Read More >>"> Princess Harzel (The Dark of Prom Night) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Princess Harzel
MENU
About Us  

Entah mengapa, aku merasa seakan-akan ini adalah kali terakhir aku melihatnya—Princess Harzel.

***

Misella melirik Handphone miliknya yang tengah berdering. Terdapat telepon dari nomor yang tidak dikenal. Dengan hati-hati, ia mengangkatnya tanpa berkata apa-apa.

            Cukup lama. Terdengar suara lelaki dari seberang sana.

            “Ratu Misella?” tanyanya. Misella tak mengenal suaranya.

            “Ya?” jawabnya pelan.

            “Bagaimana perasaanmu sekarang? Apakah lebih baik?” Lelaki itu menggunakan bahasa formal.

            “Lo siapa?” tanya Misella, “Apa mau lo?”

            Lelaki itu menghembuskan nafas panjang, “Nggak ada,” jawabnya tenang, “Cuma lo yang punya banyak kemauan di dunia ini.”

            “Denger!” Bentak Misella, “Nggak penting ngeladeni orang nggak jelas kayak elo!”

            “Matikan telpon ketika saya sudah selesai bicara!” Tukasnya, “Apa yang kamu dapat dari semua ini? Perhatian? Kasih sayang?” Lelaki itu mendengus, “Tanpa kamu sadari, permainan kamu membuat Harzel mendapatkan segala yang kamu inginkan, sedangkan kamu tidak mendapatkan apa-apa!”

            “Dan satu hal lagi! Saya tidak mengancam dan memperingatkan kamu untuk berhenti. Lakukan saja apa yang ingin kamu lakukan. Tanpa kamu sadari, ada seseorang yang tidak akan pernah membiarkan apapun terjadi pada Harzel!” Ucapnya lantang. Suaranya terdengar tajam, “Tunggu saja tanggal mainnya!”

            TUT!! TUT!!

            Telepon dimatikan lelaki itu.

            Misella hanya bisa menghempaskan Handphone miliknya ke ranjang kamarnya dengan kesal. Tak bisa menahan diri untuk tidak menumpahkan air mata.

***

            Harzel berkali-kali mematut dirinya di depan kaca. Baginya, prom night—yang  merupakan acara bersejarah di sekolahnya—tidak boleh disia-siakan. Hanya satu kali seumur hidup ia merasakannya. Harzel ingin berbahagia bersama teman-temannya malam ini—sebagai malam perpisahan masa SMA-nya—hingga gadis itu sangat memperhatikan penampilan.

            Harzel mengenakan long dress berlengan pendek—hanya menutupi bahu—berwarna putih dengan corak dusty pink, serta bagian bawah sedikit mengembang—namun tidak berlebihan seperti Princess sungguhan. Rambutnya dibiarkan tergerai cantik dan diikal dibagian bawah sehingga terlihat lebih pendek. Aksesoris seperti hiasan berupa kalung—yang melingkar di dahi dan rambutnya—memberi kesan anggun. Tak kalah, kalung bertuliskan ‘Tiara Olinien’ yang ia kenakan membuat penampilannya semakin menawan. Wajahnya di desain seindah mungkin dengan kombinasi sapuan bedak, blush on, eye shadow, lipstik, dan maskara.

            Misella tak kalah meriahnya. Ia mengenakan mini dress biru muda. Rambutnya di disanggul dan diberi hiasan tak kalah meriahnya dengan Harzel, serta kalung dan gelang yang membuat tampilannya tampak sempurna. Ditambah lagi kombinasi make up yang sangat cocok di wajah pucat dan tyrusnya. Namun perbedaan suasana hati, membedakan aura wajah keduanya.

***

 

            Revan menahan dirinya sekuat tenaga untuk tidak larut dalam ketakjuban. Lelaki itu sangat terpesona. Harzel tidak berdandan saja, ia sudah terpesona setengah mati. Bagaimana sekarang? Lelaki itu hanya tersenyum tipis. Namun satu yang ia sadari, Harzel tidak mengenakan High Heels. Alasannya takut terjatuh dan tidak percaya diri. Gadis itu masih setinggi bahunya meski dalam perayaan besar seperti ini.

            Revan terlihat tampan dengan tuxedo navy yang ia kenakan, rambutnya hanya tersisir rapi dengan sapuan minyak rambut, dan semerbak aroma parfume yang membuat wanita langsung tergila-gila. Astaga! Jantung Harzel berdetak dua kali lipat dari biasanya.

            Revan mengalihkan pandanganya. Tidak berkomentar apa-apa. Cukup matanya saja yang berbicara. Setelah pamit dengan Sinta, mereka bertiga pun melangkah menuju mobil milik Sinta yang sengaja wanita itu pinjamkan.

