve menarik-narik ujung baju Jimin.
"Ayo Hyung main sama Dokter Niel" rengek Steve.
Jimin duduk disamping Dokter dan kembali memegang stik PS nya. Sementara anak kecil itu menonton sambil tiduran diatas sofa.
"Dokter Niel... ayo kalahkan Hyung itu"
"Wah...Hyung tampan hebat. Aku akan mendukung Hyung tampan saja"
Steve sibuk mengoceh memberi semangat pada Jimin dan Dokter Niel bergantian. Sebenarnya anak itu hanya mendukung pemain yang hebat saja. Salut!
"Kau hebat juga Jimin"
"Tentu saja" bangga Jimin.
Setelah bermain selama tiga kali akhirnya mereka berhenti karena mulai bosan. Steve juga sudah tertidur. Anak itu pasti kelelahan setelah bermain bersama Jimin dan Dokter Daniel.
"Apa penyakit Steve, Dok?" tanya Jimin merasa iba pada anak itu.
"Dia mengalami kelainan pada jantungnya. Sejak lahir Steve sudah divonis tidak akan hidup lama. Tapi, Steve anak yang kuat. Dia mampu bertahan hingga umurnya sekarang"
Jimin merasa sangat kasihan pada Steve. Ia sungguh seperti melihat dirinya sendiri. Hidup dengan rasa sakit dan wajah pucat. Bedanya Jimin divonis saat umurnya menginjak sepuluh tahun. Tapi anak itu, dia bahkan memilikinya sejak lahir. Kenapa Tuhan tidak mengambil nyawanya saja kalau begitu. Bukankah bagi anak seumur Steve itu memberatkan nya.
Jimin mengerjapkan matanya menyangkal agar air matanya tidak luruh. Namun, Dokter Niel melihatnya. Ia melihat Jimin hampir menangis mendengar kenyataan Steve.
"Baiklah, aku akan mengantar Steve ke kamarnya" Dokter Daniel berdiri dan membawa Steve dalam gendongannya.
"Dokter Niel"
"Hmm"
Jimin menghampiri Dokter Niel hingga mencapai pintu. Tangan Jimin terulur mengelus kepala anak itu.
"Tolong buat Steve hidup lebih lama" pinta Jimin.
"Hanya Tuhan yang menentukan"
Dokter Niel benar. Punya apa Jimin hingga menyuruh seorang dokter memberi waktu lama bagi manusia. Semua sudah ditulis dalam takdir Tuhan.
Menggunakan tangan kirinya yang tidak sibuk, Dokter Niel menepuk bahu Jimin.
"Istirahatlah..."
...
"Kenapa Eomma memberikan aku buku sebanyak itu?"
"Kau bilang Ra In pacarmu. Kau harus bisa membuatnya tidak menyesal berpacaran denganmu"
Jungkook mendengus seraya menghitung buku-buku tebal dihadapannya. Ibunya sengaja membelikan Jungkook buku supaya anaknya mau belajar dengan alasan Ra In.
"Kenapa Ra In harus menyesal menjadi pacarku?"
"Tentu saja dia akan menyesal. Gadis pintar seperti Ra In pasti akan mudah berpaling pada namja yang lebih unggul"
Eomma keluar menghentakkan kaki sambil menutup pintu kamar Jungkook. Perdebatan Jungkook dan Ibunya pasti akan berlanjut kalau saja salah satunya tidak mengalah pergi.
"Jungkook..." tiba-tiba ayah Jungkook datang dan membawa sebuah kantung kresek. Melihat anaknya akan belajar, ayah Jungkook membelikan minuman untuk anaknya.
"Ini minuman buat menambah stamina kamu. Belajar yang serius. Kamu sebagai anak tunggal loh"
"Ne Appa"
"Jangan suka bolos, katanya pacaran sama Ra In tapi kelakuan kaya berandalan kamu tuh"
"Iyaa iya. Udah Appa mending keluar. Aku nggak konsen kalau diceramahi terus"
"Oke"
Setelah Ayahnya pergi Jungkook mengunci pintu kamarnya takut ada yang kembali masuk. Ia pun membuka minuman pemberian Ayahnya dan menutup kembali buku-bukunya. Sekarang Jungkook meraih ponselnya dan menyumpal telinganya dengan aerphone Seraya mengirim pesan untuk Ra In.
To : My Girlfriend
Sedang apa?
Send.
Menunggu pesannya dibalas Jungkook melempar kaleng bekas minumannya kedalam tempat sampah lalu membaringkan dirinya ditempat tidur.
