Suara jarum jam dinding begitu misterius terdengar saling beradu dengan alat pendeteksi denyut jantung.
Seorang lelaki paruh baya terlihat sudah sangat lelah menanti anaknya terbangun. Dengan kantung matanya yang besar lelaki itu tetap setia duduk disamping anaknya yang tengah berbaring.
Jimin-ah...jebal..bertahanlah demi Appa .
Lelaki itu kembali menghela napas. Ia mengerutkan dahinya memandangi keadaan anak semata wayangnya.
Beberapa saat kemudian terdengar suara pintu terbuka, lelaki itu menoleh dan melihat Dokter Indri menghampirinya. Perempuan itu tersenyum, menyembunyikan kecemasan yang menimpanya. Dokter yang sudah menjadi pengobat Jimin itu mencoba terlihat tenang.
"Bisa bicara diruangan saya Pak?" kedua tangan Dokter muda itu tersembunyi dikedua kantung jas sneli nya.
"Oh, tentu saja dokter"
Mereka pun keluar dari ruangan Jimin dan pergi ke ruangan dokter Indri. Setelah masuk kedalam sana, Dokter Indri mempersilahkan ayah Jimin untuk duduk disofa sedangkan dirinya menghampiri meja kerjanya untuk mengambil hasil pemeriksaan Jimin.
Dokter Indri duduk berhadapan dengan ayah Jimin.
Sebelumnya Dokter Indri sangat gugup untuk mengatakan hal penting itu. Makanya ia sejak tadi tidak sanggup melihat wajah kliennya itu.
"Begini pak" Dokter Indri membuka dokumen ditangannya.
"Kanker hati yang diderita Jimin kini merambat mengenai jantungnya. Hal ini tentu saja sangat beresiko bagi Jimin"
Tiba-tiba dunia terasa sempit bagi lelaki paruh baya itu. Dadanya terasa terhimpit puluhan bahkan ratusan batu. Ia tidak tahu caranya bernafas dengan benar. Kakinya gemetaran hingga tak sanggup bertumpu. Lelaki itu pasti oleng jika saja tidak sedang duduk.
"Bagaimana dengan Jimin?" lelaki itu tidak tahu harus berespon seperti apa. Memikirkan sakit yang dirasakan Jimin adalah sesuatu yang sangat amat penting baginya.
"Kita bisa melakukan operasi" Dokter Indri mencoba membangkitkan semangat lelaki didepannya.
"Apa Jimin akan terus bersamaku?"
Pertanyaan apa itu? Dokter Indri bingung harus menjawab apa. Semua yang bernyawa hanya ditentukan oleh Yang Maha Kuasa kapan akan kembali padanya. Sebagai Dokter mungkin hanya bisa memberikan semampunya saja.
"Dokter bisakah menghilangkan rasa sakit yang diderita anakku?" ayah Jimin terisak bersamaan dengan kata-kata yang keluar dari bibirnya. Kedua matanya dengan cepat meluruhkan segala kesedihannya.
"Atau bisakah memindahkan penyakit itu padaku. Biar aku saja yang merasakannya"
"Tenangkan diri anda pak, saya sangat paham perasaan anda. Mari kita lakukan yang terbaik bagi anak bapak"
"Eotteohge?" Ayah Jimin memijat hidungnya dan berhasil menenangkan isakannya.
"Kita selamatkan jantung Jimin dengan kemoterapi" ujar Dokter Indri.
"Lakukan yang terbaik untuknya, dokter" ayah Jimin pasrah dengan keadaan ini.
Dokter Indri mengambil oksigen untuk paru-parunya. Menyampaikan keadaan pasiennya sungguh hal paling mengharukan bagi dokter itu. Meski begitu tidak mungkin ia malah menampakkan kecemasan.
...
From : Kookki
Kau sudah tidur? mimpikan Kookki-mu ini My star ๐
Spesies seperti Jungkook memang sering ditemui di dunia ini. Bahkan disatu sekolah saja ada banyak. Bahkan sepertinya Jungkook memang termasuk kedalam salah satu namja alay Korean High School.
Untung ganteng --- Nam Ra In menggerutu hanya dalam hati.
Bisa saja Ra In mengeluarkan semua isi perutnya. Pesan dari si Jungkook itu kelewat batas. Apa itu? perlukah ada tanda emoticon disana?
