Read More >>"> Princess Harzel (Penyesalan Terbesar) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Princess Harzel
MENU
About Us  

Dia tidak jahat, hanya saja ia tersesat. Dia memilih cara yang salah dalam menghadapi kenyataan. Namun aku percaya, setiap manusia bisa menyesal kemudian berubah—Princess Harzel.

Aku tahu ini gila. Namun jika kegilaanku mampu mengembalikan separuh hidupnya yang telah kurenggut. Aku rela—Sang Pembenci Rahasia.

***

Revan terduduk di koridor rumah sakit. Sendiri. Sunyi. Senyap. Tanpa siapapun. Ia membenamkan wajah di kedua lutunya. Menangis sejadi-jadinya.

            Didepan matanya—untuk kedua kali—ia menyaksikan darah mengucur deras dari kepala Harzel. Gadis itu.. gadis yang sama 10 tahun yang lalu. Gadis yang hanya bisa meringis menahan sakit sembari memejamkan mata. Setiap ringisannya, relung hati Revan teriris. Ia tak tahan.

            Tak ada orang disana selain ia dan Misella ketika itu. Tanpa fikir panjang, lelaki itu turun bak kesetanan. Hendak mengangkat tubuh Harzel yang pucat dan melemas. Sebelum Revan berdiri mengangkatnya, gadis itu meremas lengan tuxedo Revan lembut. Harzel masih memiliki kesadaran meski hanya 5 persen.

            “Sell.. Sella..” Harzel meringis beberapa kali tanpa bisa menahan tangis kesakitannya, “Cegah.. cegah dia..”

            Revan tak menggubris. Ia melepaskan tuxedonya dengan cepat, lalu membalutkannya di kepala Harzel yang mengucurkan darah segar seperti ember bocor. Lelaki itu mengangkat Harzel lalu berlari membawa Harzel seperti kesetanan. Menuruni anak tangga dengan cepat. Sangat cepat. Beberapa kali Harzel menyebut nama Misella selama perjalanan ke rumah sakit.

            “Dia nggakpapa..” ujar Revan menenangkan, “Lo juga harusnya begitu..”

            Sayangnya. Gadis itu tak dapat mendengarnya lagi.

            Revan mengangkat wajahnya. Mengusap air matanya berkali-kali. Di pojok koridor kamar mayat rumah sakit.  Sendirian. Membuatnya tak dapat menghentikan tangis.

            Ia menatap kemeja putih yang ia kenakan. Terdapat bercak merah dimana-mana dengan bau darah yang masih segar.

            Revan masih ingat setiap inchi perkataan Harzel yang menandakan sebuah firasat. Sebuah firasat yang membuat Revan menjerit sekeras-kerasnya.

“Tapi, kenapa gue ngerasa.. Gue ngerasa seakan-akan.. ini adalah terakhir kalinya gue ngeliat elo.”

***

            Misella yang bersandar lemas di depan Unit Gawat Darurat, hanya bisa mendengar tangisan demi tangisan histeris dari mamanya, sekaligus tangisan dari ketiga sahabat perempuan Harzel.

            Ia tak bisa apa-apa.

            Terdapat secarik rasa puas.. namun juga terdapat penyesalan.

            “Kenapa kalian semua nggak tau kejadiannya??” tanya Sinta gusar. Berteriak.

            Semua hanya diam membisu. Tak bisa berkata apa-apa. Kejadian demi kejadian terjadi begitu saja.

            Saat itu terjadi rusuh dan keributan. Semua orang melihat Revan tengah mengangkat Harzel yang telah kehilangan kesadaran. Kemeja dan wajah Revan dipenuhi darah. Revan hanya menyeru Faraz untuk membawa mobil agar ia bisa menjaga Harzel sepanjang perjalanan. Namun ternyata, hampir seluruh siswa yang tengah memeriahkan prom night melaju ke rumah sakit. Acara yang tadinya menyenangkan itu langsung terhenti.

            Setelah memastikan Harzel berada di UGD, Revan meninggalkan segalanya tanpa berkata apa-apa. Kini tak ada yang tahu dimana keberadaan Revan. Tak ada pula yang peduli dimana keberadaannya, kecuali Faraz.

            Faraz melirik ke arah Misella yang termenung dengan tatapan kosong. Ia mendekati gadis itu sedekat-dekatnya, lalu berbisik lirih sembari menggertakkan gigi.