Tidak lama kemudian ponselnya berdering dan Jungkook kelimpungan saking senangnya melihat balasan.
Belajar. Kau?
Aku juga. Eomma menyuruhku belajar. Katanya aku harus pintar seperti Ra In, pacarku.
Apa kau mau aku pintar?
Aku suka kau apa adanya.
Jungkook meng guling-guling kan badannya membaca balasan Ra In. Hatinya sungguh berbunga-bunga sekali.
Benarkah?
Hmm...
Kemudian Jungkook mengerutkan keningnya. Ra In membalas seperti itu membuat Jungkook sakit hati.
Eomma membelikan aku setumpuk buku tebal.
Tidak usah dibaca
Kenapa?
Memangnya kau membacanya?
Tidak
Ya sudah.
Jungkook mengangkat senyumnya.
"Pacarku pengertian sekali"
Tidur jam berapa?
Setelah selesai ini
Apa aku mengganggu mu?
Mau jawaban jujur atau bohong
Bohong?
Aku tidak terganggu oleh pacarku
Jujur?
Alu tidak konsen menghitung karena pesanmu
Baiklah aku akan tidur
Okee
Jangan tidur malam-malam sendok itali
Iyaa pacarku
Setelah selesai dengan pesan-pesannya Jungkook memejamkan mata dan menarik selimutnya.
...
Ra In sudah siap dengan kaos olahraga nya. Gadis itu tidak semangat mengikuti pemanasan. Sejak pelajaran pertama menjelang istirahat tadi kepalanya pusing dan perutnya sedikit mual. Seharusnya setelah makan siang Ra In bisa kembali fokus. Tapi sekarang malah makin penat.
Gadis itu berlari menempati diri dengan timnya. Pelajaran olahraga siang ini adalah permainan bola Volli. Min Rae adalah tim lawan Ra In saat ini.
Kelas Ra In kebagian jam olahraga siang di minggu ini. Maklum jika cuacanya sedikit terik.
Saat akan melakukan service tubuh Ra In seolah berat, apalagi kepalanya. Perutnya kembali mual dan pusing di kepala nya bertambah parah. Pandangan Ra In tiba-tiba buram membuat bola ditangannya terjatuh begitu saja.
Hingga detik berikutnya Ra In terjatuh tidak sadarkan diri.
"Ra In-ah..." teriak Min Rae mendekati sahabatnya.
Segera saja Ra In dibawa ke UKS. Disana Min Rae setia menemani sahabatnya hingga rela bolos pelajaran berikutnya hingga pulang dan Ra In masih belum sadarkan diri. Akhirnya setelah menelfon orang tua Ra In, mereka membawa Ra In ke rumah sakit.
Jungkook yang baru tahu saat melihat orang tua Ra In datang ke sekolah pun ikut menyusul.
"Jungkook aku ikut ya ke rumah sakit?" Min Rae tidak bawa mobilnya hari ini. Dia begitu panik dan melihat Jungkook akan menyusul ke rumah sakit, Min Rae ingin menebeng mobil Jungkook.
Melihat Rapmon menuju parkiran tiba-tiba saja seringaian jahil Jungkook muncul.
"Ogah..Tuh ada Rapmon sana minta dia nganterin kamu"
"Rapmon--"
Min Rae mendengus sebal. Ia melihat kini Rapmon menghampiri Jungkook dan Min Rae.
"Kenapa?"
"Tuh anterin ceweknya" Jungkook menunjuk Min Rae dan langsung memasuki mobilnya.
"Jungkook...ih...nyebelin" erang Min Rae saat permintaannya ditolak dan Jungkook malah berlalu begitu saja. Si Jungkook cuma minta tebengan saja malah menolak. Min Rae sedih, dia tidak mau saat Ra In sadar nanti tidak melihat sahabatnya.
"Aku aja yang anterin. Ayoo" ajak Rapmon.
"Nggak usah. Aku bisa naik bis" tolaknya.
"Kelamaan, kasihan Ra In kalau dia sadar terus kamu nggak ada. Dia bakalan mikir kamu bukan sahabat yang baik. Mana Min Rae yang selalu ada buat--"
"Iyaa iya bawel ayo buruan"
Rapmon membukakan pintu mobilnya untuk Min Rae.
"Pakai sabuk pengamannya, cantik.."
TBC
๏ฟผ
Unch....Ra In ๐๐
@yurriansan Iyaa ya, haha๐. Soalnya aku mikirnya kata-kata yg itu kayanya sering deh didenger, wkwkw. But, thanks masukannya. ๐
Comment on chapter Dia-ku