PROLOG
Jangan pernah ingkari hati nurani.
Kutipan di atas, mungkin sudah banyak yang mengetahui artinya. Bahkan mungkin juga, memahami apa makna yang terkandung di dalamnya.
Apa jika bertindak dalam suatu hal, harus mengikuti kata hati nurani? Atau mesti mencerna dengan hati, agar tidak salah arah? Entahlah, setidaknya bisa lebih berhati-hati lagi dalam bertindak agar tidak menyesal di kemudian hari.
Seperti dalam kisah ini yang menceritakan mengenai kehidupan seorang wanita dari keturunan etnik Jepang, bernama Sita Angelina yang baru berusia 16 tahun. Seorang pelajar sekolah tingkat atas, harus mengalami sebuah tragedi memilukan saat pulang sekolah. Seragam putih yang ditutupi oleh jaket abu-abu krem, dengan rok sebatas lutut. Rambut terkuncir sebatas bahu, berwarna hitam mengkilat. Mata cokelat dengan tatapan nanar, saat dikejar oleh beberapa laki-laki misterius, berlari menuju sebuah pelataran parkir gedung bertingkat tiga di daerah Semanggi.
Sore itu. Sita baru pulang sekolah dengan dijemput oleh kakak keduanya, bernama Rendi. Mereka terpisah saat terjadi kerusuhan, dalam sebuah aksi demonstrasi mahasiswa, yang awalnya damai. Namun, tiba-tiba berubah mencekam, karena aksi tersebut dibubarkan secara paksa oleh aparat keamanan, di sebuah jalan antara Semanggi dan kampus Trisakti. Dalam tragedi tersebut, Sita sedang menjemput kakak pertamanya bernama Remi Larasati. Seorang mahasiswi yang ikut dalam demonstrasi damai tersebut, tetapi mendapatkan perlakuan asusila oleh beberapa orang misterius yang kini mengejar dirinya.
Dengan napas tersengal. Sita berusaha berlari sekencang mungkin, menerobos area parkir menjauh dari keriuhan para mahasiswa yang berlarian tidak tentu arah. Sebab saat itu, terdengar berkali-kali letusan senjata api, juga gas air mata ke arah para demonstran mahasiswa. Beberapa di antaranya, ada yang masuk ke ruang perpustakaan, laboratorium, atau ruang kampus. Termasuk dirinya yang masih berlari di koridor, menuju pelataran parkir. Dengan hati cemas, Sita berusaha bersembunyi di antara deretan mobil, berharap usahanya itu tidak ketahuan oleh orang-orang misterius yang tadi mengejarnya.
Namun usaha Sita sia-sia, saat sebuah tangan kekar mencengkram lengannya. Dengan meronta-ronta, ia berusaha melepaskan cengkraman tangan si makhluk buas yang berusaha mengoyak mangsanya, dan berhasil memeluk tubuh sintal si gadis berparas sendu yang mulai basah oleh keringat.
“Tolong! Lepasin gue! Gue cuma pengen pulang! Lepasin!” Sita terus berteriak di antara deretan mobil, yang terparkir di bawah gedung bertingkat tersebut. Sementara si laki-laki tambun bermata liar di hadapannya, semakin erat memeluk tubuh gadis yang mulai tergigil.
Meski suara Sita menggema, tetapi usahanya sia-sia saat si tangan kekar itu mulai menggerayangi tubunya yang sintal. Seolah-olah tidak memiliki hati nurani, si tangan kekar itu dengan buas mengoyak jaket yang menutupi seragam putihnya. Sehingga bagian dadanya yang baru tumbuh itu mulai terbuka, meski masih tertutup oleh bra berwarna merah marun.
“Ah, persetan! Gua udah lama, pengen nikmatin tubuh elu! Jangan berontak! Nikmatin aja apa yang bakal gua kasih ama elu ini, Neng!” Suara berat dari si tangan kekar, yang kini mulai membuka sebagian tubuh Sita. Seakan-akan tidak peduli dengan rintihan serta tangis si gadis bermata cokelat, yang mulai pecah ketika tubunya digerayangi dari atas hingga ke bagian pangkal pahanya.