            “Puas lo?”

            Lamunan Misella buyar mendengar pertanyaan pelan namun menusuk. Faraz tak berkata apa-apa setelah itu. Lelaki itu langsung melangkah pergi.

***

            Revan masih menenggelamkan diri dalam kesedihannya. Ia tak dapat berfikir jernih. Otaknya membeku. Hanya satu yang ia rasakan saat ini. Sakit. Terdapat rasa sesal dalam hatinya yang kemudian menyesakkan. Revan selalu berhasil menyelamatkan Harzel dalam berbagai situasi—salah satunya menyelamatkan gadis itu saat disandung Ika. Lalu mengapa kali ini tidak? Mengapa kali ini ia tidak bisa menyelamatkan Harzel?

            Revan merasa dirinya payah, lemah, pengecut, dan banci. Tidak! Ia tak secerdas yang ia kira. Dan ia tak sekuat yang ia kira!

            Revan mendongakkan kepala ketika sesuatu menyentuh bahunya pelan. Dengan cepat, Revan mengusap air matanya dan bertingkah seolah tak ada apa-apa.

            “Jangan sok kuat depan gue, bro!” Tutur Faraz. Lelaki itu langsung berjongkok di sebelah Revan.

            Revan menggeleng, “Gue lagi pengen sendiri, Raz.”

            Faraz berdecak, “Gue nggak nyangka lo secemen ini!” Mendengar kata ‘cemen’ yang di lontarkan Faraz, Revan mendelik emosi. Namun Faraz segera melanjutkan, “Apa manfaatnya lo disini? Apa manfaatnya lo nangis? Cuma buang-buang waktu!” Faraz menghela nafas panjang, “Gue ngerti perasaan lo, Van. Tapi sebagai cowok gentleman, lo harus ngadepin masalah bukan malah kabur! Harzel nggak pengen lo kayak gini, nggak!”

            Revan tertunduk. Butuh waktu untuk mencerna kata-kata Faraz yang seratus persen benar. Setelah itu, Revan bangkit berdiri. Memutuskan untuk menghadapi segalanya, termasuk berbagai pertanyaan dari orang-orang tentang kejadian ini.

***

            Revan melirik Misella dengan tatapan murka. Gadis itu hanya bisa tertunduk dengan ekspressi menyesal. Entah menyesal sebenarnya atau hanya rekayasa. Yang Revan tahu, gadis itu sangat pandai memasang topeng.

            “Harzel pergi kesana buat nyari Misella,” tutur Revan dingin. Perkataannya sontak membuat Misella gugup, “Misella tiba-tiba pusing dan naik ke atas buat nyari angin. Harzel terpeleset karena tangganya cukup curam. Gue datang saat keadaan Harzel benar-benar buruk.”

            Misella menatap Revan. Cukup lama. Ia merasa lega karena Revan menutupi kejadian yang sebenarnya. Namun, apa maksudnya? Ia tak mengerti. Lelaki itu tetap memasang tatapan benci dan murka saat melihat wajahnya.

***

            Revan menatap Harzel dari kaca ruang ICU. Hari sudah menunjukkan pukul satu malam. Lelaki itu memutuskan untuk menjaga Harzel dan menyuruh tante Sinta—yang tiba-tiba terserang demam—istirahat di rumah.

            Ia tak bisa menangis lagi. Mungkin air matanya sudah kering melihat gadis itu terbaring lemas dengan berbagai selang yang menghujami tubuhnya. Terlihat menyeramkan. Keadaannya persis seperti 10 tahun yang lalu. Namun wajah Harzel tetap menampakkan ketenangan.

            Harzel mengalami pendarahan yang parah. Delapan kantong darah pun dihabiskan untuk keperluan transfusi. Karena sesampai dirumah sakit, darah tidak berhenti mengalir dari kepala Harzel.

            Kini Harzel tengah mengalami koma. Melihat riwayat Harzel yang pernah mengalami benturan keras di kepala, dokter sendiri tidak yakin keadaan Harzel akan sama lagi seperti kemarin. Bahkan.. dokter sendiri tidak bisa menjamin apakah gadis itu masih bisa diselamatkan atau tidak.

            Diam-diam.. Revan mendengar segala pembicaraan dokter dan Papa Misella—yang baru saja izin pulang dari dinas—setelah mengetahui keadaan putrinya.

            Dalam hati Revan berdoa..