Nam Ra In melempar ponselnya asal. Meladeni Jungkook hanya akan membuat kepalanya pusing. Tak lama kemudian ponselnya kembali berdering. Ra In mengambilnya melihat siapa yang menelponnya, ternyata Jungkook lagi. Gadis itu pun kembali melempar ponselnya.
Selang beberapa menit setelah mengabaikan pesan-pesan dan panggilan-panggilan dari Jungkook, pintu kamar Ra In diketuk.
Dari dalam kamarnya, Ra In sudah bisa menebak bahwa diluar sana-yang sedang mengetuk pintu-itu adalah Jungkook. Kebiasaan yang selalu dilakukan Jungkook adalah mengusik ketenangan Ra In.
"Pergi Kau Kookki. Aku sedang belajar"
"Yakh! Kau selalu saja bisa menebak ini aku" Jungkook menghela napas diluar sana. Namja itu menyenderkan tubuhnya dipintu kamar Ra In.
"Kookki-yah"
"Wae?"
"Kau pergilah cepat"
Jungkook mendengus dibalas sekasar itu oleh sahabatnya. Meskipun kata-kata itu sudah biasa. Tapi tetap saja membuat dirinya sedih mengingat perlakuan itu dari gadis yang sudah lama dicintainya.
"Kalo aku tidak mau?"
"Eomma....." Ra In memperbesar volume teriakannya supaya bisa didengar oleh ibunya.
"Usir Jungkook!"
"Anni bibi. Aku tidak mengganggu Ra In. Bolehkan aku tetap disini?" Jungkook membuat wajahnya terlihat imut dan lucu. Membuat ibu Ra In hanya tersenyum melihatnya. Lagian suasana dan keributan antara Jungkook dan anaknya memang sering terjadi.
Nam Ra In didalam kamar akhirnya beranjak membukakan pintu untuk Jungkook.
"Annyeong sendok itali" tangan Jungkook melambai-lambai didepan wajah Ra In.
"Kookki-yah kau tidak bawa ice cream?"
"Kajja kita beli bersama"
"Aku ganti baju dulu ya"
Baru saja Ra In berbalik, tangannya digamit Jungkook membuat mereka kini berhadap-hadapan. Duh, jantung Jungkook bermasalah, bunyinya aneh jadi tidak beraturan.
"Wae?" tanya Ra In.
"Tidak usah ganti baju. Lagian kita kan pergi nggak jauh. Pakai apapun kau sudah cantik, sendok itali"
Gadis itu melihat penampilannya sendiri. Saat ini ia mengenakan baju tidur lengan panjang bergambar doraemon. Rambutnya tergerai sedikit berantakan.
"Setidaknya aku harus merapikan..." tangan Jungkook tiba-tiba saja memotong kalimat Ra In. Lelaki itu kini sibuk menyibak-nyibak rambut gadis didepannya.
"Kau cantik sendok itali"
"Kalau kau bilang sendok itali aku sungguh ragu. Kau bilang aku cantik tapi menyamakanku dengan sebuah sendok" gadis itu mendengus sambil menutup pintu kamarnya dan berlalu. Ia berjalan menuruni tangga selangkah lebih awal dari Jungkook.
"Aku bilang kau sendok itali. Itu sendok yang cantik tau. Aku punya berlusin-lusin di rumah. Aku menamakannya sebagai Nam Ra In. Oh...aku sungguh merindukan sendok italiku"
Jungkook sudah gila? sepertinya memang otak Jungkook belum pernah dijitak pakai sendok italinya itu.
Saat melewati ruang tengah, Ra In melihat ibunya sedang menonton televisi.
"Eomma aku akan pergi sebentar bersama Jungkook"
"Ne..tapi jangan pulang larut"
"Ra In aman bersamaku bibi" sahut Jungkook disamping Ra In.
Eomma tersenyum dan merekapun keluar. Mereka berjalan beriringan menuju sepeda Jungkook. Jungkook memang selalu membawa sepeda jika main kerumah Ra In karena rumah mereka dekat. Kecuali jika berangkat sekolah Jungkook akan membawa mobilnya.
...
Perlahan-lahan Jimin mampu membuka kedua matanya. Samar-samar pandangannya menyapu ruangan sedikit buram. Ia mengedipkan matanya hingga semua terlihat jelas. Ia melihat ayahnya tengah tertidur pulas diatas sofa.
