Hai...
Kemarin waktu aku iseng liat-liat beberapa cerita yang udah aku publish, cerita UNENDING LOVE udah tembus 50 readers. Aku kaget sih, karena ceritanya cuma up date seminggu sekali, ditambah ini cerita fantasi pertamaku, udah gak berharap banyak yang baca. Tapi untuk aku pribadi, 50 itu angka yang besar. Aku gak pernah share atau promosiin karyaku, biasanya aku promosi kalau chapternya udah cukup banyak.
Tapi, aku sangat berterima kasih buat teman-teman yang mendukung ceritaku. Sebagai tanda terima kasih, chapter minggu ini sengaja aku percepat up date-nya. Yeah!!!
Oh ya, mungkin ada teman-teman yang punya rekomendasi atau mungkin karyanya yang pingin di promosiin, silakan tulis di komentar judulnya dan penulisnya. Akan kuusahakan untuk segera membacanya *love*
Dan terakhir, jangan lupa like, rate, dan komen bagian mana yang masih di rasa kurang atau justru jadi favoritmu. Sebagai masukan juga untukku.
Salam hangat,
SR
.
.
.
.
Jas hitam yang pernah dipinjamkan Axel saat pertama kali kami bertemu masih menggantung diantara pakaian di lemariku. Beberapa hari setelah keracunan itu, semua orang di mansion ini semakin jarang kutemui. Chas hanya muncul ketika aku memanggilnya, Grine terlalu sibuk di dunia manusia, dan Axel seperti biasanya tidak menjelaskan apapun.
Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah kejadian itu, tapi yang pasti tidak ada satu pelayan pun yang ia pecat atau yang terburuknya, diperlakukan sangat buruk oleh Axel. Mereka seperti sibuk terhadap suatu hal dan aku tidak diijinkan tahu atau mengintip apa yang sebenarnya terjadi. Sehingga, seharian ini aku mengurung diri di kamarku. Membaca buku, menulis buku harian, berbaring di kasur sambil menatap awan gelap dari balik jendela kamar, atau memandangi ponselku yang sudah habis dayanya.
“Hah… Sudah lama sekali aku tidak merasakan kesendirian seperti ini lagi.”
Aku menggulingkan tubuhku ke samping, memunggungi jendela yang mulai memperlihatkan butir-butir hujan turun.
Jika seperti ini, pikiranku jauh melayang mengingat dunia tempat aku tinggal. Sudah lebih dari sebulan aku tinggal di sini, dan sudah selama itu pula aku masih tidak tahu dimana keberadaan ayahku. Aku takut ayahku akan diculik dan disiksa oleh para preman-preman tersebut. Sungguh membuatku cemas sekali.
Suara Chas yang meminta ijin untuk masuk ke dalam kamar pun membuatku bangkit lalu entah kenapa aku membuka pintu itu untuk Chas.
“Nona,” panggilnya.
“Ada apa Chas?”
Chas memberikanku sehelai kain berwarna merah.
“Hm? Untuk apa ini?”
“Maaf jika saya kurang sopan, tapi maukah Nona menutup mata Nona dan ikut bersama saya?”
“Ada apa ya?”
“Saya mohon.”
Chas tidak pernah seperti ini, tapi baiklah dari pada terjadi perdebatan panjang.
Kemudian Chas menutup mataku dan membantuku berjalan ke suatu tempat yang di arahkan langsung oleh Chas. Chas membawaku menuruni tangga, hanya itu yang kuketahui, selebihnya indra pendengaranku tidak menangkap satu pun suara.
Hingga Chas kemudian menghentikan langkah kami lalu membukakan penutup mataku. Pertama-tama mataku agak kabur, semakin lama aku semakin jelas melihat pemandangan yang ada di hadapanku.
Semua pelayan berkumpul di ruang makan, bedanya kini mereka sedang memakai topi khas ulang tahun dan balon yang mereka pegang. Di atas meja makan sudah tersusun rapi hadiah ulang tahun yang dibungkus oleh kado dengan motif yang berbeda, di tengah-tengah semua itu berdiri kue ulang tahun tiga tingkat berwarna coklat dengan dekorasi mewah juga lilin ulang tahun.
“SELAMAT ULANG TAHUN NONA ELENA!!!”
Semua orang secara kompak memberikan ucapan selamat padaku. Aku yang masih tidak percaya dengan situasi yang terjadi saat ini hanya bisa berdiri tegap tanpa berkata apapun. Maksudku, ini sungguh luar biasa.
“Tunggu! Memangnya ini hari apa?”
Aku memastikan siapa tahu mereka salah. Tapi Grine memperlihatkan layar ponselnya dan hari ini adalah hari ulang tahunku, 23 Desember.
“Selamat ulang tahun Nona.”
Grine yang pertama meyambutku dengan uluran tangannya, lalu ia membawaku mendekati kue ulang tahun tiga tingkat tersebut.
“Jangan lupa berdoa terlebih dahulu,” kata Grine mengingatkan.
Aku menempelkan kedua tanganku lalu menutup mata dan membisikkan doaku dalam hati. Dan setelahnya, kami menikmati pesta kejutan ulang tahunku yang pertama ini.
****
“Pantas saja selama ini aku jarang melihat para pelayan.”
“Maaf Nona, kami sengaja menyiapkan pesta untuk Nona sebagus mungkin.”
“Terima kasih Chas.”
Aku memeluk Chas, ia tak pernah kuanggap sebagai pelayan pribadiku. Menurutku Chas lebih dari itu, ia membantuku untuk mencari rasa aman di sini, ia juga yang pertama kali menjelaskan padaku tentang dunia vampir. Bagiku Chas seperti kakak perempuanku sendiri.
“Semua ini tidak akan terjadi jika Tuan Axel tidak mengijinkan kami.”
Aku melepas pelukanku dan menatap Chas. Mungkin memang seharusnya meminta ijin pemilik rumah sebelum kau mencoba mengacaukan salah satu dari puluhan ruangan di rumah orang lain. Tapi dimana Axel, aku tidak melihatnya di sini.
“Axel kemana?”
“Tuan Axel sedang berada di halaman belakang,” timpal Grine.
“Malam-malam begini? Di luar bukannya sedang hujan?”
Aku berinisiatif untuk menemui laki-laki itu. Pesta yang ditujukan untukku itu pun sengaja kutinggalkan sekejap demi bertemu Axel. Laki-laki itu sangat menyukai kesendirian dan rasa sepi, padahal itu sungguh tidak mengenakkan.
“Axel!”
Aku memanggil namanya ketika melihat Axel duduk di beranda belakang rumah, ia sedang menikmati hujan dengan kesendirian. Lalu ia bangkit berdiri sementara aku sudah berada di hadapannya. Wajahnya tenang seperti biasanya. Meski ia berada satu anak tangga dibawahku, tapi tingginya tetap tidak tertandingi.
“Kau bisa kedinginan.”
Axel membuka jasnya lalu memakaikannya secara asal padaku.
“Kau juga bisa kedinginan,” kataku. “Lalu kenapa kau di sini? Kau tidak ikut merayakan?”
Axel tak menjawab. Ia memandangiku. Lalu diantara suara bising hujan malam itu, Axel menarik tubuhku dan meletakkannya di dada bidang miliknya. Aku mendengar degupan jantungnya. Wangi bunga lavender lagi-lagi tercium oleh hidungku, pelukannya memang menenangkan dan menyamankan.
“Aku tidak suka seseorang bertambah tua. Tapi selamat ulang tahun.”
Mungkin karena ulang tahunnya dan ulang tahunku dirasakan sangat berbeda sekali. Oleh sebab itu Axel berkata demikian, mungkin baginya aku bisa merasa sakit karena melewati hari ulang tahunku.
“Ini adalah momen ulang tahun terbaik seumur hidupku. Terima kasih Axel.”
Aku pun membalas pelukannya.
Sesaat kemudian, setelah Axel melepas pelukannya. Ia menangkup wajahku dengan kedua tangannya yang dingin itu.
“Bagiku rasa manis itu tetap darahmu, aku tidak mungkin berbagi rasa seperti itu padamu. Tapi aku punya hadiah untukmu.”
Aku menautkan kedua alisku.
“Kau boleh menjenguk ayahmu, Grine sudah menemukan keberadaan ayahmu. Hanya itu hadiah yang bisa kuberikan untukmu.”
Secara tidak sadar, air mataku menetes melewati wajahku. Aku tidak percaya Axel masih mengingat pertanyaanku dulu.
“Tapi berjanjilah setelah satu minggu berlalu, kau harus kembali ke mansion ini. Aku membutuhkanmu.”
Pada akhirnya aku terjerat pada kehidupan di dunia vampir. Memiliki takdir yang sama dengan vampir satu ini. Tapi, mendapat ijin untuk membuka pintu mansion membuatku kehilangan kata-kata bahwa aku sangat berterima kasih padanya. Axel yang kucap keras kepala dan selalu seenaknya itu, bisa memberiku sedikit kebebasan untuk kembali pulang.
Aku merentangkan lenganku padanya.
“Kau bilang darahku manis, bukan?”
Ya. Setidaknya malam ini vampir di hadapanku harus mendapat asupan cairan adiktifnya.
“Aku sudah bosan di situ.”
Kembali Axel menarikku seperti akan memelukku, namun kali ini mata merah yang kembali kulihat serta gigi taringnya yang mulai memanjang itu kini menembus kulit tengkukku, rasanya masih perih, tapi tidak menyakitkan seperti dulu. Axel lama sekali menyesap darahku, dan aku hanya bisa menahan ngilu dengan memegang erat lengan kekar yang terbungkus kemeja putihnya.
****
Grine sudah membawa koperku keluar. Aku melambaikan tanganku pada para pelayan yang terlihat sedih akan kepergianku.
“Aku hanya pergi sebentar.”
“Nona tolong jaga diri anda.”
“Iya, iya. Tidak apa-apa. Aku sudah mahir di duniaku sendiri.”
Kemudian Axel muncul di depanku secara misterius. Ekspresi wajah yang memang tak bisa ditebak ini pun hanya membuatku bertanya-tanya.
“Tolong kembali lagi kemari.”
“Iya.”
“Aku menunggu kepulanganmu, Elena.”
Dalam sepersekian detik, telingaku tak mendengar apapun selain suara Axel yang memanggil namaku untuk pertama kalinya. Bibirku terangkat membentuk seulas senyuman untuknya.
“Aku akan kembali, Axel.”
Axel menggenggam tangaku, namun seiring aku berjalan keluar pintu, genggaman tangan Axel mulai menghilang hingga diujung kedua jari kami saling bersentuhan lalu membuat jarak yang mulai melebar diantara kami.
Whoaa ... Seruu ini. Aku suka😍. Minim typo juga. Liked
Comment on chapter #1 Hari Perjumpaan