“Tolong lepasin! Elu siapa?! Kenapa lakuin ini, ke gue! Salah gue apa?! Gue mohon!” Sita terus merengek, meski kini tubuhnya mulai dikoyak-koyak oleh si tangan kekar yang mulai menindihnya di depan sebuah mobil sedan.
“Udah, jangan banyak cincong, Bro! Nikmatin aja gadis ini, mumpung ada kesempatan! Entar keburu kerusuhannya reda, gua kagak kebagian kesempatan emas ini! Habisin aja bocah lugu ini, habis itu kita kabur!” Terdengar suara lain, seperti sudah benar-benar kerasukan setan yang baru terlepas dari belenggu. Seolah-olah tidak mengindahkan tangisan Sita, yang mendapatkan beberapa pukulan di wajah dan tubuhnya dan terlihat setengah telanjang di depan si tangan kekar tadi.
Mendapatkan beberapa pukulan, di wajah juga tubuh Sita yang mulai mengeluarkan darah di bagian selangkangannya. Ia merasa tidak memiliki kekuatan lagi untuk berontak. Dengan terkulai lemas, ia merasakan perlakuan ganas dari beberapa orang misterius, yang berhasil menodai harta paling berharga dari hidupnya. Kehormatan yang seharusnya ia serahkan untuk seorang laki-laki tercinta, di malam yang penuh kehangatan. Namun malam itu, harus meringkuk di dalam gelapnya parkiran gedung bertingkat, di antara peluh yang bercururan di atas tubuhnya. Setelah beberapa laki-laki biadab, menghancurkan apa yang seharusnya ia jaga.
Sebilah belati yang berukuran sedikit panjang, terlihat mengkilap dari tangan kekar yang tadi menodai diri Sita. Karena dirinya udah tidak berdaya lagi, atas perlakuan laki-laki ketiga yang terakhir menodai kehormatannya. Hanya dengan membuka mata sayu, Sita menatap getir saat sebilah belati keluar dari pinggang si tangan kekar.
“Inikah akhir hidupku, Tuhan?! Harus mati dengan cara perlakuan, yang tidak pernah terbayangkan sama sekali.” Sita hanya bisa bergumam di dalam hati, sebab merasa sudah tidak berdaya lagi atas segala perlakuan tiga makhluk keji di hadapannya itu.
Belum sempat belati dari si tangan kekar, terhujam ke tubuh Sita. Tiba-tiba seonggok tubuh seorang laki-laki menghadang, dan tertancap oleh belati si tangan kekar tersebut.
“Heks!” lirih laki-laki, yang menghadang tusukan belati si tangan kekar di hadapan tubuh Sita yang sudah tidak terbungkus sehelai kain pun. Matanya membelalak seakan-akan hendak keluar dari lingkarnya. Seraut wajah yang Sita kenal, telah menyelamatkan tikaman belati si tangan kekar ke tubuhnya.
“Kak ..., Ren—di?!” lirih Sita tergagap, begitu melihat wajah si laki-laki yang tertusuk oleh belati si tangan kekar tadi, tiada lain adalah Rendi, kakaknya yang tadi sempat terpisah saat menjemput ke sekolahan sebelum terjadi peristiwa memilukan itu.
Namun, belum sempat Sita berkata. Kembali bertubi-tubi belati dari si tangan kekar, menghujamkan ke punggung Rendi. Darah segar mengalir di punggungnya, membuat ia terkulai memeluk Sita yang sudah tidak berupa layaknya seorang gadis.
“Sial! Siapa suruh elu halangi gua habisin gadis ini! Nih akibatnya, halangin apa yang mesti gua musnahin! Minggir lu! Sekarang giliran adik lu, yang gua habisin!” teriak si tangan kekar, saat menusuk tubuh Rendi untuk ke sekian kalinya yang sudah terkulai di depan tubuh Sita.
Belum sempat si tangan kekar menyingkirkan tubuh Rendi, yang terkulai di depan Sita. Tiba-tiba dari arah luar parkiran, terdengar teriakkan ke arah mereka.
“Woy! Lepasin mereka! Dasar biadab! Hiiaatt ...!” teriak seorang laki-laki bertubuh gempal, seraya berlari membawa sebatang kayu ke arah tiga berandalan, yang sedang memperlakukan kedua bersaudara di depan mereka layaknya binatang buruan.
