KISAH INI FIKSI SEMATA, BERSUMBER DARI IMAJINAJIS.
DIHARAPKAN KEBIJAKAN PEMBACA.
NAMUN, TYDACK MENUTUP KEMUNGKINAN TERDAPAT BEBERAPA KESAMAAN DALAM KISAH NYATA KARENA MEMANG DISENGAJA.
***
Hasil rajutan Diana mendapatkan pujian dari Eva. Meskipun syal berwarna navy itu masih sangat jauh dari kata jadi, tetapi untuk takaran orang yang pertama kali merajut, rajutan Diana cukup rapih. Eva memperbolehkan Diana membawa pulang benang rajut berserta dengan beberapa alat merajut lainnya. Diana menerima semua itu senang hati dan tidak menunjukan rasa sungkan.
Walau baru beberapa kali bertemu, Diana tidak membuat sebuah batasan untuk Eva. Diana terbuka pada siapa pun dan ia menyetarakan dirinya seperti gadis tujuh belas tahun lainnya yang selalu antusias ketika merencanakan acara menginap di rumah teman. Ia berharap, Eva mengerti bahwa Diana sudah menghapus rasa sungkan pada pertemanan mereka.
"Makasih ya kalian udah mau berkunjung ke sini," Rani menemani Diana dan Julia melangkah menuju mobil pribadi presiden yang terparkir di halaman rumahnya. Eva pun berlari kecil menyusul di belakang setelah gagal membawa Stevi ikut bersamanya menemani tamu, karena Stevi sudah terlelap di kamarnya.
Melihat Diana dan Julia keluar dari rumah, supir serta seorang ajudan kepresidenan keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk keduanya.
"Maaf kalau kami agak ngerepotin," balas Julia.
"Nggak sama sekali. Kapan-kapan main lagi ke sini ya?"
"Pasti."
Julia dan Rani berpelukan sebagai salam berpamitan. Diana sempat berpikir melakukan hal yang sama pada Eva tapi ia bisa tidak sefeminim itu.
Rani yang teringat sesuatu pun melepaskan pelukan eratnya dengan Julia. "Oh, sebentar. Kue brownies yang Stevi beli kan belum dimakan." Wanita itu balik badan dan masuk ke dalam rumah.
"Duh, padahal nggak usah, Bu...." Julia membututi Rani sembari terus mengucapkan kata penolakan secara halus.
Pintu mobil yang sudah dibukakan sia-sia. Namun, baik supir atau ajudan kepresidenan itu tidak menutup kembali pintu mobil.
"Tahu gitu kita ngelanjutin ngerajut lagi," keluh Diana yang lalu menguap. Perkiraannya, Julia dan Rani akan berbincang dahulu di dapur dan keluar dari rumah setengah jam kemudian.
"Diana," panggil Eva lembut. "Makasih ya. Selama tadi kamu ngejenguk aku, kamu nggak bahas soal kejadian penculikan aku kemarin."
Pengalaman diculik tentu bukan pengalaman yang ingin terus dikenang atau bahkan dibagikan kepada orang lain. Diana yang belum pernah mengalami kejadian itu tidak mengerti apa yang dirasakan Eva saat ini. Tapi ia berusaha mengerti dan tidak menggurui Eva. Mungkin baginya yang menyukai dentuman musik heavy metal memenuhi kamarnya, pengalaman diculik tidak terlalu buruk. Namun, bagi perempuan yang hobi merajut dan penurut dengan keputusan orang tua, pengalaman diculik pasti menimbulkan kesan trauma tersendiri.
"Hubungin aku kalau perlu bantuan. Lain kali kita ngerajut lagi," ucap Diana kendati ia tahu, Eva tidak akan semudah itu menghubunginya bila ia perlu bantuan.
Dan yang perlu ia garis bawahi dari pertemuannya dengan Eva hari ini adalah Eva tidak mengetahui siapa penyelematnya dari insiden penculikan yang ia alami tempo hari. Jika ia tahu Diana yang menyelamatkannya, Diana yakin, Eva akan memberikannya selusin sweater rajutan.
Diana penasaran apa yang dibicarakan Rani dan Julia ketika ia dan Eva merajut di kamar. Apa Julia mengatakan yang sebenarnya jika yang menggagalkan penculikan Eva adalah aksi nekat Diana dan Erik? Ia berharap, lebih baik Eva tidak tahu. Ia tidak ingin Eva merasa bersalah akibat dari refleks heroik yang ia punya.
***
Bekas peluru di pahanya sedikit membuat Diana kerepotan di sekolah. Bukannya makin membaik, justru bertambah parah. Padahal kemarin saat ia menjenguk Eva di rumahnya, ia tidak begitu merasa kesakitan setiap melangkah seperti sekarang. Pohan berulang kali menawari Diana supaya mengantarnya sampai kelas tapi berulang kali Diana menolak. Ia hanya perlu berjalan lebih lambat dari biasanya dan tidak perlu membawa paspampres masuk ke dalam kelasnya.
"Pedes banget!" teriak Karin seraya merebut botol air mineral yang hendak diteguk Niken—salah satu gadis yang ada di dalam lingkaran pertemanan Diana di sekolah. Niken dan Diana mulai dekat semenjak masa orientasi. Mereka sempat dihukum bersama, kesalahan membawa makanan merupakan sebabnya.
"Woi, minum gue!" Niken berusaha meraih kembali minumnya dari tangan Karin. Diana yang duduk diantara mereka ikut terkena imbasnya.
"Minta!" pinta Karin memaksa. Setelah itu, ia meneguk setengah botol air mineral milik Niken.
Niken mencondongkan tubuhnya mendekat ke arah Karin dan sekuat tenaga merampas lagi haknya. "Bukan minta, tapi lo ngabisin namanya."
"Sebagai teman itu harus saling membantu," kata Karin dengan nada seolah mengingatkan Niken. Rambut pendeknya tampak semakin lebih tipis terkena keringatnya sendiri, hasil lain dari reaksi pedas yang menyerang lidahnya.
"Lo berdua kalau mau berantem nyewa ring tinju sana, jangan ganggu orang makan," bentak Diana kesal. Sudah tiga kali ia gagal memasukan nasi soto ke dalam mulutnya.
"Lagi sensi nih, gara-gara berita itu ya," celetuk Karin menopang dagu.
"Berita apa?" tanya Diana kebingungan.
"Jangan kasih tahu—!"
"Bapak lo dituduh penculik anak Pak Yudhis."
Niken dan Karin membalas berbarengan. Meskipun berbarengan, tetapi Diana mendengar jelas apa yang dikatakan Karin. Niken memelototi Karin di tempatnya sambil mengacungkan garpu yang ia gunakan untuk memakan bakso.
"What the—" Diana mencegah umpatannya dengan sesendok sambal. Rasa panas di lidahnya tidak sebanding dengan emosinya.
"Itu sambel doang, Di," ucap Karin terheran-heran.
Diana menggebrak meja keras. "KASIH LIAT KE GUE BERITANYA!" teriaknya sambil mengepalkan tangan erat-erat. Untunglah kantin siang ini sangat ramai. Teriakan Diana teredam dengan suara-suara lain yang jauh lebih kencang.
"Gara-gara lo, Rin. Diana kumat," ujar Niken yang menunjuk Karin.
"Eh, mau kumat atau enggak balik lagi ke diri dia sendiri. Bisa tahan emosi nggak?" balas Karin tidak terima ia ditunjuk oleh Niken.
Diana lagi-lagi menggebrak meja, kali ini lebih keras dari sebelumnya. "MANA BERITANYA?"
"INI INI INI!" Karin mengeluarkan handphone-nya dan membuka situs yang tadi malam ia baca. Sebenarnya, ia ingin memberitahu Diana perihal berita tersebut semenjak membaca berita itu. Tetapi pikirnya, akan lebih baik jika berbicara langsung pada Diana.
Cepat atau lambat, memang berita simpang siur tersebut akan sampai pada Diana. Namun, Niken ingin memberi Diana waktu sampai setidaknya, kondisi kakinya lebih baik. Niken tahu, Diana jarang sekali memainkan handphone-nya untuk berselancar di internet atau menonton berita di TV. Ia mempunyai waktu bersantai pukul lima sore yang biasa ia habiskan mengobrol bersama ibunya sambil menonton acara penyelesaian permasalahan di salah satu stasiun TV. Akhir pekan Diana terkadang disibukan menemani sang ayah ke berbagai kunjungan. Wajar bila Diana tidak begitu mengetahui perkembangan berita panas di social media karena ia lebih mengetahui kenaikan harga pangan dan kondisi terkini daerah-daerah terpencil.
Jemari Diana gemetar sewaktu mengulir layar handphone Karin. Berita itu dipublikasikan oleh sebuah situs berita ternama. Isi berita tersebut bukan ancaman yang berdasarkan bukti. Hanya saja kumpulan tanggapan warganet tentang peristiwa penculikan Eva yang dikait-kaitan dengan pilpres tahun depan. Ayahnya dan Pak Gio pun menjadi sasaran tuduhan warganet. Masyarakat mengira secara singkat, David atau Gio, salah satu diantara mereka merupakan dalang penculikan Eva yang bertujuan untuk mengancam Yudhis agar mundur di pilpres tahun depan.
Diana tidak percaya ayahnya melakukan tindakan itu. Ia memang menginginkan ayahnya tidak mencalonkan diri lagi menjadi presiden tetapi ia tidak terima sang ayah dituduh tanpa bukti. Dan sebenci apa pun Diana pada Rendra yang bernotaben sebagai anak Gio, ia tidak ingin mengambil tuduhan cepat pada Gio adalah dalang dibalik semua ini.
Acara makan malam sebulan lalu seharusnya mempererat solidaritas ketiga bakal calon presiden. Pembicaraan mereka mengarah tentang bagaimana membenahi Indonesia yang sedang dirundung banyak musibah. Bukan saling bertukar visi misi sebagai presiden.
Saat-saat tremor seperti sekarang, yang bisa memberinya nasihat terbaik hanya Erik. Selain karena alasan teman dekat, Erik anak yang genius. Erik direkrut BIN setelah menamatkan sekolah menengah atas dan sudah melakukan banyak pelatihan semenjak ia SMP. Sangat sulit dipercaya, tapi itulah sosok Erik. Ia dilahirkan dari gen seorang aparat dan dipilih untuk mengabdikan hidupnya pada negara.
"Lo udah tahu berita soal ayah gue sama Pak Gio yang dituduh nyulik Eva? Nggak ada bukti, tapi kenapa media berani publish berita yang nggak jelas kayak gitu," cerocos Diana tanpa henti. Ia sama sekali tidak menyediakan Erik waktu untuk mengatakan salam pembuka ketika panggilan teleponnya diangkat.
"Santai, Diana... santai," ucap Erik di ujung sana, entah di mana dan sedang melakukan apa. Mungkin tengah di keramaian dan menyamar menjadi pedagang bunga atau sedang mengikat teroris dengan satu tangan. "Pelan-pelan, jelasin sama gue satu-satu."
Diana menarik napas panjang. "Nanti kalau gue udah pulang sekolah, kita harus ketemu. Gue perlu informasi lo soal orang-orang yang terlibat penculikan Eva kemarin."
"Buat apa? Bentar lagi ujian nasional masih suka iseng aja lo."
"Ini bukan iseng!" bantah Diana setengah berteriak.
"Oke, tapi sambil makan siang ya?" ucap Erik.
"Boleh."
"Di depan pelayan, gue bakal bilang, 'Sayang mau pesen apa?'" Erik terkekeh menunggu balasan dari Diana.
"Terserah! Yang penting nanti ketemu," ucap Diana yang kemudian mematikan ponselnya.
Tiba-tiba saja ia merasakan perutnya melilit bertepatan dengan suara bel masuk yang berbunyi. Seharusnya, ia tidak perlu membuat acara memakan sambal satu sendok. Ia harus mempersiapkan ekspresi terkerennya ketika masuk kelas karena pasti di bangkunya, Karin akan mengejeknya lantang, 'Diana, habis ngapain? Kok bau?'.
***
🤩🤩🤩🤩
Comment on chapter Don't be a Good Person: