Hati manusia siapa yang tahu, hati manusia siapa yang tak mau dijaga. Berbicara masalah hati, aku pernah memberikan hati ku kepada seseorang. Bersama menjalani hubungan yang berumur 8 tahun. Walaupun jarak memisahkan, tapi aku selalu yakin kepercayaan yang mendekatkan kita. Coba lihat lah dengan kacamataku, memandang dia sebagai seseorang yang mempunyai jiwa indah. Kita punya segalanya, kesedihan bahkan sudah tak mempan untuk menyerangku, karena aku tahu aku memiliki dia. Dia rumahku, tempatku pulang ketika hati ku lelah, tempat cerita ketika ku gusar, tempatku membangun mimpi-mimpi sederhana. Karena dia, aku pernah menjadi wanita paling beruntung, karena dia, aku pernah menjadi wanita paling bahagia, dan karena dia, aku bersyukur untuk menjadi diriku. Dia selalu membuatku merasa sempurna dan pantas. Dia tidak pernah menuntut apapun, tidak dengan hal kecil sekalipun. Dan setidaknya, itu yang aku lihat dari kacamataku. S e m p u r n a.
Namun ternyata kacamataku telah terganti dengan lensa gelap. Lensa yang dia sebut dengan cinta. Tanpa aku tahu semua kebohongan yang selama ini dia tutupi. Semua hal yang dia lakukan dibelakangku. Mendua. Jalan pintas paling kejam bagi para pejuang jarak. Dia lakukan, bersamaan dengan kebohongan lainnya. Seketika duniaku terbalik. Ternyata aku hanya hidup dalam sebuah khayalan yang dia bangun. Dia perankan dengan apik tanpa cela. Padahal sedikit lagi, sedikit lagi, kami akan menanggalkan janji selamanya. Masih banyak yang belum selesai. Masih banyak rencana-rencana yang belum tercapai. Masih banyak mimpi-mimpi yang belum terwujud. Seakan dunia membenciku, semua yang kutakutkan terjadi. Dia memilih pergi meninggalkanku dengan semua kenangan yang bahkan tidak tahu harus kuapakan.
Pernah dengar perihal memberi hati 100% kepada seseorang? Kusarankan, jangan pernah. Sekalipun. Bahkan mendekati 100%, tidak. Semuanya hanya akan berujung pada kekecewaan. Lihat aku, hingga saat ini masih bergandengan tangan dengan kenangan manis yang dia buat. Sesekali kuabadikan dengan sebuah tangisan. Namun entah mengapa tangisanku lebih besar ketika kucoba mengingat kebahagiaan kita dan semua yang telah kita lalui dibandingkan mengingat luka hebat yang telah dia buat. Mungkin aku hanya rindu, rindu dia, bukan, aku hanya rindu bahagia. Aku rindu rumahku. Aku harus pulang kemana tanpa sebuah rumah. Sekarang rumah itu sudah hangus, Aku tak bisa kembali. Aku bahkan rindu bukan lagi dengan hal nyata, aku rindu terhadap hal yang tak bisa ku genggam.
Hati manusia siapa yang tahu, hati manusia siapa yang tak mau dijaga. Namun hati siapa juga yang mau tersakiti. Ini semua hanya permainan hati. Belajarlah dari kisahku, jangan kau berikan hati dan harapan mu seluruhnya pada seseorang. Lakukan, kekecewaan yang kau dapatkan. Jaga hati mu dan setel harapanmu pada tingkatan terendah. Lakukan, kau akan lebih bahagia.
Beginningnya udh bikin penasaran nih, sukses selalu 😊 Jika berkenan mampir dan like story aku ya https://tinlit.com/read-story/1436/2575.. Terima kasih :)
Comment on chapter Perihal Hati