Tak ingin berpisah. Tak ingin dipisahkan. Dan tak bisa dipisahkan. Meski kita tahu, hidup tak semudah kata yang telah diucapkan. Dan tak semudah janji yang telah dilontarkan—Revandira Papinka dan Princess Harzel.
Laki-laki tak boleh dengan mudah melontarkan sesuatu yang bahkan dirinya masih bingung, apakah itu cinta atau hanya sekedar obsesi—Revandira Papinka.
***
Harzel berlarian menelusuri lorong-lorong sekolah yang sudah sepi. Bel masuk telah berbunyi 10 menit yang lalu. Untung saja, satpam yang baik hati dan pemurah masih mempersilahkannya masuk. Namun ia tidak yakin bisa selamat sampai di kelas. Guru Biologinya—yang teramat galak dan disiplin—telah berada di kelas tepat saat bel masuk berbunyi.
Harzel menunggu Revan di rumahnya, namun lelaki itu tak kunjung datang. Harzel pun mendatangi rumahnya dan bertemu Adrian. Adrian mengatakan, Revan sudah pergi ke sekolah pagi-pagi sekali. Hingga Harzel harus menunggu bus menuju ke sekolahnya dan berdesak-desakan.
Harzel berfirasat Revan mungkin tahu gadis itu berbohong padanya kemarin. Dan parahnya mungkin tahu bahwa Harzel pergi bersama laki-laki. Ah, apa masalahnya? Bukankah mereka hanya teman?
Nomor telepon Revan tidak aktif semalaman. Lelaki itu juga tidak duduk di tepi jendela seperti biasanya. Entahlah.
Harzel memasuki kelasnya dengan hati-hati, namun langkahnya terhenti saat Bu Ratih menatapnya seperti pembunuh berdarah dingin. Harzel tersenyum ramah yang dibuat-buat untuk menutupi rasa takutnya.
“Kamu sudah tahu kan kalo saya tidak suka dengan orang yang tidak disiplin??!!!” Semprot Bu Ratih.
Harzel menggigit bibir bawahnya, “Maaf, Bu.”
“Lebih baik kamu keluar! Kembali ke kelas saat pelajaran saya sudah habis!!” Tegas Bu Ratih. Harzel masih terdiam di tempat dengan memasang tampang memelas, “Pergi sana!!” Bentak Bu Ratih.
Akhirnya Harzel pun berbalik dan melangkah pergi dengan terpaksa. Sialnya—saat ia melangkah cukup jauh dari kelasnya—guru piket memanggilnya dan menyuruhnya menyapu halaman belakang gedung 3 lantai yang pernah terbakar dan kini dijadikan gudang.
Harzel menggerutu dalam hati sembari menyapu halaman dengan sapu ijuk. Bulu kuduknya seketika merinding. Gudang tiga lantai sekolahnya terkenal angker, sebab itulah siswa-siswi jarang berkunjung kesana. Dan saat ini.. ia menyapu halaman belakang gedung itu sendirian. Dalam hati, ia kesal pada Revan yang rela meninggalkannya dengan berangkat ke sekolah duluan. Dan kesal pada dirinya sendiri yang menolak ajakan Mamanya yang akan mengantar Misella. Entahlah, berbulan-bulan ini ia selalu pergi dan pulang bersama Revan. Alasannya karena jadwal pelajaran tambahan IPA dan IPS berbeda. Sehingga seringkali tidak sejadwal dengan Misella.
Plukk!!
Sesuatu jatuh tepat di atas kepala Harzel. Ia mengibaskannya hingga jatuh ke tanah. Gadis itu menjerit seketika. Sebuah cicak mati berukuran besar,
Harzel mendongak ke atas. Tidak ada siapa-siapa. Hanya saja, jendela lantai dua gudang itu—yang selama ini tertutup—kini terbuka lebar.
Harzel kembali menatap cicak mati itu, terdapat secarik kertas remuk di sebelahnya. Gadis itu yakin, sedari tadi ia hanya melihat daun kering kecoklatan. Tidak ada sampah kertas sebelumnya.
Penasaran. Harzel meraih kertas itu, membukanya kemudian membacanya.
