DEVA, TIO DAN Azka saling berpandangan sengit. Tangan mengepal kedepan, layaknya siap meninju seseorang. Kali ini yang bertugas menyanyikan lagu adalah Tio. Sebuah keberuntungan baginya, sebab dia bisa tahu kode apa yang akan diucapkan.
Kebetulan kelas sedang sepi, karena sudah jam pulang sekolah. Hanya tinggal mereka bertiga yang masih ada di kelas.
“Siaaap?” Deva memberi aba-aba.
Tio dan Azka saling lirik. "Siap!” jawab mereka dengan suara berbisik.
“Mulai!” ucap Deva. Seiring dengan itu, maka Tio-pun langsung bernyanyi.
“Cang kacang panjang, yang panjang ...” Tio tak segera menyelesaikannya. Dia sengaja membuat Deva dan Azka semakin berkeringat. Babak penentuan, semakin menegangkan. Apa yang akan diucapkan Tio nanti, akan menjadi penentu nasib mereka.
“Menang!” itu yang Tio katakan.
Azka mengerang, matanya terbelalak karena kalah dari Deva. “Kenapa gue?” tanya Azka tak percaya.
“Lo kalah, Ka!” teriak Deva semangat.
“Ahhh! Gak bisa diulang ni?” pinta Azka.
“Enak aja,” tukas Deva. “Sesuai kesepakatan, yang kalah harus cari contekan Fisika.”
Azka menepuk jidatnya, dia pusing sekaligus berpikir mau cari di mana contekan itu. Lain halnya dengan Tio dan Deva, mereka justru tampak sangat girang bisa mengerjai Azka.
“Lo pada inget gak, pelajaran dari pak Muslim? Nyontek itu dosa. Kan?”
Tio nampak berpikir. "Iya juga. Waduh! Dosa, dong, kita?” Tio termakan dengan ucapan Azka.
Berbeda dengan Tio, Deva masih bisa membantah ucapan Azka yang sebenarnya bukan takut dosa. Tapi lebih kepada, dia tak mau mejalankan hukuman.
“Itu dia Ka..” Deva menepuk pundak Azka, “lo tau kan, kalau nyontek itu dosa. Jadi, lo jangan nyontek, lo kerjain sendiri belajar yang bener. Habis itu, lu bagi-bagi,deh, ilmu yang dah lo dapet.”
Azka memasang wajah masam, sial, pikirnya. Deva bisa saja mencari alasan. “Jadi,” sambung Deva, “selain lo bisa makin pinter karena belajar. Lo juga dapet pahala, karena nolongin temen lo. Ya, kan?”
“Lagian ini bukan ulangan. Kalau lagi ulangan, baru kita gak boleh nyontek," tambah Deva. "Makanya, tiap ulangan kita selalu remed!” kata Deva dengan bangga.
Azka menggelengkan kepala. "Cuma kalian, yang bangga karena remed.”
“Jelas! Itu hasil usaha sendiri. Yah gak, Yo?”
“Betul itu, Dev..” Tio dan Deva saling adu tos.
Azka kalah, untuk kali ini Tio dan Deva sangat kompak. “Oke. Nanti malam gua buat jawabannya.” Azka-pun mengambil tasnya dan mecaking di pundak. “Mau ikut gak?” katanya sebelum beranjak.
“Kemana?” tanya Tio.
“Gua mau main bowling. Kalau mau, ikut aja. Gua yang traktir.”
“Ikutttt!!” Tio dan Deva kompak. Mereka segera mengambil tas dan menyusul Azka.
***
Lili tengah seorang diri di dalam kamar. Di sana terasa redup, sebab hanya lampu belajarnya saja yang menyala. Lili membuka laci meja belajarnya, dia ambil satu buah foto yang sudah nampak usang. Foto masa kecilnya dengan seorang anak laki-laki yang masih tampak polos kala itu.
Lili jadi terenyum sendiri mengingat anak laki-laki dalam foto itu. Namun sayang, anak laki-laki itu sekarang tak pernah ada didekatnya. Dia lebih tertarik pada teman sebangkunya yang jauh lebih cantik darinya. Berapa banyakpun yang ia lakukan, tetap tak akan mendapatkan perhatian dari sosok yang ada di dalam foto itu.
