Amplop dengan hiasan cantik itu tergeletak di meja Sinta. Tak tersentuh. Namun, Ari paham mengapa wanita itu tak ada niatan untuk membukanya. Terlampau paham malah.
"Sin, undangan itu ... kamu enggak mau baca?" Ari duduk di samping Sinta, sembari mengangsurkan secangkir teh melati padanya.
Setelah mengucapkan terima kasih, Sinta menghela napas. Matanya masih terkunci pada undangan yang terabaikan di meja.
"Aku udah enggak tahu lagi mau gimana. Udah berakhir," tandas Sinta.
"Bisa beritahu gimana perasaan kamu sekarang? Kasih satu kata aja, selain galau. Semoga aku bisa bantu," ujar Ari.
Sinta tersenyum kecil, bukan, itu seringaian. "Satu kata selain galau? Kacau."
"Kamu enggak kreatif, itu cuma sinonimnya galau." Ari terkekeh ringan dan Sinta tetap mencoba untuk tersenyum.
Sinta mungkin wanita paling sabar yang pernah Ari temui selama hidup. Satu dasa warsa mengharap pria yang tak mungkin kembali dalam pelukan. Lalu saat pria itu kembali, ia justru membawa perempuan muda untuk melangkah menuju pelaminan.
"Kamu tahu, Ar? Papa paling benci pria seperti dia? Kamu tahu, 'kan apa sebabnya?"
Ari menghela napas, ia tahu secara gamblang. "Karena dia miskin."
"Ya, dan kamu enggak. Kamu kaya, melebihi Papa. Makanya dia memilih kamu dari semua pria."
Itu adalah sebuah sarkas yang manis. Ari menghela napas—lagi. Ia lantas mengambil tempat di samping Sinta, mengikis jarak mereka dengan membawa Sinta dalam pelukan.
"Maaf, gara-gara aku kamu jadi galau begini. Aku enggak masalah kalau kamu mau cerita semuanya soal pria itu."
"Kamu enggak akan marah aku cerita soal dia? Dia mantan aku," ujar Sinta sambil menelusup lebih dalam pada pelukan Ari.
"Dia mantan kamu. Aku suami kamu, secara pangkat aku udah di atas dia. Enggak ada alasan buatku untuk marah," terang Ari sambil mengecup puncak kepala Sinta.
Sinta terkekeh geli dalam pelukan Ari.
"Aku bahkan enggak pernah menggalaukan kamu."
"Itu berarti aku selalu bikin kamu bahagia, seperti apa yang Papamu minta dariku. Iya, 'kan?"
"Iya."
"Sinta, kamu mau tahu, apa sinonim dari bahagia?" tanya Ari sambil menatap Sinta dalam-dalam.
"Senang?"
"Bukan."
"Terus apa?"
"Kamu."
Mereka memulai malam panjang tanpa tidur. Melepaskan hasrat yang harusnya terbebas. Melupakan segala kacau yang mengusik.
Ari menatap jari manis Sinta. Wanita itu terlelap. Cincin berlian masih melingkar di sana. Seperti tepat satu tahun yang lalu, ia mengikat Sinta pada hubungan ini. Teringat akan hari pernikahan itu, senyum Ari terkembang. Bukan, ia menyeringai.
Secara tak langsung, ia membuat Sinta galau hari ini. Karena telah memupuskan hubungan istrinya dengan sang pujaan hati. Ia mengundang sang pria—tanpa sepengetahuan Sinta tentunya. Ari kembali menyeringai, seperti bagaimana ia menatap pria kasihan itu sambil merebut ciuman pertama Sinta di atas altar pernikahan.
@YUYU allo😊😊😊