Read More >>"> The Presidents Savior (Undercover) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Presidents Savior
MENU
About Us  

KISAH INI FIKSI SEMATA, BERSUMBER DARI IMAJINAJIS.
DIHARAPKAN KEBIJAKAN PEMBACA.

NAMUN, TYDACK MENUTUP KEMUNGKINAN TERDAPAT BEBERAPA KESAMAAN DALAM KISAH NYATA KARENA MEMANG DISENGAJA.

***

"Lo nyari apa sampai nyosor di bawah?" Rendra memindahkan tangan Diana yang tidak sengaja menyenggol porseling gigi. "Ini tangan ngapain lagi, ah! Mau ikut nyetir?!"

"Gue jatuh gara-gara lo!" Satu pukulan mendarat di ubun-ubun Rendra.

"Pukul aja terus kalau lo udah bosen hidup jadi anak presiden," seloroh Rendra yang sama sekali tidak mengalihkan sedikit pun tatapannya dari jalanan.

Diana melihat perkembangan dua mobil yang mengejarnya. Rupanya, jarak yang dibuat Rendra cukup jauh. Tidak seperti tadi. Diana juga mulai beradaptasi dengan cara menyetir Rendra. Perlahan rasa mualnya berangsur-angsur berkurang. Tergantikan oleh ide-ide gila yang muncul di otaknya tentang bagaimana cara agar dua mobil hitam yang mengikutinya bisa terbakar tiba-tiba. Diana terlalu fokus berpikir sampai tidak menyadari bahwa dua mobil tersebut telah hilang dari radius belakang.

"Mereka udah ketinggalan jauh." Kalimat Rendra membuat Diana langsung bangkit dan menengok ke belakang.

Napas panjang pun keluar dari mulut Diana. "Akhirnya...."

Kecepatan yang dipacu Rendra semakin lama semakin berkurang. Ia memberhentikan mobilnya di pinggir jalan raya dengan kondisi ramai lancar. Mendadak, Rendra membuka seragamnya dilanjut membuka kaus putih polos yang ia pakai sebagai dalaman. Sewaktu Rendra hendak membuka ritsleting celana seragamnya Diana mencegahnya buru-buru.

"Apa-apaan lo tiba-tiba buka baju nggak jelas, maksudnya apa?" kata Diana yang setengah menutup wajahnya.

Rendra tidak memperdulikan Diana, ia kembali melanjutkan membuka celananya. "Lo nggak nanya, ya gue nggak ngejelasin."

Melihat laki-laki bertelanjang dada bukan hal tabu bagi Diana. Teman laki-laki di kelasnya kerap melakukan hal yang sama setiap selesai pelajaran olahraga dan membuat kelas dipenuhi bau keringat. Tetapi entah mengapa, Diana justru malu sendiri. Ia menutup matanya rapat-rapat dan wajahnya memanas.

"Gue clear. Sekarang ganti lo," ucap Rendra dan seketika Diana melotot. Untunglah, Rendra telah mengenakan kembali celana dan kaus putih oblongnya sehingga Diana dapat bebas memelototinya.

"Kenapa gue harus buka baju juga?" Diana merangkul tubuhnya sendiri erat-erat.

"Gue ngira, mereka masang alat pelacak di badan kita," tutur Rendra. "Lo nggak curiga, mereka udah ketabrak dan kejebak macet. Jelas mereka kehilangan jejak, mana mungkin bisa secepet itu nemuin kita?"

Hipotesa Rendra masuk akal bagi Diana. Tapi ia masih merangkul tubuhnya, bahkan lebih erat dari sebelumnya. "Tapi mereka sekarang udah nggak ngejar kita lagi. Mungkin mereka nggak ngejar karena kehilangan jejak buat yang kedua kalinya."

Rendra memutar bola matanya malas. "Perhatiin lingkungan sekitar lo! Lalu lintas yang tadi kita lewatin tergolong sepi di sekitar daerah mini market. Bukannya justru itu kesempatan bagus buat mereka nangkep kita dibandingkan sama pengejaran di awal? Tapi justru mereka malah nggak bisa ngejar."

"Bisa aja mobil mereka bermasalah di tengah jalan."

