Loading...
Logo TinLit
Read Story - Princess Harzel
MENU
About Us  

Jika dulu aku hanya tahu definisi cinta melalui novel, film, dan buku motivasi—kini tak lagi. Aku merasakannya. Mampu merasakannya—Princess Harzel.

***

“Maaf..” tutur Harzel tulus. Revan yang berada di depannya tak bergeming sedikit pun. Lelaki itu termenung dengan pandangan kosong—terhempas dalam khayalannya sendiri.

Harzel menyesal. Gadis itu merasa gagal. Apa yang ia lakukan tidak berhasil sama sekali. Revan menjadi lebih buruk dari biasanya. Dan lelaki itu salah paham padanya.

Kemarin seharusnya adalah hari yang menyenangkan bagi dirinya dan Revan. Menghabiskan waktu seharian bersama, tertawa renyah, dan seperti biasa—mendengarkan gadis itu berceloteh mengenai sesuatu yang sebenarnya tidak penting. Revan yang sungkan berbicara hanya menjadi pendengar yang baik.

Mereka mengunjungi seaworld untuk melihat binatang laut, makan siang di Pecel Lele pinggir jalan, dan menonton film horror yang membuat Revan tidak berhenti mengejek Harzel, karena gadis itu menutup kedua matanya dengan tangan dan hanya sesekali mengintip selama film berlangsung. Merasa takut.

Malam harinya, Revan menemani Harzel mencari buku-buku dengan harga murah—di salah satu toko buku di Jakarta. Tempat langganan Harzel ketika tengah berkunjung ke Jakarta. Melihat penjual topi rajut di depan toko, Revan membeli satu. Berwarna merah jambu. Kemudian memakaikan di kepala Harzel ketika gadis itu tengah sibuk mencari buku.

Harzel menoleh. Sedikit kaget. Gadis itu terlihat lucu mengenakan topi yang membalut rambut panjangnya yang tergerai.

Revan tersenyum tipis kemudian mengangguk, “Buat lo.”

Kemudian mereka memutuskan makan malam di foodcourt yang ada di Mall.

Disinilah masalah itu muncul.

Harzel yang sibuk melahap makanannya berkata pelan, “Kenapa lo nggak mau buka hati untuk kembali ke Mama elo?”

Tepatnya jam 12 siang tadi—sembari melihat binatang laut di seaworld—Revan telah menceritakan segala hal tentang hidupnya. Menurut versi Revan tentunya. Mulai dari masa kecil kelam yang diabaikan oleh Mamanya—yang membuatnya seperti pantas disebut anak pelayan daripada anak Dewi Annisa—karena pelayan lebih perhatian padanya. Hingga ketika ia berkembang menjadi remaja, mamanya lebih suka jalan-jalan ke luar negeri, rapat sana sini, mencari karrier—yang selalu mengatasnamakan ‘demi masa depan Revan’.

Revan mendengus. Ia sangat tahu. Dengan menjadi pegawai kantoran biasa bahkan buruh cuci sekalipun, mamanya masih tetap bisa menyekolahkannya dengan gaya hidup sederhana. Revan tak akan mempermasalahkan itu. Lelaki itu pun merasa, mamanya tak sudi melihat wajahnya—karena sewaktu Revan kecil, mamanya cenderung menghindar darinya. Dan punckanya ketika ia memutuskan pergi menjauh. Berharap wanita itu bahagia setelah kehilangan dirinya.

Revan menyeruput coklat panasnya perlahan, “Gue lebih bahagia jauh dari dia. Gue rasa dia juga begitu. Buktinya pelayan di rumah tadi bilang Mama nggak pernah pulang ke rumah lagi. Dia tinggal di apartement. Ya seperti itulah, mungkin sekarang dia lagi travelling ke luar negeri.”

Harzel yang memahami dari segi Dewi Annisa mendelik sinis pada lelaki di depannya, “Lo harus paham dari segi Mama lo Revan. Apa lo pernah mikir, mungkin aja diem-diem dia lagi nangis??!”

Revan mendengus, “Gue tau Mama gue, Harzel. Waktu gue di rumah aja dia nggak pernah sekedar duduk, ngobrol, atau nanya soal sekolah gue. Dan sekarang, gue rasa dia juga nggak peduli gue lagi apa. Apalagi mau nangis. Boro-boro!”

“Gue dan Mama lo sama-sama perempuan, Revan. Gue cukup ngerti yang dirasain Mama lo,” tutur Harzel. Kemudian terkejut mendengar ucapannya sendiri. Bagaimana kalau Revan curiga?

Revan menyerngitkan dahi, “Kenapa lo jadi sok tahu?” lelaki itu tidak curiga sama sekali. Ia justru kesal atas perkataan Harzel barusan.

“Realistis aja, Revan!” Harzel menukas, “Kita denget lagi lulus. Lo bakal kuliah, gue juga. Kalau hubungan lo dan Mama elo belum baik juga. Gimana masa depan elo?”

Revan mendengus. Sebenarnya ia juga memikirkan yang sama, “Gue belum mikirin itu.”

“Apa setelah ini lo mau jadi pengangguran karena nggak sudi nerima bantuan dari mama lo? Mau bergantung sama siapa? Kak Ian? Gue? Kami nggak bisa apa-apa, Revan. Cuma Mama lo yang bisa!” Tukas Harzel. Seketika menusuk hati lelaki itu.

Apa maksudnya? Apakah Harzel keberatan Revan menjadi pengangguran setelah ini? Apakah gadis itu akan meninggalkannya?

“Lo malu sama keadaan gue yang nggak punya masa depan?” tanya Revan pelan. Suaranya bergetar. Terluka.

Harzel menggeleng cepat. Ia menyesal. Kata-katanya salah sasaran. Gadis itu tak bermaksud merendahkan Revan. Ia hanya ingin membantu Dewi. Hanya itu!

“Gue.. gue nggak maksud begitu,” tutur Harzel dengan suara bergetar.

Revan menunduk. Hatinya terluka seketika. Bagaimana jika Harzel benar-benar meninggalkannya? Revan mendengus. Realistis. Ya, dia harus realistis! Selama ini hubungannya dengan Harzel berkembang tanpa pernyataan yang resmi seperti Liana dan Bimo. Mereka hanya teman. Meski dalam hati masing-masing mereka lebih dari sekedar teman. Dan gadis itu sangat berharga bagi Revan.

Revan mencintainya. Ya, itu sangat! Dan perasaannya, ia salurkan dengan pembuktian. Yakni membuat gadis itu bahagia sebisanya. Menjaga gadis itu sebisanya.

Tapi apa? Perempuan mana yang mau dengan lelaki dengan latar keluarga broken home seperti dirinya? Hidupnya berantakan. Mamanya tidak pernah memperdulikannya. Bahkan ia tak tahu jadi apa ia setelah kelulusan SMA. Harzel benar. Ia hanya menyusahkan saja.

Revan kembali melahap makanannya. Kali ini selera makanannya hilang, “Jangan fikirin gue berlebihan, Harzel. Bukankah kita cuma teman selama ini?” tutur lelaki itu. Begitu lembut, “Gue nggak pernah berharap lo masuk ke dalam hidup gue. Nggak pernah. Tapi nggaktau kenapa, takdir buat lo selalu masuk ke dalam hidup gue. Lo bener, gue laki-laki yang nggak punya masa depan.”

“Gue nggakmau nyusahin siapapun. Termasuk elo. Jadi malam ini, gue putuskan kalau lo nggak perlu mikirin gue lagi dan nggak perlu masuk ke dalam hidup gue lagi. Fokus aja sama belajar dan kelulusan. Dan setelah kasus teror itu selesai, gue nggak akan masuk ke hidup lo lagi.”

Harzel tercekat mendengar perkataan Revan. Revan salah sangka! Dan itu tidak bisa dibiarkan. Tapi lidah gadis itu kelu untuk menjelaskan.

Harzel menyilangkan garpu dan sendoknya. Tertunduk. Bertopang dahi dengan kedua tangannya. Kemudian terisak. Tak mau mengatakan apa-apa, karena takut salah menyampaikan. Bagaimana jika Harzel keceplosan hingga pembicaraan mereka membuat Revan curiga?

Sepanjang perjalanan pulang. Hanya kebisuan yang terjadi.

***

            Disinilah Revan berdiri. Memecahkan masalah milik Harzel. Sedangkan masalahnya sendiri tak pernah terselesaikan. Namun harus bagaimana lagi? Meski hujan badai sekalipun, ia sudah berjanji pada diri sendiri untuk menemukan siapa dalang yang membuat Harzel hampir celaka setiap kali.

            Revan menghembuskan nafasnya berkali-kali. Cerita tentang kecurigaan Faraz terhadap satu tersangka membuatnya berfikir semalaman—disamping memikirkan rasa kalutnya karena kata-kata Harzel kemarin. Jujur saja, ia mulai membenarkan apa yang Faraz katakan.

            Ia dan Faraz berpenampilan layaknya detektif di dalam sinema. Dengan sepan jeans hitam, jaket hitam—yang membalut keseluruhan tubuhnya, topi hitam, dan kacamata hitam.

            Untuk sekian kalinya. Handphone milik Revan berdering. Ia menghela nafas malas melihat Harzel yang sedari tadi terus menelponnya. Langit malam membuat layar Handphone miliknya menjadi sangat terang memancarkan nama Harzel beserta foto gadis itu.

            “Angkat aja dulu. Kayaknya udah 100 panggilan lo abaikan,” ujar Faraz yang diam-diam melirik layar Handphone Revan.

