Kejadian Di Pagi Hari
Semalam berlalu dengan begitu cepatnya. Bayangan Viole masuk ke dalam mimpi Claire. Berbagai bentuk dan ukuran, serta wujud sudah dipikirkan Claire tentang makhluk bernama Viole ini. Wujudnya pasti besar dan kekar. Wajahnya menyeramkan dengan kacamata hitam bertengger di batang hidungnya. Cengir Claire sembari memikirkan Viole.
“Lo kenapa ketawa sendiri? Kesambet, ya?” tanya Lala sambil menyantap indomie yang dibelinya dari kantin.
Imajinasi Claire terpecah. Dia memberikan tatapan kesal pada Lala. “Jangan ganggu, deh.” Claire mengambil indomie milik Lala dan melahapnya dengan satu suapan besar.
“Sarapan gue!” jerit Lala.
“Makanan instan tidak sehat. Lebih baik kamu makan bekalku saja,” kata Claire. Tangannya menyodorkan kotak bekalnya yang berisi sayur pare. Lala memberikan ekspresi jijik. “Biar kamu tambah jelek.”
“Ih, ini orang. Mana, balikin makanan gue!” seru Lala merebut kembali piringnya yang sedang dimakan Claire. “Untung aja, belum habis.”
“Ah, dasar. Padahal, mau dihabisin,” ujar Claire kecewa, “kan, kamu bisa beli lagi.”
“Eh, ini aja gue ngutang,” jujur Lala.
“Aku ke lapangan. Jam olahraga sudah dimulai. Dah, IPS 3,” pamit Claire.
“Bye, IPA 1.”
Claire melangkah dengan semangat menuju lapangan. Pelajaran olahraga bukanlah pelajaran favoritnya. Hanya saja, perubahan suasana belajar dari kelas menjadi ruangan terbuka adalah sesuatu yang menyenangkan. Selain itu, pelajaran olahraga adalah mata pelajaran gabungan. Kelas XII IPA lainnya akan ikut serta. Dengan begitu, suasana akan ramai.
“Hei, siswi yang di sana! Tolong ambilkan bola yang menggelinding ke sana, dong,” teriak sang guru olahraga karena jarak yang lumayan jauh. Claire berbalik dan sadar kalau dirinyalah yang diperintah.
Menggelinding ke dekat sini, kah? Tebak Claire sambil menyusuri semak-semak. “Ah, dapat.”
Sesosok pemulung muncul dari belakangnya, dengan seringai menyeramkan. Giginya yang tanggal satu dan matanya yang hilang sebelah memperoleh jeritan dari Claire. Bola yang dipegangnya terlepas. Pemulung menyeramkan itu tertawa kecil sambil berjalan mendekati Claire.
Sial, di belakangku ada tembok. Aku juga tidak bisa berteriak. Jaraknya terlalu jauh. Apa yang harus kulakukan? Pikir Claire. Dirinya bertanya-tanya dari mana pemulung ini masuk. Jalan masuk ke dalam sekolah hanyalah gerbang. Kalau benar begitu, seharusnya satpam sekolah pasti sudah mengusir pemulung ini.
“Kemarikan Kaios,” seringai pemulung itu.
Claire jatuh terduduk. Apa ini? Mengapa aku tidak bisa berdiri?
“Berikan Kaios padaku!” bentaknya.
Mulut Claire terkatup erat.
“Aku seharusnya masih berada di Mythia kalau tidak dibuang. Aku adalah tetinggi di sana. Aku punya banyak uang. Karena itu, berikan Kaios padaku. Aku akan memberikanmu banyak harta!” bentak pemulung itu dengan kasar. Tongkat di tangannya diarahkan pada Claire. “Berikan Kaios atau kamu mati.”
Buak
Sebuah tinjuan diberikan Lala pada pemulung itu. Pantas saja, aku merasakan sesuatu yang buruk menimpa Claire. Ternyata, orang ini pelakunya.
Dua orang satpam sekolah datang dan menggiring pemulung itu keluar dari lingkungan sekolah. “Dari mana orang ini masuk?”
“Berikan padaku! Berikan Kaios kepadaku!” Teriakan pemulung itu mengundang perhatian seluruh manusia yang berada di lapangan.
Lala memandang kepergiannya. “Kamu tidak apa-apa, Claire?” tanyanya.
“Di-dia membuatku tidak bisa bergerak,” kata Claire yang masih terduduk di tanah.
Tangan Lala menarik tangan Claire. Seketika itu juga, Claire bisa bergerak.
“Itu enklimatíes, orang terbuang,” jelas Lala.
“Eh? Sepertinya aku pernah mendengarnya. Di mana, ya?” ingat Claire.
“Itu tidak penting. Ayo, kamu harus olahraga,” ucap Lala mengubah arah pembicaraan.
Claire menatap Lala dengan bingung. Saat ini, kelas Lala tidak mengambil tempat di lapangan. Bagaimana bisa dia menyelamatkanku dari orang itu? Batinnya. Dan lagi, mengapa pemulung tadi begitu menginginkan Kaios?
πππ
Kepalanya begitu berat untuk diangkat. Matanya mengerjap beberapa kali, menemukan dirinya berada di UKS. Claire terbaring lemas di kasur UKS. Bahkan, mengangkat sebelah tangannya pun tidak bisa.
“Hai, Kori,” sapa seseorang. Lebih tepatnya, sesuatu. Sebuah makhluk berbentuk bulat terbang di depan Claire.
“Siapa?”
“Wah, kamu tidak mengenaliku karena wujudku berbeda? Kenalkan lagi, aku Stochrono,” decak sang pengirim pesan lintas waktu itu. “Sepertinya, kamu pingsan saat sedang jogging putaran kedua. Pasti karena pengaruh seorang enklimatíes.”
“Enklimatíes? Lala juga menyebutnya tadi. Apa itu?” tanya Claire.
“Seperti yang ada di surat kemarin, tas barumu yang bernama Kaios akan menarik perhatian enklimatíes yang ingin kembali ke Mythia. Sudah dulu pertanyaannya. Aku punya pesan kedua dari ibumu. Jangan lupa pesanku untuk membakar kertas ini setelah menyelesaikannya. Sampai jumpa, Kori.” Sebuah kertas muncul di tangan Claire. Tubuhnya sudah bisa bergerak sesuai keinginannya.
Dear Claire,
Aries adalah salah satu dari kedua belas rasi bintang. Tak akan cukup jika kuberitahu sejarahnya di surat ini. Mungkin kamu penasaran dengan anggota keluarga Aries yang pernah kuberitahu. Mungkin waktumu tersisa sedikit. Karena itu, temukanlah dia dengan segera. Ibu tidak tahu wujudnya saat ini. Beberapa hal yang perlu diingat, Aries menyukai hitam dan putih. Selain itu, Aries menyukai api. Semoga petunjuk ini berguna. Maafkan ibu yang tidak bisa memberitahu spesifikasinya. Sudah lama ibu tidak bertemu mereka.
Salam,
Ibumu (L)
Stochrono kembali muncul setelahnya. Di atas kepalanya, ada sebuah kotak kecil. “Paket untukmu, Kori. Dari Viole.”
Claire meraih kiriman itu dan membukanya. Di dalamnya, hanya ada sebuah pin berlogo timbangan. Bentuknya sama persis dengan logo pada Kaios. “Ini untuk apa?” tanya Claire.
“Tidak tahu. Aku belum pernah melihat itu sebelumnya. Sudah, ya. Aku pergi lagi.”
“Tunggu!” sahut Claire cepat. “Apakah Viole itu monster? Kata ibuku, yang bisa kupercaya hanyalah Viole karena manusia tidak bisa dipercaya. Kalau begitu, apakah dia alien?”
Stochrono terbahak. “Bukan, Kori bodoh. Viole bukan monster ataupun alien. Dia hanya orang yang sudah ditugaskan untuk menjagamu sejak umur 12 tahun. Konyol sekali pikiranmu.”
Pipi Claire memerah malu. Memang, imajinasinya tidak masuk akal. Namun logikanya selalu membawanya ke sana. Akhirnya dia bisa mengembuskan napas lega setelah mendengar penuturan Stochrono. “Omong-omong, dari mana kamu tahu kalau Viole bukan monster? Apakah kamu pernah bertemu dengannya?” tanyanya.
Stochrono tidak menjawab. “Aku pergi dulu.”
Claire merasa kesal. Mengapa semua orang mengubah topik pembicaraan. Kemarin, mama Varo. Pagi tadi, Lala. Sekarang, Stochrono. Paling tidak, jangan biarkan aku penasaran, dong.
Pin timbangan itu diangkatnya tinggi. “Mengapa semakin lama hidupku semakin rumit? Berurusan dengan makhluk yang bisa melintasi waktu, pemulung yang menyeramkan. Apakah aku bisa kembali ke kehidupanku yang normal? Sepertinya, sejak ulang tahunku ke-16, aku tidak bisa hidup tenang.”
Dalam pikirannya, dia menata kembali kejadian yang dialaminya belakangan. Surat dari ibu kandungnya, Kaios, mata-mata yang mengintip dari atas pohon, serta enklimatíes yang mengharapkan Kaios.
“Siapa mama kandungku? Mengapa dia tega membiarkan aku berada dalam situasi membingungkan ini?” gumam Claire. Di luar jendela UKS, pohon yang berada sangat dekat dengan ruangan UKS, para chamilí sedang mencari sosok Claire.
“Cepat. Karena dalam waktu dódeka mínes lagi, óra akan berlari lebih cepat,” kata sang kacamata hitam.
πππ