KISAH INI FIKSI SEMATA, BERSUMBER DARI IMAJINAJIS.
DIHARAPKAN KEBIJAKAN PEMBACA.
NAMUN, TYDACK MENUTUP KEMUNGKINAN TERDAPAT BEBERAPA KESAMAAN DALAM KISAH NYATA KARENA MEMANG DISENGAJA.
***
Farid. Dia adalah tersangka sekaligus korban yang terbunuh dalam insiden penculikan Eva. Orang yang memberikan pesan kepadanya untuk mencegah revolusi yang sama sekali tidak ia mengerti. Dan karena kecerobohannya, rasa bersalah itu masih menyelimuti Diana. Menurutnya, kejahatan Farid tidak pantas mendapatkan hukuman mati. Farid masih berhak hidup dan memperbaiki dirinya.
Diana tidak kesulitan menemukan lokasi rumah Farid. Berita tentang penculikan Eva membuat semua perusahaan penerbit berita berlomba-lomba menyampaikan informasi terbaru. Ibunda Farid sempat viral selama tiga hari karena beliau mengaku Farid anak yang baik dan ia tidak menduga anaknya enam bulan kebelakang bergabung dengan sebuah organisasi kriminal.
Diana sempat ragu menjalani rencananya tapi mengingat firasat buruknya mengenai Saipul dan Sugeng, ia tidak bisa tinggal diam. Tanpa sepengetahuan kedua orangtuanya, Diana melayat ke rumah korban.
Erik tidak mempercayainya sekaligus melarangnya melakukan penyelidikan mengenai kasus penculikan Eva. Ia tidak mungkin meminta bantuan teman-temannya yang tidak tahu apa-apa tentang pesan terakhir dari korban, meskipun Niken dan Karin mengetahui Diana ada di sana ketika penculikan Eva terjadi. Keputusannya menjalani misi seorang diri merupakan yang paling tepat. Diana ingin menemukan alur kepercayaannya sendiri sebelum memutuskan untuk menyerahkannya pada pihak yang lebih berwenang selain polisi. Yaitu ayahnya.
Pohan mengantarnya menuju rumah Karin pada Sabtu pagi. Diana hanya bilang akan mengerjakan tugas dan bermain. Pohan jelas sama sekali tidak curiga. Tetapi begitu memasuki rumah Karin, Diana langsung merebut handphone temannya itu dan memesan sebuah ojek online.
"Mau kemana lo?" tanya Karin yang belum sepenuhnya bangun dari tidurnya. "Kenapa nggak pesen lewat handphone lo aja sih."
"Handphone gue udah di-setting sedemikian rupa sama Tante Pohan, kalau-kalau gue bandel, dia bisa ngelacak gue tanpa perlu pakai GPS." Diana membuka lemari Karin dan mengambil beberapa baju. "Gue pinjem baju lo ya, nanti gue cuci."
"Ampun dah," ucap Karin malas dan memutuskan melanjutkan lagi tidurnya di hari libur.
Sebisa mungkin, ia tidak ingin terlihat seperti terakhir kali Diana berpakaian di mata Pohan. Berjaga-jaga ketika di jalan ia berpapasan dengan mobil BMW hitam yang setia menemani kemana pun Pohan mengawal Diana.
Kemeja berlengan pendek, topi baseball dan celana katun panjang Diana pilih untuk penyamarannya. Tidak akan ada yang menyadari dia adalah Diana Davidson-putri tunggal presiden yang masih sakit kaki. Orang-orang akan melihat dirinya seperti seseorang yang ingin piknik ke perkebunan dan memanen banyak raspberry.
Sentuhan terakhir, Diana memakai masker dan meninggalkan handphone-nya di rumah Karin. Semuanya aman.
***
Suasana rumah Farid sepi ketika ia sampai. Sudah lebih dari seminggu berlalu Farid dimakamkan, tapi bendera kuning masih berkibar di pagar rumah. Dengan hati-hati, Diana membuka pagar yang tidak dikunci lantas mengetuk rumah. Ketukan kelimanya berhasil membukakan pintu. Seorang wanita setengah baya memandang Diana penuh tanya.
"Permisi, apa benar ini Ibu Endang?" tanya Diana sambil setengah menunduk
"Benar, saya Endang," balas wanita itu.
"Mohon maaf meganggu tapi saya ke sini ada niat berkunjung." Begitu Diana melepaskan masker dan mengangkat sedikit topinya, Bu Endang seketika menutup mulutnya yang ternganga.
Segera mereka masuk ke dalam rumah sebelum satu RT kediaman Bu Endang ramai akibat kehadiran putri tunggal presiden. Diana mendudukan dirinya di sebuah sofa yang sudah lapuk. Ia meneliti keadaan sekitar. Rumah Bu Endang sangat sederhana tetapi Diana tetap merasa nyaman. Lantainya juga bersih, kentara sekali sering dibersihkan.
"Saya nggak meyangka Farid bisa kenal sama Mbak Diana," ujar Bu Endang yang membukakan toples berisi kue salju.
"I-Iya saya juga nggak meyangka Farid secepat itu pergi," gagap Diana. Beberapa saat yang lalu, terjadi obrolan kecil mengenai bela sungkawa Diana kepada Farid. Ia mengatakan bahwa ia sudah bertemu Farid sebelumnya dengan alibi Farid pernah membantu mengamankannya ketika Diana sedang berbelanja di mall.
"Farid sangat mengidolakan Mbak Diana dan juga Pak David." Kini bergantian Diana yang menunjukan ekspresi ternganga. "Teman-teman seusianya mengidolakan artis muda, tapi Farid bilang Mbak Diana itu lebih keren."
Diana menggaruk tengkuknya canggung. "Haha... bisa aja."
"Dia juga suka kirim surat ke Istana Negara. Tapi mungkin belum rejeki Farid, surat yang Farid kirim belum bisa Pak David baca."
"Surat?"
Bu Endang mengangguk antusias. "Pak David pernah mengadakan acara mengirim surat untuk presiden. Siapa aja boleh mengirim surat yang di alamatkan di Istana Negara."
Acara itu sudah berakhir lima bulan yang lalu. Rekan-rekan David menyarakan agar David membuat acara tersebut sebagai acara perpisahannya menjadi seorang presiden dan juga mengangkat kembali nama lembaga pengiriman surat di Indonesia. Presiden akan membalas secara pribadi surat-surat tersebut. Namun, tidak semua surat bisa dibalas langsung oleh Presiden. Surat-surat yang masuk ke Istana Negara akan diseleksi ketat oleh tim khusus. Diana pun ikut ambil bagian melakukan penyeleksian setiap hari Minggu di waktu senggang.
Bila Diana bisa membaca masa depan, Diana akan menyisihkan surat dari Farid dan membalasnya suratnya. Pasti Farid akan sangat senang meskipun hanya selembar surat yang ia berikan. Bukan mengganti sofa ruang tamunya yang sudah lapuk.
"Boleh saya masuk ke kamar Farid?" pinta Diana.
Bu Endang pun menuntun Diana menuju kamar Farid yang terletak bersebelahan dengan kamar mandi. "Kamar Farid sengaja nggak saya bereskan, saya masih belum siap," tutur Bu Endang.
Isi kamar Farid sebatas satu kasur bawah, lemari dan sebuah meja serba guna. Untuk ukuran laki-laki muda, Farid cukup rapih. Perlahan, Diana berjalan untuk menempatkan diri di depan lemari kayu Farid. Jantung dan pikirannya semakin berdetak tidak keruan.
"Ibu Endang," panggil Diana pelan. "Bisa tinggalkan saya sebentar? Saya mau melepas perpisahan dengan Farid di sini. Saya butuh waktu sendirian beberapa menit."
Seraya tersenyum lembut Bu Endang mengangguk. Ia memeluk Diana sebentar lalu beranjak keluar dari kamar.
Tanpa penyesalan sudah berbohong pada orang yang lebih tua, Diana meronggoh bawah lemari Farid yang penuh debu dan sarang laba-laba. Tangannya berhenti bergerak ketika menyentuh benda bertekstur tipis seperti kertas. Langsung saja Diana raih benda itu dan mendudukan diri di atas kasur.
Mulanya Diana ingin membuka surat tanpa judul itu di rumahnya. Tapi ia tidak bisa menahan lagi rasa penasarannya dan mulai membuka surat tanpa amplop tersebut.
Kepada semuanya,
Untuk Ibu dan Babeh, aku mengucapkan terima kasih. Mungkin terima kasih nggak bakal cukup. Maaf pun juga tidak bakal menebus apa-apa. Terlalu banyak yang harus diutarakan. Intinya, aku bahagia jadi bagian keluarga kalian. Terus lihat ke depan. Ikhlaskan takdir ini. Tuhan tahu yang terbaik.
Untuk Bapak David, tolong jaga Indonesia sebaik-baiknya, terus lampaui batas yang Bapak punya, Indonesia butuh Bapak. Bulan Juni lalu, saya bergabung dengan komunitas pendukung David Kembali Memimpin. Anda orang yang sangat hebat, saya betul-betul mengidolakan Anda dengan sepenuh hati. Bahkan saya sering bertengkar dengan teman-teman saya yang tidak menyukai Anda. Menurut saya, teman-teman saya yang tidak mengerti bagaimana susahnya menjadi pemimpin dan mungkin saja teman-teman saya sudah terlanjur membenci Anda. Jadi kebaikan apa pun yang Anda lakukan, tidak akan dihargai teman-teman saya.