Bangkai tikus, lemparan batu, gumpalan cacing, dan tusukan kaca nggak bisa buat lo jera!! Enam bulan gue berhenti bukan berarti gue diam!! SAMPAI KAPANPUN GUE TETEP BENCI SAMA LO! SAMPAI KAPANPUN RASA BENCI INI TETAP ADA SAMPE LO AKHIRNYA BENER-BENER MENDERITA!! JAUHI REVAN! DIA SEHARUSNYA MILIK GUE!! DASAR BANGSAT! MURAHAN!!
Harzel menahan nafas sembari membacanya. Ia langsung meremuk kertas itu dan menaruhnya di saku seragam, lalu melangkah dengan cepat menuju tangga gudang yang terletak diluar. Gadis itu melirik ke segala arah. Tidak ada orang.
Harzel tersandar di dinding lusuh di dekat tangga. Ia merasa takut. Benar-benar takut. Entah Ika atau siapapun, ia lelah menghadapi pembenci rahasia yang benar-benar berbahaya. Peneror itu bisa melakukan apa saja, terutama ketika Harzel sendirian.
Dengan segenap rasa takut yang membuncah, Harzel berlari kencang meninggalkan amanah yang di berikan guru piket padanya. Untung saja, guru piket itu tidak mengenalnya.
***
Setelah lima jam menunggu pelajaran Biologi usai, akhirnya penantian itu tidak sia-sia. Melihat Bu Ratih melenggang keluar kelas, Harzel melesat masuk. Bukan menuju bangkunya ataupun bangku Liana dan Sasha, melainkan bangku Revan.
Melihat Harzel melangkah menuju bangkunya, Revan sontak berdiri dan mengajak Bimo untuk menemaninya ke kantin. Ia hendak melangkah, namun Harzel menghentikannya.
“Gue..” ujar Harzel dengan nafas yang ngos-ngosan, “Gue mau ngomong sama elo.”
Revan tidak menggubrisnya. Lelaki itu justru berkata dingin, “Nanti aja.”
Harzel merentangkan kedua tangannya, mencoba menghadang Revan. Sontak perbuatannya mengundang tatapan penasaran dari teman-teman sekelasnya. Kini mereka jadi pusat perhatian.
Revan menghela nafas malas, lalu menatap Harzel dingin, “Lo mau ngomong apa?”
Harzel melirik sekelilingnya, kemudian menurunkan tangannya yang tadi terentang, “Tapi, nggak disini..”
Revan menatap Harzel sinis dan tajam. Ia sudah menduga Harzel akan menjelaskan kejadian kemarin. Semalaman lelaki itu kusut dan suntuk karena Harzel berbohong padanya. Membuatnya kehilangan mood untuk melakukan apapun. Entah mengapa, perasaan aneh itu tiba-tiba saja menyerangnya.
“Sebelumnya, gue juga mau nanya sesuatu,” ujar Revan tetap dengan nada dingin, “Kemarin lo pulang sama siapa? Pergi kemana?”
Harzel menghembuskan nafas panjang. Revan membuatnya mau tak mau berbohong lagi, “Gue udah bilang, gue pergi belanja nemenin Keyla.”
Rahang Revan mengeras mendengar kebohongan yang terlontar dari mulut Harzel. Dengan cepat, ia mengeluarkan Handphone dari saku seragamnya, memperlihatkannya di depan wajah gadis itu.
“Apa itu Keyla?” tanyanya dingin dan menusuk, sembari menunjuk layar Handphone miliknya.
Harzel menjerit kecil lalu menutup mulut dengan sebelah tangannya, sembari menatap layar Handphone Revan. Tertampil gambar dirinya dan lelaki berjaket hitam yang tak terlihat wajahnya.
Foto dirinya bersama Adrian yang tengah menggandengnya.
Tanpa mendengar apa yang akan Harzel katakan, Revan melengos pergi dan melangkah cepat, diiringi Faraz dan Bimo di belakangnya. Dengan cepat pula, Harzel berlari mengejar Revan lalu menarik seragam lelaki itu bagian belakang—mengabaikan mereka yang kini tengah menjadi pusat perhatian—bahkan oleh anak-anak yang tak sengaja melintas di depan kelasnya.
Revan berbalik dengan emosi, “Mau lo apa, sih??”
Harzel tertunduk. Tak sanggup melihat tatapan garang dari Revan. Kini ia mengerti mengapa Dewi tidak bisa menjelaskan apa-apa pada Arnold saat lelaki itu sedang marah. Revandira Papinka memancarkan aura yang sama, membuat Harzel tak bisa berkata apa-apa.
