Loading...
Logo TinLit
Read Story - Foto dalam Dompet
MENU
About Us  

“Eh hari ini ambil kaos kelas ya di Warram ntar pulang sekolah,” teriak Ari, si kordinator pembuat kaos kelas.

Kelas langsung ribut. Ada yang menyela, “yaelah, gak bisa besok pagi lu bawa ke kelas aja apa ri?”

“Sekalian ada mas penjualnya, jadi lu pada yang masih nunggak bisa langsung bayar lunas. Masnya mana boleh diizinin masuk gitu aja sama satpam,” jelas Ari.

Duh, matilah aku! Warram itu warung kecil di belakang sekolahku, SMA Persada, yang jadi tempat nongkrongnya anak-anak Hiu Biru. Siapa pula anak Persada yang gak tau Hiu Biru? Nihil. Semua pasti langsung mengenali anggotanya dengan identitas berupa hoodie andalan biru navy bergambar hiu besar besar di punggung. Ari, si kordinator kaos kelas, salah satu anggotanya. Jelas aja kenapa dia nyuruh ngambil di Warram. Hiu Biru ini squad paling bergengsi dan ditakutin di SMA Persada. Kebanyakan isinya pentolan sekolah. Atau kalau enggak ya anak anak gaul yang bokap nyokapnya konglomerat. Warram sendiri singkatan dari warung haram. Tidak ada yang pernah tahu apa latar belakangnya sampai dinamain itu. Secara makanan minuman yang dijual halal 100% dan sama aja kaya yang dijual warung pada umumnya. Mungkin karena kegiatan yang dilakuin disitu kali ya, makanya dijuluki Warung Haram oleh seluruh penjuru Persada. Pusatnya gosipin orang, berkumpulnya cacian sampai ada yang ngumpet pacaran juga. Sebenernya sepertiga dari anak Hiu Biru itu temen satu angkatanku sendiri. Kalo dikelas hobinya cabut lalu berubah baik hati saat kepepet minta contekan. Biasa.

Aku yang notabenenya cuma anak biasa-biasa aja selalu takut sama mereka. Apalagi nih ya, satu diantaranya ada sosok yang aku taksir diem-diem dari kelas sepuluh. Iya serius. Kok bisa aku naksir sama anak Hiu Biru padahal aku takut? Karena cowok yang aku taksir itu, satu satunya yang spesial dari semua anggota Hiu Biru atau malah dari semua murid SMA Persada. Vokalis band, jago olahraga, badan atletis dan yang pasti wajah gantengnya gak bikin bosen. Jelas tipe idaman yang aku kira cuman ada di novel. Ah ya, satu lagi yang terpenting, dia belum punya pacar. Tuh kan, gimana mungkin aku gak suka coba?

Sepulang sekolah.

Aku  bersama tiga sohibku, Caca, Dela, dan Tya, mengendap endap menuju belakang sekolah. Rasanya seakan akan kami bertiga ini sekelompok maling yang takut ketahuan tuan rumah. Ya iyalah, gawat kalo sampai temenku anak kels lain tahu aku mampir ke Warram. Bisa bisa aku dikira melakukan taruhan rahasia sama Hiu Biru. Atau parahnya aku bisa saja dicap sebagai anggota.

Begitu sampai di Warram ternyata sepi. Isinya malah mayoritas anak kelasku sendiri yang bernasib sama, ingin memperjuangkan haknya seharga 130 ribu dalam bentuk kaos. Aku jadi heran sekaligus curiga. Pasalnya, menurut gosip yang beredar, biasanya warung ini selalu ramai. Bahkan lebih riuh dari suasana kantin SMA Persada saat jam istirahat. Kulihat beberapa anggota Hiu Biru duduk di sudut warung sambil entah apa. Remang-remang. Di bagian depan yang terang benderang inilah, aku dan kawan sekelasku justru lebih gaduh. Aku mengantri sambil sibuk mencari. Dimana Dirga? Ini hari Rabu. Bukan jadwal eskul basket atau latihan bandnya. Harusnya sekarang dia ada disini. Namun mengapa batang hidungnya saja tak tampak?