            Misella melangkah lebih cepat lalu membuka pintu belakang. Hal itu sontak membuat Harzel mendelik heran.

            “Sel, kok duduk belakang?” tanya Harzel.

            Misella menggeleng, “Aku duduk belakang aja.”

            Revan melirik tajam Misella yang tengah memegang pintu mobil, “Gue pengen lo yang duduk sebelah gue!” serunya lantang. Kemudian melirik Harzel, “Harzel, lo duduk belakang!” Setelah memerintah, lelaki itu melengos masuk ke dalam mobil dengan cuek.

            Harzel terdiam beberapa saat. Misella duduk di depan bukan masalah baginya. Namun perkataan Revan barusan seolah-olah Misella.. Ah! Harzel menggeleng. Tidak lucu ia cemburu pada adiknya sendiri.

            Tanpa berkata apa-apa, Harzel membuka pintu belakang, masuk, dan duduk. Misella melakukan hal yang sama kemudian diam membisu—dengan ekspressi wajah suram tak bercahaya. Revan melajukan mobilnya menuju hotel tempat sekolahnya mengadakan acara.

            Revan membenarkan kaca spion dalam mobil ketika lampu merah. Ia tersenyum puas ketika kaca itu dengan sempurna menampilkan wajah Harzel yang tengah duduk manis di bangku belakang.

            “Gue lebih suka liat elo dari kaca ini, itulah kenapa gue suruh lo duduk belakang,” tutur Revan lembut, “Lo cantik.”

Harzel menelan ludahnya. Ini adalah kali pertama Revan mengatakan dirinya cantik. Seingatnya, Revan tak pernah memujinya. Lelaki itu hanya bisa mengejek dan menghinanya hingga gadis itu kesal setengah mati.

Lampu kembali hijau. Revan menekan gas kemudian mobil kembali melaju.

            Harzel mengatur detak jantungnya. Kemudian berkata lirih, “Lo juga tampan.”

            Revan mendengus, “Gue udah dari dulu menawan. Kalo lo baru kali ini!”

            Ekspressi Harzel berubah 180 derajat. Ia mendelik sebal. Revan hanya bisa tersenyum geli melihat wajah Harzel dari kaca di atasnya.

            Sesekali, Revan melirik gadis yang bungkam di sebelahnya. Gadis itu terlihat sangat pucat meski sapuan make up memenuhi wajahnya. Sepasang matanya yang berkaca-kaca tak bisa berbohong, bahwa sang pemilik sedang merasa kalut.

***

            Acara Prom Night meriah seperti harapan para siswa. Acara perpisahan itu diadakan di aula Hotel Bintang Lima. Dengan lampu hias kelap-kelip cantik yang menghias sepanjang jalan menuju pintu masuk, ditambah lagi dengan beberapa kursi taman yang di hias menawan—membuat acara itu makin terasa hidup dan meriah.

            Yang tak kalah indahnya—baik lelaki maupun perempuan—berpenampilan sangat menawan. Seakan-akan acara ini merupakan bagian terpenting dalam hidup.

            Setelah memarkirkan mobil, Revan, Harzel, dan Misella turun. Harzel tak bisa menahan ketakjubannya melihat lampu kelap-kelip seindah rembulan menghiasi acara itu.       Sedangkan Revan melirik Misella. Gadis itu tetap memancarkan ekspressi yang sama. Ah! Untuk saat ini, Revan tak memperdulikannya. Ia melirik Harzel. Gadis itu masih menikmati ketakjubannya sembari celingak-celinguk mencari teman-temannya.

            Revan mengulurkan tangannya, sembari tersenyum, “Masuk yuk!”

            Harzel tak dapat menahan senyumnya, ia menyambut uluran tangan Revan. Mereka hendak melangkah, namun Harzel teringat sesuatu.

            Harzel memegang pergelangan tangan Misella, “Yuk, Sella!”

            Tanpa ekspressi apa-apa, Misella melangkah mengiringi Harzel dan Revan. Sesekali, Revan melirik Misella yang tetap terlihat pucat dan gugup.

***

            Harzel menghentikan langkahnya di pintu masuk aula. Melirik Misella, “Sel, kamu mau gabung dengan teman-temanku?”

            Misella menggeleng, “Nggak deh.”

            “Yaudah,” Harzel melepaskan tangannya dari pergelangan tangan Misella, “Kamu hati-hati, ya.”

            Misella hanya mengangguk. Lalu pergi.

            Harzel mendongak, menatap Revan yang sedari tadi menggenggam tangannya erat, “Sella kok aneh, ya? Kayak lagi ada masalah gitu.”

