Jakarta, Senin 1 Januari 2018.
“Hatchi!”
Aku mendengar suara bersin. Kemudian aku melangkah masuk ke gudang yang terletak di belakang dekat dapur. Hari ini aku sengaja berkunjung ke rumah baru Mama dan Papa di Cilandak yang baru dua bulan terakhir ini mereka tempati sekalian ingin mengucapkan selamat Tahun Baru.
“Hai Ma,” sapaku.
Mama membenarkan letak kacamatanya. “Hai Sam,” ujar Mama yang berpeluh karena sedang membereskan barang-barang di gudang. Di sebelahnya ada Rina, assisten rumah tangga Mama. Debu memenuhi ruangan dan aneka benda berserakan dimana-mana.
“Papa kemana, Ma?”
“Dari pagi udah keluar sama si Oji ke Bogor. Mau ngelihat tanah katanya.”
Aku mengangguk.
“Tumben sore-sore mampir,” kata Mama.
“Kebetulan habis ketemu teman tadi di 1)Citos. Jadi sekalianlah ke sini.” Aku menghampiri Mama. “Selamat Tahun Baru, Ma.” Aku memeluk dan mencium pipinya.
“Oh iya, sampai lupa hari ini tahun baru, ya?”
Aku terkekeh. “Sudah pikun maksimal nih Mama.”
“Yah... namanya juga nenek-nenek nyaris tujuh puluh tahun, Sam. Tapi meski sudah uzur begini, jangan pernah meragukan semangat Mama. I feel like seventeen again, you know! Iya nggak Rin?” Mama meminta dukungan dari Rina.
Assisten rumah tangga Mama yang sudah tujuh tahun ini bekerja untuk Mama tertawa. “Akur deh Bu...”
Aku tersenyum. “Iya, iya, Mama memang juaranya deh kalau soal semangat. Sedang apa sih, Ma?”
“Ini lagi benah-benah. Mumpung lagi ada waktu. Soalnya semenjak pindah ke sini Mama belum sempat ngeberesin barang-barang di gudang.”
“Perlu bantuan nggak?”
Mama melihat padaku. “Sebenarnya sih kita berdua udah cukup, tapi terserah kalau memang kamu ingin kotor-kotoran. Itu ada kardus-kardus yang perlu kamu pindahkan.”
“Nggak masalah.” Lalu aku menggulung lengan kemeja biruku dan kemudian mengangkat beberapa kardus berisikan buku-buku tua. “Wah, banyak amat nih bukunya, Ma.”
“Itu bukan buku, Sam. Itu semua adalah harta karun.”
Aku tertegun mendengar Mama menyebut buku-buku tua ini adalah harta karun. “Taruh dimana ini, Ma?”
“Semua kardus buku kamu taruh di luar sekalian kamu keluarin isinya. Lalu kamu lap ya pakai kain. Itu nanti buat ditaruh di perpustakaan pribadi Mama.”
“Oh, udah ada ruangannya buat perpus?”
“Sudah. Di luar. Papa ngebangun ruangan khusus di samping kolam renang.”
Aku mengeluarkan satu per satu buku-buku koleksi Mama. Macam-macam sekali genre dan judulnya. Aku mengamati buku-buku tersebut. Menarik dan menggugah hati, melihat bagaimana Mama memperlakukan buku sebegitu istimewanya.
“Cerita Dari Blora. Pramoedya Ananta Toer.” Aku mengulang judul buku dan nama penulis dari buku tua yang sedang aku pegang. Kemudian aku membalik cover depan buku. Ada sebuah tandatangan di sana dan sebuah tulisan di halaman pertama buku: Untuk Ananda, Danakitri Prameswari, semoga sukses di masa depan! Semesta menyertai. Salam. Pram 18/2/65.
“Wow.” Aku menggumam pelan. Aku kagum sekali dengan apa yang barusan aku lihat. Mama benar. Ini memang harta karun. Kemudian aku menggali lagi isi kardus. Dan aku menemukan empat buah buku catatan harian yang bentuknya tebal namun sudah terlihat usang. Hatiku berdebar. Aku langsung tahu ini adalah catatan harian Mama. Dan itu artinya aku tidak diperkenankan untuk membukanya walaupun godaan untuk membuka serta membacanya sangatlah besar.
“Ma...” Aku memanggil Mama.
Mama keluar dari dalam gudang. “Ada apa, Sam?”
Aku tidak bicara. Aku hanya mengangkat buku-buku harian milik Mama itu.
Mama tersenyum. “Ya ampun. Itu diari-diari Mama.” Mama ikut berjongkok di depanku. Ia mengambil buku di genggamanku. Lalu Mama membolak-balikkan halaman demi halaman. Sesekali Mama tersenyum tipis. Tapi ada kalanya matanya berkaca-kaca. Kemudian pandangan Mama ia alihkan kepadaku. “Kamu ingin membacanya?” tanya Mama.
Aku kini tertegun.