KISAH INI FIKSI SEMATA, BERSUMBER DARI IMAJINAJIS.
DIHARAPKAN KEBIJAKAN PEMBACA.
NAMUN, TYDACK MENUTUP KEMUNGKINAN TERDAPAT BEBERAPA KESAMAAN DALAM KISAH NYATA KARENA MEMANG DISENGAJA.
***
Sempat terjadi perdebatan antara Diana dan Pohan selama lima menit. Diana menolak Pohan menjemputnya karena ia sudah berjanji akan makan siang bersama Erik hari ini. Tapi Pohan bersi keras untuk menjemputnya dan mengawasi Diana selama mereka makan. Pohan tanpa peduli rasa tersinggung, menyatakan bahwa ia tidak seratus persen percaya lagi pada Erik semenjak kejadian penculikan Eva. Diana sebenarnya tidak terima Erik dipandang seperti itu oleh Pohan, tapi ia tidak ingin lama-lama berdebat yang ujung-ujungnya malah membuat acara makan siangnya batal.
Diana pun akhirnya menurut dan pasrah diantar Pohan hingga ke tempat pertemuannya dengan Erik. Pohan juga ngotot akan menunggunya sampai ia selesai. Walaupun cukup ketat, tapi Pohan tidak ingin terlalu mencampuri aktifitas privasi Diana. Ia tidak ingin Diana kehilangan masa mudanya bersama teman-teman, tapi ia juga tidak mau Diana terluka.
"Ngapain pakai masker? Sok ngartis." Cemoohan Erik menyambut kedatangan Diana di salah satu tempat duduk di sebuah restoran yang didominasi anak muda. Baik dari pelanggan mau pun pelayan.
"Gue lebih terkenal dari artis," balas Diana berlagak sombong.
"Oh, siap." Erik mengacungkan jempolnya untuk Diana.
Tidak lama, seorang pelayan menghampiri mereka dengan note kecil dan pulpen. Pelayan tersebut membuka buku menu yang sebelumnya sudah tersedia di atas meja dan langsung merekomendasikan menu terbaru. Tetapi Diana menggeleng, menolak menu baru itu.
"Jadinya kamu mau pesen apa, Sayang?" ucap Erik kencang-kencang, membuktikan omongannya tadi di telepon. Diana ingin memukul kepala Erik menggunakan buku menu yang ia pegang tapi ia menahan diri.
"Air putih sama roti tiramisu bakar," kata Diana sambil menyerahkan buku menu kepada pelayan yang tengah mencatat pesanannya.
"Kalau Mas?" tanya pelayan itu setelah selesai mencatat pesanan Diana.
Erik bergumam cukup lama lalu berkata, "Kamu yang pesenin dong." Ia menyodorkan buku menu yang sedari tadi hanya ia bolak-balik saja. Diana menerima buku menu tersebut dengan muka masam, jauh berbeda dengan Erik yang tersenyum lebar.
"Namanya juga cowok. Sukanya diurusin sama cewek. Iya kan, Mbak?" celetuk Erik dan pelayan itu hanya mengangguk canggung.
"Oke." Diana menutup buku menu padahal belum genap sepuluh detik ia membaca. "Saya pesenin dia paket ayam penyet pedes geledek."
Pelayan itu segera mencatat pesanan Diana. "Minumnya?"
"Nggak usah," ujar Diana tegas.
Erik dan pelayan tanpa tanda pengenal itu sama-sama menatap Diana heran. Yang ditatap hanya pura-pura tidak peduli.
"Diulang pesanannya...." Pelayan tersebut mengulang semua pesanan dan beranjak setelah Diana mengkonfirmasi pesanannya benar.
"Bapak Saipul." Erik melempar sebuah map ke atas meja. Entah sejak kapan map itu ada di tangannya. "Berdasarkan hasil wawancara para tersangka penculikan Eva yang masih selamat, mereka bilang, Saipul yang nyuruh anak buahnya nyulik Eva. Sekarang masih buron."
Profil Saipul menjadi halaman pertama dari isi map yang Diana buka. Jantung Diana berdebar cepat dan tangannya sedikit gemetar. Foto Saipul dengan kepala plontos terpampang jelas di pojok kiri atas halaman pertama. Tatapan tajam dan kepala plontosnya tidak asing lagi bagi Diana. Saipul adalah orang yang tak sengaja ia lihat sedang berbicara dengan Sugeng di kantor polisi tempo hari. Meskipun foto Saipul terbatas hanya sampai leher bagian bawah saja, tapi Diana dapat membayangkan jelas bekas luka berbentuk tapak kuda di tangan Saipul.
"Dia preman. Pekerjaannya serabutan. Mungkin dia nyulik Eva karena dorongan ekonomi." Erik menambah informasi yang tidak tercantum pada map itu.
Lahir di kota Jakarta dan berumur 48 adalah informasi paling pasti yang bisa menjabarkan sosok Saipul. Tidak diketahui siapa orang tuanya, istri atau bahkan anaknya.
"Supaya bisa minta tebusan?" tebak Diana asal. "Kenapa mesti Eva? Bukan anak artis? Kenapa harus anak politisi?"
Erik menggeleng seraya menyandarkan tubuhnya di punggung kursi. "Belum tahu."
Semuanya sekarang tidak keruan. Diana percaya Erik bisa menjaga rahasia dan membantu mengatasi misteri ini, namun ia tetap tidak mau terburu-buru mengatakan semuanya.
"Diana...." panggil Erik menyadarkan lamunan gadis di depannya. "Nggak boleh."
"Nggak boleh apa?" tanya Diana menaikan satu alisnya.
"Lo pasti mau jadi detektif gadungan terus nyari tahu kasus ini kan?" tembak Erik dan tembakannya tidak meleset sedikit pun.
"Dih, ngaco," ujar Diana seolah malas menanggapi, padahal hati dan pikirannya tengah bergulat. Apa ia akan menyampaikan informasi ini atau tidak kepada Erik. "Ngomong-ngomong, lo kenal Pak Sugeng?" Ia mulai melakukan penyelidikannya perlahan-lahan.
"Kenal," Erik mengangguk yakin. "Dia suami dukun beranak di kompleks gue."
"Bukan... bukan Sugeng yang itu!" Gadis bersurai pirang pudar itu mengibaskan tangannya.
"Cuma Sugeng itu yang gue kenal."
"Sugeng rekan kerja ayah lo."
"Ya mana gue tahu. Gue kan anaknya, bukan rekan satu timnya." Erik memicingkan matanya sembari memiringkan sedikit kepalanya. "Ngapain nyari Sugeng? Naksir lo?"
Diana segera meluruskan pikiran Erik yang sudah bercabang kemana-mana. "Dia orang yang introgasi gue waktu itu terkait kasus penculikan Eva. Nggak tahu kenapa gue ngerasa curiga sama dia." Ia menelan ludahnya lambat-lambat sebelum akhirnya memutuskan untuk mengatakan, "Gue sempet lihat Sugeng lagi ngobrol sama Bapak Saipul waktu gue ke kantor ayah lo."
"Hah?" Bukannya terkejut, Erik malah menunjukan raut wajah tidak percaya. "Mungkin lo salah lihat."
Selama mereka berbincang, jantung Diana masih belum berdetak normal semenjak melihat foto Saipul terpampang jelas di halaman utama map. Hasratnya ingin menyerahkan semua kasus ini kepada pihak berwajib tetapi hati kecilnya berbisik lain. Ia tidak mempercayai Sugeng yang merupakan rekan Wijaya—sahabat karib sang ayah. Sekarang, ia mendapat karmanya. Sahabatnya sendiri, tampak sama sekali tidak mempercayai apa yang ia ucapkan.
"Lo nggak percaya sama gue?" ucap Diana lirih.
Erik mengetuk-ngetukan jarinya di atas meja. "Gue bertahun-tahun dilatih buat percaya sesuatu yang harus dibarengi sama bukti."
Diana setuju dengan pernyataan Erik, namun ia tetap merasa tidak terima. "Kesampingin dulu soal statement lo. Dari sudut pandang lo sebagai temen, apa lo percaya sama gue kalau gue bilang gue lihat Bapak Saipul sama rekan kerja ayah lo salaman di depan kantor polisi?"