Teng! Lili dikejutkan dengan suara kerikil yang dilemparkan ke jendelanya. Gadis itu terdiam, memandangi kaca jendela kamarnya yang berada di lantai dua itu. Dia mengambil ponsel miliknya, membuka kunci layar dan bersiap dengan nomor darurat jika itu memang orang jahat.
Lili beranjak dari meja belajarnya, berjalan perlahan menuju jendelanya. Dia sibak gordin kaca jendelanya, tapi karena takut Lili segera bersembunyi di balik tembok yang menutupi tubuhnya.
Gadis berkacamata itu mengintip sedikit dibalik celah gordinnya. Saat ia lihat, ternyata didapatinya sosok lelaki yang tadi ia pikirkan. Azka? Gumam Lili. Ia pun membuka kaca jendelanya.
“Hai...” ucap Azka tanpa suara. Dia melambai sekaligus menyeringai. Melihat Azka, Lili jadi panik. Dia tengok kesana-kemari, khawatir kalau sampai orangtuanya tahu ada Azka.
Hubungan Lili dan Azka tidak baik, satu tahun terakhir ini. Itu dikarenakan Azka yang selalu membuat masalah, sehingga orangtua Lili melarangnya untuk berteman dengan Azka. Oleh karena itu, jika sampai mereka tahu Azka datang, Lili pasti akan kena marah dengan orangtuanya.
“Azka? Lo ngapain?” tanya Lili dengan suara perlahan.
Azka memberi tanda agar Lili segera turun. Meski diliputi rasa takut, Lili memutuskan untuk keluar dan menemui Azka.
“Gue telpon, nomor lo gak aktif,” kata Azka sesaat setelah Lili ada di hadapannya.
“Ohh hape gua lagi di cas tadi.”
Lili dan Azka berdiri di tepi jalan kompleks perumahan. Angin mulai bertiup semakin kencang dan Lili juga tak bisa lebih lama berada dekat Azka. Lili bersedekap demi mengurangi rasa dingin.
“Nih!” Azka mengeluarkan satu batang coklat untuk Lili. “Almond. Kesukaan lo,” kata Azka.
Lili menerimanya, “pasti ada maunya,” Lili mengerling pada Azka.
Yes!! Azka nampak senang, “lo itu memang sahabat terbaik gua sepaaaanjang masa.”
Lili tersenyum simpuls. "Soal Sonia?” tanyanya.
Azka menggeleng. "Bukan. Tapi soal PR besok. Gua belum ngerjain, mau bantu gak?”
Lili menatap Azka, lagi-lagi, ucap Lili dalam hati. Azka hanya datang saat dia butuh.
“Gimana, bisa bantu gak?” Azka menyadarkan Lili dari lamunannya.
Lili mengangguk perlahan. "Nanti gua bantu lewat video call aja ya. Lo tau, kan, bapak kalau udah kasih peringatan ...” Lili tak menjelaskan, karena yakin Azka sudah paham.
“Iya. Gua paham kok, Li.”
Beberapa detik mereka tak bersuara, Azka merasa sudah tak ada yang perlu dibahas lagi. Sebaliknya, Lili justru tengah berusaha untuk mencari cara agar Azka bisa lebih lama dengannya. “Ummmh..” kata Lili dan Azka kompak, yang berujung dengan tawa dari keduanya.
“Lo dulu,” ujar Azka, mempersilakan Lili.
Lili mengangguk. “Gua cuma mau bilang, kalau lo jangan terus-terusan begini.”
Azka tertegun. "Azka yang dulu udah lama mati, Li.”
“Hidupkan lagi, pasti bisa.”
Azka mendorong Lili perlahan. "Apa’an, sih,” katanya. “Udah, ah, gua pulang, ya. Nanti bapak lo keburu nongol.”
Azka pun segera menancapkan kontak ke motornya yang dia parkir di tepi jalan. Lili hanya memandang Azka, sungguh dalam hatinya masih yakin bahwa Azka bisa kembali seperti masa kanak-kanaknya dulu. Azka yang baik, bukan urakan seperti ini. Hidupnya yang sekarang kacau, belajar tak pernah , jarang pulang dan bahkan setelah ujian nasional waktu SMP dia pernah ditangkap satuan Pamong Praja karena nongkrong di mall pakai seragam sekolah.
“Gua tunggu ya, Li,” kata Azka seraya mengenakan helmnya. “Makasih, ya. daa ...” Azka memacu kendaraanya. Lili mengangkat tangannya, melambai dengan lembut. Padahal saat itu Azka sudah tak mungkin melihatnya.
***
Warung nasi uduk bu’de Wati, adalah salah satu tempat berkumpul Azka dan kawan-kawan. Lokasinya tak jauh dari sekolah, tepatnya berada di sebrang sekolah. Kalau jam bel pertama belum dibunyikan, tandanya mereka masih bebas berada disana. Tapi saat bel sudah berbunyi, maka tak ada lagi siswa yang boleh berada disana.
Warung itu sederhana. Hanya ada satu etalase lumayan besar, memajang nasi uduk dan makanan lainnya yang bertengger kokoh diatas meja. Sebagai peneduh dari matahari, ada tenda warna hijau usang yang menaungi para pembeli.
“Mana, nih, Azka?” Tio mulai gelisah. Nasi uduk di pringnya sudah habis, ditambah dua gorengan yang juga telah masuk kedalam perut, Azka belum juga nampak batang hidungnya.
“Bentar lagi juga dateng, santai aja. Belum juga jam tujuh.” Deva menyeruput kopi hitamnya. Sebuah bangku panjang berwarna biru dengan cat yang sudah mulai mengelupas di beberapa sisi, menjadi alas duduk mereka.
“Woi!!” Azka yang baru muncul mengejutkan mereka dari belakang. “Ya elaaa, pagi-pagi udah pada gosipin gua.” Saking terkejutnya, Deva sampai menyemburkan cairan hitam yang belum sempat ia telan. Melihat itu itu Azka malah tertawa geli.
“Ahh, lo!” gerutu Deva. Dia sambar selembar tisyu yang ada di depannya. Dia bersihkan sisa-sisa kopi yang mengotori celana osis-nya, menggunakan tisyu.
Tio menoleh. "Gimana PR nya, udah dapet, kan, jawabannya? Jangan bilang ya lo belum ngerja’in.” Tio langsung mencecari Azka dengan pertanyaan seputar PR.
Azka berusaha menyelipkan badannya diantara Deva dan Tio, membuat keduanya terpaksa bergeser. Azka pun menyambar tempe goreng yang kebetulan ada di hadapannya.
“Maka’nya, kalau pas lagi diterangiin guru jangan bengong. Sampai PR aja mesti nunggu gua,” ucap Azka dengan gaya sok pintar.
Deva tak sabar lagi, dia segera membongkar tas Azka tanpa permisi. Setelah lumayan lama merogoh-rogoh, akhirnya Deva menemukan yang dicari.
“Mantaaph!!” Deva memuji hasil kerja Azka, saat membuka lembar buku PR Azka.
Tio segera pindah supaya lebih mudah meng-copy jawaban Azka. “Katanya mau belajar, malah copy doang!” Azka menyindir tingkah kedua temannya. Namun karena saking sibuknya, mereka tak mempedulikan Azka lagi.
“Dapet hidayah dari mana ini?” tanya Deva. Dia takjub, karena jawaban yang dibuat Azka kelihatannya betul semua.
“Ada deeh. Lo pada terima beres aja.”
Azka merahasiakan kalau dia mendapat jawaban itu dari Lili. Lili, teman masa kecilnya yang kini terpaksa harus ia jauhi. Semua karena kenakalan Azka, Lili dilarang bergaul dengannya lagi. Meski begitu, Azka tak akan membiarkan orang lain memanfaatkan Lili.
@yurriansan sama sama ... 😄😄
Comment on chapter TIGA SEKAWAN