“Cut,” Ari memanggilku dan segera membuyarkan lamunanku. Sudah giliranku rupanya. Aku mengeluarkan dompet Louis Vuiton ku dari kantong sweater. Lantas mengambil selembar uang berwarna biru. Iya, aku salah satu yang masih belum lunas bayar. Kuserahkan uangnya dan menukarnya dengan kaos kelas. Aku melirik jam di pergelangan tangan. Sudah setengah empat. Ah, mengambil kaos begini saja sudah memakan waktu setengah jam. Ibu pasti sudah menunggu di gerbang depan sekolah.

Buru-buru aku menghampiri ketiga sohibku yang sudah menungguku dari tadi, “Yuk Pulang,”

Ketiganya mengangguk sambil bangkit dari duduknya. Kami berempat pamit pada yang lain. Siapa juga yang mau berlama-lama disana? Selain Hiu Biru maksudku. Anak kelasku yang lain sudah dari tadi pulang duluan karena dapat antrian lebih awal. Dari kejauhan aku dapat mengenali sepeda motor biru kepunyaan ibu. Aku pun semakin mempercepat langkahku.

Jam Istirahat keesokan harinya.

Aku bersama tiga sohibku sudah duduk rapi di meja kantin. Meja kedua dari depan di sebelah kanan pintu keluar kantin. Masing-masing meja di kantin SMA Persada sudah ada yang punya. Tidak tertulis memang dan hanya anak persada yang tahu. Meja paling besar dan strategis di bagian tengah kantin itu milik Hiu Biru. Meja-meja lain yang ada di lajur tengah milik klub olahraga. Lalu disebelah kanan dan kiri meja Hiu Biru itu meja anak-anak biasa seperti kami berempat. Kemudian meja siapa yang ada di setiap sudut kantin? Milik kelompok murid yang dikucilkan. Sekolah memang kejam bukan? Atau mungkin bukan sekolahnya, melainkan pion pion yang berkuasa didalamnya.

“Pada mau pesen apa?” tanya Tya. Tya inilah sohibku yang paling setia menjadi pelayan diantara kami.

Caca yang masih sibuk dengan handphonenya menjawab paling pertama, “Gue apel dikupas, dipotong-potong, dan gak pake gula.”

Ini salah satu kebiasaan Caca dibanding yang lain. Selalu makan buah atau sayur dan gak mau ngemil. Tau kenapa? Karena katanya mau turun lima pon. Iya serius, bukan lima kilogram tapi lima pon.

Sohibku yang satu lagi, Dela, menyahut,“Gue nasi goreng pake ayam. Namanya juga belom sarapan.”

Beda banget ya sama Caca? Aku sendiri pesan menu kesukaanku, “Gue bakso deh gak pakai mie ya” kataku sambil merogoh kantong sweater. Eh eh kok kosong? Loh dompetku mana? Aku mengecek kantong sweaterku beberapa kali dan tetap tak ada apa-apa disana.

“Kenapa Cut?” tanya Tya yang belum memesan makanan kami.

“Dompet gue gak ada, ketinggalan di kelas kali ya. Gue balik dulu ya takut ilang.” kataku panik.

“Jadi dipesenin gak baksonya?” tanya Tya lagi.

“Iya pesen aja,” sahutku sebelum bergegas meninggalkan kantin.

Aku berlari disepanjang koridor yang lengang. Wajar saja, murid murid menumpuk di kantin. Tepat sebelum kakiku memijak dianak tangga pertama menuju lantai dua,seseorang menghentikanku, “Cut ini dompet lu ketinggalan.”

Eh? Dirga? Ternyata seseorang itu Dirga. Kok dompetku bisa ada padanya? Sejak kapan pula dia berdiri di balik tangga?

“Kemaren ketinggalan di Warram.” katanya menjawab kebingunganku. Ah iya juga, waktu bayar kaos kelas rupanya.

Aku mengambil dompetku kemudian tersenyum kecil tanpa berani menatap matanya, “Makasih ya.”

Dirga mengangguk pelan, “Sama-sama. Lain kali main lagi ya ke Warram. Gue tungguin,”

Apa dia bilang barusan? Menungguku main lagi ke Warram? Ah yang benar saja! Dia bilang seperti itu saja sudah membuat jantungku lompat-lompatan, apalagi harus mengobrol dengannya. Di warram pula. Aku bergumam pelan tidak tahu harus jawab apa. Tergesa-gesa aku meneruskan langkahku ke lantai dua, menuju kelas. Bukannya kembali ke kantin untuk menyantap semangkuk bakso. Mana bisa aku menyembunyikan wajah merah meronaku dari penghuni seluruh kantin?

