Bola kristal yang bersinar dipegang olehnya. Menutup mata serta berkonsentrasi dilakukan seraya menggosok bola itu dengan kedua tangannya.
"Wahai bola kristal yang bersinar layaknya bintang yang mengarahkan. Tunjukkan kejadian besar yang akan muncul di hari-hari depan." Berpakaian seperti seorang ahli ramal, orang itu menatap bola itu dan melihat hal yang tak disangkanya.
"Apa, ada apa?" tanya orang yang membayarnya untuk mengetahui hal ini. Tatapan matanya tajam pada sang peramal. "Apa yang kamu lihat?"
"Aku... melihat sekelompok pemberontak. Para Antarton, penolak keadilan," kata peramal itu dengan suara bergetar.
"Antarton tidak pernah menjadi berbahaya. Apa yang mereka lakukan?" tanya laki-laki yang membayar peramal itu.
"Antarton kesal akan kelakuan kaum Atoma, para rakyat jelata yang membangkang pada keinginan mereka. Atoma meminta kejayaan untuk kaum mereka." Getaran suara peramal itu terdengar jelas.
Laki-laki itu terhenyak. "Be... berarti."
"Ya, semua anggota keluarga Libra, para penjunjung keadilan akan dihabisi dan dilenyapkan dari Mythia." Peramal itu mengangguk pelan sambil mempertahankan wajah datatnya. Laki-laki itu sangat tahu kalau peramal itu ketakutan. Sebab peramal itu keturunan Leo serta Libra yang dominan, yang membuatnya akan dihabisi pula.
Laki-laki itu keluar dari tenda peramal itu dengan wajah murung. "Libra akan musnah? Aku tidak akan biarkan ini terjadi." Langkah kakinya berderap menuju daerah terpencil, hendak menyusun rencana.
????????????
Hentakan kaki terdengar kencang. Derapannya yang cepat membuktikan dirinya sedang terburu-buru.
"Papa, ini sudah hampir telat! Kenapa aku tidak dibangunkan?!" teriak panik seorang gadis berkuncir kuda dengan wajah yang masih mengantuk.
Ayah sang gadis yang dipanggil papa menatapnya heran. "Loh, ini baru jam setengah enam. Papa aja baru bangun. Kamu tidak mungkin telat."
"Nah, kan. Eh?" Gadis itu sangat kebingungan.
"Jangan-jangan kamu dikerjai kedua kakakmu." Papa meneguk secangkir kopi di tangannya. Memutuskan percakapan. Gadis itu berlari cepat ke kamar kakaknya, Kenta dan Genta.
"Buka pintu!" teriaknya.
Hening. Tak ada suara dari penghuni kamar itu. Beberapa saat kemudian muncullah orang yang dimaksud. "Apaan sih, dek?" tanya Kenta yang baru terbangun dari tidurnya.
"Kakak yang ngerjain aku, kan?!" seru Claire.
"Aduh, dek. Jelas-jelas kakak baru bangun tidur. Lihat mata kakak, sipit sehabis tidur. Lihat rambut kakak, berantakan tanda baru bangun. Bahkan jika kamu hirup hawa napas kakak, kamu pasti pingsan. Perlu bukti lagi?" Kenta memegangi kepalanya dan bersandar pada bingkai pintu.
Claire menatap kakaknya yang pemalas dengan kasihan. Saat dirinya tertuduh, sempat-sempatnya berpose. "Maaf, kak. Sana tidur lagi."
Kenta berjalan gontai menuju tempat tidurnya.
"Berarti ini kelakuan Genta,"geram Claire.
"Ada rakyat jelata yang memanggil nama saya?" Genta muncul dari belakang Claire. Claire menatap kakaknya marah. "Nope, bukan aku." Genta menyanggah pemikiran Claire yang bahkan belum diutarakan.
"Jadi siapa, dong?"
"Kelakuan tangan jahilku," tawa Genta. Claire mengangkat vas bunga di sampingnya dengan mata mengkilat marah.
????????????
Desahan lelah keluar dari mulut Claire. Bagaimana tidak? Kakak laki-lakinya terus mengganggu dan menjahilinya setiap saat. Tas yang tersampir di pundaknya ditaruh di meja. Dia terduduk sambil memaki-maki Genta yang menerobos lampu merah, padahal Claire jauh dari kata terlambat. Untungnya dia sampai di sekolah dengan selamat.
"Begitu aku dapat SIM, akan kubalas perbuatannya. Jantungku masih bermaraton bersama deruan motornya. Untungnya ajal belum menjemput," gumam Claire.
Claire mengeluarkan sebuah buku catatan dan mencatat waktu kedatangan setiap murid di kelas XII IPA 1. Jadi wajar jika dia datang saat ruangan kelas belum berpenghuni.
"Ada-ada saja permintaan Pak kepala sekolah. Kan, tidak ada gunanya mendaftar waktu kehadiran.
Sebuah pesan muncul di ponsel Claire. Deringannya terdengar.
Lala: Hai IPA 1. Di sini sang IPS 3 memanggil.
Claire: Di mana?
Lala: Tebak.
Claire: Sekolah?
Lala: Lo pikir gue macam lo? Ya enggak, lah. Gue masih di kasur. Baru bangun.
Claire: Oh, gitu. Sekali lagi aku bilangin kamu, jangan pakai bahasa gaul sama aku.
Lala: Kenapa? Nanti kebiasaan terus di-bully teman-teman sekelas lo? Jangan takut, sobat. Teman baik mu ini bisa mem-bully balik.
Claire: Hei!
Lala: Dah, ah. Gue mau tidur lagi. Sampai jumpa di sekolah, IPA 1!
Tidak ada lagi pesan yang masuk dari Lala. Claire menatap ponselnya kesal. Lebih tepatnya pada makhluk bernama Lala. "Bagaimana aku bisa berteman dengannya, ya?"
????????????
Suasana rumah lengang. Hanya ada sepasang suami istri yang duduk berhadapan tanpa kata-kata yang terucap dari bibir keduanya. "Claire sudah hampir 16 tahun." Ibu dari Claire, Kenta, dan Genta memulai pembicaraan.
"Ya, sepertinya kita harus rela dan pasrah pada keadaan." Sang ayah hanya menunduk sambil memainkan gelas di tangannya.
"Aku tidak ingin kehilangan dia," kata ibu itu. Wajahnya sedih, suaranya lirih.
Sang ayah memegang tangan istrinya dan menatap dengan tatapan lembut. "Kita lakukan saja sesuai permintaan orang itu. Kita masih berhutang budi padanya."
Keduanya saling berpandangan dan menghembuskan napas pasrah.
????????????