            Revan hanya menanggapi Faraz dengan tersenyum tipis. Bukan waktu yang tepat baginya untuk berbicara pada Harzel sekarang. Seharian, ia sama sekali tidak bicara dengan gadis itu. Bahkan ketika Harzel terbata-bata meminta maaf padanya di kelas tadi. Revan hanya melengos kemudian pergi. Marah? Tidak! Kecewa? Entahlah. Lebih tepatnya takut. Takut gadis itu tidak tahan dengan kondisinya kemudian pergi menjauh.

Setelah terlihat tanda-tanda pelanggan sudah mulai bubar dan pegawai kafe mulai beres-beres hendak tutup, Revan menyeru Faraz untuk masuk ke dalam dengan sebuah intruksi singkat.

            Mereka pun masuk perlahan dan langsung dihujami tatapan heran dari berbagai pegawai Donuts and Cofee.

            “Ada perlu apa?” tanya seorang pegawai lelaki dengan lembut. Revan masih ingat lelaki itu. Lelaki yang bersedia disogok Ika untuk mencampurkan obat tidur di dalam minuman Harzel.

            Revan melepaskan kacamatanya, “Lo masih inget gue?”

            Lelaki muda itu menelan ludah, lalu mengangguk. Masih hangat dalam fikirannya bagaimana perlakuan Revan padanya.

            “Ada perlu apa, Pak?” lelaki itu mengulangi pertanyaannya. Masih mengira Revan adalah polisi.

            Revan tersenyum tipis, “CCTV.”

***

            Revan, Faraz, dan pegawai lelaki itu menyaksikan tayangan di CCTV dengan tatapan tidak percaya. Namun ini adalah kejelasan sekaligus kebenarannya. Orang itu benar-benar licik, ia merekam adegan Ika yang terkantuk-kantuk dari tempat yang tidak dijangkau orang banyak, bahkan oleh pegawai sekalipun.

            “Gue nggaktau kalo ada orang yang berhasil masuk kesana,” tutur Pegawai lelaki itu. Ia terus memperhatikan gadis yang tengah merekam dari lantai 2 tempat penyimpanan barang—yang tidak bisa dimasukki sembarangan orang. Revan yakin, ada pegawai yang telah berhasil disuap lagi.

            Revan mendengus, “Ternyata, pegawai cafe ini gampang disuap!” Ia melirik Pegawai lelaki di sebelahnya dengan tajam, “Kasih gue video ini!”

            Lelaki itu menelan ludah, “Tolong jangan besar-besarkan masalah ini,” Lelaki itu menampakkan tatapan memohon, “Gue bakal bilang ke bos biar pegawai yang disuap itu dipecat.”

            Revan menepuk bahu lelaki itu, “Lo tenang aja, permintaan gue cuma video ini dan juga.. video pengakuan dari pegawai lo yang disuap itu. Hanya itu!” Revan menyeringai, “Nggak ada yang akan bermasalah.”

***

            Revan mengendarai motornya dengan hati yang kalut. Kepingan puzzle yang selama ini berantakkan mulai tersusun rapi. Revan dan Faraz mulai memahami apa motif si pembenci rahasia itu.

            Tiba-tiba, Revan menekan rem kaki dan tangannya keras-keras—ketika sebuah mobil hitam langsung berhenti tepat di depannya—membuat motornya kehilangan keseimbangan dan jatuh terjerembab.

            Revan meringis kecil ketika kaki kanannya tertimpa body motor vixion milik Adrian dengan sentakkan keras. Ia langsung bangkit berdiri bersama motornya, sembari memandang mobil sedan itu dengan tatapan murka.

            Tak lama kemudian, sang pemilik mobil turun bersama teman-temannya.

            Rangga.

            “Ternyata lo anak jalanan juga ya,” komentar Rangga sembari berjalan ke arah Revan, “Bahkan lo pulang hampir tengah malam.”

            Revan menghela nafas malas. Mencoba meredakkan emosinya sekuat tenaga, “Minggir!” Serunya halus.

            Rangga menyunggingkan senyum mengejeknya, lalu mencabut kunci motor milik Revan, kemudian mengacungkannya tinggi-tinggi.

            “Harzel dengan percaya diri bilang kalo Revan bakal ngabisin gue. Gue mau liat secara langsung!” Rangga menggertakkan giginya. Kesal dengan penolakan demi penolakan dari gadis itu, “Gue capek ngadepin cewek jual mahal tapi murahan kayak dia!”

            Mendengar perkataan buruk tentang Harzel, Revan langsung menerjang perut Rangga keras. Dengan cepat, Revan meraih kunci motornya yang tergeletak di aspal—ketika Rangga jatuh terjerembab—lalu menaruh kunci itu di saku jeans miliknya.

            Revan menyadari satu hal. Rangga sedang memancing kemarahannya dengan menyebut Harzel. Lelaki itu benar-benar licik. Namun bodohnya, lambat laun Revan mulai terpancing.

