Read More >>"> Princess Harzel (Kekecewaan Terdalam) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Princess Harzel
MENU
About Us  

Silahkan berlari. Tapi jangan terlalu kencang, ya! Jujur saja aku tidak kuat mengimbangimu. Hingga ketika aku lelah. Aku memutuskan berbalik arah. Putar haluan. Tidak mengikutimu lagi. Aku menyerah!—Princess Harzel.

***

“Setelah perbannya dibuka, matanya juga dibuka pelan-pelan ya,” intruksi dokter, kemudian membuka perban yang menutupi kedua mata Harzel secara perlahan.

            “Gugup!!” Teriak Harzel sembari tertawa girang. Bisa melihat lagi merupakan anugrah terindah baginya dan selanjutnya, ia harus berlatih agar bisa berjalan kembali.

            Sinta menepuk bahunya pelan, “Buka pelan-pelan, ya.”

            Harzel membuka sepasang matanya perlahan.

            Gadis itu mampu melihat setitik cahaya. Kemudian, setitik cahaya itu perlahan membesar membentuk bayangan buram. Bayangan buram itu kemudian menampakkan pemandangan samar-samar. Pemandangan kamar rumah sakit dan orang-orang yang berarti di hidupnya—tengah tersenyum bahagia.

            Harzel mengedarkan pandangannya. Ada Mama, Papa, Liana, Sasha, Faraz, dan Bimo. Gadis itu juga takjub melihat ruangan sekelilingnya yang telah di hias menyambut hari ulang tahunnya. Sungguh! Kebahagiaan yang tak bisa dibendung.

            Sinta menyodorkan kue ulang tahun yang lilinnya menyala. Kue itu tampak kusam—seperti dibasahi air hujan. Terdapat titik-titik air disana.

            “Tiup dulu!”

            Harzel tersenyum sumringah, kemudian meniupnya.

            Ia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. 2 orang yang berarti dalam hidupnya tidak hadir disini.

            “Revan sama Sella mana?” tanya Harzel mendelik heran. Kemudian mengingat sesuatu. Gadis itu tertunduk sedih, “Okelah. Mungkin Sella masih marah sama aku. Tapi Revan??”

            Sinta berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis ketika Harzel menanyakan keberadaan Misella. Mereka terdiam. Cukup lama.

            “Mereka keluar sebentar, Zel. Revan kecapek’an jagain lo terus,” jawab Keyla. Tentu saja berbohong, “Tapi Revan yang pertama menyambut ulang tahun lo. Sayangnya, lo belum sadar.”

            Harzel mengangguk. Ia mengerti.

            Dan satu minggu kemudian. Harzel tetap menunggu. Namun mereka tak pernah datang.

***

            “Apanya yang keluar sebentar, Ma?” tanya Harzel kepada Sinta, sewaktu gadis itu telah diperbolehkan untuk pulang ke rumah.

            Arga menaruh tubuh Harzel di atas ranjang kamarnya, “Untuk sementara waktu, kamu tidur sama Mama dulu. Biar Papa yang tidur diatas.”

            “Iya, Pa,” Harzel mengangguk, “Tapi kemana Revan dan Sella?”

            “Mereka pasti datang buat jenguk kamu,” jawab Sinta sembari tersenyum yang dipaksakan.

            Cukup! Sinta tak mau Harzel terluka lagi.

            Melihat kenyataan kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan kapal, membuat gadis itu menangis histeris. Ia tak mau Harzel merasakan kepahitan untuk kedua kalinya.

            “Mama menyembunyikan sesuatu?” tanya Harzel menatap Sinta kecewa.

            Mata wanita itu berkaca-kaca. Sekali kerjapan saja, air bening itu mengalir tanpa bisa dicegah.