“Gue minta maaf,” tuturnya pelan, lalu memberanikan diri menatap lelaki itu, “Ada masalah yang lebih penting dari itu, Revan.”
Lelaki itu menahan perasaan aneh yang melanda dirinya sekuat tenaga. Perasaan yang membuatnya tidak menyukai lelaki manapun mendekati gadis itu selain dirinya. Ia pun berbalik dan melangkah pergi. Mencoba menghiraukan Harzel demi suasana hatinya.
Merasa bingung. Harzel meneteskan bulir air bening karena tak bisa menjelaskan apa-apa. Sangat tidak mungkin ia melanggar janjinya pada Dewi—yang telah memintanya untuk tidak menceritakan apa-apa pada Revan.
Tiba-tiba, ia tersadar dari lamunannya dengan sekali sentakkan nyeri. Seseorang menarik rambutnya dengan kasar sembari berteriak histeris.
“Nggak akan gue ampuni lo sekali ini!!”
***
Setelah melihat video dirinya yang begitu memalukan di akun youtube milik Harzel, Ika melangkah penuh emosi menuju kelas 12 IPA A. Teman-temannya hanya mengikuti gadis itu tanpa mencegahnya. Mereka pun emosi atas apa yang telah Harzel lakukan.
Ika berlarian setiba di depan kelas Harzel, kemudian masuk dan menarik rambut gadis yang teramat dibencinya itu dengan kasar.
“Nggak akan gue ampuni lo sekali ini!!”
Dengan tatapan murka, Ika menarik rambut Harzel dengan kencang, keras, dan kasar. Harzel meringis sembari menahan rambutnya dengan kedua tangannya. Beberapa orang—termasuk Revan—mencoba memisahkannya dengan menarik Ika. Namun Ika memberontak.
Harzel menerjang tulang kering Ika. Membuat Ika balas menerjangnya ke segala arah—membuat Harzel hampir muntah karena Ika juga menerjang perutnya. Harzel pun melepaskan tangannya yang sedari tadi menahan rambutnya, lalu menarik rambut Ika dengan keras, sekeras gadis itu menarik rambutnya.
Revan menarik Harzel dari belakang, sedangkan Faraz menarik Ika. Beberapa orang pun memisahkan kedua tangan yang bercengkrama itu. Dan akhirnya berhasil.
“Apa maksud lo, hah??” teriak Ika sembari terus memberontak untuk menyerang Harzel. Sekuat tenaga, Faraz terus memeganginya.
“Gue udah bilang bukan gue yang buat kaki lo tertusuk kaca! Bukan gue!!” Teriak Ika histeris, “Trus, kenapa lo malah balas dendam dengan malu-maluin gue?!!” Ia terus memberontak, “Lepasin gue, Faraz!!” Teriaknya. Membuat Faraz yang berdiri di belakangnya—sembari memegangi gadis itu—merasakan nyeri di telinga.
Harzel menatapnya tajam, “Dasar biang masalah lo! Gue sama sekali nggak ngelakuin apa-apa!” Teriak Harzel tak kalah histerisnya, “Gue capek bermasalah sama lo. Norak tau nggak!”
“Dasar sok suci! Munafik lo!” Ika langsung menerjang kedua tulang kering milik Faraz. Membuat lelaki itu kesakitan kemudian pegangan tangannya pada lengan Ika terlepas. Ika melangkah menuju Harzel dengan cepat dan..
SRETT!!
Gadis itu mencakar punggung tangan Revan yang tiba-tiba menutupi wajah Harzel. Ika—yang menyadari bahwa cakarannya salah sasaran—terperangah kaget.
“Bawa dia pergi!!” Seru Revan.
Ika yang tengah memberontak ditarik paksa oleh beberapa orang keluar dari kelas 12 IPA A. Suara teriakan dan sumpah serapah Ika seputar Harzel masih menggelegar.
Harzel tak memperdulikan Ika dan segala umpatan gadis itu tentang dirinya, ia langsung membalikan badan dan menarik tangan kanan milik Revan.
Punggung tangan lelaki itu berdarah akibat cakaran dari kuku tajam Ika.
Harzel menatap Revan dengan mata yang berkaca-kaca. Terharu sekaligus merasa bersalah.
