Begitu aku sampai di mansionnya, semua orang menghampiri kami yang baru saja sampai. Kulihat raut kekhawatiran juga kelegaan mendominasi mereka. Axel lalu membawaku ke kamar, aku duduk di sisi ranjang lalu Axel berlutut di hadapanku.
“Ada yang sakit?”
Hatiku.
“Apa Pamanku melukaimu?”
Aku yang melukaimu.
“Jangan takut, ada aku di sini.”
Aku takut pada diriku sendiri, Axel. Aku harus bagaimana?
Aku memeluk Axel sambil menangis. Lagi-lagi aku takut, takut pada diriku sendiri, takut melukainya.
“Sudah, sudah, kau sudah aman bersamaku.”
Axel mengelusku, tangisku semakin menjadi. Kenapa kedekatan yang coba kami rajut ternyata ditentang oleh semesta? Aku sudah mulai nyaman dengan pelukannya.
****
Sudah beberapa hari terlewati selepas aku kembali dari rumah Paman Axel. Dan sudah selama itu pula yang kulakukan hanya mengurung diri dan tak berselera untuk berbicara dengan siapapun. Aku sedang bingung. Aku harus segera mencari cara untuk memutuskan perasaan Axel padaku, meski pun tak pernah ia mengucapkan sedikit pun perasaannya itu, tapi semua perlakuannya mewakili cinta yang begitu banyak. Jika kami terus bersama, hanya ada luka dan air mata di ujungnya.
Bagaimana caranya? Bagaimana kami melepaskan satu sama lain, padahal sebelumnya aku sudah berjanji padanya, agar hidup bersamanya, tapi aku punya alasan cukup kuat untuk mengingkari janji itu, melihat bagaimana aku membebaninya, dan kini perlahan membunuhnya, aku tak sanggup harus melakukannya.
Kenapa aku begitu gelisah? Kenapa aku begitu takut jika Axel bisa terluka karena diriku? Kenapa rasanya lebih menyakitkan ketika aku tahu perasaannya padaku? Kenapa hubungan kita, tidak berjalan biasa-biasa saja, seperti dokter dan pendonor darah?
Hamparan bunga-bunga mawar yang hanya sebagian mekar itu tak lekang menjadi perhatianku. Sebelumnya aku tak pernah banyak berpikir hingga membuat kepalaku sampai pusing. Aku sudah jarang memikirkan ayahku yang pada saat itu selalu pulang dalam keadaan mabuk dan mengacaukan. Tapi ketika aku harus memikirkan Axel, semua yang ada di kepalaku selalu terasa menyakitkan.
“Srrkk… srrkk…”
Suara angin menerpa dahan pepohonan yang keseluruhan melingkari halaman belakang ini menjadi pusat perhatianku. Lama aku memandanginya sampai angin benar-benar membuatku kedinginan.
Aku pun beranjak dari kursi taman dan memilih menghangatkan diri dan merenungkan diriku sendiri di dalam kamar. Memikirkan hal-hal yang mungkin bisa membuat kami berdua berpisah.
Dalam sepersekian detik, tubuhku terpelanting cukup keras hingga beberapa meter jauhnya dari pintu masuk mansion. Kepalaku mendongak melihat siapa yang melakukannya padaku. Tubuhnya besar berwarna hitam, ada ekor yang mirip seperti ekor kecebong di belakang tubuhnya yang ditumbuhi bulu-bulu gelap seperti bulu unggas, tangannya yang ringkih namun dengan jari-jari kuku yang tajam hingga sepertinya dapat dengan mudah menembus kulit seseorang, juga kepalanya yang tertutupi tulang binatang semacam kerbau, atau binatang lain yang memiliki tanduk panjang dengan ujung yang runcing.
Aku tahu makhluk ini, aku pernah mendengar cerita tentang seseorang yang dikutuk oleh kutukannya sendiri ketika berusaha untuk menjadi seorang penyihir. Ia berubah menjadi makhluk menjijikkan yang dibenci oleh orang-orang.
“Wendigo!” kataku dengan wajah ketakutan.
Makhluk itu berjalan menghampiriku yang terkapar. Aku berusaha bangkit dan menghindar dari wendigo itu, namun kakiku tidak bisa digerakkan, lengan kananku terasa perih hingga aku meringis sekencang mungkin. Seperti ada seonggok daging yang terkoyak dan hampir leaps dari tempatnya, sepanjang pergelangan tanganku terluka dan berdarah akibat cakaran yang dilakukannya padaku hingga aku terpelanting.
“Nona!” Chas mendekapku lalu menebas kepala wendigo itu dengan cahaya hijaunya yang berbentuk seperti sabit besar dan panjang. Makhluk itu terlihat kesakitan dengan kepalanya yang terputus, lalu darah mengalir tepat di bagian di mana bagian tubuhnya terpotong. Chas membuat sebuah kurungan hijau berbentuk persegi lalu mengurung makhluk yang sedang menemui ajalnya itu, kurungan itu semakin membungkus makhluk tersebut lalu kemudia terjadi sedikit ledakan yang membuatku meringkuk di balik tubuh Chas.
Tak berapa lama Chas membantuku berdiri, kulihat jasad makhluk itu sudah tidak ada, namun ada sebagian percikap darah yang mengotori rumput di halaman belakang.
“Kita harus menemui Tuan Grine sekarang,” ucap Chas ketika melihat lengan kananku yang masih mengalirkan darah segar.
Aku segera menarik lenganku dari genggaman tangan Chas, baju pelayannya ikut ternodai oleh darahku. “Aku takut darah ini mengganggumu,” kataku. “Maafkan aku.”
“Nona! Itu tidak penting, sekarang Nona harus segera diobati,” jawab Chas dengan nada panik lalu membantuku masuk ke dalam mansion beserta beberapa pelayan yang baru muncul ke halaman belakang. Mereka semua terlihat terkejut ketika melihatku yang berlumuran darah seperti ini.
****
Chas baru saja selesai membalut lukaku dengan peralatan di dalam kotak obat di kamarku. Meskipun perban yang melilit lenganku masih bersimbah darah. Yang penting darahku tidak menetes ke lantai. Bajuku pun sudah diganti dengan yang lebih bersih.
“Biar aku yang bersihkan baju itu, pasti darahku benar-benar mengganggumu,” pintaku pada Chas.
“Nona, tolong! Jangan mengatakan hal seperti itu, saya tidak apa-apa, lagipula Nona sedang terluka,” jawab Chas.
“Maaf aku selalu membebanimu, pakaianmu kotor karenaku.”
“Nona,” ucap Chas lirih.
Aku duduk tertunduk di sisi ranjang, menahan air mataku yang akan menetes keluar dari muaranya. Kemudian terdengar pintu yang dibuka secara kasar. Aku memalingkan pandanganku ke arah pintu, di ambang pintu muncul Axel dengan wajahnya yang kental akan rasa kekhawatiran. Chas menunduk sejenak ke arah Axel lalu menghilang dengan asap hitamnya.
Axel menghampiriku, bersiku di hadapanku sambil menggenggam kedua tanganku. Kurasakan tangannya yang sedikit bergetar dan dingin.
“Bagian mana yang sakit?” tanyanya lirih.
Aku menundukkan kepalaku, enggan dan berat rasanya melihat wajah yang selalu mengkhawatirkanku itu.
“Aku panggil Grine?” tanyanya lagi.
Aku menggigit bibir bawahku, mencoba menahan sekuat tenaga agar aku tidak menangis di hadapannya. Rasa sakit yang muncul bukan berasal dari luka di lenganku, tapi dari hatiku yang sesak ketika melihatnya.
“Sudah, ada aku di sini, maafkan aku.”
Kenapa justru ia yang meminta maaf? Kenapa rasanya begitu sakit mendengar setiap ucapanmu?
Aku menyandarkan kepalaku pada dada bidangnya, air mata yang sengaja aku tahan-tahan, kini mulai mengingkari dan jatuh seperti muara yang hancur. Aku menangis dipersembunyian tubuhnya. Axel memeluk tubuhku dan tak berucap apapun, ia hanya mengelus tubuhku seolah hal tersebut bisa memberikanku rasa aman.
Dan nyaman.
“Sekarang kau tenang, ada aku di sini sekarang.”
Bagaimana aku bisa tenang ketika kehadiranku sekarang hanya melukai dan membebaninya?
Bagiku, cinta ini memberatkan.
****
Aku menatap diriku sendiri lewat pantulan cermin. Setelah aku terluka oleh serangan wendigo, malamnya Grine datang ke mansion lalu segera memberikan pertolongan pada lengan kananku. Meski tidak begitu dalam, tapi lukanya mungkin bisa membekas. Grine memakaikan penyanggah tangan agar lukanya tidak semakin melebar.
Hari ini aku mengenakan kemeja putih over size yang hampir menutupi separuh kakiku. Aku tidak ingat memiliki pakaian ini, tapi di lemariku hanya baju ini yang sedikit membuatku nyaman. Bagian pundak kananku terasa perih ketika aku sedikit menggerakkan lengan kananku, aku membuka beberapa kancing bagian atas untuk mengintip apa yang terjadi. Ternyata ada lebam di bagian bawah perpotongan leherku, aku mengelus pelan lebam itu, sepertinya lebam ini muncul saat wendigo melemparku sejauh itu.
Axel muncul melalui pintu kamarku tanpa mengetuk sebelumnya. Ia berdiri tak jauh dari tempatku dan raut wajahnya terlihat keheranan melihatku yang memamerkan bagian pundak sebelah kananku.
“Masih ada yang sakit?” tanyanya sambil berjalan menghampiriku.
Aku bergegas menutupi lebam tersebut lalu duduk di depan meja rias yang biasa aku pakai untuk menulis atau membaca buku di kamar.
“Tidak,” jawabku.
Axel berlutut di hadapanku lalu meraih kedua tanganku yang sengaja kusimpan di atas pangkuanku, “Setelah kembali dari rumah pamanku, kau terlihat lebih murung dari biasanya, katakan jika pamanku memang menyakitimu?”
Aku tak langsung menjawab, mataku melihat ke arah matanya yang hitam kelam itu. Mata tajam yang mulai memikatku, bagaimana jadinya jika nanti aku kehilangan tatapan khawatir semacam itu? Rasanya cukup menakutkan jika nanti aku tak lagi menemukan tatapan semacam itu dari orang lain.
“Aku tidak dalam kondisi yang baik-baik saja, tolong jangan kaitkan apapun lagi dengan pamanmu,” jawabku.
Axel berdiri lalu menarik kepalaku hingga bersandar para perut rata dan berotot di balik kemeja putihnya. Tangannya membelai rambutku, “Baiklah, tapi tolong katakan apapaun yang mengganggumu, aku ada untukmu.”
Aku semakin menenggelamkan kepalaku pada tubuhnya. Ada dua kubu menyebalkan di kepalaku. Sisi pertamaku meminta agar terus bertahan bersama Axel, menjalani hari-hari biasanya karena memang itulah perjanjiannya. Sisi lainnya memaksaku untuk memikirkan jalan keluar agar aku bisa menjauh dari Axel, dan menghentikan perasaannya agar tidak terus berkembang terhadapku, karena aku tak ingin menyiksanya pelan-pelan.
“Aku akan meminta Chas membuatkan bubur untukmu,” ujar Axel. Ia pun mulai melangkah menghampiri pintu kamarku.
“Kau tidak meminum darahku?” tanyaku.
Axel berhenti lalu memandangiku, “Kau bilang sedang tidak dalam kondisi baik-baik saja.”
“Mungkin tidak ada masalah dengan pasokan darahku.”
“Tak perlu, terima kasih. Aku menginginkan kesembuhanmu, itu lebih penting.”
Aku tak bergeming.
“Ada hal yang ingin kau katakan lagi?” tanyanya.
“… Darahku itu, semanis apa?” tanyaku.
“Hmm…”
“Apa semanis darahmu?”
“Tidak, darah para vampir tidak memiliki rasa. Kenapa kau bertanya seperti itu?”
“Hanya ingin tahu bedanya darahku dengan darah dari manusia lain.”
“Mungkin kau tidak percaya, tapi manis darahmu takkan pernah kutemukan pada manusia lain.”
Darah manis yang selalu diucapkan Axel, sesungguhnya menjadi sebuah kalimat yang membingungkan sekaligus aneh. Ia tak benar-benar membutuhkan darahku, bahkan Paman Axel pernah bilang jika ada sebagian darah Axel yang mengalir di tubuhku.
“Apa aku bisa meminum darahmu?” tanyaku kemudian.
“Boleh!”
Axel berjalan kembali ke arahku dengan terburu-buru, lalu aku melihat darah hitam mengalir di sudut bibirnya yang menggoda itu.
“Darahmu,” kataku menunjuk ke arah sudut bibirnya.
Dan sepersekian detik, Axel mengarahkan bibirnya ke arah bibirku dengan begitu cepat hingga aku tak sempat memberikan perlawanan. Ada sesuatu yang merambas masuk melewati tenggorokanku, tak berasa namun cukup kental dan sedikit bau zat besi tercium oleh indra penciumanku.
Kemudian Axel menjauhkan kepalanya dariku. Tatapannya sendu, bibirnya basah oleh perlakuannya sendiri, dan ada sedikit noda darah yang mengering di sudut bibirnya.
“Bisa kau jelaskan apakah darahku juga manis?” tanyanya.
Aku ingin mengaku namun tak ingin tertangkap olehnya. Setiap ciuman yang diberikannya, memberikan sensasi menggelitik di daerah perutku. Termasuk sensasi adiktif yang luar biasa.
Whoaa ... Seruu ini. Aku suka😍. Minim typo juga. Liked
Comment on chapter #1 Hari Perjumpaan