Mendengar teriakan dari arah luar parkiran. Ketiga laki-laki biadab tampak beringas, dan bersiap menyerang ke arah si laki-laki dengan tongkat panjang di tangannya. Terjadilah perkelahian di antara meraka, sehingga membuat ketiganya lari tunggang langgang, meski berhasil membuat si laki-laki tongkat panjang berdarah di bagian lengan dan pelipis matanya.
Merasa dirinya berhasil menghalau ketiga laki-laki biadab. Dengan terengah, si laki-laki tongkat panjang yang berhasil merampas sebuah liontin berbentuk persegi yang terbuat dari plat baja, sebelum mereka kabur. Langsung mendekati Sita juga Rendi, yang sudah terkulai tidak berdaya.
“Kalian enggak apa-apa?!” Si laki-laki tongkat panjang, terlihat cemas dengan keadaan Sita dan Rendi yang tampak seperti layaknya binatang buruan tanpa terlihat rupanya.
“Engh ..., Pa—Paman! Ak—aku, sudah enggak ku—kuat. Ja—jagain, Si—Sita ...!” desah Rendi yang terkulai tanpa daya, mengembuskan napas terakhirnya di hadapan Sita dan si laki-laki bertongkat panjang yang tiada lain adalah paman mereka.
“Ya Tuhan ... maafkan pamanmu ini, Rendi—Sita! Paman enggak bisa menjaga kalian, saat peristiwa ini terjadi terhadap kalian!” Tatapan si paman terlihat cemas, dengan keadaan kedua keponakannya itu.
“Tadi, paman denger kabar dari beberapa teman kalian, kalau kakak kalian Remi tewas dalam peristiwa ini. Langsung paman cari kalian, saat beberapa pihak berwajib sedang menangani daerah sini. Maaf, paman enggak tau akan seperti ini jadinya,” ungkap si paman Sita, dengan cemas dan berkaca-kaca yang tampak menahan air mata, saat melihat keadaan kedua keponakannya yang sudah tidak berupa seperti layaknya manusia itu.
“Kak Ren—Rendi! Jangan tinggalin Sita, Kak! Si—Sita sama siapa, Kak ...!” Sita terlihat semakin terpukul melihat Rendi kakaknya, terkulai tidak bernyawa lagi. “Pa—Paman, Gilang ...! Si—Sita enggak kuat lagi, Pa—Paman. Heks ...! Si—Sita ....”
“Tahan, Sita. Paman akan bawa kamu ke rumah sakit terdekat, biar dapat perawatan! Ren—Rendi! Kamu ... ah, sialan! Mereka bunuh Rendi juga. Sita! Ayo, kita keluar dari daerah sini! Biar kerusuhannya enggak meluas! Paman akan bawa kamu sama Rendi keluar daerah sini. Kayaknya di luar sana, keadaannya masih ricuh!” Si laki-laki dengan tongkat panjang, tiada lain adalah Gilang paman dari Sita dan Rendi itu tampak cemas, seraya melihat-lihat situasi di sekitar area parkir, sebab masih terdengar ricuh oleh teriakan beberapa mahasiswa yang berusaha mencari tempat aman di dalam gedung.
Dengan tatapan tajam, menelusuri area parkir. Paman Gilang yang bertubuh gempal, tampak mencari sebuah mobil tidak jauh dari tempat Sita dan Rendi tergeletak. Dengan sigap dan memukulkan tongkat di tangannya. Ia memecahkan sebuah kaca mobil sedan berwarna hitam. Dengan tergesa, mencoba menyalakan mobil tersebut kemudian membopong tubuh Sita yang sudah ditutupi baju dan jaket yang tadi terserak. Lalu mengangkat tubuh Rendi masuk ke mobil, meski sudah tidak bernyawa. Tidak lama kemudian, ia memacu mobil sedan itu keluar parkiran dan menerobos kericuhan yang masih terlihat di luar gedung.
*****
@AjengFani28 Halo, terima kasih suah berkenan mampir dalam cerita ini, ya. Cerita ini sedang proses dulu, Mba. Soalnya sedang menyelesaikan yang judulnya "IMPIANKU" dulu. Nanti dilanjut, ya. :)
Comment on chapter Episode 1