Tatapan kesal dan dingin—yang sedari tadi ia berikan pada Harzel—berubah menjadi tatapan hangat. Revan menyeka air bening yang hendak menetes dari mata gadis itu, lalu menggeleng.
“Jangan nangis depan orang banyak..”
***
Revan dan Harzel memperhatikan video yang membuat Ika langsung histeris. Video detik-detik saat Ika terjerembab akibat meminum obat tidur—yang tadinya hendak gadis itu beri di minuman Harzel—di cafe donuts and cofee.
Di dalam video itu, terdapat Ika dan teman-temannya, Revan, Harzel, dan beberapa orang yang lalu lalang. Harzel memaklumi mengapa Ika sehisteris itu. Seorang Ika Marissa sangat menjaga harga dirinya. Ia tidak akan terima jika insiden obat tidur itu di tonton orang banyak. Namun..
“Bukan gue pelakunya,” tutur Harzel dari hati yang paling dalam, “Bahkan, gue sama sekali nggak punya akun youtube.”
Revan terdiam sejenak. Akun itu dibuat seakan-akan milik Harzel. Mulai dari nama, foto profil, sampai informasi di dalamnya. Serta tulisan di bawah video itu yang membuat Ika naik darah seketika.
Senjata makan tuan menimpa seorang Ika Marissa, karena perbuatan jahat dan irinya selama ini.
Revan menatap Harzel lekat-lekat, lalu mengguncang kedua bahunya, “Jujur sama gue,” Ia melirik sekelilingnya, tidak ada orang. Saat ini mereka berada di Unit Kesehatan Sekolah yang sedang sepi karena kegiatan belajar mengajar masih berlangsung, “Nggak ada orang disini. Jadi, gue minta lo jujur!”
Harzel menggeleng. Ia gundah dan sesak. Bahkan Revan—lelaki yang selama ini menjaganya—tidak mempercayainya.
Gadis itu membuka matanya lebar-lebar, membuat pancaran sepasang matanya dan mata milik Revan bertemu, “Gue nggak tau apa-apa soal video itu.”
Revan mengerjapkan matanya—yang sedari tadi mencari jawaban dari sepasang mata milik Harzel—kemudian melepaskan cengkraman tangannya dari bahu Harzel.
“Gue percaya elo,” tuturnya tulus.
Harzel menghela nafas lega. Namun rasa tidak tenang kembali menjalari dirinya. Harzel tidak yakin Ika akan tetap diam melihat dirinya dipermalukan.
Teringat sesuatu. Harzel pun mengambil kertas yang sedari tadi ia simpan di dalam sakunya kemudian menyerahkannya pada Revan.
“Gue mau kasih lihat ini ke elo,” tuturnya.
Revan menyambut kertas itu, membukanya, lalu membaca tulisan di dalamnya. Teror yang selama enam bulan ini padam, kini kembali lagi menghantui Harzel. Bahkan Revan yakin bahwa video Ika—yang mengatasnamakan Harzel—merupakan perbuatan peneror itu juga.
“Tadi gue disuruh guru piket bersihin halaman belakang gudang,” tutur Harzel bercerita, “Ada yang ngelempar gue dengan cicak mati dari lantai dua gudang bersamaan dengan kertas itu.”
Revan meremas kertas itu dengan kesal, lalu menatap gadis yang kini duduk sembari tertunduk di hadapannya. Ia menyesal mementingkan perasaan aneh yang melandanya daripada mendengarkan Harzel.
“Maafin gue, ya,” tutur Revan tulus.
Harzel mengangkat wajahnya, lalu tersenyum tipis, “Nggakpapa,” jawabnya, “Gue yang harusnya minta maaf..” Harzel menyentuh pelan punggung tangan Revan yang kini dibalut perban, “Tangan lo jadi kayak gini.”
Revan tertawa kecil, “Kuku cewek itu tajem juga.”
Harzel terdiam menatap tangan milik Revan. Lalu tatapannya mulai kosong dalam hitungan detik. Ia larut dengan memikirkan bermacam-macam sesuatu, mulai dari untaian cerita Dewi kemarin, kertas teror, sampai video Ika yang di upload dengan mengatasnamakan dirinya. Kepalanya penuh dengan hal-hal yang membuat dirinya lelah, baik fisik maupun batin.
