Hai...
How are you guys? Di bulan Ramadhan ini semoga kalian yang menjalankannya tetap semangat dan menjalani ibadah puasa dengan ikhlas. Tinlit lagi buka lomba short story, aku pingin tau dong apakah temen-temen ada yang ikut lombanya, please komen cerita temen-temen di bawah, sekalian promosi juga.
Segitu aja basa basinya, dan lagi-lagi aku gak bosen mengingatkan temen-temen untuk like, comment, rate, dan review cerita UNENDING LOVE. Tulis bagian mana dari chapter ini yang menjadi favorit temen-temen atau justru ada bagian yang dirasa masih kurang.
Cheers,
SR
.
.
.
.
Setelah semalaman mansion ini riuh dengan pengusiran para Thanatos, akhirnya kami semua mengetahui apa yang membuat para Thanatos itu keluar dari sarangnya. Para hewan ternak di desa mati akibat ulah mereka, sama sepertiku jika saja Axel tidak menemaniku semalaman. Beruntung setelah pagi datang, para Thanatos itu bisa ditangkap dan dikembalikan ke dalam hutan yang sebagian wilayahnya habis terbakar oleh sesuatu.
Aku pun sudah baik-baik saja berkat tabung oksigen yang dibawa Grine. Seluruh mansion porak poranda akibat peperangan semalam, sehingga pagi ini tidak ada sarapan, dan menurutku itu bukan masalah. Masih ada beberapa buah donat yang sempat dibawa Grine dari dunia manusia.
Setelah Axel kembali dari penyelidikannya di hutan, ia tak menemukan bukti atau alasan kuat kenapa tempat para Thanatos itu terbakar habis. Tidak ada yang berani masuk ke dalam sarang Thanatos karena mereka adalah makhluk yang merepotkan, bahkan untuk para vampir sekali pun.
Jika mereka dimusnahkan, mereka akan berubah menjadi abu dan merusak wilayah di sekitarnya. Itulah kenapa Thanatos dibilang makhluk yang merepotkan.
“Nona baik-baik saja?”
Chas menghampiriku yang masih menggunakan tabung oksigen. Ia memberikanku segelas ari minum.
“Terima kasih Chas. Aku sedikit lebih baik sekarang.”
“Thanatos itu menyerang kamar Nona, dan beberapa dinding hancur oleh ulah mereka.”
Aku melihat kemana mata Chas mengarah. Beberapa bagian mansion itu rusak dan hancur, bahkan dari halaman belakang ini, aku bisa melihat dengan jelas kamarku yang berantakkan oleh puing-puing.
“Padahal kelihatannya mereka tidak sekuat itu. Tubuh mereka saja melayang seperti kain yang diterpa angin.”
“Dibalik tubuh mereka tersimpan kekuatan yang cukup besar.”
Aku menghela napasku.
“Jika aku seperti kalian, aku bisa membantu mengusir Thanatos.”
“Nona kan sudah sempurna dengan apa adanya Nona. Kehadiran Nona saja sudah mengubah banyak hal di mansion ini, terima kasih.”
Di balik senyumku itu, tersimpan beragam penyesalan di dalam otakku. Seharusnya, semua ini akan jauh lebih baik ketika tidak ada aku di sini. Perlahan, penyesalah itu menyeruak mendesak kelenjar air mata untuk tumpah dari tempatnya.
Setelah itu, aku kembali ke dalam kamarku. Tidak mungkin memang aku tidur di sana, tapi beberapa barang harus kubawa keluar. Aku memang belum memikirkan akan tidur di mana malam ini, tapi lebih baik membawa beberapa barang yang kuperlukan mulai dari sekarang. Lagi pula aku terbiasa menangkal angin malam saat di apartemenku dulu, tidur di ruang santai atau ruang tamu tidak menjadi masalah bagiku. Atau tidur di tempat para pelayan, itu pun tak masalah.
“Kau sedang apa?”
Suara Axel menggema di kamarku yang porak porandak. Chas yang membantuku mengemasi barang-barang menunduk sejenak sebelum Axel mengangkat sedikit tangannya.
“Aku membawa beberapa barangku, pasti beberapa hari ke depan aku tidak mungkin tidur di sini. Barang-barang ini untuk jaga-jaga saja.”
“Suruh Chas yang mengemasinya, kau datanglah ke ruang makan sekarang. Kau belum makan sejak semalam.”
“Ini kan tidak seberapa, aku bisa mengemasinya sendiri.”
“Cepatlah, aku tidak suka menunggumu. Chas, pindahkan barang-barangnya ke kamarku.”
Kemudian Axel pergi dengan aku yang mengekorinya. Baru sampai aku di bibir pintu, langkahku terhenti dan memandangi punggung Axel yang mulai menjauh.
“Hei, maksudmu apa? Kenapa barang-barangku dipindahkan ke kamarmu?”
Axel pun ikut berhenti lalu berbalik memandangiku.
“Mulai sekarang kau tidur di kamarku. Hanya itu satu-satunya tempat yang aman untukmu.”
“Lalu kau sendiri?”
“Seperti biasa, di sampingmu.”
Seketika mulutku kelu, dan wajahku terasa panas di sekelilingnya. Aku berbalik untuk memastikan apakah Chas mendengar ucapan mesum Axel atau tidak. Dan yang kulihat Chas sedang tersenyum malu sambil menutup sebagian wajah dengan tangannya.
Dasar vampir gila!
****
Aku sudah mengganti pakaianku dengan pakaian yang lebih nyaman untuk tidur malam ini. Tapi melihat Axel yang memandangiku terus membuatku sedikit tidak nyaman.
“Dari tadi kau memandangiku terus ya?” tuduhku.
“Apa-apaan pakaianmu itu? Ini sudah masuk cuaca yang lebih hangat.”
“Lalu?”
“Lepaskan jaket tebalmu itu, aku tidak mau terganggu hanya karena nanti kau kepanasan.”
“Tidak mau!”
Aku tidak mau diserang lagi olehnya seperti kemarin malam.
“Kau ini.”
Axel mengeluarkan api hitam dari tangannya, akupun mundur secara perlahan hingga jatuh di atas kasur yang empuk. Aku menyilangkan tanganku di depan tubuh agar Axel tidak bisa melucuti pakaianku ini.
Tapi yang terjadi justru lampu-lampu di kamarnya berubah warna akibat api hitam itu membakar lilin-lilin di kamar ini lalu berubah menjadi warna biru. Semakin remang-remang saja kamar ini.
“Dengan begini kau tidak akan kedinginan.”
Kemudian Axel berjalan melewatiku dan merebahkan dirinya di sisi ranjang yang satunya.
“Kau tidur memakai kemeja putih dan celana panjang hitam?”
“Ini pakaian tidurku.”
Tapi semua pakaian Axel tak jauh berbeda, sih?
“Tidak ada pakaian yang lebih nyaman lagi?”
Entah sugesti atau memang benar terjadi, tapi kamar ini jadi lebih hangat dari biasanya. Dan tubuhku mulai mengucurkan keringat, aku benci itu. Aku tak suka tidur dalam keadaan tubuh yang basah oleh keringat. Tanpa sadar akupun membuka jaketku dan kusimpan di atas nakas.
Aku duduk di samping Axel yang sedang memandang lampu gantung yang mengeluarkan cahaya biru remang-remang.
Pria ini adalah pria pertama yang menyelamatkanku. Ia juga yang memberikanku ruang untuk tinggal, ia juga yang membawakanku kehangatan yang tak pernah kutemui di tempat asalku. Pria yang masih menjadi tanda tanya besar bagiku. Untuk apa ia menahanku hingga saat ini, sementara sudah berapa lama ia tak menyesap darahku?
“Apa vampir bisa hidup lama jika ia tak pernah meminum darah manusia?” tanyaku tiba-tiba.
Jika diingat-ingat, saat pertama kali aku bertemu dengannya, tatapan tajam pria ini sangat menakutkan, apalagi jika gigi taringnya mulai meruncing, dan matanya berubah menjadi merah. Jangankan untuk bertanya, rasanya dulu aku pasrah saja jika pria ini membunuhku saat itu juga, daripada aku hidup dalam ketakutan?
“Grine baik-baik saja hingga saat ini,” jawabnya datar, seperti biasanya.
“Benarkah? Grine tidak pernah meminum darah manusia setetes pun?”
“Selama ia melayaniku, ia tak pernah punya ketertarikan akan darah manusia. Saat aku bertanya pun, sejak kecil ia tak pernah meminum darah manusia.”
“Kenapa?”
“Kau tanya sendiri sana.”
“Cih! Kau ini tidak asyik, aku hanya bertanya.”
“Sudah malam, manusia butuh istirahat.”
“Memangnya kau tidak?”
“Aku bahkan bisa terjaga setahun penuh.”
“Kalau begitu kau bisa pergi dan biarkan aku tidur dengan nyenyak sendirian di sini.”
“Kau mengusir pemilik rumah dari rumahnya sendiri?”
Habis, jika Axel tetap di sini dan keadaanku sedang baik-baik saja, sepertinya aku yang tidak bisa terlelap tidur. Bagaimana bisa? Selama ini aku berbaring di sampingnya hanya karena sebuah insiden yang membuatku kelelahan dan tak sempat kabur darinya. Kali ini lain.
“Sudah berapa banyak perempuan yang tidur di sampingmu sepertiku?”
Axel memandangiku sejenak, kemudian ia mengalihkan perhatiannya lagi.
“Selama ini hanya dua orang. Kau, dan ibuku.”
Ibu? Axel tak pernah menceritakan perihal keluarganya padaku, bahkan insiden yang terjadi pada Keluarga Easter pun kudapat dari cerita Grine.
“Ibumu seperti apa? Apa dia cantik?”
Axel kembali memandangiku, kali ini begitu intens dan seolah tak ingin mengalihkannya pada hal lain yang lebih menarik.
“Yang kuingat ibuku memiliki surai hitam yang indah dan mengkilap jika diterpa cahaya bulan. Ia juga selalu tersenyum pada pelayan yang ia temui. Ia satu-satunya wanita yang mampu menyaingi ayahku yang hidupnya cukup keras. Ia juga yang menanam bunga-bunga itu di halaman belakang.”
“Sepertinya ibumu sangat-sangat cantik. Kau pernah merindukannya?”
“Tidak. Karena terlalu lama, aku melupakannya. Aku melupakan keluargaku yang sudah menghilang, karena aku satu-satunya orang yang harus tetap hidup dan menjalani kehidupanku sendiri.”
Axel terlihat lembut untuk beberapa hal, tapi ketegasan seorang ayahnya mungkin benar-benar diturunkan padanya. Jika tidak begitu, mana mungkin Axel digadang-gadang sebagai Lord Vampir selanjutnya, kekuatannya sudah hampir setara dengan Lord Vampir.
“Kau merindukan ibumu?”
Kini Axel yang bertanya demikian padaku. Tubuhku kusandarkan pada kepala kasur yang terbuat dari kayu itu. Aku pun ikut memandangi lampu gantung berwarna biru, seperti yang dilakukan Axel.
“Setiap tahun baru, atau natal, ataupun ulang tahunku. Aku selalu meminta Tuhan agar mengirimkan ibuku lewat mimpi. Di saat-saat sendiri, biasanya aku selalu mengingat ibuku, rasanya hidupku tidak begitu berat ketika ibuku masih ada.”
Jika ibuku masih ada mungkin aku tidak akan pernah melihat ayahku sering mabuk-mabukkan hingga bisa berakhir ditahanan. Jika ibuku masih ada mungkin aku tidak akan ditangkap oleh Lady Mi dan diselamatkan oleh Axel. Jika ibuku masih ada mungkin aku tidak akan berakhir di dunia vampir dan duduk di samping vampir ini.
Satu sisi rindu ini tak pernah bisa dibalas, di sisi lain, rindu ini mengantarkanku pada seseorang yang mulai merangkak dan memenuhi kehidupanku.
“Seperti bangsa vampir, manusia yang ditinggalkan pun harus tetap hidup untuk dirinya sendiri. Seseorang yang telah tiada, sebaiknya disimpan dalam-dalam saja. Rasa rindu itu kadang menjadi bumerang yang menyerang diri kita sendiri.”
Iya, mungkin. Kali ini aku setuju dengan ucapannya. Kami yang ditinggalkan, hanya bisa merindu sesekali, selebihnya, waktu tak akan menunggu kami bergelut dengan kesedihan.
“Axel, terima kasih ya, terima kasih karena membawaku dan mempertahankanku di sini. Aku belum mengucapkan terima kasih dengan benar.”
“Aku sudah janji.”
“Umm… kau benar.”
“Sudah cepat tidur sana. Bukankah besok kau akan melakukan sesuatu di dapur.”
“Ah, iya juga. Tapi aku tidak bisa tidur, karena ada kau di sampingku.”
“Biasanya kau terlelap.”
“Dulu itu karena ada satu hal dan lainnya. Ini hal yang berbeda.”
Axel menarik tubuhku dan merengkuhnya, entah bagaimana selimut yang terlipat rapi di ujung ranjang mulai menutupi tubuh kami. Wangi lavender yang kini mulai menjadi wangi favoritku ini mulai menenangkan tubuhku. Tapi, Axel benar-benar akan tidur dengan pose kami yang seolah saling berpelukan? Bukan, ia yang memelukku duluan!
“Hei, aku tidak bisa napas nanti.”
“Aku masih bisa memberikanmu energi seperti kemarin.”
“Hei!!! Sudahlah! Aku mulai mengantuk.”
Axel menyentuh pucuk kepalaku dengan dagunya, aku hanya bisa melihat dada bidang yang terbalut kemeja putih ini. Untung saja pria ini memakai baju!
“Tidurlah, besok akan menjadi hari yang lebih indah dari sekarang.”
“Axel.”
“Hm?”
“Aku senang kau selalu ada di sampingku.”
“Sampai kapanpun, aku akan selalu berada di sampingmu, Nona Elena.”
Kini wajahku merona ketika Axel memanggilku sedemikian rupa. Duh! Hatiku kapan berhenti berdegupnya?
Whoaa ... Seruu ini. Aku suka😍. Minim typo juga. Liked
Comment on chapter #1 Hari Perjumpaan