            Jika aku diberi kesempatan untuk meminta, izinkan gadis itu kembali melihat dunia seperti sedia kala. Menikmati hidup seperti sedia kala. Dan periang seperti sedia kala. Aku tidak peduli apakah selanjutnya ia dapat melihatku lagi atau tidak, bersamaku lagi atau tidak.. Yang jelas, aku hanya ingin dia baik-baik saja. Hanya itu.

            “Lo istirahat aja,” Ujar seseorang yang membuyarkan renungannya. Revan tak menoleh sama sekali. Ia mengenal pemilik suara itu, “Biar gue yang nunggu disini.”

            Revan mendengus, “Kenapa? Lo mau nyabut impus Harzel biar dia cepat mati?”

            Misella menggigit bibir. Entah kenapa gadis itu dihantui rasa bersalah yang menyesakkan. Bahkan ia tidak tahu harus merespon Revan seperti apa.

            “Kenapa lo nggak bilang sama mereka kalo gue yang dorong Harzel?”

            “Gue pengennya seluruh dunia tau gimana lo sebenernya!” Tutur Revan dingin. Ia menatap Misella lekat-lekat. Gadis itu tertunduk. Tidak tahan dengan tatapan tajam Revan, “Tapi tidak dengan Harzel. Dia nggak akan mau ngeliat adiknya mendekam di penjara karena tindak kriminal!”

            Revan melengoskan tatapannya. Kembali menatap Harzel di balik kaca sembari menggertakkan gigi, “Sebaiknya lo pergi dari sini!” Revan menelan ludahnya, matanya mulai berkaca-kaca, “Sebelum gue dikuasai emosi karena lo masih disini. Gue sendiri nggaktau apa yang bakal terjadi kalo lo masih disini!!”

            Misella tidak bergeming. Ia tetap berdiri di samping Revan.

            “Pergi!!” Bentak Revan keras. Berusaha mengatur volume suaranya yang menggema di koridor ICU. Untung saja, tidak ada yang datang menegurnya atau mengusirnya dari sini.

            Misella berbalik. Berlari menelusuri koridor rumah sakit dengan hati yang sesak. Semakin ia berusaha menyakiti Harzel, semakin itu pula dirinya tersakiti akibat ulahnya sendiri. Puncaknya adalah sekarang. Tak lain, ia hanyalah gadis jahat dan hina yang tega membuat keadaan Harzel semakin memburuk.

            Ia menyesal.

            Bahkan kini, ia menangis tersedu-sedu di pojok ruangan rumah sakit yang sepi. Sama sekali tak mengurangi rasa sesaknya. Perginya Harzel dari hidupnya memang tujuan terbesarnya. Namun saat ini—jika Harzel benar-benar pergi—ia tak yakin bahwa ia dapat memaafkan dirinya sendiri.

***

            Selama satu minggu penuh. Harzel tak sadarkan diri, layaknya putri tidur—yang menunggu datangnya sebuah keajaiban—agar dapat membuatnya melihat dunia kembali. Dokter sudah memvonis, Harzel kehilangan penglihatan sekaligus keseimbangan kakinya.

            Harzel masih terpejam seperti biasanya. Kedua mata yang tertutup itu terlihat tenang. Bahkan Revan—yang sedari tadi duduk di sampingnya—hanya bisa tersenyum tipis sembari menatap wajah manis gadis itu yang kini pucat.

            “Enam hari lagi lo ulang tahun, kenapa lo belum bangun juga?” tanya Revan sembari menatap Harzel lekat-lekat.

            “Harzel?” Panggilnya lirih, “Gue kangen elo. Terutama, suara lo yang bikin gue pusing tujuh keliling.”

            Revan mendekatkan wajahnya perlahan.

            “Gue bakal kasih hadiah yang spesial. Lo mau?” Revan menyibakkan rambut Harzel yang menutupi telingannya.

            Lelaki itu berbisik pelan..

            “Aku cinta padamu.”

            Sayang, gadis itu tidak mendengarnya. Takkan pernah mendengarnya untuk waktu yang lama.

***

            Harzel menghembuskan nafas sesaknya berkali-kali. Setengah kesadarannya mulai pulih. Kepalanya terasa sakit. Sangat sakit. Ia tak bisa melihat apa-apa. Hanya kegelapan dan kegelapan.

