“Nona.”
Grine memanggilku ketika aku sedang memandangi hamparan luas halaman belakang keesokan harinya. Sejak kacaunya acara makan malam kemarin, aku tidak melihat pria itu, atau mungkin pria itu memang jarang menampakkan diri di mansionnya sendiri.
“Grine.”
“Nona sedang apa?”
“Hanya memandangi halaman belakang. Aneh rasanya jika dunia ini setiap tahun tidak pernah terpapar sinar matahari, tapi bunga-bunga di halaman belakang terlihat tumbuh subur.”
Grine pun memandangi halaman belakang sama sepertiku.
“Nyonya Easter, mendiang ibunda Tuan Axel yang menanam bunga-bunga tersebut. Entah bagaimana beliau bisa merawat bunga-bunga itu hingga bisa tumbuh subur sampai sekarang.”
Oh ya, orang tua pria itu sudah meninggal beratus-ratus tahun lalu akibat kebakaran yang terjadi di mansion ini. Hanya Grine dan pria itu yang selamat karena sedang berada di luar. Sungguh cerita yang tragis mengingat kehidupan bangsa vampir tidak sesingkat kehidupan manusia. Mungkin rasa sakit akibat kehilangan seseorang akan membekas abadi.
“Aku minta maaf atas sikapku kemarin. Sepertinya aku memang sedang tertekan,” kataku.
Grine yang melihat kejadian kemarin mungkin merasa tidak nyaman atas sikapku yang kekanak-kanakan itu.
“Berada di tempat asing dan berbeda memang selalu membuat kita merasa tertekan dan stres. Itu hal yang wajar Nona. Kami juga salah karena muncul mendadak seperti ini.”
“Tidak. Memang aku saja yang kekanak-kanakan.”
Ditambah ternyata malamnya aku datang bulan. Wajar jika mood-ku bisa sejelek itu. Aku jadi merasa bersalah padanya.
“Siang ini saya dan Tuan Axel akan pergi ke pertemuan petinggi vampir. Jika ada apa-apa, Nona bisa meminta bantuan pada Chas.”
“Ah iya, baiklah.”
Tak berapa lama Chas muncul setelah asap hitam tiba-tiba muncul di samping Grine. Wah! Mereka hebat semua bisa melakukan hal semacam itu.
“Chas, tolong jaga Nona Elena selagi aku pergi.”
“Baik Tuan.”
Setelah itu Chas membawaku kembali ke dalam kamar dan menyiapkan teh hangat serta croissant.
“Kau tahu, di duniaku sedang ramai minuman teh dengan krim susu. Rasanya sangat manis namun sedikit pahit, apalagi jika disajikan hangat-hangat dengan croissant coklat.”
“Saya tidak banyak mendengar tentang dunia manusia, terkadang saya kebingungan jika harus menyiapkan makanan untuk Nona. Jadi jika ada makanan yang ingin Nona makan, jangan ragu untuk memintanya pada saya. Saya akan mengusahakannya Nona.”
“Terima kasih Chas, aku pun sedikit handal dalam masak memasak. Jika kau kebingungan jangan ragu untuk meminta bantuanku.”
“Saya merasa terhormat Nona, untuk pertama kalinya saya bisa berbincang dengan manusia dan melayaninya.”
“Hn? Memangnya kau tidak pernah berbicara dengan manusia sebelumnya?”
“Setelah Tuan Grine menemukan saya sendirian di pasar gelap, ia lalu mengajak saya untuk bekerja di keluarga Easter. Nona adalah manusia pertama yang dibawa oleh Tuan Axel.”
Perkiraanku sepertinya keliru, pria itu menemukanku di tempat prostitusi. Kukira ia sering melakukan hal semacam ini, membawa setiap manusia yang ia hisap darahnya ke mansion ini lalu mengurungnya hingga mati.
“Memangnya sudah berapa lama kau bekerja di sini?”
“Sekitar tiga tahun setelah peristiwa kebakaran mansion ini Nona.”
Aku terkejut mendengar ucapan Chas. Mungkin Chas sudah tinggal di sini saat pria itu masih terlalu dini mengenal manusia atau semacamnya. Jadi aku memang manusia pertama yang dibawanya kemari. Bukankah wajar ya jika pria arogan, keras kepala, dan menyebalkan itu tidak pandai bersosialisasi terhadap manusia? Bahkan di mansionnya sendiri ia jarang keluar kamar.
“Nona kenapa? Sejak tadi diam saja.”
“Sepertinya aku berhutang permintaan maaf pada seseorang. Oh ya Chas, bukankah kau sedang bekerja. Aku takut mengganggumu.”
“Ah tidak masalah Nona, saya takut Nona masih enggan ditinggal sendirian.”
“Tidak apa-apa, aku baik-baik saja sendiri. Kau lanjutkan saja pekerjaanmu. Dan terima kasih untuk cemilannya.”
“Kalau begitu saya pamit dulu Nona. Jika ada apa-apa tolong panggil nama saya saja.”
“Baiklah.”
Dan setelah Chas pergi, mataku menangkap pemandangan pria itu dan Grine sedang berada di halaman belakang. Sebuah portal tiba-tiba saja muncul dan mereka berdua masuk ke dalam portal itu sebelum kembali menghilang. Sesaat aku bisa melihat bagaimana ekspresi pria itu, Axel selalu terlihat dingin dengan tatapan matanya yang menusuk. Tapi mungkin pria itu tidak benar-benar menyebalkan seperti yang kukira.
****
Aku berjalan mengelilingi mansion luas ini. Selagi pria itu sedang rapat hingga petang, aku menelusuri setiap sudutnya. Grine sudah memberikanku ijin untuk masuk ke setiap ruangan kecuali ruangan pria itu karena biasanya selalu terkunci rapat, yang sesungguhnya aku pun tidak mau tahu. Aku menemukan ruang bersantai, karena di sana ada sebuah grand piano dan deretan foto-foto keluarga Easter termasuk lambang keluarga pria itu. Aku pun menemukan ruang perpustakaan yang ternyata banyak sekali buku-buku yang berasal dari dunia manusia. Bahkan aku menemukan cetakan pertama serial detektif Sherlock Holmes yang pastinya itu milik Grine.
Selanjutnya aku ke area belakang mansion, di sana ada deretan kamar pelayan dan juga dapur yang sedang dipakai para pelayan. Dan Chas ada di sana.
“Selamat siang Nona.” Para pelayan itu menyalamiku ketika melihat aku datang.
Aku tersenyum sambil sedikit meundukkan kepala. “Selamat siang.”
Lalu Chas datang menemuiku. “Nona butuh sesuatu?”
“Ah tidak. Aku sedang bosan dan berakhir datang ke dapur. Mungkin aku bisa membantu kalian.”
“Terima kasih Nona tapi Nona tak perlu repot-repot membantu kami.”
“Kalau begitu aku akan meli—“
BRAKKK!!!
Suara pintu belakang tiba-tiba terbuka lebar. Angin menghembus seisi dapur dan memadamkan api di atas tungku. Semua orang menahan angin kencang itu agar tidak terpental, Chas pun tiba-tiba mengeluarkan cahaya hijau yang kemudian berubah menjadi sangkar yang mengelilingiku.
“Ada apa?!” tanyaku panik.
Para pelayan tadi bergegas membuat barikade di depanku. Lalu pintu yang terbuka tadi di lewati dua orang dengan menggunakan jubah berwarna hijau yang menutupi wajah mereka. Persis seperti jubah yang pernah dipakai Axel pada saat pertama kali kami bertemu, bedanya jubah pria itu berwarna hitam.
“Siapa kalian?” tanya Chas yang sudah mengambil ancang-ancang untuk menyerang kedua orang itu.
“Maafkan kami jika datang secara tidak sopan. Kami kemari untuk mengambil manusia itu,” jawab salah seorang dari mereka yang tubuhnya lebih tinggi.
“Lihatlah! Nona cantik itu sungguh indah, bagaimana dengan rasa darahnya ya?” ucap salah seorang lainnya.
Tubuhku merinding mendengar ucapannya, aku bahkan mundur sedikit ketika ia membuka jubah yang menutupi kepalanya dan memamerkan gigi taringnya yang mencuat.
Salah seorang pelayan tiba-tiba saja berlari menyerang ke arah dua orang tersebut dan menghunuskan sebilah pisau. Tapi dengan mudahnya mereka menghempaskan pelayan tersebut hingga terpental membentur dinding dan terkapar. Lalu selanjutnya, satu per satu para pelayan itu menyerang keduanya, tapi lagi-lagi kekuatan mereka lebih besar dari para pelayan tadi. Jantungku semakin berdetak kencang ketika mereka mulai mendekatiku dan Chas yang masih menghadang di hadapanku.
Chas lalu mengeluarkan sebuah cahaya hijau lagi dari kepalan tangannya. Lalu sebuah pedang berwarna hijau muncul dan digunakan Chas untuk melawan dua orang itu. Chas menghunuskan pedangnya namun dengan mudah mereka menangkis lalu memukul perut Chas dan menendangnya jauh.
“Chas!!!” Aku sontak berteriak melihat Chas dan aliran darah berwarna hitam keluar dari sudut bibirnya.
Kedua orang yang menyerang para pelayan pun sudah berada di hadapanku. Sementara aku mulai gemetar dan merasa sedang menghadapi ajalku sendiri.
“Perkenalkan Nona, nama saya El,” ucap pria dengan tubuh tinggi.
“Namaku Vier,” ucap pria dengan gigi taring yang mencuat.
Siapapun mereka, aku tidak peduli sama sekali.
“Apa mau kalian?” tanyaku.
“Kami tidak akan melukai Nona,” ucap Vier. “Kami hanya menginginkan kematian Nona secepatnya.”
Aku semakin memundurkan tubuhku hingga membentur barier yang dibuat Chas. Bagaimana bisa mereka mengatakan hal semengerikan itu dengan begitu santai.
“Nona.” Vier merentangkan tangannya bermaksud untuk menghancurkan barier yang dibuat Chas. Lalu dengan cepat ada api hitam yang berhembus menghalang tangan Vier untuk mendekatiku.
Aku menoleh ke arah api itu berasal. Di sana Axel dengan angkuhnya sedang mengeluarkan api hitam dari telapak tangannya.
“Nona!” Grine dari arah belakangku menghancurkan barier yang dibuat Chas lalu menarikku hingga berada di belakang tubuhnya.
Axel lalu mengeluarkan api hitamnya kembali dan menyerang El dan Vier. Kekuatannya secepat petir yang menyambar sebuah pohon besar. Pemandangan yang berbeda kini terlihat ketika kedua orang itu yang kini kewalahan menghadapi api yang menyambar mereka.
Seperti kilatan cahaya, Axel sudah berada di antara keduanya lalu menghantam mereka secara bebarengan sebelum mereka berdua sempat menangkis serangan Axel. Vier terlihat pingsan sementara El menahan luka di tangannya dengan tangan yang lain. Axel kemudian berjalan angkuh mendekati El, api hitam kembali mengelilingi tangannya. Lalu dengan nada dingin andalannya, serta tatapan matanya yang menusuk, Axel akhirnya membuka suara.
“Aku akan membunuhmu terlebih dulu.”
Hah? Membunuhnya?
“Tunggu!!!”
Aku menghampiri Axel dan menghiraukan panggilan Grine.
“Kau gila ya?” omelku.
Api hitam di tangan Axel mulai memudar.
“Apa maksudmu?” tanya Axel.
“Kau akan membunuh mereka? Dengan mudahnya?”
“Lalu apalagi yang kau mau?”
“Yang kumau? Tentu saja membawa mereka ke polisi dan memenjarakan mereka berdua.”
“Memangnya polisi yang kau maksud bisa menjamin jika mereka tidak akan menyerangmu kembali?”
“Setidaknya mereka tidak terlalu bodoh untuk mengorbankan nyawa mereka untuk kedua kalinya.”
“Aku tidak peduli.”
Api hitam itu kembali muncul dari telapak tangan Axel. Namun aku segera menahan lengannya dan api hitam itu kembali menghilang.
“Apa maumu?!” Axel sedikit membentakku.
“Jangan pernah membunuh seseorang! Kau kira nyawa seseorang tidak begitu bernilai di matamu?”
Secepat kilat Axel menyerang El dengan tendangannya lalu berjalan melewatiku dengan aura yang kental akan kemarahan yang memuncak. Aku melihat ke arah El, ia pingsan seperti Vier. Grine meminta salah seorang pelayan membawaku ke dalam kamar dan mengobati lukaku selagi ia mengurusi dua penyerang tadi. Aku menolak dan memilih untuk masuk ke dalam kamar sendirian, lagipula aku tidak terluka.
****
Aku berada di kamar hingga malam menjelang. Suara ketukan pintu dari Chas membuat lamunanku yang sudah setinggi istana itu runtuh dan mempersilahkan Chas untuk masuk. Chas datang membawakan makan malam untukku. Tidak ada acara makan siang bersama, begitu pula dengan makan malam. Lagipula siapa yang akan dengan mudahnya akur setelah memperdebatkan hidup dan mati seseorang. sikap pria itu membuat kepalaku terasa pening.
“Makan malamnya Nona.” Chas mengembalikanku pada kesadaran.
“Terima kasih, Chas.”
Aku masih merasa tidak nyaman dengan perhatian Grine atau Chas. Sepanjang hidupku, aku tak pernah mendapatkan perhatian dari siapapun, ibuku dulu kerja banting tulang sehingga sibuk walau sekedar mengurusiku, ayahku pun dulu sama sibuknya bekerja seperti ibuku. Lalu setelah ibuku meninggal, ayah menjadi seperti sekarang dan benar-benar mengabaikanku.
Rasanya aku tidak percaya bisa lulus SMA dengan keadaan ayahku yang pemabuk itu.
Setelah menghabiskan makananku, dan Chas yang setia berdiri di samping kursi yang kupakai, aku melihat ke arah Chas, setetes darah berwarna hitam pekat muncul dari balik lengan bajunya. Aku menangkap lengan Chas yang berdarah lalu menariknya untuk duduh di sampingku.
“Kau berdarah Chas,” kataku dengan perasaan cemas.
“Saya baik-baik saja Nona. Ini tidak seberapa,” jawab Chas.
“Chas, lukamu nanti bisa infeksi. Tolong diam dulu ya.”
Aku berjalan ke arah meja rias dan menemukan kotak obat yang disediakan Grine di kamarku. Lalu aku kembali menghampiri Chas.
“Ini salahku,” kataku lirih. Kemudian aku membalut luka Chas yang hampir melukai seluruh lengannya. Pasti Chas terluka karena menjagaku. “Maafkan aku.”
“Nona! Tidak perlu meminta maaf. Saya yang harusnya minta maaf karena tidak bisa menjaga Nona dengan benar.”
Sejak kapan orang yang terluka yang harus minta maaf? Perasaan bersalah itu adalah sebuah perasaan yang teramat aku benci di dunia ini.
Setelah membalut luka Chas, Chas pun pamit dengan membawa peralatan makan yang tadi kupakai. Wajahnya masih pandai tersenyum, seolah-olah lukanya itu memang tidak terasa apa-apa. Tapi aku yang melihatnyalah yang seolah-olah sedang menahan luka tersebut.
“Kau beristirahatlah. Besok pagi aku bisa menyiapkan air untuk mandi sendiri. Lukamu harus sembuh dulu, Chas.”
“Terima kasih atas perhatiannya Nona,” ucap Chas lalu pamit.
Chas tiba-tiba berhenti tepat di bibir pintu, lalu berbalik menatapku yang sedang merapikan kotak obat.
“Nona, ada seseorang yang terluka lebih parah dari saya,” ucap Chas.
“Siapa?” tanyaku.
****
Pintu besar itu selalu tertutup rapat. Tidak ada seorang pun pelayan yang berani masuk ke dalamnya kecuali kepala mereka ingin dipenggal secara cuma-cuma. Bahkan Grine yang merupakan kepala pelayan, juga asistennya pun harus dengan sopan mengetuk pemilik kamar ini. Ruangan pertama yang kumasuki ketika datang ke dunia vampir dulu. Ruangan yang membuatku pingsan setelah pria itu menggigit lapisan kulit terluarku.
Aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak masuk ke dalam kamar itu apapun yang terjadi, tapi sekarang janji itu meragukanku.
Bagaimana ini?!
Suara gaduh pintu yang dibuka begitu kerasanya membuatku mematung dan menatap horor orang yang melakukannya. Axel dengan peluh di wajahnya, juga pergelangan kemeja putihnya yang kotor bersimbah darah hitam sedang memandangiku dengan sinisnya.
“Sedang apa kau berisik di depan kamarku?” tanyanya tajam.
“A-anu… Itu…”
Aku jadi kebingungan menjawab pertanyaannya. Memangnya kehadiranku sendiri saja sudah mengganggunya ya sekarang? Semarah itukah dia padaku? Padahal aku hanya diam memandangi pintu kamarnya yang tadi tertutup.
“Kalau tidak ada urusan kembali saja ke kamarmu,” titahnya yang segera menutup kembali pintu kamarnya.
Entah bisikan dari mana, kakiku bergerak menghampirinya, tanganku menangkap lengannya yang terluka. Kemudian Axel kembali memandangiku dengan mimik wajah keheranan.
“Aku obati lukamu dulu,” kataku.
“Tidak perlu. Ini hanya luka kecil,” elaknya melepas genggamanku.
Tapi aku sama keras kepala sepertinya.
“Kumohon! Lukamu bisa infeksi jika di diamkan saja.”
Ini memang agak gila, atau aku memang sudah gila karena terlalu lama tinggal di sini. Tapi memang kenyataannya aku menarik lengan Axel yang terluka untuk mengikutiku masuk ke dalam kamarnya dan duduk di sofa tanpa ada izin dari sang empunya.
Persetanlah! Kekhawatiranku dan rasa bersalah ini lebih agung dari kemarahan Axel.
Seperti yang kulakukan pada Chas, aku membuka kotak obat dan mengambil alkohol juga obat merah. Namun luka yang dimiliki Axel lebih panjang dari milik Chas.
“Bisa kau buka baju lenganmu,” pintaku.
Bukannya menggulung lengan kemejanya, Axel membuka seluruh kemejanya hingga tampak tubuh atletis dan pucat seperti marmer terpampang di hadapanku. Wajahku mulai memerah, dan jantungku berdebar hebat.
Tenanglah, aku sering melihat pria-pria topless seperti ini di drama seri Jumat Malam, ini bukan hal asing, benar-benar bukan hal asing.
Kemudian tatapanku tertuju pada goresan panjang di lengan kirinya. Sebagian mulai mengering, namun sebagian masih mengeluarkan darah segar. Pasti sakit sekali. Lalu aku mengobati lukanya dengan segera. Beberapa ilmu tentang pertolongan pertama pernah aku dapatkan saat sekolah dulu.
Kadang aku berpikir bahwa takdir kami adalah keheningan. Jika bersama Axel, yang ada cuma keheningan, atau yang terburuknya adalah kejadian tidak menyenangkan yang hadir diantara kami, seperti memang telah ditakdirkan seperti itu. Sejak tadi, aku tak berani menatap wajahnya, kepalaku banyak dibombardir pertanyaan-pertanyaan memusingkan. Tapi yang membuatku penasaran, kenapa vampir memiliki darah berwarna hitam.
“Sejak lahir kami tidak pernah disinari oleh matahari, hemoglobin yang harusnya berwarna merah seperti darah manusia tidak ada pada diri kami, ini seperti kutukan. Karena darah hitam selalu erat kaitannya dengan kutukan di dunia manusia,” terang Axel tiba-tiba.
Aku memandanginya, ini pertama kali ia berbicara tanpa nada perintah, dingin, atau tajam. Apa ini sebenarnya sosok Axel.
“Sejak kecil aku hidup di lingkungan penuh permusuhan dan rasa curiga. Jika kau tidak kuat, jangan berharap bisa melindungi apa yang kau miliki. Itulah prinsipku.”
“Kau berusaha melindungiku?”
“Kenapa kau harus bertanya untuk jawaban yang sudah pasti.”
Suhu udara saat ini tiba-tiba saja lebih panas dari biasanya. Setelah benar-benar membalut lengan Axel, aku membereskan peralatanku untuk bergegas pergi dari kamarnya. Axel sendiri terlihat kelelahan dan menyandarkan kepalanya, dengan lengan yang baru kuperban itu menjuntai di samping tubuhnya.
“Setelah aku memisahkan ayahmu dengan orang-orang jahat itu, ada suara sirine muncul dan orang-orang dengan cepat datang menghampiri ayahmu, aku tidak sempat membawa ayahmu. Aku sedang meminta Grine mencari tahu dimana ayahmu berada kini.”
Aku tidak percaya. Bukan. Aku tidak meramalkan jika itu yang sedang dilakukan Axel. Kukira dia akan marah lalu memeras darahku hingga aku mati kering. Ternyata dia tidak seburuk itu. Akulah yang terburuk memang.
“Aku takut,” kataku. “Aku takut berada di tempat asing seperti ini.”
“Grine bilang wajar jika kau ketakutan. Memangnya siapa pula yang akan baik-baik saja berada di dunia vampir.”
Aku mengulurkan pergelangan tanganku padanya. Axel menaikkan sebelah alisnya.
“Kau sedang apa?”
“Mungkin darahku bisa menjadi obat untukmu. Agar kau cepat sembuh. Lagipula aku merasa bersalah karena memikirkan hal-hal aneh tentangmu.”
“Kau melakukannya secara sukarela?”
“Jika kau tidak mau ya sudah.”
Bukannya segera menggigit lenganku seperti biasanya, Axel justru merebahkan tubuhnya di atas sofa dan menjadikan pangkuanku sebagai bantalan kepalanya. Lengan yang dibalut perban itu menjadi penutup wajahnya yang kini tidak bisa aku tebak ekspresi vampir tersebut.
Aku sendiri hanya diam terpaku, tidak sanggup menolak, namun tidak mudah menghentikan degupan jantungku karena tingkahnya.
Di dunia vampir, cahaya bulan lebih terang dari matahari yang memang tidak pernah muncul. Di setiap jendela, bias cahaya putih yang menyilaukan dari sang bulan menerangi ruang temaram kamar ini. Sedikit biasnya menyentuh kami yang sedang berada dalam takdir saling membisu satu sama lain.
“Matamu selalu mengingatkanku pada seseorang.”
Axel tak melanjutkan kalimatnya, ia tertidur lelap di pangkuanku. Peluhnya masih sedikit bercucuran. Aku memang masih tidak mengerti tentangnya, ia adalah subjek yang membuatku masih ketakutan karenanya, namun di satu sisi ia menuntunku pada kenyamanan.
****
Whoaa ... Seruu ini. Aku suka😍. Minim typo juga. Liked
Comment on chapter #1 Hari Perjumpaan