Mata Rendra menatap lurus ke arah Diana. Seperti mengirimkan sebuah sinyal intimidasi. "Mobil yang mereka tumpangin, itu mereknya Thunder dibuat di Inggris dan WBM turun tangan ambil bagian. Tampangnya aja kayak mobil keluarga biasa, tapi mesinnya hampir setara Aston Martin yang punya mode mobil balap. Dibandingin mobil ini, mobil mereka jelas menang urusan kecepatan, tapi sayangnya mereka nggak bisa gunain secara maksimal fasilitas di mobil mereka," jelas Rendra panjang lebar sambil mengenakan lagi seragamnya.

Diana kira Rendra akan berhenti tetapi justru Rendra mencondongkan tubuh ke arahnya dan melanjutkan penjelasannya. "Aston itu salah satu mobil yang kalau bagian depannya rusak empat puluh persen, masih bisa jalan seperti biasa. Sedangkan kerusakan empat puluh persen biasanya butuh enam puluh kilometer tabrakan sama tembok. Mereka tadi cuma nabrak bagian belakang mobil. Pastinya dikurangi rem mendadak, kecepatan mereka nggak sampai enam puluh kilometer. Mogok jelas bukan alasan kenapa mereka berhenti ngejar kita. Pasti ada tujuan lain."

Yang berbicara tanpa jeda di sini adalah Rendra tetapi Diana ikut menahan napasnya. "Dude, intinya gue harus tetep buka baju kan?"

Rendra kembali menghadap kemudi. Ia membalikan kaca penumpang dan berkata, "Cepet, gue nggak bakal ngintip." Manik hitam Rendra melirik Hafis yang tengah memegang sabung pengaman. "Awas aja lo kalau ngintip!"

Hafis menggeleng. "Enggak, enggak. Saya nggak akan ngintip."

"Tutup mata lo!"

Mata Hafis terpejam setelah mendengar perintah Rendra.

"Lo juga tutup mata!" Di bangkunya Diana mengingatkan.

"Iya gue tutup mata," ujar Rendra seraya menutup kedua matanya menggunakan tangan.

"Ap ague ganti di bagasi aja ya?" gumam Diana pada dirinya sendiri. Biar bagaimana pun, Rendra dan Hafis tetap laki-laki. Walau Rendra setengah mati berusaha menyelamatkannya tetap Diana belum mempercayainya seratus persen.

Belum sampai ia bisa melangkah menuju bagasi mobil, Diana melihat di bagian bawah sepatunya terdapat sebuah bintik kecil seperti kotoran. Tapi kotoran itu bila dari dekat, tampak bersih dan sedikit mengkilat. Diana mengambil kotoran itu dan menunjukannya pada Rendra.

"Coba lihat."

Rendra membuka matanya perlahan. Kotoran kecil yang berada di tangan Diana sekarang sedang diamati oleh Rendra. "Lo nemuin ini dimana?"

"Di bawah sepatu gue," jawab Diana. "Gue sama sekali nggak sadar ada orang yang naruh itu."

"Mereka sengaja jatuhin benda ini di tempat lo jalan."

Diana pun mulai mengingat-ingat kemana saja hari ini. Sekolah, menaiki ojek online, stasiun Bogor, kereta, dan terakhir sekolah Rendra. Dari semua tempat itu yang paling besar kemungkinan ia berpapasan dengan orang asing adalah di stasiun dan di kereta. Tapi jika memang benar orang-orang itu mengikuti Diana, harusnya mereka mengikuti Diana dari sekolahnya. Atau lebih parah lagi dari rumahnya? Diana mulai gelisah. Setelah Eva, sekarang dirinya yang menjadi target.

"Kita buang alat itu, terus kita kabur," usul Diana.

"Nggak," tolak Rendra. Ia memasukan alat pelacak itu ke dalam saku celananya. "Kita jebak mereka."

Rendra mengeram kesakitan sambil memegangi pundaknya. Diana sampai lupa bahwa Rendra tertembak akibat dirinya. Kaus putih beserta seragam sekolah yang dikenakan Rendra sekarang dibanjiri warna merah.

"Harusnya lo ngomong, mending kita ke rumah sakit dulu." Diana meraih pundak Rendra dan menekan lukanya.

"Gue tadi udah obatin ini pas gue beli minuman buat kalian di mini market." Lagi-lagi Rendra menolak usulan Diana. "Bohong kalau gue bilang nggak apa-apa. Tapi gue masih bisa tahan. Bisa tolong obatin ulang gue?" pintanya yang menyodorkan sebotol alkohol dan obat merah pada Diana.