            Seseorang menggenggam tangannya yang dingin akibat kegelisahan. Harzel mencengkram tangan itu tanpa bisa berbuat apa-apa. Mengeluarkan suara pun rasanya sangat sulit. Padahal, ia ingin berteriak sekencang-kencangnya.

            “Harzel?”
            Suara itu.. ia sangat mengenalnya. Namun ia lupa siapa pemiliknya. Harzel berusaha membelalakan matanya lebar-lebar. Ia yakin bahwa ia sudah melakukannya. Namun, mengapa semuanya gelap?

            Setelah menemukan suaranya kembali—yang sedari tadi tercekat—Harzel memecahkan tangisnya. Tangis yang menggambarkan keadaannya. Kepalanya yang sakit, pandangannya yang gelap, dan kakinya yang keram. Entah mengapa, ia merasakan goncangan yang sangat dahsyat. Meski gelap, sekelilingnya serasa berputar kencang.

            Harzel berteriak histeris. Berharap teriakan itu dapat mengurangi rasa sakitnya.

***

            Revan melirik Harzel dari kejauhan—setelah melepaskan genggaman tangannya karena dokter memintanya pergi. Gadis itu berteriak tanpa mengatakan apapun.

            Harzel kembali tertidur pulas ketika dokter memberikan gadis itu suntikkan berisi obat penenang.

            “Harzel belum sadar kalau matanya mengalami kerusakan. Itu sebabnya dia teriak,” Ujar Dokter kepada Arga, ayah Misella.

            Arga menghela nafas panjang. Revan yang berada di sebelah lelaki itu hanya bisa terdiam. Arga bertanya lirih, “Apakah Harzel akan buta selamanya?”

            Dokter mengangkat bahu, “Satu-satunya cara agar Harzel bisa melihat lagi adalah mencari donor mata yang cocok. Dan soal kelumpuhan kakinya.. itu masih bisa dilatih perlahan-lahan.”

            Baik Revan maupun Arga tak mengatakan apa-apa. Terdapat kepasrahan sekaligus rasa sedih di mata keduanya. Revan yang tak sengaja menoleh ke kiri, langsung bertatapan dengan Misella yang berdiri terpaku. Gadis itu mendengar langsung teriakan Harzel sekaligus ucapan dokter.

            Revan menatapnya penuh kebencian dan murka. Sepasang mata tajamnya mengatakan, ‘Lo penyebab semuanya!’

            “Sella, kemarilah!” Seru Arga.

            Gadis itu mendekat, “Iya, Pa?”

            “Kamu jaga Harzel ya,” pinta Arga, “Papa ada urusan. Jam 10 malem Papa kesini lagi.”

            Revan menimpali, “Saya ikut juga, Om.”

            “Kamu udah tiap hari disini, apa kamu nggak keberatan?” tanya Arga sembari memperhatikkan Revan yang masih mengenakan seragam sekolah.

            Revan menggeleng, “Nggak sama sekali, Om.”

***

            Harzel membuka matanya perlahan-lahan sembari menggerakkan jari-jari tangannya. Semuanya tetap sama seperti saat ia menemukan kesadarannya pertama kali. Hanya kegelapan yang ia lihat. Hanya saja, kepalanya tidak pusing seperti waktu itu.

            Seseorang mengecup keningnya lembut. Sembari mengusap rambutnya pelan, “Sayang, kamu sudah bangun??”

            Harzel mencoba mengenali suara wanita itu. Ia mengenalnya. Sangat mengenalnya. Wanita yang telah mengurusnya dengan kasih sayang selama 10 tahun lebih.

            Namun, ia ingat sesuatu... wanita itu bukanlah ibu yang melahirkannya.

            “Dimana Mama?” tanya Harzel sembari menggenggam erat tangan Sinta.

            Nafas Sinta tercekat mendengar pertanyaan Harzel. Apa maksudnya?

            “Harzel.. ini Mama!” Sinta mempererat genggaman tangannya.

            Harzel menggeleng, “Maksudku.. Mama kandungku!”

            Sinta terdiam sembari meneteskan air mata. Halilintar seakan-akan menghantam dirinya dalam sekejab. Bagaimana Harzel bisa tahu? Apakah ingatannya pulih? Tidak mungkin! 10 tahun yang lalu dokter mengabarkan bahwa amnesia yang di derita Harzel bersifat permanen.

Gadis itu bisa saja ingat sedikit karena terapi dan sering melihat sesuatu yang berhubungan dengan masa lalunya. Selama ini Sinta tidak pernah membawa Harzel terapi dan menjauhkan barang-barang kenangan masa lalu sebisanya dari Harzel. Alasannya hanya satu, tak ingin putrinya mengingat kejadian masa lalu yang kelam. Wanita itu terlanjur bahagia mengurus Harzel seperti anaknya sendiri. Ia tidak mau Harzel merasa sedih menyadari bahwa dirinya yatim piatu. Sebaiknya Harzel tidak tahu apa-apa soal itu.

            “Mama jawab!” Tegas Harzel. Suaranya terdengar parau.

            Lagi-lagi, Sinta seperti terhantam halilintar.

***

            Revan membenamkan wajahnya di tempat tidur Harzel. Lambat laun, ia memejamkan mata karena hari sudah menunjukkan pukul 11 malam. Kini hanya ada Revan yang sedari tadi duduk di samping Harzel. Mata gadis itu terpejam setelah meminum obat.

            Mama Sinta yang kelelahan menjaga Harzel kembali jatuh sakit. Wanita itu demam tinggi. Dan Arga—Papa Misella—tidak bisa menemani Harzel karena ada pekerjaan penting. Tinggal dirinya yang tengah duduk di sebelah Harzel dan Misella yang kini rebah di sofa. Mama Sinta yang tak tahu sumber kecelakaan Harzel mempercayakan Misella untuk menjaga kakaknya.

            Sepasang mata bening itu membuka. Tak ada yang berubah. Sama seperti kemarin. Gadis itu hanya melihat gelap. Karena gelisah, Harzel mulai menggeliat.

            “Harzel ada apa? Ada yang sakit?” tanya seorang lelaki dengan suara lembut.

            Harzel mengenali suara itu, “Re..Revan..” Serunya terbata, “Sejak kapan lo disini?”

“Sejak lo belum sadar,” jawab Revan pendek.

            Harzel mencari-cari tangan Revan. Lelaki itu menyadari bahwa Harzel membutuhkan tangannya—langsung menggenggam tangan gadis itu erat. Wajah Harzel tiba-tiba lebih pucat. Tangannya keringat dingin.

            “Gue..gue takut gelap..” Gadis itu mempererat genggamannya pada Revan.

            Revan mengusap dahi Harzel yang mulai mengeluarkan keringat dingin. Gadis itu tiba-tiba terisak. Baik terpejam ataupun bangun, sama saja baginya. Ia tak melihat apa-apa.

             Gadis itu menghela nafas panjang. Mencoba menerima. Dalam hati ia berdoa, semoga ia diberi kesempatan untuk melihat kembali. Ada banyak impian yang belum terwujud. Gadis itu masih ingin kuliah. Membahagiakan orang tuanya. Menikah. Punya anak. Semuanya akan kandas tanpa matanya.

            “Apa lo bakal ninggalin gue, Van??” tanya Harzel. Tiba-tiba terfikir kemungkinan terburuk.

            Revan menggeleng, “Nggak.”

            Harzel menggigit bibirnya, “Gue nggak mau lo serba susah gara-gara gue.”

            “Udah gue bilang, nggak!” Tegas Revan, “Gue nggakmau pisah dari elo.”

            Revan memejamkan matanya. Ia sedih melihat keadaan Harzel yang lumpuh dan buta. Tapi untuk meninggalkan gadis itu? Bahkan terfikir pun tak pernah. Lebih tepatnya tak tahu bagaimana jika Harzel tak ada. Revan terbiasa dengan kehadiran Harzel dalam kehidupannya.

Lelaki itu tetap bertekad untuk terus bersama Harzel, bukan karena ia kasihan dengan keadaan gadis malang itu, melainkan karena Revan membutuhkannya. Revan membutuhkan Harzel. Selalu!

            “Van, gimana keadaan Misella?”

            Revan terkejut mendengar pertanyaan Harzel. Lebih tepatnya tidak suka. Apa pentingnya menanyakan keadaan perempuan licik itu?

Mendengar namanya disebut, Misella sontak membuka mata. Matanya menegang. Namun ia tetap dalam posisinya. Rebah membelakangi Revan dan Harzel.

            “Dia baik-baik aja,” jawab Revan. Tidak suka dan kesal, “Harusnya lo juga.”

            “Dimana dia sekarang?”

            “Lo mau ketemu dia?” tanya Revan. Melirik Misella yang terlentang di belakangnya dengan tatapan tajam kemudian kembali melirik Harzel, “Buat apa?!”

            Harzel menggeleng, “Nggak,” gadis itu tersenyum tipis, “Dia nggak mungkin mau ketemu gue.”

            Misella bangkit duduk, hendak berdiri untuk mendekati Harzel. Namun Revan menoleh ke belakang dan memberikan tatapan sinisnya. Tatapan yang mengatakan ‘Jangan mendekat!’.

            “Lo jangan benci dia ya, Van.”

            Revan menatap Harzel heran, “Masalahnya bukan gue, tapi elo! Dia udah buat lo kayak gini!”

            “Itulah yang gue nggak suka dari elo, Van!” Tukas Harzel, “Lo nggak bisa ngelupain kesalahan orang lain!”

            Harzel menarik tangannya dari genggaman Revan, “Sella nggak jahat, Van. Dia tersesat,” ujar Harzel, “Gue yakin sekarang dia udah nyesel,” Harzel menyunggingkan senyum dibalik bibirnya yang pucat, “Sebentar lagi.. dia pasti meluk gue trus bilang ‘aku minta maaf, Kak’.”

            Mata Harzel mulai berkaca-kaca, “Sella itu kayak Mama lo,” Harzel terkekeh pelan, “Lo juga harus maafin dia. Papa lo pasti sedih ngeliat anak nakalnya nggak bisa maafin istrinya. Bener, kan?”

            Revan mendelik. Tidak mengerti, “Maksud lo?”

            Harzel menghela nafas panjang, “Lo inget waktu gue dibawa cowok berjaket hitam? Sebenarnya dia adalah Kak Ian. Kak Ian jemput gue di sekolah untuk dipertemukan dengan tante Dewi. Gue dibawa tante Dewi ke apartementnya.”

            Revan terkejut. Harzel kembali melanjutkan, “Tante Dewi sayang sama elo, Van. Lo inget kan waktu dia setahun penuh menyendiri di ruang piano? Dia sedih, Van. Dia sedih kehilangan papa elo. Dia nyesel. Dia rela ninggalin karirnya waktu itu, tapi papa lo udah terlanjur marah dan pergi. Dan semenjak papa lo meninggal, tante Dewi mengalami gangguan psikologis—lebih tepatnya 1 tahun setelah papa lo meninggal dan dia ngeliat elo—dia seakan-akan ngeliat om Arnold dalam diri elo, itu buat dia depresi. Dan bertahun-tahun, bukan dia nggak sayang sama elo dan nggak peduli. Dia takut, Van! Takut ngeliat om Arnold dalam diri elo. Satu-satunya cara yang disarankan psikologis adalah menghindari elo sementara waktu. Tapi salahnya, tante Dewi lama-lama menikmati karirnya terlalu berlebihan.”

            “Apa tante Dewi sepenuhnya salah? Nggak! Dia hanya tersesat. Dia hanya salah cara dalam menghadapi kenyataan. Begitu juga, Misella! Tapi setiap manusia bisa nyesel dan berubah, Van. Itu yang harus lo pahami.”

            Harzel tersenyum tipis, “Misella terlalu dikuasai emosi dan rasa iri sehingga dia nggak bisa melihat bahwa dirinya banyak kelebihan di bandingkan gue. Nilai kursus pianonya selalu lebih tinggi daripada gue dan lo tau? Dia akselerasi waktu SMP. Itulah kenapa kami bisa satu tingkatan. Dia cerdas!” Gadis itu menghela nafasnya, “Tapi dia tersesat dan salah paham.”

            Revan menoleh ke belakang. Misella duduk di sofa sembari menangis sejadi-jadinya. Entah itu tangis penyesalan atau hanya pura-pura. Namun dari matanya—menunjukkan penyesalan terbesar. Lelaki itu tetap mendengus. Merasa benci.

            “Jaga diri lo baik-baik ya,” tutur Harzel. Matanya mulai berkaca-kaca,

            Harzel tak dapat membendung rasa sesaknya. Ia mulai meneteskan bulir demi bulir air bening, “Gue seneng pernah kenal elo. Gue seneng pernah ngeliat lo..”

            Revan menutup mulut Harzel dengan jari telunjuknya. Menyuruh gadis itu diam.

***

            Misella membuka pintu rumahnya pelan-pelan. Ia sangat yakin Sinta sudah tertidur pulas. Hari sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Entahlah, berada di dekat Harzel membuatnya semakin merasa berdosa.

Gadis itu sempat berbicara sedikit dengan Revan sebelum memutuskan untuk pergi.

            “Entah lo percaya atau nggak,” Ia menyeka air matanya, “Gue nyesel atas semuanya.”

            Revan tak meresponnya. Lelaki itu hanya menampakan sorot mata kebencian disetiap perkataan Misella, tangisan gadis itu, maupun setiap langkahnya meninggalkan ruangan Harzel.

            Tak ada yang salah dari itu.

            Jika ada yang ingin disalahkan, maka orang itu adalah dirinya. Sebelumnya, ia tak pernah merasa sesakit ini. Bahkan rasa iri yang menjamur di hatinya, tak dapat menandingi rasa menyesalnya saat ini. Apa yang telah ia lakukan? Ia membuat Harzel lumpuh dan tidak bisa melihat! Bagaimana masa depan Harzel selanjutnya? Mengapa ia sama sekali tidak berfikir kesana sebelum memutuskan untuk membuat gadis itu celaka?

Dan yang lebih menyakitkan, Harzel tetap menyayanginya. Gadis itu tetap memaafkan dirinya.

            Misella melangkah menuju kamar mandi di kamarnya, lalu mengunci pintunya rapat-rapat. Gadis itu menangis sejadi-sejadinya sembari membiarkan air shower yang sangat dingin membasahi tubuhnya.

            Ia memecahkan tangisnya. Akankah rasa sakit itu hilang jika ia menangis seperti ini? Mungkin iya.. namun ternyata tidak sama sekali.

            “Apa masalahnya jika dia lebih cantik, lebih pintar, dan lebih dari segalanya???” gumamnya disertai isak tangis.

            Entah mengapa, kebaikan Harzel—yang selama ini tidak dapat ia lihat—menyeruak begitu saja. Bagaikan sebuah tamparan yang menyadarkannya sebuah kebenaran dan kenyataan. Harzel adalah pelindungnya. Gadis itu takkan membiarkan siapapun menyakiti Misella. Gadis itu dengan berani melindungi dirinya.

            Seringkali ketika mereka sedang kursus, teman lelaki mereka mengganggu Misella—menganggap gadis pucat itu lemah. Dengan spontan, Harzel meninju anak lelaki itu. Hingga anak lelaki itu mengadukan perlakuan Harzel pada orang tuanya. Dan akibatnya.. Harzel dimarahi habis-habisan oleh orang tua anak nakal itu.

            Misella makin terisak, “Harzel, maaf..”

            Misella menghentikan tangisnya ketika melihat silet tergeletak di atas bak—benda  yang digunakannya jika ingin membuka bungkus sabun. Namun kali ini tidak, ia akan menggunakan silet itu untuk hal-hal yang lain.

             Misella tak mampu berfikir jernih. Apa yang akan ia lakukan memang sangat gila—namun jika kegilaan itu mampu mengembalikan separuh hidup Harzel yang telah ia renggut—gadis itu merelakannya.

            Tidak membutuhkan waktu lama.

            Teriakan dan ringisan—diiringi dengan aliran darah segar yang mengalir bersama air shower menuju tempat pembuangan.

***

            Tepat pukul 10 pagi.

Revan berdiri dalam diam. Lelaki itu tak dapat mengalihkan mata dari tempatnya berdiri. Ia tak beranjak dari sana meski kehebohan sudah terjadi di luar.

            Seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat. Lelaki itu membaca tulisan di dinding kamar mandi Misella berkali-kali.

            Aku tau ini gila. Namun jika kegilaanku dapat mengembalikan hidup Harzel kembali. Aku merelakannya. Aku hanya ingin pengorbananku dapat membuat Harzel melihat kembali.

            Mata ini lebih pantas untuknya. Dan ini wasiatku!

            Rahang Revan mengeras. Bukan hanya Sinta dan Arga—yang kini merasa sesak karena putri satu-satunya memilih jalan seperti ini—jalan untuk meninggalkan dunia dengan cara setragis ini—tetapi Revan juga terpukul. Ia menyesal telah menyiratkan mata kebencian tiap kali melihat Misella, padahal gadis itu terpukul atas apa yang terjadi pada Harzel.

            Ah sial!

            Lelaki itu menyeka air mata yang beranjak menuruni pelupuk matanya. Ada apa ini? Mengapa kondisi menjadi lebih sulit dari sebelumnya?

            Revan memutuskan berbalik. Melangkah menjauh.

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • dede_pratiwi

    seperti lagi baca novel terjemahan. hehe. bahasanya enak dan mudah dipahami. udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu

    Comment on chapter PROLOG
Similar Tags
My Sunset
6222      1340     3     
Romance
You are my sunset.
TAKSA
354      271     3     
Romance
[A] Mempunyai makna lebih dari satu;Kabur atau meragukan ; Ambigu. Kamu mau jadi pacarku? Dia menggeleng, Musuhan aja, Yok! Adelia Deolinda hanya Siswi perempuan gak bisa dikatakan good girl, gak bisa juga dikatakan bad girl. dia hanya tak tertebak, bahkan seorang Adnan Amzari pun tak bisa.
Secret Elegi
3769      1086     1     
Fan Fiction
Mereka tidak pernah menginginkan ikatan itu, namun kesepakatan diantar dua keluarga membuat keduanya mau tidak mau harus menjalaninya. Aiden berpikir mungkin perjodohan ini merupakan kesempatan kedua baginya untuk memperbaiki kesalahan di masa lalu. Menggunakan identitasnya sebagai tunangan untuk memperbaiki kembali hubungan mereka yang sempat hancur. Tapi Eun Ji bukanlah gadis 5 tahun yang l...
ADITYA DAN RA
15618      2589     4     
Fan Fiction
jika semua orang dapat hidup setara, mungkin dinamika yang mengatasnamakan perselisihan tidak akan mungkin pernah terjadi. Dira, Adit, Marvin, Dita Mulailah lihat sahabatmu. Apakah kalian sama? Apakah tingkat kecerdasan kalian sama? Apakah dunia kalian sama? Apakah kebutuhan kalian sama? Apakah waktu lenggang kalian sama? Atau krisis ekonomi kalian sama? Tentu tidak...
Azzash
263      213     1     
Fantasy
Bagaimana jika sudah bertahun-tahun lamanya kau dipertemukan kembali dengan cinta sejatimu, pasangan jiwamu, belahan hati murnimu dengan hal yang tidak terduga? Kau sangat bahagia. Namun, dia... cintamu, pasangan jiwamu, belahan hatimu yang sudah kau tunggu bertahun-tahun lamanya lupa dengan segala ingatan, kenangan, dan apa yang telah kalian lewati bersama. Dan... Sialnya, dia juga s...
Ballistical World
8756      1690     5     
Action
Elias Ardiansyah. Dia adalah seorang murid SMA negeri di Jakarta. Dia sangat suka membaca novel dan komik. Suatu hari di bulan Juni, Elias menemukan dirinya berpindah ke dunia yang berbeda setelah bangun tidur. Dia juga bertemu dengan tiga orang mengalami hal seperti dirinya. Mereka pun menjalani kehidupan yang menuntun perubahan pada diri mereka masing-masing.
Finding Home
1939      913     1     
Fantasy
Bercerita tentang seorang petualang bernama Lost yang tidak memiliki rumah maupun ingatan tentang rumahnya. Ia menjelajahi seluruh dunia untuk mencari rumahnya. Bersama dengan rekan petualangannya, Helix si kucing cerdik dan Reina seorang putri yang menghilang, mereka berkelana ke berbagai tempat menakjubkan untuk menemukan rumah bagi Lost
I'll Be There For You
1062      498     2     
Romance
Memang benar, tidak mudah untuk menyatukan kembali kaca yang telah pecah. Tapi, aku yakin bisa melakukannya. Walau harus melukai diriku sendiri. Ini demi kita, demi sejarah persahabatan yang pernah kita buat bersama.
A - Z
2490      847     2     
Fan Fiction
Asila seorang gadis bermata coklat berjalan menyusuri lorong sekolah dengan membawa tas ransel hijau tosca dan buku di tangan nya. Tiba tiba di belokkan lorong ada yang menabraknya. "Awws. Jalan tuh pake mata dong!" ucap Asila dengan nada kesalnya masih mengambil buku buku yang dibawa nya tergeletak di lantai "Dimana mana jalan tuh jalan pakai kaki" jawab si penabrak da...
Selfless Love
3950      1144     2     
Romance
Ajeng menyukai Aland secara diam-diam, meski dia terkenal sebagai sekretaris galak tapi nyatanya bibirnya kaku ketika bicara dengan Aland.