Jimin melepas selang oksigen yang terhubung kehidungnya. Ia mencium harum ruangan khas rumah sakit yang begitu menenangkan baginya.
Pikirannya mencoba mengingat bagaimana dirinya bisa sampai di rumah sakit lagi, mengenakan setelan pasien ini lagi, dan tidur di bangsal rumah sakit ini.
Jimin menaikkan ranjangnya hingga posisinya setengah duduk. Ia mencoba meraih gelas berisi air putih karena tiba-tiba tenggorokannya kering. Namun, karena masih terlalu lemas gelas itu begitu saja luruh dari genggamannya. Hingga pecah dan bunyinya berhasil membuat ayahnya terbangun.
Prang!
Ayah jimin terkejut mendapati anaknya sudah terbangun. Lelaki paruh baya itu segera saja menghampiri anaknya.
"Jimin-ah" panggil Appa.
"Kau sudah bangun, Syukurlah. Oh, kau pasti haus ya. Appa akan ambilkan lagi, sebentar ya"
Ayah Jimin berjalan menghampiri dispenser air dan kembali sambil membawa gelas baru yang telah terisi.
Appa membantu Jimin meneguk air tersebut takut kalau-kalau gelas itu pecah lagi.
"Apa yang kau rasakan Jimin?semacam rasa sakit?"
"Anni Appa. Semuanya baik-baik saja sekarang"
Ayah Jimin menghela napas. Seandainya saja ada keajaiban Ayah Jimin ingin sekali bisa bertukar rasa sakit itu dengan anaknya. Ia rela dirinya saja yang merasakan itu semua.
"Appa pasti belum pulang ke rumah kan? lihat penampilan Appa, berantakan sekali" Jimin menatap Ayahnya "Pulanglah dulu, Appa"
"Baik, nanti appa pulang agak siangan"
Jimin mengangguk dan kembali
membaringkan tubuhnya sembari memandangi jam dinding. Hari ini teman-temannya pasti mencari Jimin.
Tangan Jimin meraba-raba dadanya. Ia merasakan degup jantungnya yang lemah.
"Sakit Jimin?" Appa melihat kelakuan Jimin yang memegangi dadanya. Apapun itu hanya kekhawatiran yang pertama kali muncul dipikiran ayahnya.
"Anni Appa. Aku hanya sedang mengecek jantungku. Akhir-akhir ini jantungku sering sakit"
Ayah Jimin bingung harus membalas ucapan anaknya bagaimana. Tidak mungkin ia mengatakan bahwa penyakit kanker di hati Jimin juga menyebar sampai ke jantungnya. Itu sama saja seperti mengatakan 'kau akan mati esok, nak'. Orang tua mana yang sekuat itu menyampaikan kabar buruk pada anaknya.
Lebih baik Jimin memang tidak usah tahu. Ayah Jimin mengambil ponsel anaknya dari nakas lalu menyodorkannya pada Jimin.
"Tidak usah berfikir aneh-aneh Jimin. Nih ponselmu, sudah sejak semalam berdering"
Jimin meraih ponselnya dan melihat banyak pesan masuk dan panggilan tak terjawab dari teman-temannya.
Ah, Jimin merindukan sekolah meskipun jarang masuk kelas. Lebih baik kena hukuman daripada harus teronggok dikamar rumah sakit. Bosan dan menakutkan.
"Besok Kau akan menjalani kemoterapi. Persiapkan dirimu Jimin-ah" senyuman Appa diakhir kalimatnya menenangkan Jimin semua akan baik-baik saja.
Sebenarnya kemoterapi adalah hal biasa bagi Jimin, tapi itu tidak bisa disamakan dengan saat kita biasa makan pedas yang setelahnya menghilang dan membuat ketagihan. Kemoterapi adalah hal menakutkan bagi Jimin.
"Aku takut meninggalkan Appa sendiri" Jimin berkata lirih dengan tatapan tak beralih dari ponselnya. Tangannya bergerak memainkan game diponsel namun, kata-katanya begitu berat.
"Bukankah Appa bilang dulu sangat benci ketika kehilangan Eomma. Lalu bagaimana saat aku benar-benar pergi juga, apa Appa akan benar-benar..." Jimin harus menutup mulutnya.
"Tolong berhenti berkata seperti itu Jimin" akan bagaimana jika Jimin benar-benar melanjutkan kata-katanya. Apa Appa harus mati disini. Hidup seperti dipermainkan takdir. Meninggalkan kenangan buruk dan berujung tangisan. Lelah...sungguh- sungguh melelahkan, tapi bagaimana?bukankah tuhan menitipkan takdir yang seperti ini??
"Meskipun memang kenyataannya begitu Jimin. Appa mohon jangan berkata seperti itu. Jebal..pikirkan saja tubuhmu. Appa akan benar-benar berusaha untuk itu" berat rasanya berkata seperti itu. Mata Appa sudah benar-benar berkaca-kaca. Kapanpun luruh seketika.
"Mianhee..." Jimin mengulum bibirnya yang sudah sangat kering.
Tiba-tiba senyum Jimin sedikit terulas. Tidak ada angin tidak ada hujan, Jimin teringat gadis yang satu tahun lalu berjalan mepet-mepet. Duh, gimana ya bahasanya? pokoknya, gadis itu berjalan tapi badannya tidak mau lepas dari dinding. Gadis itu memandang Jimin dengan mata indahnya saat Jimin memasangkan jaketnya dipinggang gadis itu.
Miss U...
Appa menyaksikan tingkah aneh anaknya. Senyum sendiri?mungkinkah sudah gila?
"Appa" panggil Jimin "Apakah..Appa juga seperti ini saat bertemu Eomma pertama kali?" tanya Jimin sedikit kurang jelas.
Ayah Jimin paham bahwa anaknya sedang jatuh cinta. Sudah lama ia menanti momen seperti itu. Dengan segala beban dikehidupan anaknya. Sekaranglah saatnya Jimin bahagia walau ayahnya tidak tahu seberapa lama itu akan terjalin.
"Siapa yeoja itu?"
"Appa belum boleh tahu"
"Appa kecewa. Tapi Appa akan tetap menunggu kamu memperkenalkannya nanti"
Jimin terkekeh seratus persen menanggapi perkataan ayahnya.ia saja tidak tahu kapan dipertemukan kembali dengan gadis itu. Yang bermata indah dan memiliki senyum manis.
...
Begitu mobil sudah memasuki parkiran sekolah, Ra In langsung turun dan lompat meninggalkan Jungkook sendiri. Sambil berlari-lari kecil gadis itu menuju ke kelasnya menghiraukan panggilan Jungkook.
Ra In segera mencari sesuatu di lokernya, ternyata benda itu tertinggal disana. Untung saja Ra In meninggalkannya didalam loker.
"Apa yang membuatmu terburu-buru?" Ra In menoleh ke sumber suara dan mendapati Jungkook telah berdiri dihadapannya. Pandangan Jungkook jatuh pada tangan Ra In yang sedang memegang buku.
"Buku diary? itu buku diary mu?"
"Ini buku catatan matematika, hari ini ada ulangan tapi aku malah meninggalkan buku ini kemarin"
"Oh...kirain buku diary"
"Sudah sana masuk ke kelas mu"
Jungkook mengacak rambut Ra In.
"Fighting! Sendok itali, Annyeong..." Jungkook berlalu dari hadapan Ra In kemudian gadis itu segera duduk di bangkunya dan mempelajari buku catatan matematikanya.
Sial, harusnya semalam ia mempelajari ini, bukan sekarang diwaktu yang mepet ini. Salah dirinya juga yang ceroboh meninggalkan buku catatan disekolah.
...
Saat Jam istirahat tiba, V atau Kim Taehyung dan Rapmon terlihat sedang mengobrol di kantin dengan makanan dimeja.
Beberapa lama kemudian Jin datang bersama seorang gadis dan duduk disamping kiri V. Kali ini bukan si Hani, karena baru saja kemarin mereka sudah putus. Gadis itu tidak pernah lepas dari lengan Jin, membuat semua mata yang melihat bergumam dengan pendapat masing-masing. Ada yang merasa kesal karena iri dengan gadis itu bisa menjadi pacar Jin, ada juga yang kesal karena sikap playboy Jin yang suka berganti-ganti cewek hampir setiap minggu.
"Lengket banget udah kaya dilem aja" pekik Rapmon.
"Kamu kapan V punya cemewew kaya om Jin?"
Jin menyunggingkan senyum menawannya. Ia melirik gadis disebelahnya lalu menyuapi gadis itu.
"Enak kan sayang?" tanya Jin pada gadisnya.
"Enak banget. Apalagi disuapin sama kamu kaya gini" ujar gadis disebelah Jin begitu halus membuat V dan Rapmon serasa ingin muntah mendengarnya.
"Aduh...duh nggak kuat" V mengaduk-aduk makanannya asal.
Tiba-tiba datanglah Jungkook, J-hope dan Suga menghampiri meja mereka. J-hope dan Jungkook duduk disamping Rapmon sedangkan Suga duduk disamping kanan V.
"Berasa ada yang kurang deh" celetuk Jin tiba-tiba.
"Jimin nggak ada. Kemana anak itu?" sahut Rapmon.
J-Hope yang satu kelas dengan Jimin akhirnya angkat bicara.
"Jimin nggak masuk sekolah" katanya.
"Tuh anak kalo bolos sendiri aja yaa" kata Suga mengambil ancang-ancang menusuk sosis dengan sumpitnya.
"Sayang aku mau pipis" pacar Jin berbicara seolah di kantin hanya ada dirinya dan pacarnya seorang. Teman-teman Jin yang lain hanya ikut menonton adegan Jin dengan gadis itu.
"Guys" Jin berdiri dan melihat kelima temannya yang sedang asyik makan, kecuali Rapmon yang sudah menghabiskan bagiannya.
"Aku cabut yaa"
"Sana-sana cebokin sekalian pacarnya" ujar Jungkook. Harus Ya bicara keras-keras menggemparkan seisi Kantin.
Jin tertawa mendengar lelucon Jungkook.
Jin dan gadisnya pergi dengan saling bergandengan. Entah kapan mereka akan terlepas.
"Kau kapan akan menyatakan perasaanmu pada Ra In?" tanya Suga membuat Jungkook kesusahan menelan kunyahannya.
Yang lain ikut melihat Jungkook.
Sebelum menjawab, Jungkook menghabiskan minumannya dan mengatur nafasnya sesaat. Selalu perasaan gugup seperti ini yang dirasakan Jungkook kalau membicarakan sendok italinya.
"Aku bingung guys" Jungkook menggarukki kepalanya yang tidak gatal sama sekali. Pikirannya kacau membayangkan Ra In bisa saja menolaknya.
"Besok saja gimana? biar kita yang atur tempatnya. Iya kan guys" ujar J-hope bak ketua panitia yang siap mengatur rencana.
"Pasti berhasil nggak nih?" Jungkook mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Jujur, Jungkook sangat takut menghancurkan pertemanannya dengan Ra In jika benar Ra In menolak.
"Sebutkan kebaikan dari diri Jungkook, guys" Rapmon menatap satu persatu kawan-kawannya.
"Ganteng" kata V
"Ganteng" J-hope ikut menjawab sama.
"Ganteng" begitupun Suga.
"Cuma itu? kalian benar-benar tau sangat keburukanku. Biar aku yang jawab. Aku usil, nakal, suka bolos dan sering mengganggunya" Jungkook menghela napas sesaat.
"Aghrr ..aku pasti ditolak"
V menepuk pundak Jungkook menyalurkan energi positif pada Jungkook.
"Cinta itu tidak perlu kesempurnaan. Karena kesempurnaan itu sifatnya melengkapi. Itu akan dengan sendirinya tercipta jika kalian bersama"
"Woww..." koor ketiga teman Lainnya, J-Hope, Rapmon, dan Suga.
"Gila...gila bahasanya broo..Quotes Bang V si Pecinta sejati" teriak Suga heboh sendiri.
"Baik, aku akan menerima ide kalian" Jungkook menjawab penuh keyakinan. Kali ini bersama kawan-kawannya. Apapun yang terjadi Jungkook akan mencoba menerima kenyataannya.
"Nah, gitu dong...percaya sama kita" pekik Suga.
Kata V, cinta tidak butuh kesempurnaan dan Jungkook mulai percaya itu. Dengan membayangkan semua kenangannya bersama Ra In. Kenangan berangkat dan pulang sekolah bareng, kenangan makan ice cream bareng, dan semua perkelahian kecil diantara mereka. Itu semua bukan kesempurnaan. Tapi merupakan bentuk sempurnanya cinta yang dirasakan Jungkook.
I do Love You Nam Ra In.....
Tbc
@yurriansan Iyaa ya, haha๐. Soalnya aku mikirnya kata-kata yg itu kayanya sering deh didenger, wkwkw. But, thanks masukannya. ๐
Comment on chapter Dia-ku