            Revan mengangkat bahu dengan cuek tanpa berkata apa-apa.

Mereka melangkah pelan menuju aula yang telah di penuhi oleh pangeran dan putri Bright Star. Acara belum dimulai, sehingga beragam kegiatan pun berlangsung. Ada yang sedang mengobrol, minum, berpose, dan berdansa.

            “Revan?” ujar Harzel. Kembali memulai celoteh ‘tidak penting’nya, “Menurut elo, siapa yang paling cantik disini?”

            “Nggak ada yang cantik,” seperti biasa. Lelaki itu menjawab pendek.

            Harzel menghentikan langkahnya. Mendelik sebal, “Kenapa tadi lo bilang gue cantik?”

            “Pertanyaan nggak penting!” jawab Revan, “Kenapa lo nggak nanya ‘siapa cewek paling pendek disini?’ gue tau jawabannya.”

            “Siapa?”

            “Elo.”

            Harzel melepaskan tangannya lalu meninju lengan Revan, “Gue bukan pendek, tapi gue apa adanya! High Heels nggak bikin orang jadi tinggi beneran tau!”

***

            Setelah puas berkali-kali berpose, Harzel, Keyla, Liana, dan Sasha, menari bersama teman-teman lainnya di tengah aula. Acara baru saja selesai dan sekarang waktunya para siswa-siswi kelas 12 memulai acara bebasnya. Ada yang menari, bernyanyi, mengobrol, dan berbagai aktivitas lainnya.

            Revan, Bimo, dan Faraz duduk sembari meneguk minuman. Revan tersenyum tipis memperhatikan Harzel yang lincah menari-nari sembari tertawa riang. Melihat Harzel tertawa lepas, membuat dirinya melupakan segenap masalah.

            Revan masih ingat momen ketika dirinya dan Harzel sedang berdansa sebelum acara dimulai.

            “13 hari lagi gue ulang tahun,” tutur Harzel, “Lo udah nyiapin hadiah apa buat gue?”

            “Rahasia.”

            “Gimana kalo kita ngerayain sama-sama pas jam 12 malem. Seru, kan?”

            “Boleh juga.”

            Harzel menghela nafas, “Lo lagi males ngomong, ya?”

            “Aww!” Jerit kecil Revan ketika sepatu Harzel mengenai kakinya, “Berkali-kali lo nginjak kaki gue!”

            Harzel tidak menggubris, “Lo mau kemana setelah ini? Kuliah?”

            “Kawin,” jawab Revan pendek.

            Harzel mendelik sebal. Matanya melotot.

            “Eh, lo fikir gue serius??” Revan tersenyum tipis, “Gue menerima apapun yang terbaik dalam hidup gue. Entah jadi polisi kayak Om William, jadi engineer, atau jadi pembisnis kayak mama gue.”

            Harzel manggut-manggut, “Kalau gue sih mau kuliah di Sydney, Australie. Keren, kan?”

            Revan mengangguk, “Kalau gitu, gue kuliah di Indonesia aja, tempat kelahiran gue. Atau nggak di Inggris, tempat kelahiran papa. Atau nggak di Istanbul, tempat kelahiran mama. Asal bukan di Sydney.”

            Harzel menyerngitkan dahi, “Loh? Kenapa?”

            Revan menyeringai jahil. Tersenyum, “Gue nggak mau ketemu mulut bebek kayak elo lagi. Bisa kacau kuliah gue.”

Harzel mendelik sebal. Sudah terbiasa pada kondisi dimana Revan selalu mencari cara untuk membuatnya kesal.

Gadis itu meletakkan kedua tangannya di lengan Revan. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, “Tapi, kenapa gue ngerasa..” Harzel mendongak. Menatap Revan, “Gue ngerasa seakan-akan.. ini adalah terakhir kalinya gue ngeliat elo.”

            Sepasang mata Revan menegang, “Lo ngomong apa, sih?!”

            Harzel menghembuskan nafas panjangnya. Entah mengapa, fikirannya melayang kemana-mana setelah obrolan mereka mengenai studi lanjutan. Apakah ia benar-benar akan berpisah dengan Revan setelah ini?

***

            Misella menyeka air mata yang berkali-kali hendak mengalir dari pelupuk mata.  Disaat semua orang bahagia, ia justru menderita. Telepon dari lelaki yang tidak ia kenal membuatnya kalut sampai sekarang. Membuatnya takut semuanya terbongkar dan dirinyalah yang dipandang buruk. Ditambah lagi dengan pemandangan Revan dan Harzel yang sedari tadi membuat hatinya panas.

            Mengapa ia tidak bisa mendapatkan lelaki yang benar-benar tulus seperti Revan? Atau setidaknya mendapatkan sahabat seperti yang dimiliki Harzel?

            Misella tersentak menyadari seseorang menepuk bahunya. Ia segera menoleh.

            Revan.

            Lelaki itu tersenyum lebar, lalu duduk di sebelah Misella tanpa dipersilahkan.

            Misella celingak-celinguk, “Harzel mana?”

            Revan mendengus. Gerakkan kepalanya menunjuk Harzel dan teman-temannya yang tengah menari di tengah aula, “Boleh kan gue duduk disini sementara waktu?”

            Misella mendelik heran pada Revan yang bertingkah aneh, “Boleh.”

            Revan berdecak, “Gue nggak suka terus-terusan ngadepin Harzel, dia terlalu cerewet dan banyak pertanyaan. Gue lebih suka cewek kalem dan pendiam,” Revan merangkul Misella sembari tersenyum manis, “Kayak elo.”

            Misella tertunduk. Tak tahan dengan mata Revan yang membuatnya terpaku di tempat. Darahnya mengalir deras. Gadis itu tak bisa memungkiri. Ada sesuatu yang aneh.

            Misella melepaskan dirinya dari rangkulan Revan perlahan.

            “Kenapa?” tanya Revan heran. Namun sorot mata itu begitu tajam, “Bukannya ini yang lo pengen?” tanya Revan. Misella menampakkan ekspressi tidak mengerti, “Apa lo juga mau gue bilang ‘I Love You’?”

            “Revan? Kamu mabuk, ya?” tanya Misella heran.

            Revan menggeleng, “Nggak. Kayaknya lo yang mabuk.” Revan mendengus. Kemudian menatap Misella dingin. Sangat dingin.

            Misella meremas gaunnya. Tatapan dingin Revan membuatnya takut. Apa yang lelaki itu fikirkan? Rasa cemas tiba-tiba menghujani benak gadis itu.

Melihat kegugupan di wajah Misella, Revan tersenyum puas, “Baru di teror sekali aja, lo udah pucat setengah mati,” tutur Revan santai.

Revan menunjuk Harzel yang sedang tertawa riang bersama teman-temannya. Misella mengikuti arah jari telunjuk Revan, “Lo liat Harzel! Sudah berapa kali di teror..” Misella kembali menatap Revan dengan mata yang berkaca-kaca, “Tapi gue nggak pernah liat dia sepucet elo.”

            Darah Misella mengalir deras seketika. Nafasnya tersendat, “Maksud kamu..?”

            Revan tersenyum. Tanpa mengurangi tatapan dinginnya, “Bukannya gue udah bilang di telepon?” tanyanya dingin, “Tunggu tanggal mainnya!”

***

            “Harzel, Misella nangis!” Seru salah satu siswi kelas 12 IPS A.

            Harzel terperangah kaget, “Nangis? Kenapa?”

            Siswi itu menggeleng, “Nggaktau. Dia langsung pergi gitu aja pas gue tanya,” ujarnya, “Gue liat tadi dia naik tangga. Kalo nggak ke lantai 3, lantai 4, atau balkon atas.”

            Harzel menepuk bahu siswi itu, “Makasih, ya.”

            Tanpa fikir panjang, Harzel berlarian sembari mengangkat sedikit gaunnya. Tujuannya saat ini menemukan Misella. Entah kenapa firasatnya tidak enak.

            Harzel menelusuri lantai 3 yang rata-rata kamar hotel. Misella tidak ada, bahkan dalam toilet wanita. Begitupun lantai 4, Misella tetap tidak ada. Dan yang terakhir... Balkon atas hotel yang hanya berisi gudang, mesin AC, dan sisanya hanya hamparan luas tanpa atap. Apakah Misella disana?

            Dengan hati-hati, Harzel menapaki anak tangga yang cukup curam dan tinggi menuju lantai paling atas. Sesampai diatas, ia menghela nafas lega melihat Misella yang termenung di balkon dan membelakanginya.

            “Sella??” Panggil Harzel sembari mendekat.

            Misella mengusap air matanya dengan kasar, sembari menggertakkan gigi. Suara itu! Suara yang sangat ia benci! Ia tak tahan lagi. Gadis itu bersumpah. Ia benar-benar tak tahan.

            “Jangan mendekat!” Tegas Misella ketika mendengar langkah kaki Harzel.

            Harzel menghentikkan langkahnya, “Kamu kenapa? Ada masalah? Atau ada yang ganggu kamu?”

            Entah setan apa yang merasukki Misella. Ia benar-benar emosi. Emosi yang selama ini terpendam dari keterdiamannya—tak bisa ia bendung lagi. Disini ia berdiri.. bersama seseorang yang selama ini menjadi kakaknya. Seseorang yang merebut segala miliknya. Dan seseorang yang mampu membuatnya menderita setiap saat.

            Misella berbalik sembari menatap Harzel murka, “Gue bilang jangan mendekat!!” Teriaknya histeris.

            Harzel terperangah kaget melihat raut wajah Misella yang memancarkan emosi. Mata gadis itu memerah dan berkaca-kaca, serta menatap Harzel murka. Belum lagi, Misella berteriak dengan kasar. Misella yang ia kenal tidak pernah sekasar ini. Bahkan ini adalah kali pertama Harzel mendengar Misella menyebut dirinya dengan sebutan “Gue”.

            Harzel tak gentar dengan teriakkan Misella. Ia melangkah dengan cepat mendekati adiknya, lalu mengguncang kedua bahu gadis itu, “Kalo kamu emosi kayak gini, aku nggaktau harus berbuat apa.”

            Misella memecahkan tangisnya sesaat. Ia menangis histeris. Tak lama kemudian, ia menatap Harzel dengan murka lalu memberontak hingga kedua tangan Harzel terlepas dari bahunya.

            Plakk!!

            Sebuah tamparan keras mengenai wajah Harzel. Membuat Harzel mendelik tidak percaya melihat Misella menamparnya.

            “Nggak usah sok baik!!” Teriak Misella lalu mendorong tubuh Harzel keras, hingga hampir jatuh terjerembab kalau saja—seseorang yang baru muncul dari tangga—tidak menahannya.

            Revan.

            Misella memundurkan langkah tanpa mengurangi emosinya sama sekali. Di depannya, lagi-lagi ia melihat Harzel selalu beruntung. Lagi-lagi Harzel!

            Revan membantu Harzel berdiri, lalu melangkah mendekati Misella.

            Misella memegang balkon lantai 5 itu erat-erat, sembari melototi Revan, “Kalo lo mendekat sekali lagi, gue bakal loncat!”

            “Sella!!” Teriak Harzel panik. Harzel menutup mulut dengan sebelah tangannya. Matanya berkaca-kaca.

            Revan menghentikan langkahnya lalu mendengus. Lelaki itu menyeringai. Ancaman basi seperti ini sudah biasa dan ia takkan terpengaruh.

            “Lo boleh bunuh diri setelah mengakui kesalahan lo pada Harzel dan minta maaf,” Ujar Revan halus, namun menusuk, “Dengan begitu, arwah lo bakal tenang!”

            “Revan?!!” Teriak Harzel, tanda marah sekaligus tanda tanya. Apa kesalahan Misella padanya?

            Revan menoleh, menatap Harzel hangat, “Lo harus denger semuanya sekarang,” pandangannya kembali tertuju pada Misella, “Mau lo apa gue yang ngomong? Kalo gue yang ngomong, gue bakal ngomong apa adanya tanpa berfikir alasan lo ngelakuin itu!”

            Darah Misella mengalir deras. Kali ini ia sudah mati kutu. Revan sudah tahu semuanya. Tapi tidak dengan Harzel. Setidaknya, ia harus bisa memprovokasi agar hubungan keduanya hancur dengan membuat Revan seolah-olah berbohong.

            Misella memecahkan tangisnya, lalu menatap Harzel, “Kak Harzel, ini yang buat aku nangis!” Ujarnya disela-sela tangisnya, “Revan nyalahin aku atas semua yang terjadi sama Kakak. Dia bilang aku iri sama Kakak. Apa itu mungkin? Aku memang punya banyak kekurangan, tapi aku sayang sama Kakak dan aku nggak mungkin nyakitin Kakak.”

            Harzel menatap Revan yang kini juga menatapnya. Ia bingung harus mempercayai siapa sekarang. Misella adalah adiknya. Dan Revan? Ia tahu sendiri Revan seperti apa, lelaki itu tidak akan mengusik orang lain tanpa sebab. Tapi Misella? Rasanya juga tidak mungkin.

            Revan menghembuskan nafas. Sudah ia duga Misella akan melakukan ini. Namun ia tidak sebodoh itu. Revan mengeluarkan tablet dari saku tuxedo yang ia kenakan. Lalu menunjukkan sebuah rekaman CCTV di kedai Donuts and Cofee. Harzel memperhatikkan rekaman itu. Ia dapat mengenali siapa gadis yang sedang duduk sembari merekam. Ia juga mengenali kamera yang gadis itu gunakan.