Saya hitung ada lima surat yang saya kirimkan ke istana negara tapi tidak satu surat pun yang lolos. Saya awalnya sangat kecewa karena saya termasuk orang yang rutin mengirim surat hampir setiap minggu. Apa surat saya sengaja dibuang atau Bapak bosan lihat nama saya masuk ke kotak surat?
Tapi saya tidak mau terus menerus kecewa oleh hal yang tidak terlalu penting. Komunitas David Kembali Memimpin berdedikasi tinggi agar Anda menang di pemilu tahun depan. Kami membenci orang-orang yang tidak lebih baik menangani Indonesia selain Bapak. Rasanya, ingin kami bunuh saja orang-orang tidak becus dan sok tahu itu. Kami mengawali aksi kami dengan menculik Eva, anak dari Yudhis, saingan terberat Pak David.
Kami akan mengancam Yudhis, bila sampai dia nekat mencalonkan diri, anaknya jadi jaminannya. Orang yang kerjaannya hanya duduk di kursi berkutat dengan dokumen, tidak pantas meminpin negara! Sangat berbeda dari sosok David yang hobi mengontrol langsung keadaan tiap sudut negara.
Dalam menjalankan aksi, kami didukung penuh oleh Tarendra, anak Gio, saingan Bapak David juga. Tarendra sangat membeci ayahnya dan ingin menghancurkan ayahnya. Dia tahu keberadaan kami, dan bagaimana kami fanatiknya kami terhadap Pak David. Tarendra ingin David terpilih lagi di pemilu tahun depan dan membuat tuduhan bahwa Gio yang menyuruh kami menculik Eva. Kami tahu kami seperti dimanfaatkan Tarendra demi menjatuhkan tuduhan pada ayahnya tapi kami menerimanya. Ini jalan terbaik menggulingkan Yudhis.
Saya tidak akan membiarkan satu orang pun termasuk keluarga saya membanca surat ini selama saya masih hidup, oleh karena itu, siapa pun yang membaca surat ini, tolong lanjutkanlah misi kami.
Demi Indonesia yang lebih baik.
Diana terguncang di tempatnya. Ia menutup mulutnya bergetar setelah selesai membaca satu lembar surat yang ditulis bolak balik tersebut. Lambat laun ia kehilangan tenaga dalam tubuhnya. Dengan sisa tenaganya, ia gunakan berpikir. Selanjutnya, mau tidak mau, ia harus menemui Tarendra walau setengah mati ia enggan melakukannya. Karena bila Gio-Raja Perputaran Ekonomi-dipenjara, tumbang sudah perekonomian Indonesia.
Tidak banyak masyarakat yang tahu akan hal itu. Hanya orang-orang yang satu kelas dengan Gio yang mengetahui status pentingnya di negara ini, termasuk David. Diana pernah mendengar bahwa Gio merupakan pemegang kendali yang baik dan tidak ada yang sebaik Gio dalam hal perekonomian serta bisnis. Setiap tahunnya, Gio selalu diam-diam menyumbang miliyaran dana pada negara. Dan di bawah tangan Julia, alokasi dana tersebut digunakan untuk membangun daerah-daerah terpencil. Meskipun miliyaran, Gio tetap bisa mengoleksi mobil pribadi dengan harga setara.
Begitu pula dengan kerja sama antar luar negeri. Tidak hanya satu atau dua perusahaan yang Gio pegang. Raja tumbang, maka politik monopoli berjalan. Orang-orang yang menggantikan posisi Gio belum tentu bisa memberikan uang sumbangan tetap kepada negara setiap tahun seperti yang Gio lakukan walau hanya seratus juta bukan sepuluh miliyar. Bahkan peluang kerja sama antar luar negeri, tidak terbuka selebar ketika Gio yang memegang kendali.
Gio memang bukan yang terbaik, tapi sekarang belum ada yang bisa lebih baik darinya.
Mendadak, tenaga Diana pulih. Ia mengeratkan kuat-kuat genggaman tangannya. That's stupid boy!
Diana memasukan surat tersebut ke saku kemejanya dan segera berpamitan pulang.
***
[B/N]
Brain Note
Cara follow orang di tinlit gimana sih?:( Maaf saya memang kudet
🤩🤩🤩🤩
Comment on chapter Don't be a Good Person: