KISAH INI FIKSI SEMATA, BERSUMBER DARI IMAJINAJIS.
DIHARAPKAN KEBIJAKAN PEMBACA.
NAMUN, TYDACK MENUTUP KEMUNGKINAN TERDAPAT BEBERAPA KESAMAAN DALAM KISAH NYATA KARENA MEMANG DISENGAJA.
***
Diana tidak bisa berhenti. Ia sudah masuk terlalu dalam pada kasus ini. Walaupun ia putri presiden yang bisa menyuruh siapa pun dan yang menerima titah Diana akan melakukan dengan senang hati, Diana tidak ingin melakukannya. Sekarang yang ia percayai hanya dirinya sendiri, sang ibu yang selalu mengatakan Diana lebih cantik disanggul dan ayahnya.
Melaporkan Tarendra kepada pihak berwajib bukan cara terbaik menyelesaikan masalah. Terlebih pihak berwajib itu Wijaya yang tempo hari ia lihat cukup dekat dengan rekan Saipul—dalang dibalik penculikan Eva. Bila ia melaporkan Tarendra, masyarakat bisa berspekulasi bahwa ayahnya dan Pak Yudhis membuat konspirasi untuk menjatuhkan pamor Gio sebagai calon presiden.
Diana sudah belajar dari kejadian penculikan Eva. David dan Gio dijadikan topik berita burung. Meskipun segenap hati ia ingin Tarendra merasakan jeruji besi. Salah satu anak calon presiden membuat masalah di saat seharusnya ia menjaga nama baik keluarga. Satu lagi mendapatkan masalah. Bukankah terlalu mencolok? Apa yang dikatakan rakyat Indonesia?
Agar menimalisir status mencolok itu, Diana nekat menaiki kereta menuju Jakarta di hari sekolahnya. Lagi-lagi, Diana berbohong pada Pohan dan mengatakan ia ingin berlatih memanah sepulang sekolah. Meninggalkan tas sekolahnya di kelas ketika waktu pelajaran ketiga, Diana berangkat ke stasiun Bogor dengan memanjat pagar sekolah bagian belakang. Ini pertama kalinya ia bolos selama hamper dua belas tahun bersekolah.
Selama di perjalanan, Diana menerung. Apa yang ia lakukan ini benar? Pertanyaan itu terulang terus menerus, bagai musik yang menemani perjalanannya hingga sampai ke tujuan.
Ambrastha Internasional School adalah SMA Tarendra. Mencari biodata keluarga Gio sangatlah mudah. Indonesia senang mengulik tentang Gio semenjak videonya memberikan uang lima juta pada anak yang mencoret-coret mobilnya viral di dunia maya.
Bel sekolah berbunyi. Itu adalah suara yang ditunggu Diana semenjak ia tiba setengah jam yang lalu. Diana memasuki area sekolah dengan percaya diri. Murid-murid hanya melewatinya tanpa perasaan ingin tahu. Masker seharga dua ribu menutupi sebagian wajahnya. Diana menunggu di tempat parkir sekolah yang didominasi oleh mobil.
Yang dicaripun datang. Diana cepat-cepat menghampiri Tarendra yang sibuk mengetik sesuatu di ponselnya sambil terus berjalan.
"Tarendra," panggil Diana seraya menggenggam erat lengannya. "Bisa bicara sebentar?" Diana menatap tajam Tarendra seolah tatapannya berucap, "kita harus bicara".
"Lo siapa?" tanya balik Tarendra yang terpaksa mengantongi handphone-nya. Diana menurunkan sekilas maskernya dan mata Tarendra membulat. "Ngapain nemuin gue?"
"Jangan di sini, soalnya gue harus ngomong banyak sama lo." Secara paksa Diana menggeret Rendra menuju gerbang sekolah.
"Gue nggak ada waktu," tolak Tarendra tetapi ia masih pasrah mengikuti langkah Diana.
"Kalau gitu, gue juga nggak mau basa-basi." Diana mendorong Rendra dengan kasar hingga badannya membentur sisi pagar sekolah. Beberapa murid sempat melirik refleks, namun mereka menganggap itu bukan hal serius. "Lo... orang yang nyulik Eva kan?" tembak Diana langsung.
"Nyulik Eva?" Rendra memiringkan kepalanya seakan tidak mengerti apa yang dikatakan Diana.
"Gue punya bukti lo yang nyulik Eva," ucap Diana. "Gue harap lo berhenti buat masalah. Lo udah seharusnya berpikir dewasa. Buat menjatuhkan ayah lo, masih banyak cara lain yang bisa lo ambil, tapi bukan nyulik orang yang nggak bersalah. Lo nggak mikir keadaan Eva yang sekarang masih trauma."
Rendra memandang datar Diana. Tidak ada rasa bersalah yang keluar dari tatapannya. "Terus apa yang lo bakal lakuin kalau gue nggak berhenti buat masalah?"
"Lo bakal ngerasain sendiri apa yang bakal berubah di hidup lo," balas Diana percaya diri. Padahal ia sama sekali belum menemukan cara agar Rendra benar-benar takluk padanya. Ia hanya berniat berdiskusi dengan Rendra, bukan mengancamnya.
Rendra mengambil ponselnya yang berdering lalu berjalan menjauh. Diana yang merasa diabaikan melakukan acara balas dendam. Di dekat sekolah, ia membeli segelas es teh manis. Rendra yang masih berbincang di telepon mengumpat saat Diana memasukan es batu ke dalam celananya dari belakang.
Rendra pun seketika balik badan dan menunjukan wajah marahnya. Diana hanya menyeruput santai es teh yang baru saja ia beli. "Gue lagi telepon sama nyokap gue!" terangnya.
Diana tidak menjawab dan tidak menunjukan respon selain es tehnya yang mulai berkurang.
"Nanti aku telepon lagi—apa? Iya aku minta maaf udah ngomong kasar." Rendra mematikan ponselnya dan memasukannya kembali ke dalam saku. "Gue punya waktu sepuluh menit. Kita ngobrol di sana aja."
Rendra menuntun Diana menuju sebuah gang sempit yang terletak tidak jauh dari sekolahnya. Dirasa suasana sepi, Diana pun berani membuka maskernya.
"Coba sekarang jangan pikirin satu sisi." Diana memulai diskusinya. "Kalau sampai ayah lo jatuh, bukan keluarga lo yang kena, dampaknya bisa se-Indonesia. Mungkin nggak menyeluruh tapi itu dampak besar. Lo tahu pentingnya peran ayah lo di dunia bisnis dalam atau luar negeri."
Baru saja ia memulai diskusi, dari arah dalam gang, sekelompok orang yang tidak dikenal menghampiri mereka. Rendra hanya memandang datar kehadiran sekompok orang yang membawa senjata itu. Tidak seperti Diana yang was-was tidak keruan.
"Lo ngejebak gue!" teriak Diana seraya menarik krah seragam Rendra. Mengapa ia tidak merasa curiga sedikit pun saat Rendra mengajaknya menuju gang ini? "Kalau lo takut gue ancam, nggak perlu bawa orang sebanyak ini buat balik ngancam gue. Sama sekali nggak bikin gue takut!"
Diana merogoh dalam tong sampah di sampingnya dan menemukan botol kosong. Ia memecahkan botol tersebut dan mengunci Rendra dari belakang dengan salah satu tangannya.
"Jangan ada yang mendekat!" ancamnya seraya mendekatkan pecahan botol tersebut ke leher Rendra. "Kalau ada yang mendekat dia jadi korbannya!"
Orang paling depan dari kerumunan itu menembak Rendra tepat di lengannya. Diana segera melepaskan kunciannya dan menatap Rendra penuh tanda tanya.