            Perkelahian antara satu orang melawan lima orang sekaligus—terjadi tanpa bisa dicegah oleh siapapun—di tengah malam itu. Namun yang Revan sadari, ia harus menjaga kaset rekaman CCTV yang terletak di dalam saku jaketnya—meskipun merelakan dirinya di keroyok hingga babak belur, hingga pulang dengan keadaan tubuh luka-luka dan penuh lebam.

***

            Harzel melirik bangku milik Revan yang kini kosong. Celotehan guru Biologi panjang lebar tak membuat lamunannya buyar. Satu pertanyaan mengusiknya sedari tadi. Kemana lelaki itu pergi?

            Faraz dan Bimo bilang kepada guru yang mengajar bahwa Revan sedang ada acara keluarga. Sungguh! Alasan itu tidak masuk akal bagi Harzel. Ia sendiri paham kondisi keluarga Revan yang saat ini pecah belah. Bagaimana bisa ada acara keluarga?

            Hingga ketika bel pulang berbunyi, Harzel langsung melesat pulang. Bahkan ia menolak ajakan mamanya yang ingin pergi belanja. Alhasil, hanya Misella yang bersedia ikut. Hatinya terus memaksa agar menemukan Revan sekarang juga.

            Sialnya, hujan deras mengguyur saat perjalanan pulang. Hingga Harzel harus berbasah-basah sembari berjalan menelusuri lorong besar menuju rumahnya—tepatnya rumah Adrian. Entah mengapa, firasatnya tidak tenang. Ketika jam istirahat, ia tak sengaja melihat wajah Rangga dan kedua temannya babak belur seperti berkelahi. Harzel memiliki firasat bahwa Revan terlibat.

            Harzel mengetuk pintu rumah Adrian beberapa kali. Tak ada jawaban. Bahkan ia berteriak memanggil Revan dan Adrian di tengah guyuran hujan dan petir. Tetap sia-sia. Tak ada jawaban.

            Dengan kesal, Harzel memukul pintu itu keras, “Gue tau lo di dalem, Revan!!”

            Merasa bosan diabaikan, Harzel berlari dengan emosi yang menggebu-gebu. Gadis itu membanting pagar rumah Adrian lalu melangkah menuju rumahnya sendiri. Harzel menepuk keningnya keras ketika pagar rumahnya terkunci. Ia lupa bahwa Mama Sinta dan Misella sedang pergi sekarang.

            Harzel menggigit bibir sembari memeluk dirinya sendiri yang kini menggigil kehujanan. Ia bersandar ditembok pagar rumahnya sembari merenung dan mencemaskan Revan dalam hati.

            PLUKK!!

            Sentakan itu tiba-tiba menghantam dahinya. Membuat Harzel menjerit kecil kesakitan sekaligus kaget. Gadis itu meringis sembari meraba kening dengan telapak tangan kanannya. Matanya berkaca-kaca melihat tangan kanan miliknya. Sudah berdarah.

            Harzel membersihkan darah di dahinya dengan tangan dan air hujan. Setidaknya rasa sakit itu tidak separah hantaman batu pertama kali hingga membuatnya pingsan. Dan juga tidak sesakit terkena sepihan kaca di telapak kaki.

            Harzel hendak meraih batu yang menghantamnya. Batu yang dilapisi kertas putih. Namun sebuah tangan langsung meraih batu itu dengan cepat. Harzel mendongak dan terperangah kaget.

            Revan.

            Revan membuka kertas itu, lalu membaca tulisan yang tertera disana. Tintanya mulai memudar karena air hujan, namun tulisannya masih bisa terbaca.

            I HATE YOU!

            Harzel mendengus, “Dari pembenci rahasia gue lagi?”

            Revan melirik Harzel tanpa ekspressi kemudian mengangguk.

            Harzel terperangah melihat wajah Revan yang penuh lebam kebiruan, “Revan, elo..?”

            Tanpa menanggapi kekagetan Harzel, Revan langsung mengusap darah yang merembes di dahi Harzel. Lalu, tanpa bicara apa-apa, lelaki itu menggiring Harzel ke rumah Adrian.

***

            Gadis itu merasa lebih hangat mengenakan kaus Revan dan juga training milik lelaki itu—meski agak kebesaran. Ia pun membalut dirinya dengan selimut. Membuatnya semakin hangat dan nyaman.

            Revan menaruh teh hangat di atas meja tanpa berkata apa-apa. Sedari tadi ia hanya diam. Dengan cepat pula, Harzel menyesapnya pelan.

            Harzel tersenyum tipis sembari menyerngitkan dahi, “Lo nggak ahli buat teh ya? rasanya hambar.”

            Revan tak menanggapi komentar Harzel mengenai tehnya. Ia sendiri sadar bahwa kemampuannya di dapur memang sangat payah. Ia baru bisa membuat teh, susu, dan kopi serta memasak mie instan saat tinggal dirumah Adrian.

            “Revan.. lo berantem sama Rangga, ya?” tanya Harzel pelan dan hati-hati.

            Revan menatapnya. Seketika teringat sesuatu, “Lo nggak liat siapa yang ngelempar batu ke dahi elo?”

            Harzel mengangguk, “Nggak,” jawab Harzel, lalu mengulangi pertanyaannya, “Lo berantem sama Rangga, ya?”

            “Kenapa lo pulang hujan-hujanan? Lo nggak bisa nunggu hujan berenti?” Revan balik bertanya.

            “Gue butuh jawaban bukan pertanyaan!” Teriak Harzel kesal.

            Harzel mendelik sebal atas ketidakjelasan Revan. Revan tak menggubris ekspressi kesal gadis di depannya. Ia sibuk melirik dahi Harzel yang sepertinya tidak apa-apa. Tanpa bicara apa-apa, Revan langsung berdiri. Hendak melangkah pergi. Harzel menarik kaus Revan bagian belakang hingga Revan menghentikan langkahnya.

            “Dasar orang nggak jelas! Gue benci elo! Gue nggak butuh elo! Nggak!” Harzel menyentakkan tangannya dari kaus Revan. Sebal setengah mati. Seketika ia melupakan kejadian di Foodcourt kemarin, “Denger, ya! Kalo Mama dan Sella udah pulang, gue bakal balik kerumah dan nggak pernah kerumah ini lagi!”

            Revan tengah membelakangi Harzel hanya bisa tersenyum geli. Setelah Harzel menyudahi caci maki dan sumpah serapahnya, Revan melangkah pergi dengan cuek.

***

            Lelaki itu tidak benar-benar pergi. Ia melirik Harzel di balik ambang dinding. Revan memperhatikan ekspressi Harzel dengan jelas. Gadis itu awalnya menampakkan ekspressi kesal dan marah—dengan mata yang berkaca-kaca, tak lama kemudian gadis itu menangis dengan ekspressi wajah yang membuat Revan hampir meledakkan tawa. Revan paham, tangisan yang dikeluarkan Harzel hanyalah kekesalan, bukan tangisan luka yang waktu itu ia saksikan.

            Tak lama kemudian, air mata gadis itu mengering. Gadis itu menampakkan ekspressi lelah dan mengantuk. Ia menguap beberapa kali, kemudian merebahkan tubuhnya di sofa. Tidak butuh waktu lama, gadis itu terlelap.

            Revan menghela nafasnya beberapa kali. Entah perlakuannya pada Harzel ini menyakiti gadis itu atau tidak. Yang jelas, saat ini ia sedang kalap. Kalap memikirkan masalah dirinya sendiri dan juga masalah Harzel.

            Semalam. Ia memutar rekaman CCTV itu beberapa kali. Rekaman yang menambah keyakinannya akan kecurigaannya selama ini. Orangyang selama ini terlihat sangat lugu dan baik hati, tega menusuk saudaranya sendiri dari belakang dengan berbagai fitnah dan terror norak.

            Masih hangat dalam fikiran Revan, apa yang dibicarakan Faraz saat itu tentang kecurigaannya.

            “Gue curiga satu orang. Udah lama sebenarnya gue mikirin semua kemungkinan yang ada. Tapi, gue rasa kalian nggak akan percaya.” Ujar Faraz saat itu.

            Revan dan Bimo mendelik heran pada Faraz, “Siapa?” tanya mereka bersamaan.

            Faraz menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya, “Misella.”

***

            Sewaktu festival musik kemarin, Faraz berkeliling mencari Misella karena Revan meminta dirinya untuk mencari gadis itu. Faraz membelalakkan matanya lebar-lebar, menelusuri bangku penonton yang tengah gelap karena acara masih berlangsung. Namun hasilnya nihil. Misella tidak ada dimana-mana.

            Faraz pun bersandar di dinding depan toilet. Hendak menelpon Revan, namun keinginannya terhenti ketika mendengar seorang perempuan sedang meringis kesakitan.

            Lelaki itu melangkah ke sumber suara yang berada di pojok ruangan yang sepi. Seorang perempuan tengah terduduk sembari membersihkan tangannya yang sedikit berdarah. Faraz mengenalinya.

            “Sella, lo kenapa?”

            Misella mendongak, wajahnya berubah tegang. Dengan cepat, gadis itu menyembunyikan tangannya yang terluka.

            Faraz menyerngitkan dahi. Lelaki itu mendekati Misella, lalu menarik tangannya hingga Faraz dapat melihat telapak tangannya sudah berdarah.

            Misella mencoba menarik tangannya kembali, namun Faraz menahannya, “Kenapa tangan lo bisa luka kayak gini?”

            Misella menarik tangannya dengan keras, “Bukan urusan lo!”

            Faraz mendengus, “Lo memang bukan urusan gue kalo Revan nggak minta gue buat nyari elo!” Tukas Faraz, “Lo tau kan apa yang terjadi pada Harzel?”

            Misella terdiam sejenak, lalu menggeleng, “Kak Harzel kenapa?”

            Faraz menghela nafas, “Lo ikut gue ke rumah sakit!”

            Misella menggeleng, “Nggak. Gue mau pulang aja!”

            Misella bangkit berdiri, hendak melangkah pergi. Dengan cepat, Faraz menahan tangannya, “Kakak lo kecelakaan dan lo nggak peduli sama sekali? Nggak mungkin lo nggak tau soal ini!”

            Misella menoleh, matanya berkaca-kaca, “Mama gue sendirian dirumah, Raz. Gue rasa.. kalian selalu ada untuk Harzel!” Misella melepaskan tangannya perlahan, “Jaga dia baik-baik!”

            Faraz selalu menepis kecurigaannya atas kejadian sederhana itu. Namun otaknya berfikir keras. Bahkan hingga sekarang, ia tidak bisa mempercayai bahwa Harzel dan Misella adalah kakak beradik. Tidak ada kemiripan dalam segi apapun dari keduanya.

            Harzel yang periang memang terlihat lebih unggul dari Misella yang pendiam. Mungkinkah Misella iri atas apa yang didapatkan dalam hidup kakaknya sendiri? Tidak! Lagi-lagi Faraz menepisnya.

            Kedua kalinya, Faraz menemui Ika diam-diam di rumah sakit malam itu—untuk mencari kejelasan atas tragedi yang menimpa Harzel—tepat setelah Ika dimarahi habis-habisan oleh pelatihnya.

            “Serah! Yang jelas, gue nggak ngelakuin itu!” Jawab Ika yang mulai lelah karena semua orang menuduhnya.

            Faraz menyerngitkan dahi, “Lo punya alasan yang buat gue percaya?”

            Ika membelalakkan matanya. Merasa kesal.

“Pertama! Tampil di festival adalah acara yang gue tunggu-tunggu dari kelas 10. Kedua! Gue adalah ketua tim ballet yang bertanggung jawab atas anggota gue. Ketiga! Harzel nggak penting bagi gue sampe gue harus rela nyelakain dia dan akhirnya ngancurin acara gue. Keempat! Selama ini gue udah berhasil buat nama Harzel sebagai perebut pacar orang populer. Kelima, kenapa gue harus buat nama gue rusak dengan cara nyakitin dia? Gue nggak sebodoh itu, Raz! Dan terakhir! Gue nggak suka main di belakang!”

            Faraz mengenal Ika dari SMP. Ika sangat suka mencaci, menghina, dan membully orang terang-terangan. Ia yakin, Ika tidak akan melakukan teror norak itu. Gadis itu sudah cukup membuat nama Harzel hancur dengan caranya yang terang-terangan. Lalu siapa??

            Ketiga kalinya. Tanpa sengaja, ia melihat Misella tengah berdiri menatap Revan dan Harzel yang sedang makan di foodshop berdua. Cukup jelas terlihat, wajah Misella menampakkan ekspressi marah, dengan mata yang berkaca-kaca penuh luka.

            Keempat. Lelaki itu tidak sengaja melihat Misella duduk sendirian di belakang gudang tua sekolah. Gadis itu  menangis tersedu-sedu, lalu merobek sebuah foto menjadi dua dan membakar salah satu robekkan itu. Saat bel masuk berbunyi, Misella bergegegas pergi masuk kelas, sedangkan Faraz langsung menghampiri kertas yang dibakar itu.

            Dengan cepat, Faraz menginjak api kecil itu dengan sepatu hingga padam. Ia tahu yang dibakar Misella adalah foto yang belum benar-benar hancur. Faraz meraihnya, lalu meliriknya lekat-lekat. Lama kelamaan, ia mulai mengenali wajah dalam foto yang dibakar itu.

Wajah milik Harzel.

Keyakinannya membulat seketika.

            Faraz pun berani mengungkapkan pada kedua temannya bahwa biang keladinya adalah Misella ketika Bimo menemukan kalung bertuliskan “Tiara Olinien” di gudang tua sekolah. Bimo tidak mempercayainya, namun Revan mempercayainya. Hingga akhirnya, ia menemukan kenyataan yang nyata ketika melihat dengan jelas rekaman CCTV.

***

            Revan termenung melirik Harzel yang tengah tertidur pulas dengan balutan selimut. Hujan masih sangat deras, namun semuanya terasa hening.

            Sejak pertama, Revan memang mencurigai Misella, namun ia tepis karena sebuah alasan. Sebuah alasan itu juga yang membuat Bimo tidak bisa percaya. Apakah ada saudara yang tega menyakiti satu sama lain?