Lamunannya buyar saat kedua tangan hangat milik Revan, memegang kedua pipinya erat. Revan mengangkat wajah gadis itu hingga tatapan mereka kembali bertemu.
“Gue nggak bisa bayangin kalo Ika nyakar muka lo,” Revan berujar pelan kemudian menyunggingkan senyum hangatnya. Senyum dari hati terdalamnya.
Perkataan Revan mampu menembus perasaan terdalam milik Harzel. Seketika gadis itu lupa cara bernafas normal.
“Ke..kenapa?” tanya Harzel terbata-bata.
Revan melepaskan tangannya dari pipi Harzel kemudian mengangkat bahu, “Gue nggaktau.”
Lelaki itu berdiri membelakangi Harzel, kemudian mengeluarkan perkataan yang selama ini mengganggu fikirannya. Perasaan yang menghantuinya namun belum pernah terucap sama sekali. Tak ada yang tahu. Meski Adrian sekalipun. Selama ini, ia hanya berkomunikasi dengan hatinya sendiri.
Apakah ini perasaan suka seperti yang dirasa Adrian dengan teman sekampusnya? Entahlah.
“Gue seneng aja ngeliat dia. Cantik, pinter, banyak bakat..” Ujar Adrian ketika mereka makan malam 3 bulan yang lalu, “Tapi nggaktau ah. Gue pendem aja dulu. Belum punya modal banyak buat ngajak dia ke jenjang yang lebih serius.”
Kini lelaki itu menyadari. Perasaannya melebihi dari sekedar rasa suka. Bahkan, ia tak memperdulikan kelebihan yang melekat di diri Harzel. Lelaki itu tak pernah kagum karena Harzel jago bermain piano, suaranya enak di dengar, dan bisa menari ballet. Sekalipun, Revan tak pernah mengaggung-agungkan itu.
Lelaki itu hanya tahu bahwa Harzel mampu membuatnya tertawa sepanjang hari. Meski celotehan gadis itu tidak penting, seperti menertawakan orang berkepala gundul yang tak sengaja lewat di depan mereka. Revan begitu nyaman mendengarkan cerita demi cerita dari mulut gadis cerewet itu, seakan-akan mulutnya tak butuh istirahat. Dan sekali lagi.. bersama gadis itu Revan merasa cahaya hidupnya kembali. Tidak merasa sesak seperti dulu. Harzel sudah membuat banyak perubahan di dalam hidupnya dengan cara yang sederhana. Gadis itu tampil apa adanya tanpa perlu menjadi orang lain. Dan itu sudah cukup bagi Revan.
“Gue seneng ada lo dalam hidup gue setiap saat. Gue seneng setiap hari ngeliat elo. Gue seneng denger semua ocehan lo yang kadang-kadang sama sekali nggak penting. Gue dengan senang hati mau nganter lo kemanapun lo mau. Gue bahagia beliin lo minum waktu lo lagi haus meskipun gue sendiri sebenarnya cuma seorang siswa yang nggak punya duit. Setiap saat, gue takut lo kenapa-napa. Semua yang menimpa lo bukan hanya buat lo takut, tapi gue juga takut. Rasa takut itulah yang buat gue sebisa mungkin menjaga elo, Harzel.”
Revan berbalik, menatap Harzel yang kini menegang.
“Dan yang lebih aneh lagi. Gue nggak rela lelaki manapun—termasuk cowok berjaket hitam kemarin—berani ngedeketin elo. Itu bisa buat mood gue berantakan seharian. Dan gue nggaktau dan nggak ngerti apa yang sedang gue rasain,”
Revan menghela nafas panjang. Seketika ia lega karena mengutarakan segala isi hatinya.
Harzel tak bisa menahan degup jantungnya sendiri. Ia bahkan takut Revan bisa mendengarnya. Selama Revan mengatakan itu semua, selama itu pula nafas Harzel tercekat. Ngos-ngosan. Bahkan lupa bagaimana caranya bernafas normal.
Gadis memberanikan diri mengangkat wajahnya.
“Gue.. gue juga nggaktahu,” Gadis itu berkata terbata-bata, kemudian memaksakan senyum, “Yang gue tahu, gue nggakmau kehilangan elo.”
Harzel mengangkat jari kelingkingnya, “Jangan pernah tinggalin gue, Revan! Berjanjilah!”