            “Mau mama menyembunyikan kenyataan ini 1000 tahun pun, kenyataan tetep kenyataan!” Ujar Harzel dengan volume besar. Ia menatap Sinta sembari melotot, “Aku sudah 17 tahun, Ma! Aku bukan anak kecil lagi. Kemana Revan? Kemana Misella?” Harzel menarik nafasnya yang memburu, “Revan nggak pernah ninggalin aku sedetik pun selama aku sakit. Aku tau itu!”

            “Tapi kenyataannya dia pergi!” Tukas Sinta. Air matanya tak bisa dibendung lagi.

            Wanita itu terisak cukup lama. Arga hanya bisa merangkul istrinya. Menenangkan. Lelaki itu bahkan tak bisa berkata apa-apa.

            “Revan kemana, Ma? Apa dia ninggalin aku?” tanya Harzel dengan mata yang berkaca-kaca. Firasat buruk sontak menghunus benaknya.

            Sinta mengusap air matanya, “Mama nggaktau. Yang jelas dia pergi. Dan Mama nggak mau kamu larut dalam kesedihan,” tuturnya di sela isak tangis, “Yang jelas, masa depan kamu masih panjang.”

            “Apa alasan Revan ninggalin aku?” tanya Harzel. Gadis itu mengerjapkan matanya, hingga bulir air bening itu mengalir begitu saja. Dadanya sesak.

            “Dia nggak bilang apa-apa.”

            Harzel mengusap air matanya. Rasa kecewa memenuhi benaknya. Revandira Papinka—cinta pertamanya—mengkhianati kepercayaannya. Meninggalkannya tanpa alasan yang jelas. Entah bisikan darimana, gadis tega itu menyimpulkan sendiri alasan Revan meninggalkannya.

            “Wajar kok. Maklum. Harzel sekarang lumpuh. Sedangkan Revan? Dia ganteng, normal, dan bisa ngelakuin apapun yang dia suka. Dia juga bisa dapetin cewek cantik mana pun,” Harzel menyeka air matanya yang hendak keluar, “Nggak semua omongan laki-laki bisa dipercaya!”

            Harzel menghela nafas panjang, “Okelah, kisah Revan aku tutup,” Gadis itu menatap Sinta dan Arga dengan raut wajah setenang mungkin, “Dan Sella? Dimana dia?”

***

            Setelah terisak di pusara Misella, Harzel mampu menenangkan diri dengan sisa-sisa kesedihan yang memenuhi wajahnya.

            Ia menatap batu nisan yang tertulis jelas. Nama orang yang selama ini menemani hidupnya. Orang yang selama ini berperan sebagai saudara sekaligus sahabatnya.

            Ratu Misella.

            “Apa ini bentuk perminta-maafan elo?” Harzel menatap batu nisan itu tajam. Semburat rasa kecewa tak bisa ia bendung dari wajahnya.

            “Kenapa elo nggak usaha cari donor mata buat gue? Kenapa lo justru menyerahkan hidup lo buat gue?” tanya Harzel dengan suara serak, “Gue pengen lo meluk gue dan bilang ‘maaf’..”

            Harzel mengusap air matanya. Jujur saja, ia kecewa. Kecewa karena dua orang yang berarti dalam hidupnya—tega meninggalkan dirinya.

            Setelah menenangkan diri, Harzel mengusap batu nisan Misella sembari tersenyum yang dipaksakan.

            “Sebagai tanda terima kasih, gue bakal jaga mata kita baik-baik.”

            Kemudian.. Harzel berserta mama dan papanya pergi tanpa menoleh ke belakang.

***

            Harzel menatap kado yang Revan berikan untuknya—sebelum lelaki itu pergi meninggalkannya.

            Tiga buah novel fantasi kesayangannya—yang tidak bisa ia beli karena harganya mahal. Sebuah Dream Catcher. Dan kotak musik berwarna perak. Di dalamnya terdapat dua pasangan yang sedang berdansa ketika kotak musik itu dinyalakan. Tak lupa, gadis itu melirik bucket bunga pemberian Revan yang telah layu.

