Baru aja minggu lalu aku bilang cerita ini naik readersnya, eh tadi waktu mau up date nambahnya banyak banget. Terima kasih banyak~
Oh ya, jangan lupa like, rate, sama komen bagian mana yang di rasa kurang atau mungkin jadi favorit temen-temen. Juga aku masih mencari-cari cerita-cerita menarik di tinlit, mungkin temen-temen punya rekomendasi, silakan tulis di kolom komentar di bawah.
Salam hangat,
SR
.
.
.
.
Kami menaiki mobil Porsche milik Grine. Dari rumah besar Grine di tengah hutan, mobil hitam ini melaju melewati jalanan di pinggir pegunungan. Grine banyak bercerita mengenai dunia manusia belakangan ini. Selain itu, Grine memberikanku ponsel baru dan kartu ATM yang sengaja disiapkan Grine atas perintah Axel. Apartemenku dulu sedang direnovasi sehingga selama di sini, aku tinggal di apartemen Grine. Ingat! Grine adalah pengusaha abadi, sebuah apartemen kecil mungkin hanya sepercik kekayaan miliknya di dunia manusia.
“Saya sudah mendaftarkan jadwal kunjungan Nona besok.”
“Terima kasih Grine.”
“Nona yakin ingin pergi sendiri? Saya bisa menemani Nona.”
“Iya Grine. Biar aku sendiri saja, besok kan Natal, pasti karyawan di kantormu ingin kau datang untuk merayakannya bersama.”
“Keselamatan Nona yang utama bagi saya.”
“Sudahlah, aku baik-baik saja. Lagi pula ini kan di duniaku, memangnya akan ada vampir lain yang menyerangku tiba-tiba?”
“Baiklah kalau begitu. Oh ya Nona, Selamat Natal.”
Tiba-tiba Grine memberikanku kotak kecil berwarna merah dengan pita hijau yang mengikatnya. Lalu aku buka hadiah darinya, dan sebuah jam tangan mewah berada di dalamnya.
“Wah!!!”
“Akhir-akhir ini merek jam tangan tersebut sedang digandrungi anak-anak muda di sini.”
“Terima kasih Grine. Akan kupakai setiap hari.”
“Nona juga harus ingat setiap detik momen di mansion Tuan Axel.”
“Hm?”
“Bagi para vampir, waktu adalah barang berharga sekaligus memberatkan.”
Aku tidak mengerti apa yang dikatakan Grine, sebab setelah kami sampai di London, Grine menepikan mobilnya di sebuah tempat makan bergaya Eropa.
“Kita makan siang dulu, Nona.”
“Sudah saatnya makan siang ya.”
Ini seperti kencan bersama Grine di musim dingin. Setelah kami mendapatkan meja kami sendiri, Grine dengan hapal menyebut setiap menu yang ada di buku menu tanpa melihat isinya.
“Memangnya kemampuan vampir itu ingatan yang tajam ya?” tanyaku setelah pelayan tadi pergi dari meja kami.
“Tidak Nona, saya hanya sering ke tempat ini,” jawab Grine.
“Oh.”
“Nona tidak masalah kita berbagi meja?”
“Ayolah Grine! Aku ini bukan bangsawan vampir, kenapa kau samakan aku dengan Axel. Santai saja, di sini kita berdua sama-sama manusia.”
“Hahaha… Nona bisa saja.”
“Tapi rasanya seperti kencan saja.”
“Nona ingin berkencan?”
“Kau ada waktu?”
“Apapun untuk Nona Elen.”
Benar saja. Setelah menyantap banyak sekali hidangan khas Eropa itu, yang tidak kami habiskan sepenuhnya, Grine tak lantas mengantarku ke apartemennya. Ia mengajakku mengelilingi kota kelahiranku dan membeli setiap barang-barang yang kulihat, sudah kucoba tolak, tapi Grine sangat keras kepala dan mengatakan bahwa momen ini akan sangat jarang aku temui di dunia vampir.
“Aku yakin kekayaanmu bahkan bisa melunasi semua hutang negara-negara di dunia ini, tapi yang namanya pemborosan kan tidak baik juga.”
“Tu—“
“Dan tolong jangan patuh terhadap Axel jika itu berkaitan denganku. Aku sudah cukup baik-baik saja dengan apa yang kupunya sekarang.”
Grine hanya memandangiku tanpa membalas semua ucapanku.
“Ada apa?”
“Jarang sekali saya menemukan manusia seperti Nona. Kebanyakan manusia-manusia itu mendekati saya karena ada maunya saja. Bahkan di dunia vampir pun, tidak sedikit para gadis vampir yang sengaja mendekati saya atau Tuan Axel demi kepentingan mereka. Bahkan ada yang secara terang-terangan ingin memanfaatkan kami.”
“Sekompetitif itukah para vampir?” gumamku.
“Ada apa Nona?”
“Ah, tidak, tidak. Sudah hampir gelap, sebaiknya kita pergi ke apartemen sekarang.”
“Baiklah kalau begitu.”
****
Aku memakai pakaian hangat dan terbaikku, tidak lupa jam tangan yang diberikan Grine kemarin. Tadi pagi aku melihat cuaca sepanjang hari ini hanya akan dihujani salju yang tidak seberapa, meskipun dinginnya Bulan Desember itu tidak main-main. Suara anak-anak dari sebuah gereja sedang menyanyikan lagu-lagu Natal di sisi jalan Kota London. Lalu sebuah mobil yang disewa Grine pun melintas dan berhenti di depanku. Aku menyapa sang supir setelah masuk ke dalam mobil, dan kemudian kami melaju ke suatu tempat.
Penjara Piston. Berjarak 12 km dari apartemen yang kutempati sekarang. Penjara pusat Kota London yang paling banyak dihuni oleh para tahanan, dan otomatis sistem keamanannya pun super berlapis. Setelah meminta supir yang mengantarku untuk pulang duluan, aku masuk ke dalam penjara itu sesuai dengan arahan yang diberikan Grine. Cukup rumit memang, tapi pada akhirnya aku bisa masuk ke ruang besuk yang terhalang kaca besar anti peluru.
Tak lama seorang polisi yang bertugas datang membawa seseorang yang sangat kurindukan. Polisi tersebut memintanya untuk duduk di hadapanku kemudian ia duduk di balik meja yang terletak di sudut belakang.
“Ayah,” sapaku lirih. Sungguh aku ingin memeluknya jika kaca ini tidak jadi penghalang. Wajah ayahkku cukup kacau dan sepertinya berat badannya berkurang banyak.
“Kenapa kau menemuiku?”
Justru hal berbeda muncul dari ayahku. Wajahnya yang semakin kurus dan tua itu tidak sedikit pun menampilkan wajah rindu. Air mata yang hampir jatuh itu pun seolah pergi disergap angin dan keheningan.
“Apa maksud Ayah? Akhirnya aku bisa menemui Ayah sekarang. Aku mencari Ayah selama ini.”
“Seharusnya kau tidak pernah menemuiku! Seharusnya kau tidak kabur dari Lady Mi!”
Wajahku menegang, suaraku tercekat.
“Apa?”
“Jika saja kau menuruti semua perkataan Lady Mi, aku tidak akan membusuk di penjara sialan ini.”
Aku menahan hatiku yang tercabik-cabik oleh kata-kata ayahku sendiri. Aku mengedarkan pandanganku ke arah lain untuk menghalang air mata kekecewaan keluar dari muaranya.
“Ayah tahu tempat apa itu? Mana mungkin aku tinggal di rumah bordir seperti itu!”
Aku ikut naik pitam. Sesungguhnya aku hanya kecewa dengan respon ayahku. Aku yakin ayahku tidak mabuk, ucapannya benar-benar sesuai dengan apa yang tengah dipikirkannya. Ia sedang tidak mengawang-awang.
“Harusnya kau tetap di sana! Apa bedanya kau bekerja di rumah bordir dan pelayan mini market? Kau harusnya bersyukur aku tidak melemparmu ke pelelangan manusia!!!”
Saat itu aku tahu rasanya hati yang patah berkeping-keping. Ayahku tidak melanjutkan perbincangannya denganku, ia melongos pergi meninggalkanku yang terbujur kaku seperti telah dihunuskan puluhan anak panah hingga aku mati. Telingaku berdengung, suara polisi yang barusan membawa ayahku tidak terdengar sama sekali olehku. Mataku mulai memburam dan semuanya kuanggap hanya ilusi.
Aku tak suka ayahku yang sedang mabuk, bau alkohol membuatku muak dan ingin sekali melempar botol-botol itu kejalanan. Tapi hari ini, tiba-tiba saja aku berharap yang kutemui tadi adalah ayahku yang sedang mabuk berat.
****
Tidak seperti ramalan cuaca di ponselku, setelah menaiki bis selama satu jam setengah, hujan tiba-tiba turun di Bulan Desember. Sangat lebat dan membuat pakaian hangatku menjadi sia-sia karena kehujanan. Aku turun di salah satu halte bis guna menunggu hujan reda. Tak jauh dari tempatku berdiri, setelah bis yang kunaiki berlalu, ada seseorang sedang meringkuk tak jauh dari posisiku sekarang.
Mungkin hujan benar-benar membuatnya kedinginan, apalagi jas yang ia pakai terlihat basah kuyup, koper di sampingnya pun masih meneteskan sisa-sisa hujan yang menempel padanya.
Orang tersebut mengangkat kepalanya lalu menoleh ke arahku.
“Eh! Axel?”
Axel lalu bangkit dan berjalan ke arahku, kepalanya benar-benar kebasahan.
“Kenapa kau hujan-hujanan? Dan kenapa juga kau di sini?”
Aku khawatir padanya, lalu mengelap wajah Axel dengan tisu yang ada di tas kecilku.
“Aku mengkhawatirkanmu.”
“Kenapa harus khawatir? Ini kampung halamanku, tidak akan ada yang menyerangku,” kataku yang masih mengelap wajahnya.
“Aku khawatir kau akan terluka sendirian di kampung halamanmu.”
Tanganku yang mengelap wajah Axel tiba-tiba berhenti, kepalaku tertunduk dan percakapan dengan ayahku tadi kembali berputar. Sakit di dadaku kembali terasa.
Aku mengangkat kepalaku dan memandangi Axel yang tinggi menjulang itu. Aku tersenyum melihat si pemangsaku datang ke dunia manusia.
“Kau kemari dengan Grine? Sekarang dimana dia?”
“Aku kabur darinya untuk mencarimu.”
“Hah?!”
Tubuh yang kehujanan, sosok yang berteduh di halte bis, dan sebuah koper hitam yang dibawanya. Kenapa aku tidak berpikir sampai situ ya? Seorang bangsawan vampir baru saja kabur dari pelayannya ke dunia manusia. Untuk mencariku.
Akhirnya kami berdua menunggu hujan reda. Entah bagaimana pula tubuh Axel yang basah itu mulai mengering seperti tidak tampak baru saja kehujanan. Axel tidak membawa kendaraan, ia juga tidak bisa berkendara, tidak membawa ponsel apalagi uang. Aku menghubungi Grine pun, tidak dapat tersambung, pasti ia sedang berada di dunia vampir. Jadi, si bangsawan hebat ini akhirnya tidak bisa berkutik oleh hujan deras di Kota London.
“Setelah ini kau akan kemana?” tanyaku.
“Ke apartemen Grine di dekat sini, tempat tinggalmu sekarang.”
“Oh, eh, tunggu! Apartemen Grine hanya memiliki satu ranjang.”
“Lalu?”
“Kau akan tidur dimana?”
“Tentu saja di ranjang.”
“Lalu aku?”
“Seperti biasa, kau tidur di sampingku.”
Wajahku mulai memanas. Pembawaan tenang Axel memang menakjubkan, bahkan ketika kami membicarakan soal berbagi ranjang sekali pun. Ia sama sekali tidak merasa canggung sepertiku.
“Ada apa?”
“Sudah berapa kali kau tidur dengan perempuan sepanjang hidupmu?”
Wajah Axel terlihat mengkerut, ia pun tak menjawab pertanyaanku, dan aku pun sesungguhnya tak ingin tahu berapa nominal perempuan yang pernah tidur dan ia hisap darahnya. Dasar vampir brengsek!
****
Pada akhirnya Axel benar-benar bermalam di apartemen Grine. Meski pun laki-laki itu tidak pernah menyerangku, tapi bisa saja di tempat ini yang hanya ada kami berdua ia tidak segan-segan menyerangku. Bukan, bukan meminum darahku jika menurutmu begitu. Maksudku, menyerang yang lain.
“Kenapa kau berdiri di depan toilet.”
Aku baru sadar sejak tadi aku terus saja berdiri di depan pintu toilet. Rambutku masih basah dan kulilit dengan handuk.
“Maaf. Tadi aku melamun.”
Axel terus saja memandangiku meski pun aku sudah menyingkir dari depan toilet.
“Kenapa lagi?” tanyaku.
“Manusia itu lemah, kedinginan sedikit ia bisa sakit. Cepat keringkan rambutmu.”
Lalu Axel melongos masuk ke dalam toilet.
Aku duduk di sisi ranjang sambil mengeringkan rambutku dengan pengering rambut. Nakas yang berada di samping ranjang itu tersimpan kunci apartemenku dulu. Seorang polisi memberikannya padaku dan menyampaikan pesan dari ayahku. Apartemen itu sudah dilunasi biaya sewanya untuk lima tahun lagi, ayahku ingin aku mengambil sisa uang sewa dan memintaku untuk pergi jauh darinya dengan memakai uang tersebut.
Dan aku kembali diserang rasa nyeri di dadaku. Ada sesuatu yang tercekat di tenggorokanku. Anehnya aku tidak tahu harus merespon seperti apa. Kini aku dihinggapi banyak perasaan campur aduk, dan tidak ada salah satu dari mereka yang mau mengalah agar tidak membuatku kebingungan seperti ini. Yang jelas, hatiku terus saja menderitak kesakitan.
Memikirkan ayahku dan hubungan kami yang ingin diputuskan sepihak oleh ayahku sendiri membuat diriku masuk ke dalam lubang hitam bernama kebingungan. Rasa kecewa ketika ayahku sendiri ingin menjadikan anaknya pelacur lagi-lagi menambah rasa sesak dan nyeri di dadaku. Sungguh, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk meredakannya.
“Sekarang kau mengeringkan wajahmu?”
Suara Axel yang sepertinya sedang menyinggung kelakuanku itu membuatku kembali sadar pada kenyataan. Aku menarik napas begitu dalam ketika menyadari bahwa pengering rambut itu sejak tadi mengarah pada wajahku.
“Maafkan aku, akan segera kumatikan. Kau akan tidur ya.”
Aku buru-buru menarik kabel pengering rambut itu dari sumber listrik yang berada di belakang nakas, lalu bangkit untuk menyimpan pengering rambut tersebut di toilet. Belum sempat aku melewati Axel yang sudah berganti pakaian, tangan pria itu sukses menangkap lenganku. Otomatis aku memandanginya dengan tanda tanya penuh.
Sekarang permainan apalagi yang ingin ia mainkan di tengah kekalutan hatiku ini.
“Sejak tadi kau melamun, manusia biasanya melamun karena ada banyak hal yang dipikirkannya. Kau sedang memikirkan apa?”
“Tidak ada, bukan masalah besar,” jawabku asal.
“Eskpresimu sama seperti waktu pertama kau datang ke mansionku.”
“Apa maksudmu? Kau mengira aku merasa asing di kampung halamanku sendiri?”
“Bukan, kau terlihat seperti baru kehilangan sesuatu.”
Secara otomatis seluruh tubuhku menegang. Hawa panas muncul di sekitar wajahku. Ketika Axel mengatakan soal kehilangan, ketika itu pula kekangan di hatiku yang menyakitkan perlahan melonggar dan membucah seperti air yang keluar dari muaranya yang hancur. Kemudian air mataku meleleh, ia tak lagi kuat menahan gejolak perasaan yang akhirnya kusadari bahwa ternyata aku hanya sedang merasakan kehilangan. Tidak sama sewaktu ibuku yang meninggal dulu, hari ini aku baru tahu bagaimana perasaan patah hati itu sesungguhnya.
Axel menarik tanganku yang digenggamya sejak tadi, ia kembali memelukku dan wangi bunga lavender lagi-lagi mendominasi ruangan itu. Tubuh dinginnya justru memberikan efek yang berlainan padaku. Pelukannya itu hangat, tangannya yang melingkariku seduktif membuat air mataku semakin menjadi. Aku sesenggukkan, menangis, meronta agar semua yang tertahan di relungku keluar tanpa menyisakkan sedikit pun. Aku menjerit dalam tangisku, sebab aku baru merasakan sakitnya patah hati itu luar biasa.
Lalu Axel sedikit menarik tubuhku dari rengkuhannya, aku masih menangis dan enggan untuk berhenti. Biarlah Axel melihatku yang tengah hancur begini, rasa perihnya masih belum mereda.
Axel menangkup wajahku dengan kedua tangannya, ia sedikit mengangkat wajahku agar bisa memandangi wajahnya. Aku masih merengek meski pun Axel menatapku dengan tatapan matanya yang tajam. Selanjutnya apa yang dilakukan Axel membuatku berhenti menangis dan memandangi kelopak matanya yang menutupi mata hitam yang terkadang berubah menjadi merah menyala.
Axel menciumku. Dalam dan hangat.
Whoaa ... Seruu ini. Aku suka😍. Minim typo juga. Liked
Comment on chapter #1 Hari Perjumpaan