Entah harus sedih ataukah bahagia ketika mendengar berita ini. Tapi, dengan berita sakitnya Aldrian yang aku dapat dari sahabatnya, ini menjadi ketiga kalinya aku menyusuri lorong ini. Lorong rumah sakit yang bukan hanya mencekam, tetapi menjadi saksi bahwa aku pernah tersedu tak tertahankan menangisi orang-orang yang aku cintai.
Ya, lorong ini menuju ruang ICU. Ruang dimana Ibuku terbaring lemah menatapku untuk yang terakhir kalinya, dan ruang ini juga yang memisahkan aku dengan sahabatku Egra untuk selama-lamanya. Dan sekarang, aku harus melalui lorong ini lagi untuk bertemu Aldrian.
"Alisha? Ya ampun, kamu kenapa? Ayo, aku bantu kamu jalan. Atau, kamu mau duduk dulu di sini?"
"Gak apa-apa, Fer. Antar aku ke ruang ICU saja. Sebelum semuanya terlambat."
Ferdin adalah sahabat Aldrian yang mempertemukan aku denganya. Suaranya yang keras dan lantang pernah membuat kami kaget.
"ALLLL, Jangan dulu di gasssss?"
"Kenapa?" Aku dan Aldrian berbarengan menoleh dan menjawab.
"Lho, panggilan kamu 'Al'?
"Iya. Kamu juga?
"Iya. Emang nama kamu Alisha, ya?
"Ya, nggak nama cewek juga, kali. Nama aku Aldrian."
Huft, waktu sepertinya berjalan dengan cepat. Rasanya baru kemarin aku diajari Aldrian belajar motor boat. Dia, satu-satunya staf hotel yang mau dibonceng sama cewek. Yang lain lebih banyak gengsinya. Risih, kata mereka.
"Kamu kok main ini? Biasanya cewek cuma berenang atau main-main ombak di pantai."
"Ya, ingin coba saja."
"Gak takut kulitmu jadi hitam? Satu jam lama, lho. Biasanya yang main hanya 15 menit."
"Gak, lah. Biar saja. Aku ingin keliling lautan"
"Hah! Sepertinya tidak boleh, hanya bisa sampai batas pelampung itu saja."
Hmm .. Andai saja aku dulu mengikuti kata-kata Aldrian. Sepertinya dia tidak akan dipecat oleh bosnya. Setelah aku puas putar-putar lautan, lalu motor boat aku arahkan menuju pantai. Dan, banyak staf hotel termasuk Ayahku sudah menunggu kami di pinggir pantai.
Dan sekarang, di ruangan ini, Aldrian sudah tidak sadarkan diri selama satu minggu.
"Al, ini aku, Alisha. Maaf aku sudah lama tidak memberimu kabar."
Entah apa lagi yang bisa aku ucapkan. Melihat kondisi badannya saja sudah membuatku sesak napas. Apakah aku harus mengucapkan bahwa aku mencintainya. Setelah persahabatan yang terjalin bertahun-tahun bisa hancur dengan kata-kata yang keluar dari egoku sendiri.
Setelah Aldrian dipecat, aku sering main ke rumahnya. Anaknya lucu, ramah, dan membuatku nyaman. Sebenarnya bisa saja dulu aku nyatakan cinta kepadanya. Tapi, tidak ada satu tatapan pun darinya yang meyakinkanku bahwa dia juga suka kepadaku atau tidak ada satu sikap darinya yang membuat feeling aku semakin yakin bahwa dia yang akan mengisi hatiku.
"Al, I love you."
Jantungku berdebar kencang. Akhirnya kata-kata itu keluar juga dari mulutku. Bukan untuk kata-kata terakhir karena sakitnya yang semakin parah. Hanya saja, mungkin ini saatnya aku ungkapkan. Setidaknya, walaupun Aldrian sembuh dan malah menjauhi aku, toh sekarang aku memang sudah jauh. Dia di Jakarta dan aku di Singapura.
"Aku sayang kamu, Al. Cepat sembuh, ya."
Aku tidak tahu apakah Aldrian mendengarku atau tidak. Yah, setidaknya sekarang aku sudah tenang. Akhirnya aku sudah ungkapkan isi hatiku yang sudah lama aku pendam. Dan, akupun tersenyum lega sambil menyeka air mata yang membasahi pipinya.