            Mulai dari pengaduan manis Misella tentang Harzel—ketika pertama kali Revan menyelamatkan gadis itu dari serangan Rangga dan teman-temannya—yang membuat Revan sempat berfikiran buruk tentang Harzel, sampai pengakuan palsunya bahwa ia adalah Tiara Olinien. Padahal kenyataannya, Tiara adalah Harzel. Untung saja saat itu, terbesit hal yang menjanggal dalam benak Revan untuk mempercayai semua perkataan Misella. Bahkan sekalipun Revan tak pernah mengizinkan Misella memiliki kalung “Tiara Olinien”.

            Harzel membuka matanya pelan. Lambat laun, ia mampu melihat wajah Revan yang menatapnya hangat.

            “Maaf..maafin gue soal kemarin,” tutur Harzel pelan di sela-sela kesadarannya usai bangun dari tidur. Seketika ia ingat kesalahpahaman yang harus ia selesaikan. Gadis itu menatap Revan. Memohon, “Jangan tinggalin gue, ya? Lo udah janji.”

            Revan tertunduk seketika. Sepasang mata Harzel menunjukkan bahwa gadis itu benar-benar tidak ingin ia pergi. Namun entahlah. Lelaki itu malu membawa Harzel memasuki hidupnya yang rumit. Tidak mau menyusahkan.

            “Gue nggak keberatan masuk dalam kehidupan elo. Sekalipun, gue nggak pernah menganggap hidup lo berantakan. Nggak, Revan. Nggak!” Harzel menarik nafas panjangnya, “Gue cuma pengen lo balik ke Mama elo. Itu aja! Gue cuma pengen liat lo bahagia lagi!”

            Revan mengangkat kepalanya. Menatap sepasang mata bening milik Harzel. Seketika pertahanannya luluh. Dilema dirasakannya 2 hari ini seketika hilang. Hatinya kembali membaik.

            Lelaki itu menyeringai jahil, “Ternyata, pura-pura marah sama elo dua hari ampuh juga. Secara nggak langsung, gue berhasil buat lo mengakui perasaan lo ke gue.”

            Harzel langsung bangkit duduk. Matanya menegang. Gadis itu kemudian menyadari bahwa ia mengatakan sesuatu dari dalam hatinya begitu saja. Tanpa memikirkan gengsi. Kini wajahnya panas. Pipinya memerah. Dan.. apa yang lelaki itu bilang? Pura-pura marah?

            Revan tertawa renyah. Membuat Harzel malu sekaligus sebal. Gadis itu langsung bangkit. Hendak melangkah pergi. Menjauh.

            “Tunggu!” Seru Revan. Membuat Harzel menghentikan langkahnya, “Seragam sekolah, tas, dan sepatu elo masih disini. Lo minta gue yang nyuci semuanya?”

            Harzel berbalik. Mendelik sebal, “Gue tau kok lo nggak bisa nyuci! Lo nggak bisa bikin teh! Lo nggak bisa masak! Lo nggak bisa apa-apa!” Semprotnya dengan menggebu-gebu, “Gue bakal ambil semua..”

            “Itulah kenapa gue butuh elo,” potong Revan, “Gue butuh elo suatu saat nanti untuk nyuci baju gue, bikinin gue teh, dan masak makanan kesukaan gue.”

            Lagi-lagi Harzel menahan kegugupannya. Ia sadar kemana jalan pembicaraan Revan. Pipinya makin memanas dan memancarkan rona merah. Harzel menahannya sebisa mungkin.

            “Lo..” ujar Harzel terbata, “Ngarep banget gue mau jadi istri elo!”

            Revan tertawa geli. Tak bisa menahan dirinya melihat gadis di depannya yang tetap gengsi meski sudah terbawa perasaan, “Maksud gue bukan jadi istri..” ujarnya disela tawa, “Tapi asisten rumah tangga alias pembantu.”

            Wajah Harzel semakin memerah. Kali ini bukan karena terbawa perasaan cinta, melainkan terbawa perasaan malu setengah mati karena salah berfikir tentang ucapan Revan.

            Tanpa berkata apa-apa, Harzel berbalik dan melangkah pergi. Ia tak peduli meski hujan masih gerimis. Revan hanya menatap punggungnya yang makin menjauh sembari tersenyum geli. Lagi-lagi, kelakuan Harzel mampu menenangkan dirinya. Hingga lelaki itu bingung. Harzel manusia ataukah obat penenang?

***

            Harzel menyesap kopi yang baru saja ia buat. Hujan kini makin deras hingga menjelang senja. Ia tak bisa membendung senyum bahagianya. Meski Revan cuek setengah mati, ia tahu bahwa lelaki itu sangat menyayanginya. Gadis itu mampu merasakannya.

            Ia merasakan segalanya sekarang. Bukan hanya sekedar tahu definisi tentang cinta—yang ia pahami dari novel, film, dan buku motivasi yang sering ia baca—hingga ia mengemukakan teori tentang cinta.

            Kini ia merasakannya..

            Dingin. Harzel pun bangkit. Hendak menutup gordennya. Tiba-tiba..

            Ia terperangah melihat pemandangan di depannya. Revan berdiri di seberang., Lelaki itu menatapnya sembari tersenyum. Mau tak mau, Harzel membalas senyumannya.

            Little thing called love!

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • dede_pratiwi

    seperti lagi baca novel terjemahan. hehe. bahasanya enak dan mudah dipahami. udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu

    Comment on chapter PROLOG
Similar Tags
THE HISTORY OF PIPERALES
2053      801     2     
Fantasy
Kinan, seorang gadis tujuh belas tahun, terkejut ketika ia melihat gambar aneh pada pergelangan tangan kirinya. Mirip sebuah tato namun lebih menakutkan daripada tato. Ia mencoba menyembunyikan tato itu dari penglihatan kakaknya selama ia mencari tahu asal usul tato itu lewat sahabatnya, Brandon. Penelusurannya itu membuat Kinan bertemu dengan manusia bermuka datar bernama Pradipta. Walaupun begi...
Selfless Love
4569      1303     2     
Romance
Ajeng menyukai Aland secara diam-diam, meski dia terkenal sebagai sekretaris galak tapi nyatanya bibirnya kaku ketika bicara dengan Aland.
Lentera
863      596     0     
Romance
Renata mengenal Dimas karena ketidaksengajaan. Kesepian yang dirasakan Renata akibat perceraian kedua orang tuanya membuat ia merasa nyaman dengan kehadiran lelaki itu. Dimas memberikan sebuah perasaan hangat dan mengisi tempat kosong dihatinya yang telah hilang akibat permasalahan kedua orang tuanya. Kedekatan yang terjalin diantara mereka lambat laun tanpa disadari telah membawa perasaan me...
Begitulah Cinta?
17328      2612     5     
Romance
Majid Syahputra adalah seorang pelajar SMA yang baru berkenalan dengan sebuah kata, yakni CINTA. Dia baru akan menjabat betapa hangatnya, betapa merdu suaranya dan betapa panasnya api cemburu. Namun, waktu yang singkat itu mengenalkan pula betapa rapuhnya CINTA ketika PATAH HATI menderu. Seakan-akan dunia hanya tanah gersang tanpa ada pohon yang meneduhkan. Bagaimana dia menempuh hari-harinya dar...
Premium
Sepasang Mata di Balik Sakura (Complete)
8585      2029     0     
Romance
Dosakah Aku... Jika aku menyukai seorang lelaki yang tak seiman denganku? Dosakah Aku... Jika aku mencintai seorang lelaki yang bahkan tak pernah mengenal-Mu? Jika benar ini dosa... Mengapa? Engkau izinkan mata ini bertemu dengannya Mengapa? Engkau izinkan jantung ini menderu dengan kerasnya Mengapa? Engkau izinkan darah ini mengalir dengan kencangnya Mengapa? Kau biarkan cinta ini da...
Black World
1649      776     3     
Horror
Tahukah kalian? Atau ... ingatkah kalian ... bahwa kalian tak pernah sendirian? *** "Jangan deketin anak itu ..., anaknya aneh." -guru sekolah "Idih, jangan temenan sama dia. Bocah gabut!" -temen sekolah "Cilor, Neng?" -tukang jual cilor depan sekolah "Sendirian aja, Neng?" -badboy kuliahan yang ...
ENAM MATA, TAPI DELAPAN
601      378     2     
Romance
Ini adalah kisah cinta sekolah, pacar-pacaran, dan cemburu-cemburuan
I'il Find You, LOVE
6061      1665     16     
Romance
Seharusnya tidak ada cinta dalam sebuah persahabatan. Dia hanya akan menjadi orang ketiga dan mengubah segalanya menjadi tidak sama.
CINLOV (KARENA CINTA PASTI LOVE)
16146      2017     4     
Romance
Mala dan Malto dua anak remaja yang selalu memperdebatkan segala hal, Hingga akhirnya Valdi kekasih Mala mengetahui sesuatu di balik semua cerita Mala tentang Malto. Gadis itu mengerti bahwa yang ia cintai sebenarnya adalah Malto. Namun kahadiran Syifa teman masa kecil malto memperkeruh semuanya. Kapur biru dan langit sore yang indah akan membuat kisah cinta Mala dan Malto semakin berwarna. Namu...
injured
1437      760     1     
Fan Fiction
mungkin banyak sebagian orang memilih melupakan masa lalu. meninggalkannya tergeletak bersama dengan kenangan lainya. namun, bagaimana jika kenangan tak mau beranjak pergi? selalu membayang-bayangi, memberi pengaruh untuk kedepannya. mungkin inilah yang terjadi pada gadis belia bernama keira.