"Gue tetep nggak percaya," jawab Erik tanpa ragu. "Itu bukan sesuatu yang harus lo permasalahin."
"Jelas itu permasalahannya!" paksa Diana mencoba meyakinkan Erik lebih walau tak memiliki bukti. "Hah pengap pakai masker gue."
Bersamaan dengan gerakan Diana melepas masker yang menutupi sebagian wajahnya, pelayan datang membawa pesanan mereka.
"Pesanan meja nomor empat atas nama Erik—" Pelayan itu membeku melihat putri presiden makan di restoran tempatnya bekerja.
Diana yang salah mengartikan tatapan si pelayan pun segera mengkoreksi. "Dia bukan pacar saya, Mbak." Ia menunjuk Erik yang tengah tertawa sampai memegangi perutnya.
***
Pukul tujuh malam, Pohan berhasil mengantarkan Diana kembali ke istana negara dengan selamat. Jam tersebut meruapakan waktu makan malam biasanya dimulai. Tetapi hari ini Julia tidak ada di rumah dinas mereka. Julia sedang melakukan misi untuk membuka klinik di tengah-tengah sebuah desa kecil yang terletak Bengkulu. Itu jelas membuat Diana tidak mau pulang lebih cepat untuk menyenangkan hati ibunya memakan masakan yang dibuat Julia.
"Diana, ayo makan dulu bareng-bareng," ajakan David tentu tidak Diana tolak ketika ia melintasi ruang makan. Tetapi saat ia hendak menarik kursi yang biasa ia duduki di ruang makan, ia tercekat melihat Gio datang dan langsung duduk di tempat yang biasanya ibunya duduki.
"Seharian Ayah sama Pak Gio berkunjung lagi ke Balimba. Nggak ada rencana kita mau ke sana, semuanya mendadak tadi pagi," jelas David.
Masyarakat Indonesia tahu betul sifat spontanitas David. Pengecekan mendadak seperti itu membuat kondisi dapat terpampang nyata apa adanya. Bagus bagi masyarakat tapi tidak bagi paspampres. Diana yang juga sering mengobrol bersama paspampres mendapat banyak cerita betapa menegangkannya hari-hari yang mereka jalani. Mulai dari melindungi David yang mendadak ingin membeli papeda di pinggir jalan, sampai mereka semua tanpa persiapan mengawasi David yang ingin diberhentikan di sebuah lapas remaja.
"Gimana perkembangan di sana?" tanya Diana sambil menumpuk nasi di piringnya.
"Lebih baik. Tapi belum cukup baik." David menghembuskan napas panjang. "Hari ini kamu ngapain aja?"
Ia tahu maksud ayahnya bahwa tidak ingin membahas perkembangan Balimba. Kota itu hancur lebur. Dan Diana yakin ayahnya akan kehilangan selera makan jika membahas bagaimana hancurnya kota Balimba.
"Nggak ada yang rame di sekolah. Cuma tadi pas istirahat, aku nggak sengaja makan sambel satu sendok penuh."
"Terus?" tanya David mencari tahu apa yang dilakukan putrinya seharian di saat ia tengah sibuk membantu para korban bencana.
Saling bercerita tentang kegiatan masing-masing sudah menjadi ritual keluarga David. Namun, malam ini Diana tidak begitu ingin melakukan ritual keluarganya di hadapan Gio sedang mengunyah paha ayam goreng. Gio bukan bagian dari keluarganya dan Diana tidak nyaman bercerita.
"Pulang sekolah, aku main sama Erik," lugasnya.
"Kemana?"
"Ke mall." Tiba-tiba Diana teringat berita yang ditunjukan Karin kepadanya mengenai ayahnya dan Gio yang dituduh sebagai dalang penculikan Eva atas dasar persaingan pemilu pilpres tahun depan. "Tadi Erik juga cerita soal kasus penculikan Eva. Dalangnya namanya Pak Saipul. Katanya dia ketua preman yang nyuruh anak buahnya nyulik Eva, sekarang Pak Saipul masih buron. Menurut aku sih, Pak Saipul nyulik Eva gara-gara faktor ekonomi."