Revan melingkarkan jari kelingkingnya di jari kelingking milik Harzel, “Gue janji!”
Seketika itu. Komitmen satu sama lain dimulai. Hanya satu yang mereka fikirkan kala itu..
Tidak ingin berpisah. Tidak ingin dipisahkan. Dan tidak bisa dipisahkan. Meski mereka tahu, hidup tak semudah kata yang telah diucapkan. Dan tak semudah janji yang telah dilontarkan.
Revan sendiri menyadari. Perasaan rumit, aneh, nyaman, dan menyenangkan yang melandanya dapat di deskripsikan dengan kata sederhana yaitu ‘cinta’. Ya, cinta! Ia menyadari hal itu sudah lama sekali. Jatuh hati kemudian jatuh cinta. Kalau saja beberapa bulan lalu—setelah perkelahian Ika dan Harzel di ruang ballet—gadis itu tidak pingsan untuk kedua kali di UKS. Mungkin Revan sudah mengatakan hal sakral itu.
Aku mencintaimu!
Namun ketika melihat gadis itu belum sadarkan diri dari rumah sakit setelah pingsan untuk kedua kali. Revan menyadari bahwa cinta membutuhkan pembuktian, bukan hanya perkataan. Laki-laki tak boleh dengan mudah melontarkan sesuatu yang bahkan dirinya masih bingung, apakah itu cinta atau hanya obsesi? Jika itu obsesi, lantas apa beda dirinya dan Rangga?
Dan yang dapat Revan lakukan untuk Princess Harzel—gadis yang berhasil membuatnya jatuh hati—adalah sebuah pembuktian. Hanya itu!
***
“Ada apa, Raz?” tanya Revan heran melihat tingkah aneh dari Faraz yang tiba-tiba menyepikannya bersama Bimo di halaman belakang gudang.
“Ngeliat tingkah Ika yang histeris tadi, gue sepenuhnya yakin kalo yang neror Harzel selama ini bukanlah Ika.”
Revan menghela nafasnya. Pemikiran Faraz bertentangan dengan Bimo. Bimo tetap bersikeras menganggap Ika biang dari semua permasalahan yang menimpa Harzel.
“Bisa aja Ika cuma akting, Raz!” tukas Bimo, “Dia yang buat akun atas nama Harzel biar Harzel di cap jahat oleh satu sekolah karena udah malu-maluin dia di depan umum.”
“Gue kenal Ika dari SMP, Bim!” Bantah Faraz, “Dia memang licik, tapi dia nggak akan rela mempermalukan dirinya demi membuat Harzel dihujat. Harga diri adalah nomor satu dalam hidupnya,” ujar Faraz, “Dan satu lagi.. Ika bukan tipikal orang yang main belakang, dia blak-blakan, nggak munafik! Coba lo fikir, selama ini dia bisa mempropaganda teman sekelasnya sampe mereka ikut-ikutan membenci Harzel tanpa alasan, lalu kenapa dia harus menggunakan teror murahan itu? Yang terpenting bagi Ika adalah kejatuhan harga diri Harzel, bukan justru kesakitan fisik Harzel.”
“Tapi kan, Harzel berhasil dia permalukan di depan umum waktu acara pentas seni. Itu juga mempertaruhkan harga diri, Raz!” Bantah Bimo tak mau kalah.
Faraz menggeleng, “Kalau saja Harzel memutuskan untuk tidak tampil, itu nggak akan terjadi! Orang itu benar-benar menyimpan kebencian pada Harzel. Dia selalu pengen Harzel menderita.”
Setelah mencerna kata-kata dari kedua temannya, Revan akhirnya mengangguk, “Faraz ada benernya juga, Bim.”
Bimo menelan ludah Seketika, ia juga membenarkan apa yang dikatakan Faraz.
Revan mendongak, menatap lantai dua gudang tua itu yang kini jendelanya terbuka, kemudian melirik tanah berumput yang ia pijak. Cicak mati itu masih tergeletak disana.
“Kalian mau ikut gue ke atas?” tanya Revan, “Harzel dilempari cicak mati di lokasi ini. Gue yakin asalnya dari atas.”
Kedua sahabatnya mengangguk mantap.