            “Sella sengaja merekam adegan Ika yang sedang mabuk obat tidur dan membuat akun atas nama elo. Biar semua orang beranggapan kalo lo itu jahat!”

Setelah rekaman singkat itu selesai, Revan pun memutar rekaman video seorang pegawai perempuan.

            “Nggakk!!” Misella hendak merebut tablet yang tengah di pegang Harzel. Dengan cepat, Revan menahan tangannya.

            Harzel memundurkan langkahnya menjauhi Revan dan Misella sembari menyimak rekaman video itu. Seorang pegawai perempuan tengah menangis sembari di wawancara.

            “Dia bayar saya 800 ribu dan saat itu saya lagi butuh uang,” ujarnya, “Dia cuma minta waktu 10 menit untuk merekam. Cuma itu. Saya nggaktau kalo rekaman itu ternyata dipergunakan untuk memfitnah orang lain.”

            “Namanya kalo nggak salah.. Misella.” Tutur Pegawai perempuan itu di sela tangisnya.

            Misella menginjak kaki Revan keras, hingga tangan Revan di pergelangan tangannya terlepas. Dengan cepat, ia berlari dan merebut tablet itu dari tangan Harzel. Tanpa fikir panjang, Misella melemparkan tablet itu dari balkon lantai 5 tempat mereka berpijak hingga terjatuh berkeping-keping di bawah sana.

            “Dia bohong!! Dia bohong!!” Teriak Misella histeris.

            “Kalo gue bohong, kenapa lo yang sehisteris ini, hah??” Bentak Revan kesal. Matanya menatap Misella murka, “Denger ya, jangan mancing kesabaran gue! Gue sama sekali nggak suka berurusan dengan cewek!!”

            Mata Harzel berkaca-kaca. Dengan sekali kerjapan saja, sebulir air bening itu menetes. Ia tidak menyangka bahwa Misella dibalik semuanya. Rasanya, gadis itu tidak bisa mempercayai semua yang terjadi. Berarti teror itu? Harzel terisak tanpa suara. Tak habis fikir.

            Harzel menarik pelan lengan Revan. Lelaki itu menatapnya. Harzel tersenyum dibalik matanya yang kini memancarkan rasa sesak di dada, “Gue percaya elo,” tuturnya. Lalu menatap Misella. Tatapan itu sendu dan kecewa, “Gue juga percaya elo. Elo nggak mungkin ngelakuin semuanya tanpa alasan, kan? Jadi..” Harzel mengusap air matanya, “Gue mau denger semuanya. Bukan dari Revan, bukan dari orang lain. Tapi, dari elo!”

            Misella menatap Harzel murka. Ia tak bisa berpura-pura lagi. Gadis itu merasa seakan-akan dirinya sudah hancur berkeping-keping.

            “Lo udah ngerebut semuanya dari gue!!” Teriak Misella, “Yang pertama. Mama dan Papa gue! Sekali lagi, Mama dan Papa gue! Bukan Mama dan Papa elo!!”

            “Yang kedua. Lo udah ngerebut semua fasilitas milik gue. Mulai dari les piano, les bahasa inggris, dan lainnya, itu semua milik gue!!”

            Misella tertunduk sembari memecahkan tangisnya. Masih hangat dalam fikirannya masa itu. Saat ia dan Harzel sama-sama kursus piano dan bahasa inggris. Namun hanya Harzel yang pintar, yang unggul, yang kreatif. Sedangkan dirinya? Dipandang seperti debu! Hanya Harzel yang dibanggakan kedua orang tuanya karena Harzel selalu memenangkan lomba menyanyi, pidato bahasa inggris, story teeling, dan lomba bermain piano. Sedangkan dirinya bukan apa-apa.

            Saat menginjak bangku SMA, lagi-lagi Harzel memenangkan segalanya. Ia mendapatkan banyak teman dan cukup populer di sekolah. Sedangkan dirinya? Tidak ada yang sudi menjadi teman baiknya hanya karena Misella lemah dan pucat.

            “Trus?” tanya Harzel dingin, mencoba setenang mungkin.

            Misella kemudian menggertakkan giginya, “Lo mau tau rahasia lagi?”

            Misella melirik Revan sembari tersenyum tipis. Gadis itu menyeringai benci, “Tentang Tiara Olinien?”

            Revan menggeleng. Seketika air mukanya berubah cemas, “Lo udah banyak ngomong, Sella! Cukup! Harzel sudah tau semuanya.”

            Misella menatap Revan tajam, “Gue tau.. Mama gue selalu khawatir dengan kondisi Harzel kalo sampe dia tau rahasia hidupnya!” Misella menatap Harzel. Tatapan kebencian, “Tapi, gue seneng lo menderita! Gue harap lo langsung geger otak setelah ini!”