            Harzel terperangah melihat kotak kecil yang belum sempat ia buka. Gadis itu membukanya. Terdapat kalung bertuliskan ‘Tiara Olinien’, selembar foto, dan secarik surat.

            Gadis itu melirik foto kecil Revan. Entah mengapa lelaki itu memberikan foto dirinya. Kemudian Harzel melirik secarik surat dari Revan, lalu membacanya.

            Selamat Ulang Tahun, gadis lincah.

            Jangan lupa traktiran.

            Harzel mendengus. Seharusnya ia tertawa membaca surat ini dan berjanji akan mentraktir lelaki itu di restoran mahal. Namun angan-angannya sia-sia, ia menatap surat itu dengan sesak dan kecewa.

            Harzel melemparkan surat itu dengan kasar.

            “Bulshit!

            Gadis itu rebah di atas ranjang milik Sinta. Sinta hanya bisa memperhatikan putrinya dengan tatapan sedih. Namun wanita itu berjanji akan membawa Harzel keluar dari masa-masa kelam.

Harzel terlalu manis untuk menderita. Fikirnya.

Namun jauh dalam lubuk hati Harzel, ia kecewa. Kecewa telah memberikan hati sepenuhnya pada Revan. Telah menjatuhkan harapan. Dan terlalu menyayangi lelaki itu.

***

            Satu bulan penuh Harzel melatih kakinya untuk berjalan. Satu bulan penuh pula ia berharap lelaki itu kembali. Namun harapannya sia-sia. Perasaan yang melandanya sedikit aneh, terkadang merindukan lelaki itu, terkadang juga membencinya.

            Seringkali Harzel menangis diam-diam. Pertahanannya runtuh ketika Revan tak ada. Seakan-akan Revan membawa sepotong hatinya pergi. Dan gadis itu tak sama lagi seperti dulu. Harzel mendengus. Bodoh!. Terkadang gadis itu mencaci dalam hati, membenci lelaki itu. Berfikir realistis dengan logika. Omongan laki-laki tidak bisa dipegang sepenuhnya!

            Perasaan cinta, rindu, sepi, sesak, mencekam, dan benci menyatu jadi satu. Aneh. Membuat Harzel tersiksa. Sekali lagi ia menenangkan diri. Harus realistis!

            Revan benar-benar menghilang tanpa kabar. Adrian juga hilang. Tak ada yang terlihat. Hingga pernah ketika malam hari, Harzel merindukan lelaki itu. Rasa kecewanya tiba-tiba hilang. Ia menuliskan pesan singkat di email Revan. Berharap jika lelaki itu masih mencintainya maka ia akan kembali menjemputnya. Namun jika tidak, Harzel tidak peduli. Gadis itu hanya ingin memberi tahu bahwa ia lelah. Sangat lelah.

            Aku melihatmu berlari. Jauh. Sangat jauh.

            Dan aku terdiam. Berhenti. Kelelahan. Istirahat sejenak.

            Namun nyatanya, aku memutuskan untuk berhenti pada titik ini. Sudah cukup!

            Aku meneriakimu dalam hati.

            “Silahkan berlari, tapi jangan terlalu kencang ya.

Jujur saja, aku tidak kuat mengimbangimu”

Hingga ketika aku lelah. Aku memutuskan berbalik arah. Putar haluan.

Menangis dalam diam. Tak mau mengikutimu lagi. Aku menyerah.

            Kecuali jika kau sudi berbalik. Mencariku. Menemukanku. Mengikutiku.

            Hingga berada di sebelahku dan berbisik,

            “Kembalilah, aku akan berjalan lebih pelan.”

            Dan detik ini.. rumah masa kecilnya. Rumah dimana ia bertemu Revan dan ketahuan menari ballet di balik gorden akan dijual. Tak ada yang tersisa. Termasuk Misella yang kini tinggal kenangan. Dan hanya bisa menatap foto gadis itu dikala rindu.

            “Siap?” tanya Arga setelah Harzel dan Sinta duduk manis dalam mobil.

            Harzel dan Sinta mengangguk. Mobil melaju. Menuju rumah baru mereka di kota yang sangat jauh—Samarinda. Karena Arga kebetulan dinas disana. Dan Harzel memutuskan untuk kursus toefl dan intensif, mempersiapkan diri untuk kuliah.

            Selamat tinggal Depok. Selamat tinggal rumah masa kecil. Selamat tinggal kenangan. Selamat tinggal Misella. Dan.. Selamat tinggal Revan.

            Tanpa bisa ia cegah, Harzel kembali terisak dalam diam. Ia teringat kata-kata yang ia lontarkan pada malam Prom Night.

“Tapi, kenapa gue ngerasa.. Gue ngerasa seakan-akan.. ini adalah terakhir kalinya gue ngeliat elo.”

            Dan gadis itu menyesal telah mengucapkan kata yang kini menjadi kenyataan. Karena malam itu.. adalah malam terakhir ia melihat Revan.

***

            Harzel menggenggam salah satu novel yang diberikan Revan padanya—di ketinggian 12.000 meter. Tanpa membacanya sama sekali. Gadis itu justru menatap langit berawan dan gelap dari kaca pesawat—yang akan membawanya ke Sydney, Australia—untuk melanjutkan studi. Pandangannya kosong.

            Namun dalam hati, ia bertanya-tanya..

            Apa kabar Revan?

            Dari lubuk hati.. ia berharap lelaki itu mencarinya.

***

            Tanpa Harzel sadari, lelaki yang selama ini ia nanti—termenung di atap rumah barunya di Turkey. Lelaki itu menarik nafas panjang. Wajahnya menampakkan kelelahan. Kepalanya dipenuhi pahit-getir hidup yang melandanya serentak. Ia lelah.

            Semuanya tidak baik-baik saja.

            Mamanya selamat namun lumpuh total. Keadannya benar-benar buruk. Perusahaan milik keluarga Mamanya bangkrut seketika. Membuat keuangannya menipis drastis. Keluarga Dewi Annisa terpaksa bekerja lebih keras. Turun tangan. Dan Adrian yang tengah sibuk menulis skripsi—terpaksa menunda pekerjaannya demi menyelamatkan perusahaan Dewi Annisa yang sedang terancam. Semuanya kacau. Bahkan Revan sendiri sama seperti dugaan sebelumnya, tak punya masa depan. Dan tak berani bermimpi. Bahkan ia belum terfikir melanjutkan studi. Saat ini, lelaki itu hanya perawat. Merawat mamanya sebisa mungkin demi membayar rasa bersalahnya.

            Dan sekalipun.. Revan tak pernah absen memikirkan Princess Harzel. Apa kabarnya? Apakah gadis itu masih merindukannya? Atau bahkan membencinya? Ia tak tahu. Lelaki itu pilu membaca e-mail dari Harzel tanpa bisa ia balas. Lebih tepatnya tak mau membalas. Tak mau membawa Harzel ke dalam hidupnya yang kelam. Ia hanya meminta gadis itu bahagia. Entah bersamanya atau tidak. Ia tak peduli.

            “Mungkin takdir belum mengizinkan kita untuk ketemu,” ujar lelaki itu. Menguatkan dirinya sebisa mungkin.

            Kemudian Revan melangkah gontai memasuki rumahnya. Ia yakin, semuanya belum berakhir. Hanya saja tidak sekarang. Namun ia berkomitmen akan terus berusaha. Berusaha memperjuangkan perasaannya. Memperjuangkan cintanya.

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • dede_pratiwi

    seperti lagi baca novel terjemahan. hehe. bahasanya enak dan mudah dipahami. udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu

    Comment on chapter PROLOG
Similar Tags
Be My Girlfriend?
14142      2204     1     
Fan Fiction
DO KYUNGSOO FANFICTION Untuk kamu, Walaupun kita hidup di dunia yang berbeda, Walaupun kita tinggal di negara yang berbeda, Walaupun kau hanya seorang fans dan aku idolamu, Aku akan tetap mencintaimu. - DKS "Two people don't have to be together right now, In a month, Or in a year. If those two people are meant to be, Then they will be together, Somehow at sometime in life&q...
My Sunset
6370      1353     3     
Romance
You are my sunset.
Aku menunggumu
4536      955     10     
Romance
Cinta pertamaku... dia datang dengan tidak terduga entahlah.Sepertinya takdirlah yang telah mempertemukan kami berdua di dunia ini cinta pertamaku Izma..begitu banyak rintangan dan bencana yang menghalang akan tetapi..Aku Raihan akan terus berjuang mendapatkan dirinya..di hatiku hanya ada dia seorang..kisah cintaku tidak akan terkalahkan,kami menerobos pintu cinta yang terbuka leb...
For Cello
2550      883     3     
Romance
Adiba jatuh cinta pada seseorang yang hanya mampu ia gapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang ia sanggup menikmati bayangan dan tidak pernah bisa ia miliki. Seseorang yang hadir bagai bintang jatuh, sekelebat kemudian menghilang, sebelum tangannya sanggup untuk menggapainya. "Cello, nggak usah bimbang. Cukup kamu terus bersama dia, dan biarkan aku tetap seperti ini. Di sampingmu!&qu...
My Sweety Girl
10088      2268     6     
Romance
Kenarya Alby Bimantara adalah sosok yang akan selalu ada untuk Maisha Biantari. Begitupun sebaliknya. Namun seiring berjalannya waktu salah satu dari keduanya perlahan terlepas. Cinta yang datang pada cowok berparas manis itu membuat Maisha ketakutan. Tentang sepi dan dingin yang sejak beberapa tahun pergi seolah kembali menghampiri. Jika ada jalan untuk mempertahankan Ken di sisinya, maka...
Untuk Reina
23211      3315     30     
Romance
Reina Fillosa dicap sebagai pembawa sial atas kematian orang-orang terdekatnya. Kejadian tak sengaja di toilet sekolah mempertemukan Reina dengan Riga. Seseorang yang meyakinkan Reina bahwa gadis itu bukan pembawa sial. Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada Riga?
Love Never Ends
10395      2050     20     
Romance
Lupakan dan lepaskan
Grey
195      163     1     
Romance
Silahkan kalian berpikir ulang sebelum menjatuhkan hati. Apakah kalian sudah siap jika hati itu tidak ada yang menangkap lalu benar-benar terjatuh dan patah? Jika tidak, jadilah pengecut yang selamanya tidak akan pernah merasakan indahnya jatuh cinta dan sakitnya patah hati.
Arion
972      549     1     
Romance
"Sesuai nama gue, gue ini memang memikat hati semua orang, terutama para wanita. Ketampanan dan kecerdasan gue ini murni diberi dari Tuhan. Jadi, istilah nya gue ini perfect" - Arion Delvin Gunadhya. "Gue tau dia itu gila! Tapi, pleasee!! Tolong jangan segila ini!! Jadinya gue nanti juga ikut gila" - Relva Farrel Ananda &&& Arion selalu menganggap dirinya ...
ADITYA DAN RA
16023      2620     4     
Fan Fiction
jika semua orang dapat hidup setara, mungkin dinamika yang mengatasnamakan perselisihan tidak akan mungkin pernah terjadi. Dira, Adit, Marvin, Dita Mulailah lihat sahabatmu. Apakah kalian sama? Apakah tingkat kecerdasan kalian sama? Apakah dunia kalian sama? Apakah kebutuhan kalian sama? Apakah waktu lenggang kalian sama? Atau krisis ekonomi kalian sama? Tentu tidak...