***
Revan, Bimo, dan Faraz mencari sesuatu di gudang itu—terutama di ruang yang jendelanya telah terbuka. Bermacam-macam bau busuk dalam gudang itu, membuat ketiganya menutup hidung tidak tahan.
Hasilnya nihil.
“Nggak ada apa-apa disini,” ujar Faraz.
Revan yang sedari tadi teliti mencari sesuatu yang mungkin bisa jadi petunjuk, akhirnya menyerah juga. Ia tidak menemukan apa-apa. Akhirnya mereka pun melangkah keluar dari ruangan itu dan mulai menuruni anak tangga.
“Van, gue nemu ini!” Seru Bimo—yang sedari tadi melangkah paling belakang—sembari mengacungkan sebuah kalung. Bimo masih berada di atas ketika kedua temannya mulai menuruni anak tangga.
Revan dan Faraz sontak menoleh, lalu menapaki anak tangga yang kumuh—menuju lantai atas—untuk menghampiri Bimo.
“Apa ada nama Tiara Olinien di sekolah ini?” tanya Bimo sembari menatap kalung yang tengah ia pegang.
Revan sontak kaget. Ia langsung merampas kalung yang tengah Bimo pegang, lalu memperhatikannya lekat-lekat. Tentu saja ia tidak lupa. Kalung ini ia jaga sejak lelaki itu masih berumur tujuh tahun. Kalung bertuliskan ‘Tiara Olinien’.
“Lo kenal kalung itu, Van?” tanya Faraz penasaran.
Revan mengangguk, “Kalung ini.. gue kasih ke Harzel enam bulan yang lalu.”
Bimo mendelik heran, “Nggak mungkin Harzel meneror dirinya sendiri, kan?”
“Memang nggak,” tukas Faraz, kemudian melirik kedua temannya, “Gue curiga satu orang. Udah lama sebenarnya gue mikirin semua kemungkinan yang ada. Tapi gue rasa kalian nggak akan percaya.”
Revan dan Bimo menyerngitkan dahi. Merasa penasaran.
“Siapa?” tanya Revan dan Bimo bersamaan.
***
“Gue kan udah bilang, gue suka kalung itu,” tutur Harzel melangkah menuju kamar, diiringi dengan Revan di belakangnya.
Harzel merasa heran menyadari Revan yang datang ke rumahnya malam-malam hanya untuk menagih kalung itu.
Sesampai di kamar, Harzel mengobrak-abrik laci lemarinya. Namun hasilnya nihil. Kalung itu tidak ada disana.
Harzel mengeluarkan semua barang-barang dari lacinya, tetap saja ia tidak menemukan kalung itu. Ia pun berbalik. Menatap Revan yang berdiri di depannya dengan tatapan penyesalan.
“Kemarin gue simpen kalung itu di laci. Gue yakin!”
“Kalo lo emang yakin, sekarang mana?” tanya Revan sembari menatap Harzel lekat-lekat. Terdengar nada kesal dari suara berat lelaki itu.
Harzel menggigit bibirnya. Merasa bingung.
“Bakal gue cari sampe ketemu!” Ujar Harzel. Lalu berbalik, hendak mengobrak-abrik lemari pakaiannya.
Revan menahan tangan Harzel yang hendak membongkar lemarinya. Lelaki itu melangkah hingga berada tepat di sisi kanan Harzel, lalu mengacungkan kalung—yang sedari tadi Harzel cari—tepat di depan wajah gadis itu.
Harzel terperangah, “Hah??”
Revan menatapnya dingin dan menaruh kembali kalung itu di saku celananya, “Gue percayakan kalung ini ke elo, tapi lo ceroboh!”
Tanpa mendengar penjelasan Harzel, lelaki itu memalingkan wajahnya dan melangkah pergi.
“Tunggu!” Seru Harzel, membuat langkah Revan terhenti.
“Siapa Tiara Olinien itu? Kenapa sikap lo nunjukkin kalo dia orang yang spesial? Sebenernya dia itu siapa?? Kalau emang dia cuma temen masa kecil, kenapa respon lo berlebihan?” todong Harzel dengan berbagai pertanyaan. Namun lagi-lagi, Revan menciptakan kebisuan.