            “Misella!!” Bentak Revan. Sejurus kemudian, lelaki itu mencengkram lengan Misella keras.

            “Revan, lepasin dia!” Seru Harzel pelan. Ia menyunggingkan senyum, seperti berkata bahwa ia tidak apa-apa.

            “Gue seneng lo megang gue kayak gini,” ujar Misella sembari menatap Revan dan tersenyum manis, “Lo tau? Lo adalah salah satu alasan kenapa gue berusaha buat Harzel menderita. Gue sendiri nggak pernah nyangka kalo elo..” Mata Misella kembali berkaca-kaca, “Lo bisa jadi cinta pertama gue..”

Misella meneteskan bulir air mata. Masih hangat dalam fikirannya kejadian 10 tahun yang lalu. Ketika ia pertama kali melihat lelaki kecil berwajah blasteran Inggris di ruang rawat Tiara Olinien. Lelaki bermata tajam dan tegas itu. Misella menyukai mata itu. Hingga lelaki itu berbalik. Melangkah pergi. Misella kecil sangat mengenali wajahnya. Dan 10 tahun kemudian, Revandira Papinka kembali dalam hidupnya. Namun bukan untuknya, melainkan untuk Harzel. Membuat gadis itu sumpah serapah mengutuk ketidakadilan takdir.

            Revan melepaskan cengkramannya dari lengan Misella.

            “Lagi-lagi lo ngerebut semuanya!!” Teriak Misella. Gadis itu menunjuk Harzel sembari  menatapnya murka, “Lo juga ngerebut cinta pertama gue! Apa mau elo?”

            “Satu lagi. Lo bukan kakak gue! Orang tua kandung lo udah mati! Lo cuma anak yatim piatu yang di asuh oleh orang tua gue! Lo cuma anak pungut!!”

            Harzel terpaku sesaat. Air matanya semakin deras. Gadis itu tertunduk sembari menangis dalam diam. Kemudian menutup wajah dengan kedua telapak tangannya dan terisak. Satu rahasia menyakitkan kembali menghantamnya. Ia tidak tahu apakah itu benar atau tidak. Tapi.. kenapa Harzel merasa bahwa semua itu benar?

            Revan melepaskan kedua tangan Harzel yang menutupi wajah gadis itu. Mengangkat dagu Harzel—hingga pandangan mata mereka bertemu.

            “Siapapun elo, yang gue tau adalah.. lo perempuan terkuat di dunia. Dia cuma berusaha buat lo jatuh. Dan gue tau.. Harzel nggak selemah itu!”

            Rasa sesak kembali menghantam dada Misella ketika melihat pemandangan di depannya. Ia mengusap air mata, lalu berbalik dan memegang balkon erat-erat. Melirik aspal yang terbentang di bawahnya. Rasanya, terjatuh menghantam aspal—seperti tablet Revan yang jatuh berkeping-keping—lebih  baik daripada menghadapi hidup yang tak pernah adil baginya.

            “Gue udah ngomong semuanya, kan?” tanya Misella di sela tangisnya, “Tapi.. gue nggak akan sudi minta maaf ke Harzel!”

            Misella mengusap air matanya sekali lagi. Ia sudah membulatkan tekadnya.

            “Sella!” Teriak Harzel dengan suara serak dan mata yang menegang, “Jangan nekat!” Gadis itu mengatur nafasnya, “Gue janji setelah ini.. semuanya baik-baik aja. Nggak akan ada yang tau.”

            Misella memanjat balkon dengan cepat. Namun dengan cepat pula Revan dan Harzel menahan tubuhnya. Gadis itu memberontak.

            “Lepasin gue!!” Teriak Misella sembari memberontak pada Revan yang mengangkat tubuhnya menjauhi balkon. Kini mereka berdiri di dekat tangga curam. Berusaha membawa gadis depresi itu ke bawah sebelum terjadi sesuatu yang buruk. Misella justru menggigit tangan Revan. Membuat lelaki itu menjerit terkena serangan dari gigi tajam Misella. Rengkuhan lelaki itu pada Misella sukses terlepas.

            Plakk!! Plakk!!

            Dua tamparan keras melayang di kedua pipi Misella. Harzel membelakkan matanya menatap Misella. Tatapan luka sekaligus prihatin. Berharap tamparan yang ia berikan mampu menyadarkan adiknya—yang kini seperti kerasukan setan.

            “Sadar woy! Sadar!!” Harzel mengguncang kedua bahu Misella. Misella hendak menyerang Harzel, namun Revan langsung memeganginya.

