Episode 1
Dilahirkan dari keluarga etnis—khususnya etnis Jepang, bukanlah keinginan dari Sita Anggraeni. Sebab sudah menjadi garis takdir dari Yang Maha Kuasa, bagi gadis muda yang baru menginjak usia 16 tahun, dengan rambut hitam mengkilat sebatas punggung, mata cokelat berbinar meski sedikit sipit, tetapi masih mencirikan keturunan dua negara yaitu Jepang dan Indonesia. Seorang ayah yang berasal dari Bandung-Jawa Barat, sedangkan ibu berasal dari Jepang, setidaknya masih ada darah keturunan sebagai bangsa asli pribumi bagi gadis yang menginjak bangku kelas dua sekolah tingkat atas itu.
Sita yang lahir dari keluarga pengusaha toko elektronik, khususnya komputer di wilayah Menteng-Jakarta. Memiliki beberapa tanah warisan sang kakek, sebagai darah keturunan Jepang di wilayah Bandung, dan kini menjadi milik sang ayah bernama Ali Murtapa atau biasa dipanggil Koh Ali, dan ibu bernama Ci Lingling. Sebab warga di sekitar wilayah Mentang, memberi julukan tersebut kepada sang ayah dan ibunya. Mungkin dikarenakan keluarga sang ibu dari garis keturunan etnis Cina walau pun aslinya dari Jepang. Seorang pria setengah baya yang memiliki tiga anak, dua perempuan dan satu laki-laki yang salah satunya adalah Sita sebagai anak bungsu.
Meski Sita terlahir sebagai anak terakhir, tidak membuatnya manja dan selalu mendapat perhatian dari kedua kakak serta orang tua. Remi Larasati kakak pertamanya, yang berusia 20 tahun dan sedang menjalani kuliah di universitas Trisakti jurusan hukum, selalu mengajarkan ia menjadi seorang gadis tangguh dan memiliki prinsip.
Pernah suatu hari Sita diejek oleh teman sekolahnya sewaktu masih SD, hanya karena saat itu keluarganya masih belum sesukses saat ini. Tas sekolah warna biru tua sedikit kusam bekas Remi—sang kakak, yang masih layak pakai, dicoret-coret oleh salah satu temannya dengan sebuah tulisan, “Sita jelek, kayak bebek! Keluarga sipit, kagak bisa melek lu!”
Hal itu membuat Remi sang kakak geram, dan mengajarkan Sita untuk membela diri. Walaupun teman-temannya hanya sekedar bercanda, dan terkadang menjadi bahan lelucon mereka saat di kelas. Sita sendiri merupakan anak cerdas, selalu mendapat peringat teratas dari sejak SD hingga masuk SMP, meski sifat pendiamnya yang kerap menjadi bahan ejekan.
“Kalau kamu diejek, jangan tinggal diam, Dek! Kita ini memang keluarga enggak punya, tapi mesti punya prinsip! Bercanda boleh, tapi harus pada tempatnya!” geram Remi, saat melihat tas milik Sita penuh coretan mengenai dirinya juga keluarga.
Sita hanya bisa menangis, karena tas satu-satunya pemberian Remi sang kakak, menjadi lebih kusam karena terdapat coret-coretan dari teman-teman sekolahnya. Kalau sudah seperti itu, Rendi kakak keduanya ikut membela saat di sekolahan keesokan harinya.
Rendi kakak kedua Sita, yang kerap membuat onar meski membela sang adik, harus sering dipanggil oleh guru BP ke kantor. Sementara Ci Lingling—sang ibu, kerap bolak-balik ke sekolah menangani setiap kasus kenakalan anak keduanya itu.
“Kamu ini mau jadi apa nantinya, Ren?! Mama udah pusing sama kelakuan kamu! Lagi-lagi ribut, lagi-lagi bikin onar! Mau sampai kapan kalian terus kayak gini?! Kita ini orang enggak punya. Usaha papa kalian belum bisa mencukupi, kalau mesti bayarin biaya pengobatan anak-anak korban kenakalan kamu ini, Ren!” seru Ci Lingling, wanita setengah baya dengan rambut mulai beruban, saat pulang dari sekolah setelah dipanggil oleh guru untuk bertanggung jawab atas kejadian pengeroyokan, yang dilakukan Rendi terhadap beberapa anak yang kerap mengganggu Sita sang adik.
“Mereka duluan yang nyari gara-gara, Ma! Siapa suruh ngeledek Sita! Sebagai kakak, masa Rendi diam aja kalau adiknya diganggu!” Rendi tidak mau kalah dengan omelan Ci Lingling ibunya.
Muka Rendi terlihat kusut, dengan beberapa luka lebam di wajah akibat berkelahi dengan teman-teman sekolah.
“Kamu ini, kalau dibilangin sama orang tua selalu ngebantah! Sudah, besok-besok kalau masih kayak gini. Mama udah enggak mau peduli lagi. Mau kamu ditangkap polisi, atau dihukum guru di sekolahan. Terserah kamu! Biar entar Paman Gilang yang urusin semuanya. Mama udah pusing bantu papa kalian di toko, yang baru kita rintis. Ditambah ulah kamu!”
“Sudah, Ci. Anak-anak memang suka seperti itu, kalau dalam masa mencari jati diri. Dulu saya juga kayak mereka, kan? Ci tau sendirilah, gimana kerasnya kehidupan kita dulu. Sekarang biar mereka tumbuh, segimana seharusnya. Selama saya masih bisa bantu di sini, pasti saya bantu urusan si Rendi juga.” Paman Gilang yang baru datang dari kios, mencoba menenangkan hati Ci Lingling kakaknya itu saat melihat ia memarahi Rendi.
Paman Gilang ini adalah adik dari Ci Lingling. Bertubuh gempal, mata sipit, dengan kulit sedikit hitam akibat sering terkena matahari, mungkin karena profesinya yang selalu mengendarai sepeda motor mengantarkan setiap pesanan barang elektronik di toko Koh Ali kakak iparnya itu.
“Ah, kamu selalu belain mereka, Lang. Jangan samain kehidupan kita dulu, sama mereka. Sekarang bukan zamannya lagi, segala sesuatu harus diselesaikan dengan otot. Udah, urusan Rendi saya serahin ke kamu. Saya udah capek sama kelakuannya.” Ci Lingling beranjak dari hadapan Rendi anak keduanya, saat Paman Gilang tiba ke rumah mereka.
“Ya udah, biar Rendi saya kasih tau entar, mesti gimana dalam bersikap. Sekarang nih, beberapa pesanan yang mesti disetujui olehmu. Habis ini saya mesti ke Jatinegara anterin pesanan pelanggan toko. Koh Ali udah nungguin di sana,” balas Paman Gilang seraya menyerahkan beberapa kertas nota berisi pesanan,kemudian mencoba mendekati Rendi yang sedang mengompes wajah lebamnya dengan kain. “Gimana, Jagoan? Ribut lagi di sekolah, ya? Hahaha,” sambungnya disertai tawa seraya memeriksa kondisi Rendi yang tampak meringis menahan sakit.
“Saya ke toko dulu kalau gitu, Lang. Tuh, kamu urusin ponakanmu itu biar tau rasanya kalau suka mukulin anak orang. Ayo, Sita. Ikut mama bantuin papa di toko. Biarin Kak Rendi diurus sama Paman Gilang.” Setelah meredam emosi, Ci Lingling beranjak meninggalkan rumah diikuti Sita.
Seperti itulah masa lalu Sita, Rendi, juga Remi saat keluarganya masih dalam keadaan susah. Sebelum Koh Ali sang ayah mendapat warisan dari Pak Sarman ayah Ci Lingling, kakek mereka di Bandung lima tahun yang lalu. Sedangkan Gilang sang paman, yang saat itu membantu usaha Koh Ali di toko elektronik yang baru mereka rintis. Selalu menjadi tulang punggung, di toko yang letaknya tidak jauh dari pusat pertokoan kawasan Mentang, sebelum peristiwa tragis yang merenggut keluarga Sita hari itu.
*****
@AjengFani28 Halo, terima kasih suah berkenan mampir dalam cerita ini, ya. Cerita ini sedang proses dulu, Mba. Soalnya sedang menyelesaikan yang judulnya "IMPIANKU" dulu. Nanti dilanjut, ya. :)
Comment on chapter Episode 1