Kata tolong yang keluar dari mulut Rendra membuat Diana iba. Ia tidak meyangka Rendra yang gemar memberi perintah seenaknya akan memintanya untuk melakukan sesuatu, seolah ragu bila Diana tidak menyanggupi. "Ya udah sini pindah duduk ke belakang."

Muka Diana kembali memanas kala Rendra membuka kausnya yang memperlihatkan punggung berisi miliknya. Diana membuka kapas yang menutupi luka Rendra dan darah semakin keluar dari sana. Dengan cekatan Diana mengolesi alkohol disusul obat merah pada luka Rendra. Ia menutupnya lagi dengan kapas dan jauh lebih apik dari yang Rendra buat. Selanjutnya, Diana menyobek kaus putih Rendra lalu membuat sebuah ikatan yang melingkari ketiak dan pundak Rendra.

"Baju gue habis," kata Rendra. "Misalkan gue keluar dari mobil ini pakai seragam yang banyak bercak darahnya, gue bakal langsung dilaporin ke polisi."

"Oh, Mas Hafis," panggil Diana dan Hafis menoleh cepat. "Di mobil ini ada baju punya Mas Hafis nggak?"

Hari ini Diana mengganti seragam sekolahnya dengan sweater dan celana jeans. Sweater-nya jelas tidak akan cukup di tubuh Rendra.

"Maaf, sayangnya nggak ada sama sekali," balas Hafis.

Rendra meraih ponsel disakunya dan mengetik cepat. "Gue transfer ke rekening lo tiga ratus juta, tapi baju yang lo pakai sekarang milik gue."

"Terus saya pulang pakai apa Mas?"

"Lo mau tiga ratus juta tanpa kerja tapi lo nggak mau sekali seumur hidup nyobain pulang nggak pakai baju," sinis Rendra dan Hafis pun membuka seluruh setelan atasan yang ia pakai.

***

"Mobilnya sampai ngeluarin asep tadi, kita nggak apa-apa tinggalin dia di pinggir jalan sendirian?" tanya Diana saat mereka berdua membaur bersama para penyembrang lainnya.

"Gue bukan pelayan dia. Tiga ratus juta menurut gue terlalu cukup buat nyelesain semua masalah."

Mereka berjalan menuju sebuah mall yang jaraknya dekat dari posisi terakhir pemberhentian mobil Hafis. Rendra sebenarnya telah membuat perkiraan bahwa mobil keluaran 2005 milik Hafis, tidak akan sanggup berlama-lama meladeni kecepatannya berkendara. Tetapi Rendra sengaja tidak mengatakan pada siapa pun agar tidak menimbulkan kepanikan. Dengan terpaksa, Diana meninggalkan Hafis yang bertelanjang dada bersama mobilnya yang mogok.

Suasana mall terbilang cukup ramai di hari biasa. Tetapi tidak ada satu orang pun yang mengenali Diana karena Diana sigap kembali mengenakan masker. Rendra menggandeng tangan Diana dan membawanya pada sebuah butik bermerek terkenal. Pelayan toko menyambut kedatangan mereka dengan senyuman ramah.

"Cepet pilih baju yang nggak ngelihatin diri lo sama sekali. Ganti semuanya, atasan sampai bawahan. Nggak usah lihat harganya, itu urusan gue." Baru saja tadi Rendra membuat Diana iba karena meminta tolong, sekarang Rendra sudah kembali memerintahnya sesuka hati.

"Asal lo tahu aja, Ren." Diana maju satu langkah mendekati Rendra. "Gue muak sama sikap lo yang seakan-akan menjadikan uang hal yang paling lo banggakan. Semua orang bisa punya uang, mau dari bayi yang baru lahir gara-gara ikut bintang iklan, sampai kakek-kakek yang jadi bintang porno, mereka semua punya uang yang bisa habis."

Diana melangkah keluar dari butik tanpa memastikan apakah Rendra mengikutinya atau tidak. Ia menunjuk pilihannya sendiri, yaitu sebuah distro kental akan nuansa hitam. Baik dari ornamen juga baju-baju yang dijual. Tidak ada pelayan yang menyambutnya dengan senyuman tapi seorang penjaga di kasir justru menyapanya sok akrab, "'Sup, Girl?"

"Always great!" timpal Diana berusaha bersahabat.

Kacamata hitam, eyeliner, chooker hitam, lipstik maroon, tank top longgar yang bertuliskan 'Judge Me Please', ditambah ripped jeans berwarna serupa benar-benar merubah sosok putri Diana. Ia puas memandangi dirinya di kaca distro setelah dirinya berganti pakaian di ruang ganti.

Rendra menelan ludahnya lamat-lamat meneliti penampilan baru Diana. "G-Gue nyuruh lo biar nggak kelihatan kayak Diana yang masyarakat tahu tapi... nggak seekstrim ini." Ia menuju meja kasir dan hendak membayar perlengkapan Diana.

"Udah gue bayar di awal tadi," ucap Diana yang menyenggol lengan Rendra. "Oh, iya. Siapa bilang ini nggak kayak Diana?" Kedua tangan Diana ia rentangkan lebar-lebar. "This is the real me!" lanjutnya bangga.

"Eh, ngomong-ngomong, lo agak-agak mirip anak presiden yang cakep itu, lho," ujar pemilik toko. "Tapi nggak mungkin kan ya, anak secakep itu mau pakai baju kayak gini. Ya nggak Mas?"

"I-Iya," balas Rendra yang masih belum puas meyakini dirinya sendiri bahwa putri presiden punya selera yang aneh di matanya. "Giliran gue milih baju-"

"Eh, jangan ke distro ini lagi!" potong Diana. Bergantian, Diana merangkul Rendra dan menggeretnya pada sebuah toko pakaian pria. Diana langsung memilihkannya baju bermotif bunga-bunga yang lebih cocok dipakai ketika berada di pantai.

"Nggak! Gue nggak mau pakai baju kayak cewek gitu." Rendra bergedik saat menerima potongan baju yang dipilih Diana.

"Gue jamin, baju ini cocok banget buat penyamaran lo. Ayah lo nggak bakal kenal siapa lo kalau pakai ini," paksa Diana dan Rendra menggeleng, mengisyaratkan bahwa ia menolak.

Kala keduanya tengah sibuk berdebat, seseorang dari belakang mendekati Rendra perlahan-lahan. Diana paling mengenali sosok itu, karena dialah orang yang menembak Rendra. Kacamata hitam yang Diana pakai memanipulasi pandangannya, orang itu tidak tahu Diana sedang memperhatikannya. Dirinya terus mengocehi Rendra. Begitu orang itu menghampiri mereka berdua dan menunjukan sebilah pisau di dalam saku jaketnya, dengan cepat Diana menghampiri orang itu lantas memasukan secara paksa dompet mininya ke dalam mulut orang itu.

"COPET!!!" teriak Diana keras-keras.

Ada yang lebih terkejut dari para pengujung dan orang yang tengah memakan dompet Diana. Ialah Tarendra. Pemuda tujuh belas tahun itu memegangi telinganya yang berdenging akibat teriakan Diana.

***

Jangan ragu buat riview. Nggak perlu sungkan apalagi takut, saya bukan calon mertua kalian.

See u next chapter!
Think genius and keep punk

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (7)
  • leonidas

    🤩🤩🤩🤩

    Comment on chapter Don't be a Good Person:
  • yurriansan

    @brainwasher_ hah? Mahluk? Dan aku termasuk mahluku yg d follow. Wkwkwk.

    Mampir juga ya k storyku. Ksih krisanmu disana....

    Comment on chapter Stupid Boy!
  • brainwasher_

    @yurriansan waw makasih yak, akhirnya sekarang aku bisa follow makhluk di tinlit:') btw, terima kasih sudah mau mampir

    Comment on chapter Stupid Boy!
  • yurriansan

    tiap chapternya menarik untuk dibaca. di awal udah takut aja, ni bkln pke b. inggris. ehh trnyta bhsa indonesia :D.

    oke bntu jawab nih, cara follow tmn di tinlit. bisa buka dari profil yg kmu kenal misal profil likers kmu. klik aja foto mereka nnti mncul profil dan work. dstu ada plihan kok, untuk follow atau kirim permintaan berteman. semoga membantu...

    Comment on chapter Stupid Boy!
  • dede_pratiwi

    Ceritanya keren. ku udah like and komen. tolong mampir ke ceritaku juga ya judulnya 'KATAMU' jangan lupa like. makasih :)

    Comment on chapter Don't be a Good Person:
  • brainwasher_

    @SusanSwansh thank u<3

    Comment on chapter Don't be a Good Person:
  • SusanSwansh

    Kereeennn ... Ditunggu next chapternya, ya.

    Comment on chapter Don't be a Good Person:
Similar Tags
Premium
Titik Kembali
4278      1378     16     
Romance
Demi membantu sebuah keluarga menutupi aib mereka, Bella Sita Hanivia merelakan dirinya menjadi pengantin dari seseorang lelaki yang tidak begitu dikenalnya. Sementara itu, Rama Permana mencoba menerima takdirnya menikahi gadis asing itu. Mereka berjanji akan saling berpisah sampai kekasih dari Rama ditemukan. Akankah mereka berpisah tanpa ada rasa? Apakah sebenarnya alasan Bella rela menghabi...
Janjiku
564      401     3     
Short Story
Tentang cinta dan benci. Aku terus maju, tak akan mundur, apalagi berbalik. Terima kasih telah membenciku. Hari ini terbayarkan, janjiku.
Di Hari Itu
426      301     0     
Short Story
Mengenang kisah di hari itu.
Gunay and His Broken Life
5486      2023     0     
Romance
Hidup Gunay adalah kakaknya. Kakaknya adalah hidup Gunay. Pemuda malang ini telah ditinggal ibunya sejak kecil yang membuatnya secara naluri menganggap kakaknya adalah pengganti sosok ibu baginya. Hidupnya begitu bergantung pada gadis itu. Mulai dari ia bangun tidur, hingga kembali lagi ke tempat tidur yang keluar dari mulutnya hanyalah "kakak, kakak, dan kakak" Sampai memberi makan ikan...
Di Semesta yang Lain, Aku mencintaimu
478      288     8     
Romance
Gaby Dunn menulis tulisan yang sangat indah, dia bilang: You just found me in the wrong universe, that’s all, this is, as they say, the darkest timeline. Dan itu yang kurasakan, kita hanya bertemu di semesta yang salah dari jutaan semesta yang ada.
Harmonia
3668      1151     4     
Humor
Kumpulan cerpen yang akan membuat hidup Anda berubah 360 derajat (muter ke tempat semula). Berisi tentang kisah-kisah inspiratif yang memotivasi dengan kemasan humor versi bangsa Yunani. Jika diterbitkan dalam bentuk cetak, buku ini akan sangat serba guna (bisa untuk bungkus gorengan). Anda akan mengalami sedikit mual dan pusing ketika membacanya. Selamat membaca, selamat terinspirasi, dan jangan...
Balada Valentine Dua Kepala
275      165     0     
Short Story
Di malam yang penuh cinta itu kepala - kepala sibuk bertemu. Asik mendengar, menatap, mencium, mengecap, dan merasa. Sedang di dua kamar remang, dua kepala berusaha menerima alasan dunia yang tak mengizinkan mereka bersama.
Old day
519      378     3     
Short Story
Ini adalah hari ketika Keenan merindukan seorang Rindu. Dan Rindu tak mampu membalasnya. Rindu hanya terdiam, sementara Keenan tak henti memanggil nama Rindu. Rindu membungkam, sementara Keenan terus memaksa Rindu menjawabnya. Ini bukan kemarin, ini hari baru. Dan ini bukan,Dulu.
Cerita Cinta Di Sekolah
472      311     0     
Short Story
Sebuah cerita anak SMP yang sedang jatuh cinta dan berakhir menjadi sepasang kekasih. Namun, ada seseorang yang mencoba menerornya. Dan secara tidak langsung, orang tersebut bermaksud untuk mengganggu hubungan kisah asmaranya.
Akhir yang Kau Berikan
484      335     1     
Short Story
\"Membaca Novel membuatku dapat mengekspresikan diriku, namun aku selalu diganggu oleh dia\" begitulah gumam Arum ketika sedang asyik membaca. Arum hanya ingin mendapatkan ketenangan dirinya dari gangguan teman sekelasnya yang selalu mengganggu ia. Seiring berjalan dengan waktu Arum sudah terbiasa dengan kejadian itu, dan Laki Laki yang mengganggu ini mulai tertarik apa yang diminati oleh Arum...