Ketika saya menyukaimu, pikiran saya selalu mengingatkan kedudukan saya sebagai orang ketiga antara kamu dan kekasihmu. Pikiran mengatai saya gila, karena saya akan menjadi orang yang merusak hubungan dan berubah menjadi seseorang berharga diri rendah.
Namun, hati saya senantiasa membuat buta. Dia, hati, yang membuat saya mau menunggumu putus, mau mendoakanmu agar menjadi jodoh saya, hingga ia sakit karena tekadnya, sakit karena menunggumu, sakit karena karma menamparnya.
Lalu saya mencoba untuk diam, menyikapi semua yang ada di depan mata dengan kepala dingin, dengan hati tenang. Hati dan pikiran berkonspirasi untuk membantu saya membangun benteng, menjadi tameng agar saya mau menahan diri sedikit lagi dan menerima kedatangan seseorang yang merupakan tipe saya; mau membalas cinta saya apa adanya.
Itu semua bukan apa-apa. Perkataan yang pertama kali terucap tidak bisa dipengaruhi oleh perkataan berikutnya. Saya tetap mencintai orang yang sama; yang kali pertama saya lihat, yang namanya pertama kali saya ucap, yang pertama kali membuat saya tertarik. Yaitu kamu.
Saya berdoa. Kalau memang kamu tidak menjadi jodoh saya, saya harap saya dijadikan jodohmu. Dengan senang hati saya akan menyambutmu dengan pelukan hangat. Senantiasa saya akan membuatmu nyaman dan tidak menyesal satu detikpun.
Kalau benar-benar tidak berjodoh, saya tidak akan memaksakan diri. Lebih baik saya menutup mata untukmu, agar saya tidak tergoda. Lebih baik saya tenggelamkan perasaan ini seperti matahari yang terbenam kala senja. Meninggalkan duniamu, lalu pergi ke dunia lain.
Saya tidak mau melakukan hal-hal bodoh untuk merusak kebahagiaanmu dengan dia demi sakit hati dan meninggalkanmu dengan bahagia yang lain.
end.