Dan gue udah pernah ketemu sama Saipul. Bantin Diana berbicara sendiri. Ia tidak mungkin menceritakan hal tersebut kepada ayahnya yang banyak mengemban pikiran mensejahterakan rakyat.
"Kami juga baru dengar perkembangannya tadi siang dan langsung menelepon Yudhis," balas David. "Kita lebih fokus menyembuhkan mental Eva. Yudhis bilang, Eva mulai mau pergi ke sekolah lagi. Walaupun sekarang Eva harus pakai bodyguard."
Meski telah memancing obrolan, tapi baik David atau pun Gio tidak ada memberi tanggapan mengenai berita simpang siur yang menimpa mereka. Betapa Diana memuji sikap professional mereka berdua. Dalam hal ini, ia akui, ayahnya memang keren.
"Menurut Pak Gio, bagaimana cara menanggulangi preman di Indonesia? Sekarang ini, preman pun dijadikan pekerjaan tetap yang bisa jadi cukup menghasilkan," ucap Diana membuat sebuah topik seru. Ia penasaran tanggapan salah satu bakal calon presiden yang terkenal kaya raya ini.
"Menanggulangi preman ya," Gio mengambil tisu lalu mengelap mulutnya. "Solusi dari saya cuma satu. Pendidikan."
"Kenapa Pendidikan?"
Gio meminum beberapa teguk air putih sebelum menjawab. "Saya sudah nyerah sama orang yang memilih preman sebagai profesi mereka saat ini. Setiap orang, punya kebenaran mereka masing-masing. Mungkin di mata mereka, orang-orang seperti saya dan ayah kamu itu penjahat karena kami nggak sepenuhnya bisa melayani masyarakat, nggak bisa lepas dari kata korupsi, selalu dianggap sombong dan menindas rakyat." Ada raut kesal pada wajah Gio menjelaskan tentang pandangan masyarakat terhadap orang-orang yang satu level dengannya. "Tapi di mata kami, para preman itu justru letak kejahatannya. Mereka membuat kota resah, bahkan sekarang banyak orang memilih kredit mobil dari pada naik bus yang disediakan negara, demi menghindar copet atau jambret."
Diana tidak mengintrupsi. Ia tidak menyangka seorang pengusaha mempunyai pemikiran kritis dan luas.
"Padahal kalau mereka naik bus, uang yang masuk kas negara juga bisa kami kelola untuk kesejahteraan mereka lagi kan? Tapi mereka justru memaksakan kredit mobil padahal gaji hanya UMR. Itu malah buat kota ini jadi makin macet. Bukan maksud merendahkan soal gaji cuma sebesar UMR tapi memang kenyataannya begitu," tambah Gio.
"Apa hubungannya sama pendidikan?" tanya Diana kembali yang masih belum menemukan titik temu yang jelas.
"Oke, saya angkat tangan sama orang yang sudah terlanjur jadi preman, tapi seengaknya kita bisa mengurangi seminim mungkin cikal bakal preman. Negara sudah memfasilitasi SD sampai SMP gratis. Saya rasa itu lebih dari pada cukup. SMA atau SMK negeri sekarang juga menerima dengan terbuka anak-anak yang kurang mampu. Asalkan anak itu pantas menerima beasiswa. Jadi alasan faktor ekonomi bukan hambatan menempuh pendidikan." Disela-sela penjelasannya, Gio sempat mencolek sambal terasi yang masih tersisa di pringnya. "Kalau banyak anak Indonesia mau belajar serius semenjak dini, saya rasa orang dengan intelektual tinggi dan berpendidikan, nggak akan mau terjun ke dunia kriminal buat cari makan. Mereka lebih milih jadi arsitek atau dokter yang jelas halal dan nggak merugikan orang lain."
Diana mengangguk puas. Menurutnya, Gio tidak buruk. Ia merasa David akan kalah di pilpres tahun depan.
***
🤩🤩🤩🤩
Comment on chapter Don't be a Good Person: