Aku melewatkan sarapan pagiku, lagi. Sudah seminggu semenjak aku kabur karena berakhir di ranjang Axel, dengan pria itu yang masih tidak memakai atasan, sedang tertidur pulas merangkul pinggangku. Ya ampun! Aku sudah melakukan dosa besar.
Karena takut tertangkap, entah oleh siapa, secara insting aku kabur mengendap-endap masuk ke dalam kamarku sebelum para pelayan melihatku meringkuk di ranjang Axel. Bagaimana jika mereka memikirkan hal yang tidak-tidak.
Dan selama seminggu itu, aku beralasan untuk berolahraga pagi dan meminta Axel untuk sarapan sendirian. Kecuali pada malam hari, aku tidak punya alasan yang cukup untuk sering menghindarinya. Aku malu.
Tapi sepertinya, hari ini Axel tidak keluar kamarnya. Para pelayan sibuk seperti biasanya, dan meja makan hanya menyediakan hidangan untuk satu orang di hadapan kursi yang biasa kugunakan.
“Axel tidak sarapan?” tanyaku pada Chas.
“Tuan sedang sibuk di kamarnya hingga esok hari Nona,” jawab Chas.
Sibuk apa dia? Kenapa harus di kamarnya segala? Dia kan punya ruang kerja sendiri.
“Oh.”
Aku menyantap sarapanku di siang hari itu, dan seperti biasanya Chas selalu berada di sampingku.
“Grine kemana?”
“Kepala Grine sedang sibuk di kantornya.”
Aku kembali menyantap sarapanku. Dulu, aku memang terbiasa makan sendirian, terbiasa berteman sepi, tapi kali ini, mansion ini benar-benar sepi sekali. Entah hanya perasaanku saja.
“Chas, apa aku boleh minta sesuatu?”
“Apapun Nona.”
“Bisakah kau buatkan puding almon green tea?”
“Ya?”
Sepertinya Chas tidak mengerti permintaanku.
“Ah, tak apa. Lupakan saja.”
“Maaf Nona, maksud saya apa ada lagi yang Nona inginkan?”
Aku mengalihkan pandanganku Chas.
“Kau bisa membuatnya?”
“Mungkin rasanya tidak seenak di dunia Nona.”
“Wah!!! Tak masalah, kukira permintaanku terlalu aneh. Aku tiba-tiba ingin makan puding, itu saja. Setelah olahraga tadi.”
“Baiklah Nona, pudingnya akan segera saya buat.”
“Terima kasih banyak Chas. Terima kasih juga untuk sarapannya, sangat lezat.”
“Terima kasih kembali atas pujiannya Nona.”
“Jangan buatkan aku makan siang, aku masih kenyang. Apalagi nanti aku akan makan makanan manis.”
“Baik Nona.”
Setelah sarapan di siang hari itu, aku kembali ke kamarku. Melihat-lihat gaun khas Eropa abad 80an yang tertata rapi di lemari besar. Dan di sampingnya, tersusun baju-baju yang biasa kugunakan sehari-hari. Celana jeans dan kaos atau kemeja lengan panjang. Ayolah! Meskipun aku tinggal di dunia vampir dengan para maid dan butler yang hilir mudik mengenakan seragam khas mereka, juga pemilik rumah ini yang selalu berpakaian anggun khas seorang bangsawan, aku tetap menjunjung tinggi pakaian yang umum digunakan abad ini.
Sedikit demi sedikit aku mulai terbiasa dengan atmofer dunia ini, tanpa sinar matahari, selalu dikelilingin kabut dan awan kelabu, juga langit malamnya yang mengagumkan. Aku mulai jarang bertanya perihal ayahku, karena Axel berjanji akan memberi tahuku jika Grine sudah menemukan ayahku. Yaa, walaupun sesekali aku masih menganggap diriku hanya hewan ternak di mansion ini.
Selain itu, aku menghabiskan waktuku dengan menulis buku harian. Tidak ada internet di dunia ini memang cukup mengganggu kehidupan sehari-hariku. Dan seperti kembali pada masa Leonardo da Vinci, kuhabiskan waktuku dengan menulis, atau membaca buku jika Grine membawakan beberapa tumpuk buku yang kuminta.
Sedang asyik-asyiknya menulis, samar-samar aku mendengar suara rintihan yang memilukan. Awalnya kukira memang suara-suara asing yang sesekali muncul dari hutan yang berada tak jauh dari mansion ini, tapi semakin lama suara itu semakin jelas asalnya.
Telingaku kutempelkan pada dinding kamar, kutelusuri setiap jengkal dinding kamarku, dan seolah-olah memiliki matanya sendiri, suara rintihan itu semakin terdengar jelas. Hingga mataku menatap pintu kamar Axel. Pria yang kerap dingin dan menyeramkan itu membuatku ragu-ragu untuk menghampiri kamarnya. Terakhir aku tertidur di sampingnya, rasanya ambigu apakah ada sesuatu yang terjadi diantara kami semalam. Tapi saat itu aku masih berpakaian utuh.
Suara rintih itu semakin terdengar keras dan membuatku buru-buru menghampiri kamar Axel. Baru saja aku akan membuka pintu kamarnya, Grine dengan cekatan menangkap tanganku.
“Jangan Nona.”
Wajah Grine terlihat gelisah, tapi justru semakin membuatku pensaran dengan kondisi Axel. Apa yang tengah ia kerjakan di kamarnya hingga merintih kesakitan seperti itu.
“Kenapa? Ada apa di dalam? Apa Axel baik-baik saja?” tanyaku.
Grine seperti enggan menjawab pertanyaanku, tapi kemudian ia membuatku terkejut dengan kehidupan bangsa vampir yang tak masuk akal.
“Hari ini Tuan Axel berulang tahun.”
Harusnya ulang tahun adalah hari yang paling bahagia bagi setiap orang. Setidaknya ada satu hari dalam setahun ia merasa menjadi makhluk paling istimewa.
Whoaa ... Seruu ini. Aku suka😍. Minim typo juga. Liked
Comment on chapter #1 Hari Perjumpaan