            Entah kekuatan apa yang dimiliki Misella, ia mengibaskan tangan Revan yang mencengkramnya erat dengan amarah yang meledak.

            “Gue bilang jangan sok baik!!” Teriak Misella.

            Dengan sekali sentakkan, gadis itu mendorong Harzel keras. Hingga Harzel jatuh terjerembab di tangga yang curam dan tergelincir. Terdengar bunyi dentuman keras disertai darah segar yang menetes di sepanjang anak tangga. Semua itu berlangsung begitu cepat tanpa bisa dicegah. Bahkan oleh Revan sekalipun.

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • dede_pratiwi

    seperti lagi baca novel terjemahan. hehe. bahasanya enak dan mudah dipahami. udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu

    Comment on chapter PROLOG
Similar Tags
Be My Girlfriend?
14142      2204     1     
Fan Fiction
DO KYUNGSOO FANFICTION Untuk kamu, Walaupun kita hidup di dunia yang berbeda, Walaupun kita tinggal di negara yang berbeda, Walaupun kau hanya seorang fans dan aku idolamu, Aku akan tetap mencintaimu. - DKS "Two people don't have to be together right now, In a month, Or in a year. If those two people are meant to be, Then they will be together, Somehow at sometime in life&q...
My Sunset
6370      1353     3     
Romance
You are my sunset.
Aku menunggumu
4536      955     10     
Romance
Cinta pertamaku... dia datang dengan tidak terduga entahlah.Sepertinya takdirlah yang telah mempertemukan kami berdua di dunia ini cinta pertamaku Izma..begitu banyak rintangan dan bencana yang menghalang akan tetapi..Aku Raihan akan terus berjuang mendapatkan dirinya..di hatiku hanya ada dia seorang..kisah cintaku tidak akan terkalahkan,kami menerobos pintu cinta yang terbuka leb...
For Cello
2550      883     3     
Romance
Adiba jatuh cinta pada seseorang yang hanya mampu ia gapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang ia sanggup menikmati bayangan dan tidak pernah bisa ia miliki. Seseorang yang hadir bagai bintang jatuh, sekelebat kemudian menghilang, sebelum tangannya sanggup untuk menggapainya. "Cello, nggak usah bimbang. Cukup kamu terus bersama dia, dan biarkan aku tetap seperti ini. Di sampingmu!&qu...
My Sweety Girl
10088      2268     6     
Romance
Kenarya Alby Bimantara adalah sosok yang akan selalu ada untuk Maisha Biantari. Begitupun sebaliknya. Namun seiring berjalannya waktu salah satu dari keduanya perlahan terlepas. Cinta yang datang pada cowok berparas manis itu membuat Maisha ketakutan. Tentang sepi dan dingin yang sejak beberapa tahun pergi seolah kembali menghampiri. Jika ada jalan untuk mempertahankan Ken di sisinya, maka...
Untuk Reina
23211      3315     30     
Romance
Reina Fillosa dicap sebagai pembawa sial atas kematian orang-orang terdekatnya. Kejadian tak sengaja di toilet sekolah mempertemukan Reina dengan Riga. Seseorang yang meyakinkan Reina bahwa gadis itu bukan pembawa sial. Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada Riga?
Love Never Ends
10395      2050     20     
Romance
Lupakan dan lepaskan
Grey
195      163     1     
Romance
Silahkan kalian berpikir ulang sebelum menjatuhkan hati. Apakah kalian sudah siap jika hati itu tidak ada yang menangkap lalu benar-benar terjatuh dan patah? Jika tidak, jadilah pengecut yang selamanya tidak akan pernah merasakan indahnya jatuh cinta dan sakitnya patah hati.
Arion
972      549     1     
Romance
"Sesuai nama gue, gue ini memang memikat hati semua orang, terutama para wanita. Ketampanan dan kecerdasan gue ini murni diberi dari Tuhan. Jadi, istilah nya gue ini perfect" - Arion Delvin Gunadhya. "Gue tau dia itu gila! Tapi, pleasee!! Tolong jangan segila ini!! Jadinya gue nanti juga ikut gila" - Relva Farrel Ananda &&& Arion selalu menganggap dirinya ...
ADITYA DAN RA
16023      2620     4     
Fan Fiction
jika semua orang dapat hidup setara, mungkin dinamika yang mengatasnamakan perselisihan tidak akan mungkin pernah terjadi. Dira, Adit, Marvin, Dita Mulailah lihat sahabatmu. Apakah kalian sama? Apakah tingkat kecerdasan kalian sama? Apakah dunia kalian sama? Apakah kebutuhan kalian sama? Apakah waktu lenggang kalian sama? Atau krisis ekonomi kalian sama? Tentu tidak...