Enam bulan yang lalu, entah mengapa, Revan mempercayakan kalung—yang ia jaga selama 10 tahun itu—pada Harzel. Alasannya sederhana, Harzel menyukai kalung itu. Meski Misella menceritakan kejadian sama persis seperti kejadiannya, entah mengapa sebagian hatinya menolak untuk percaya. Entahlah, Revan sendiri tidak tahu mengapa dirinya begitu ragu padahal ia sendiri lupa dengan wajah gadis yang ia selamatkan 10 tahun yang lalu.
“Revan, gue nggak suka dibohongi.”
Kata-kata yang dilontarkan Harzel, membuat gejolak emosi yang sedari tadi terlupakan olehnya kembali muncul. Seketika, ia teringat bahwa Harzel tidak berkata jujur sampai sekarang, dengan siapa ia pergi kemarin dan kemana.
Revan berbalik, menatap Harzel dingin, “Gue juga nggak suka dibohongi,” ucapnya pelan, namun menusuk.
Harzel menatap Revan dengan sepasang matanya yang kini berkaca-kaca, “Gue tanya, siapa Tiara Olinien itu?”
“Gue juga tanya, siapa cowok yang pergi dengan elo kemarin? Dan kemana??” tanya Revan dengan suara cukup keras. Lelaki itu menahan diri agar tidak membentak Harzel sebisa mungkin.
Harzel mengerjapkan matanya. Bingung harus menjawab apa.
“Revan..” tuturnya, “Terkadang ada sesuatu yang cuma gue dan Tuhan yang boleh tau saat ini. Lo bakal tau, tapi nggak sekarang,” ia menyunggingkan senyumnya, mencoba menenangkan Revan di depannya, “Yang jelas.. dia bukan siapa-siapa.”
Revan manggut-manggut, “Baiklah..” jawabnya pasrah.
Harzel menyerngitkan dahinya, “Lo belum jawab pertanyaan gue. Siapa Tiara Olinien itu?”
“Hanya gue dan Tuhan yang tau!”
Mendengar jawaban tegas dari Revan, Harzel langsung bungkam seribu bahasa. Seketika, ia mulai tidak nyaman dengan bayang-bayang Tiara Olinien diantara mereka.
“Selamat malam.”
Setelah menuturkan kedua kata itu, Revan langsung berbalik dan melangkah pergi. Harzel yang tidak memiliki alasan untuk mencegah lelaki itu, hanya terpaku menatap punggungnya yang melangkah menjauh hingga menghilang di balik ambang pintu.
Harzel sontak jatuh terduduk ketika Revan sudah pergi. Dadanya merasa sesak. Ia tak rela perempuan manapun merebut lelaki itu darinya, meski hanya bayang-bayang.
***
Mendengar berita mengejutkan yang berasal dari majalah dinding sekolah. Revan dan Harzel melangkah cepat menuju sumber berita. Sesampai di depan majalah dinding, Revan menerobos kerumunan dan menarik Harzel di belakangnya.
Di depan mereka, sebuah foto terpampang jelas. Foto yang lagi-lagi menjatuhkan harga diri Harzel. Membuat hampir semua orang yang berada disini, memandangnya dengan tatapan hina.
Sebuah foto ketika dirinya hendak menusuk wajah Ika dengan serpihan kaca. Lokasinya tepat di ruang ballet sekitar enam bulan yang lalu.
“Dasar licik!”
“Diem-diem ternyata bahaya juga, ya!”
Berbagai macam bisik tetangga dan raut wajah tidak senang membuat telinga Harzel dan Revan panas. Dengan kesal, Revan membuka lemari kaca yang melapisi majalah dinding, lalu menarik foto—yang dicetak dengan kertas HVS itu—dengan kasar dan merobeknya.
Revan melemparkan kertas itu dengan kasar, “Apa liat-liat??” tanyanya kesal pada orang-orang yang kini mengerumuni mereka.
Lambat laun, kerumunan itu mulai bubar satu persatu. Meninggalkan Revan, Harzel, Keyla, Liana, Sasha, Faraz, dan Bimo yang berdiri mematung disana.
Tidak tahan. Harzel tertunduk. Tak menunggu waktu lama, sebulir air bening—yang sedari tadi sekuat tenaga ia tahan—menetes tanpa bisa dicegah. Sakit fisik bukanlah masalah dibandingkan harga dirinya yang kini diinjak-injak oleh orang banyak.
seperti lagi baca novel terjemahan. hehe. bahasanya enak dan mudah dipahami. udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu
Comment on chapter PROLOG