“Cuuutttt,” panggilnya yang kedua kali hari. Mimpi apa aku semalam sampai bisa seberuntung ini.

Aku menoleh patah-patah, “iya?”

“Foto gue jangan di buang ya,” teriaknya sambil tersenyum nakal.

Ya Tuhan, matilah aku ketahuan!

Tags: romance

How do you feel about this chapter?

2 2 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Pasha
1309      585     3     
Romance
Akankah ada asa yang tersisa? Apakah semuanya akan membaik?
Kamu
304      249     0     
Short Story
Untuk kalian semua yang mempunyai seorang kamu.
NADA DAN NYAWA
15779      2963     2     
Inspirational
Inspirasi dari 4 pemuda. Mereka berjuang mengejar sebuah impian. Mereka adalah Nathan, Rahman, Vanno dan Rafael. Mereka yang berbeda karakter, umur dan asal. Impian mempertemukan mereka dalam ikatan sebuah persahabatan. Mereka berusaha menundukkan dunia, karena mereka tak ingin tunduk terhadap dunia. Rintangan demi rintangan mereka akan hadapi. Menurut mereka menyerah hanya untuk orang-orang yan...
A Man behind the Whistle
1522      682     2     
Action
Apa harga yang harus kau tukarkan untuk sebuah kebenaran? Bagi Hans, kepercayaan merupakan satu-satunya jalan untuk menemukannya. Broadway telah mendidiknya menjadi the great shadow executant, tentu dengan nyanyian merdu nan membisik dari para Whistles. Organisasi sekaligus keluarga yang harus Hans habisi. Ia akan menghentak masa lalu, ia akan menemukan jati dirinya!
Nina and The Rivanos
10432      2518     12     
Romance
"Apa yang lebih indah dari cinta? Jawabannya cuma satu: persaudaraan." Di tahun kedua SMA-nya, Nina harus mencari kerja untuk membayar biaya sekolah. Ia sempat kesulitan. Tapi kemudian Raka -cowok yang menyukainya sejak masuk SMA- menyarankannya bekerja di Starlit, start-up yang bergerak di bidang penulisan. Mengikuti saran Raka, Nina pun melamar posisi sebagai penulis part-time. ...
Bukan kepribadian ganda
9712      1881     5     
Romance
Saat seseorang berada di titik terendah dalam hidupnya, mengasingkan bukan cara yang tepat untuk bertindak. Maka, duduklah disampingnya, tepuklah pelan bahunya, usaplah dengan lembut pugunggungnya saat dalam pelukan, meski hanya sekejap saja. Kau akan terkenang dalam hidupnya. (70 % TRUE STORY, 30 % FIKSI)
Phi
2153      865     6     
Science Fiction
Wii kabur dari rumah dengan alasan ingin melanjutkan kuliah di kota. Padahal dia memutus segala identitas dan kontak yang berhubungan dengan rumah. Wii ingin mencari panggung baru yang bisa menerima dia apa adanya. Tapi di kota, dia bertemu dengan sekumpulan orang aneh. Bergaul dengan masalah orang lain, hingga membuatnya menemukan dirinya sendiri.
In Your Own Sweet Way
445      317     2     
Short Story
Jazz. Love. Passion. Those used to be his main purpose in life, until an event turned his life upside down. Can he find his way back from the grief that haunts him daily?
Cecilia
499      274     3     
Short Story
Di balik wajah kaku lelaki yang jarang tersenyum itu ada nama gadis cantik bersarang dalam hatinya. Judith tidak pernah menyukai gadis separah ini, Cecilia yang pertama. Sayangnya, Cecilia nampak terlalu sulit digapai. Suatu hari, Cecilia bak menghilang. Meninggalkan Judith dengan kegundahan dan kebingungannya. Judith tak tahu bahwa Cecilia ternyata punya seribu satu rahasia.
Adelia's Memory
513      330     1     
Short Story
mengingat sesuatu tentunya ada yang buruk dan ada yang indah, sama, keduanya sulit untuk dilupakan tentunya mudah untuk diingat, jangankan diingat, terkadang ingatan-ingatan itu datang sendiri, bermain di kepala, di sela-sela pikirian. itulah yang Adel rasakan... apa yang ada di ingatan Adel?