"Mereka bukan suruhan lo?" tanya Diana.
Rendra meringis kesakitan sambil memegangi lengannya. "Kalau mereka suruhan gue, pasti gue beliin mereka baju lebih bagus."
Kerumunan orang tersebut memang layak diberi baju yang lebih bagus. Lusuh adalah kata yang tepat mendeskripsikan pakaian mereka saat ini. Mereka juga menutupi wajah mereka dengan bandana atau kain hitam seadanya. Sekilas mereka tampak tidak berbahaya, seperti pekerja yang hendak pergi ke warung tegal terdekat setelah membenarkan saluran air.
Diana menjerit saat peluru kedua melesat ke arah mereka. Untunglah keduanya menunduk berbarengan sehingga peluru itu tidak tepat sasaran. Peluru ketiga melesat dan kembali lagi meleset.
Suara ledakan peluru tersebut bagai sebuah peluit lomba lari dan pesertanya adalah sekumpulan orang bersenjata yang tidak dikenal. Mereka berlomba mencapai garis finish, yaitu Diana dan Rendra. Sayangnya garis finish yang dituju tidak diam ditempat. Rendra segera menggenggam pergelangan tangan Diana dan membawa putri presiden itu berlari secara zig zag, demi mengurangi kesempatan peluru mengenai tubuh mereka. Walau itu membuat kecepatan lari mereka tidak secepat saat berlari secara lurus.
Begitu keluar dari gang sempit, Rendra melihat sedikit peluang. Seorang pria yang baru saja keluar dari mobilnya, Rendra dorong hingga pria itu masuk kembali ke dalam mobil. Tidak tanggung, ia juga merebut kunci mobil yang tengah pria itu bawa.
"Masuk di kursi belakang!" titah Rendra pada Diana. Tanpa pikir panjang, Diana menurut.
Belum sempat Diana menutup pintu mobil, Rendra sudah menginjak gas. Diana terjatuh dari jok dengan kaki mengangkang. Gaya jatuhnya sangat tidak keren, Diana berharap Rendra tidak melihat adegan itu.
Setelah menutup pintu mobil, bukannya tenang, Diana justru semakin tegang. Rendra membawa mobil ke jalan raya dan menyalip semua mobil yang menghalangi jalannya. Akselerasinya mulus, tetapi Diana belum terbiasa akan hal ini. Dirinya pernah melakukan kejar-kejaran dengan penculik Eva menggunakan motor Erik, namun kecepatan Erik tidak secepat ini. Posisinya saat itu mengejar bukan dikejar. Dan ia merasa posisi dikejar jauh lebih mengerikan dibandingkan mengejar.
Sudah tiga kali Diana gagal memasang sabuk pengaman. Sementara, di bangku sebelah kemudi, pemilik mobil masih belum dapat berkata apa-apa. Belasan mobil yang Rendra salip memberikan bel keras-keras, tidak jarang ada yang membuka kaca jendela dan mengumpat kencang.
"Mungkin mereka udah ketinggalan jauh," ujar Diana yang masih berusaha mengenakan sabuk pengaman.
"Cepet pake sabuk pengamannya!" sentak Rendra yang tidak sedikit pun mengalihkan fokus dari kemudi. "Lo juga pake!" Rendra menunjuk si pemilik mobil yang duduk di sebelahnya.
Dugaan Diana salah ada dua mobil dari arah belakang yang juga berjalan dengan kecepatan tinggi. Ia memegang erat-erat sabuk pengamannya dan dalam diam berdoa.
"Di depan macet!" Doanya yang semula khidmat buyar. "Kita harus turun dari mobil, lo nggak bisa nyalip kemana-mana lagi."
"Diem!" Bukannya menuruti perintah Diana, Rendra malah menaikan kecepatan mobilnya.
"Awas—!" Teriakan Diana terpotong saat Rendra banting stir dan berbelok ke pembatas jalan. Mobil terguncang hebat, membuat kepala Diana pening. Dua mobil yang mengejar mereka tidak siap menerima kejutan dari Rendra. Alhasil, dua mobil tersebut menabrak barisan mobil yang sedang mengalami kemacetan.
Rendra masih belum tenang. Ia tetap memacu mobil dengan kecepatan tinggi sampai mereka menempuh jarak cukup jauh. Mobil mereka menepi di sebuah mini market yang cukup sepi walau berada di tengah kota. Seorang juru parkir pun memberi arahan pada Rendra yang tengah memarkiran mobil.
"Gue beli minum dulu, tunggu di sini," titah Rendra yang tidak dibalas oleh siapa pun di dalam mobil. Diana merosot lemas di tempatnya, sementara sang pemilik mobil mematung pucat.
Rendra menyodorkan Diana minuman isotonik yang sebelumnya telah ia buka. Diana meneguk minuman itu perlahan sambil mengumpulkan kesadarannya.
"Nomor rekening lo berapa?" tanya Rendra kepada pemilik mobil. Yang ditanya masih diam sembari menggenggam minuman serupa yang diminum Diana. "Mobil ini pasti banyak yang rusak. Gue mau ganti rugi."
Sempat terdiam beberapa saat, akhirnya si pemilik mobil pun bersuara. Ia mendiktekan nomor rekeningnya dan Rendra menyalin cepat di handphone-nya.
"Lima puluh juta cukup?"
"C-Cukup," jawab si pemilik mobil terbata.
"What?" Diana yang berhasil mengumpulkan kesadarannya pun berkomentar. "Nggak kemahalan? Gue kira 25 juta juga lebih. Oli nggak bocor, lecet cuma di beberapa bagian kan bisa di cat ulang aja. Sekiranya mobil bagian bawah ada yang rusak, nggak sampai semahal itu."
Rendra terdiam. Tangannya berhenti bergerak di layar ponsel mendengar penuturan Diana. Ia melemparkan tatapan sinis yang diterima senang hati oleh gadis bermata oriental itu.
"Oke. Sekarang saya transfer 25 juta, kalau kurang email saya."
Diana menaikan satu alisnya heran. Ia kira Rendra tidak menyutujui usulnya tersebut.
"Atas nama Hafis Triyono?" tanya Rendra memastikan.
Si pemilik mobil pun mengangguk beberapa kali. "Iya."
Merasa baru menyadari sesuatu hal yang sangat penting, Diana segera mencondongkan tubuhnya ke depan. "Mas Hafis, saya minta tolong jangan kasih tahu kejadian ini ke siapa pun. Termasuk keluarga Mas Hafis."
"Saya belum berkeluarga," terang Hafis.
"Oke." Diana mengembuskan napas cepat. Kenapa malah jatuhnya kayak curhat ini orang. Rapalnya tidak peduli.
Setelah berbasa-basi sebagai ucapan terima kasih, Diana dan Rendra meninggalkan mobil Hafis. Dengan cepat, Diana kembali memakai maskernya agar identitasnya tetap aman. Mereka mengambil jatah duduk di salah satu bangku yang tersedia di area teras mini market tersebut.
"Lo bilang tadi cuma punya waktu sepuluh menit. Tapi sekarang, lo udah ngehabisin lebih dari sepuluh menit sama gue," tutur Diana. "Gue buat lo telat sama urusan lo."
Rendra tersenyum miring. Senyuman yang Diana ingat saat Rendra mengejek pekerjaan ayahnya sebagai politikus. "Itu alasan gue doang buat ngusir secara halus."
Diana memukul kepala Rendra menggunakan botol minuman isotonik yang ia pegang. "Gue juga sebenernya males banget berurusan sama orang sok kayak lo."
Dengan cepat Rendra merebut botol minuman tersebut sebelum pukulan Diana dapat membuat kepalanya benjol. "Jangan mentang-mentang lo anak presiden, gue terbuka lebar nerima kedatangan lo. Nggak usah ngerasa jadi orang penting yang nggak bisa ditolak."
Tadinya Diana ingin membalas perkataan Rendra tetapi ia mengurungkan niatnya dan meredam sendiri emosinya. "Oke. Kita udahin dulu acara saling hujat yang kalau diterusin nggak bakal ada habisnya. Sekarang gue tanya sama lo." Diana maju satu langkah. "Lo beneran dalang dari penculikan Eva?"
"Lo kira gue kurang kerjaan apa pakai acara nyulik anak orang segala." Rendra mengusap-usap bagian depan rambutnya yang berantakan.
"Terus kenapa tadi lo pakai berlagak ngomong, 'apa yang bakal lo lakuin kalau gue nggak berhenti buat masalah?', ya gue jelas curiga lha!" Diana mengikuti cara bicara dan gaya Rendra penuh penjiwaan.
"Iseng," ucap Rendra santai.
"Hah?!" ujar Diana setengah berteriak. "Astaga."
Setengah mati ia membenci Rendra, namun Diana percaya apa yang pemuda itu ucapkan. "Jujur aja gue nggak suka sama lo. Terutama omongan lo yang suka iseng itu," Diana sengaja menekankan kata iseng dalam kalimatnya. "Tapi gue di sini harusnya sadar dari awal kalau nggak bisa seenaknya nunjuk lo sebagai pelaku kejahatan. Gue sedikit nyesel pernah mikir kalau lo itu dalang kasus ini berdasarkan perasaan nggak suka gue. Bukan berdasarkan bukti yang kongkret."
Diana meraih surat yang ia simpan rapat-rapat di saku jaketnya. "Ini bukti yang udah buat gue ngira lo dalang dari penculikan Eva. Harusnya gue belum percaya seratus persen."
Surat itu berpindah tangan menuju Rendra. Ia membaca teliti surat tersebut hingga kedua alisnya membentuk sudut lancip. "Gue memang punya banyak masalah sama ayah gue," aku Rendra yang kemudian meletakan surat itu di atas meja. "Tapi permasalahan itu, cukup kita berdua yang tahu. Cuma pengemis iba yang bangga membeberkan masalah keluarganya ke orang lain, apa lagi sampai ikut mengajak orang lain buat bela dia, bukan buat nyelesain masalah."
Di balik arogannya, Rendra punya kalimat bijak yang tidak terpirkan oleh Diana. Akan tetapi, Diana menutup rasa kagumnya itu. Rendra bukan orang baik walau masih ada sisi baik pada dirinya.
Tiba-tiba mereka mendengar suara mobil yang berderu kencang. Rendra bangkit berdiri dan menengok ke sumber suara.
"LAGI?" kata Rendra geleng-geleng kepala. Diana yang penasaran pun ikut melihat. Dua mobil yang tadi mengikuti mereka datang mendekat dengan kondisi cukup rusak tapi masih bisa melaju. "Kita pergi sekarang."
Diana mengangguk dan mereka berdua berlari keluar dari area mini market itu. Beruntungnya, kesempatan selalu datang pada mereka. Meskipun kesempatan itu merupakan kesempatan yang sama.
Hafis yang tengah mengecek kondisi ban mobilnya ditarik Rendra kasar. "Habis ini gue beliin lo mobil baru, kasih kunci mobil lo!"
"LAGI?" Diana membeokan perkataan Rendra.
"Naik cepet di kursi belakang!" perintah Rendra tidak sabaran.
"Mual gue belum sembuh bener udah ditambah lagi," gerutu Diana yang setelahnya kembali terjatuh dari kursi penumpang dan kali ini Rendra melihatnya.
***
See u next chapter!
Think genius and save Hafis
🤩🤩🤩🤩
Comment on chapter Don't be a Good Person: