Ya, lagi-lagi aku dibuatnya kesal. Namun bagaimanapun juga, dia adalah pahlawanku. Aku harus berterima kasih dan membalas budi—Princess Harzel.
***
Revan membuka jendela kamarnya kesekian kali. Sejak jam 5 sore tadi, seberang kamarnya belum menampakkan adanya tanda-tanda kehidupan.
Revan melirik jam dinding, hari sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Apakah Harzel benar-benar belum pulang juga? Apa yang ia lakukan diluar sana?
Tidak lama kemudian, dering sms dari Handphone miliknya membuyarkan lamunan. Ia pun membukanya dan ternyata sebaris pesan dari Adrian.
Revan, gw pulang malem soalny lg ngerjain beberapa tugas di kampus. Elo nyusul aja di warung nasi pinggiran jalan raya, oke? Gw tggu dsn jam setengah 9.
***
Harzel merapatkan tubuhnya dengan jaket tebal berwarna coral peach, serta memeluk ransel merah jambu yang cukup berat, karena berisi buku pelajaran, pakaian ganti, bekal makanan dan minuman, serta bedak dan pembersih wajah. Untungnya, rasa kantuk—yan sedari tadi menganggunya hilang—sehingga gadis itu tidak perlu khawatir saat menaiki busway. Kursus intensif tambahan membuatnya harus pulang malam beberapa hari ini.
Harzel berhenti di halte depan jalan menuju rumahnya. Gadis itu melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 20.30. Dengan tergopoh-gopoh menahan sakit di kakinya, Harzel melangkah menapaki jalan.
Ia melirik jalan di sekitarnya yang cukup sepi. Bulu kuduknya merinding karena takut pada mahkluk hidup bukan pada mahkluk halus. Karena mahkluk hidup seperti manusia jahat bisa melakukan apa saja pada gadis malang sepertinya.
Harzel mempercepat langkahnya ketika dua orang laki-laki bertubuh besar yang sedang merokok di pinggir jalan meliriknya. Ia makin mempercepat langkahnya sambil memegang ranselnya erat saat mendengar langkah kaki mengikutinya.
“Aww!!” Teriak Harzel ketika seseorang menarik ujung jaketnya. Kali ini ia tidak bisa berkutik lagi, dua orang lelaki bertubuh besar sedang mengepungnya. Keduanya sangat menyeramkan, yang satu berambut gimbal dan yang satunya berambut cepak. Tatoo memenuhi bagian tubuh kedua lelaki itu.
“Serahin tas lo!” Ancam salah satu dari mereka.
Harzel yang merasa ketakutan setengah mati mencoba melawan, “Nggak!” Ia mencoba lari namun salah satu dari mereka menahan tubuhnya.
Salah satu dari mereka menodongkan pisau sedangkan yang satunya lagi memegang kedua tangannya dengan kasar, membuat Harzel tidak bisa berkutik lagi.
Harzel menggigit bibirnya, air matanya mengalir tanpa bisa dicegah, wajahnya mulai memucat. Pisau itu begitu dekat dengan wajahnya. Ia pun menyodorkan ransel yang ia bawa.
“Cewek ini manis juga,” ujar lelaki berambut cepak—yang sedang memegang pisau—sembari tersenyum nakal sebelum hendak mengambil ransel milik Harzel.
“Woy!”
Terdengar suara laki-laki dari kejauhan. Membuat Harzel dan kedua lelaki bertubuh besar itu menoleh ke sumber suara.
Laki-laki berpostur tinggi, mengenakan sepan jeans biru tua, dan jaket merah maroon mendekati mereka dengan langkah cepat. Setelah jarak mereka cukup dekat, Harzel mengenal siapa dia.
Revan.
Revan tersenyum pada Harzel yang berada di cengkraman penjahat itu. Senyumnya begitu tenang seperti tidak terjadi apa-apa. Namun Harzel mengerti, senyum itu merupakan isyarat Revan padanya agar ia diam di tempat.
“Kok main sama cewek? Sini main sama gue aja!” Ujar Revan sembari tersenyum licik.
Lelaki berambut cepak itu menyodongkan pisau ke arah Revan. Membuat Harzel jantungan setengah mati, namun Revan tetap memasang wajah tenang.
Dengan sigap, Revan menerjang tangan lelaki itu hingga pisaunya terjatuh. Dengan cepat pula, ia mengambil pisau itu di jalan sebelum lelaki itu berhasil mengambilnya. Kali ini, ia yang menyodongkan pisau pada lelaki itu.
Revan mendengus, “Kalian nggak punya pisau cadangan?”
Revan mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, membuat penjahat itu maupun Harzel terbelalak kaget.
Sebuah pistol.
Ia menyodongkan pistol pada orang di depannya, hingga wajah lelaki berambut cepak itu pucat pasi.
“Mundur!” Perintahnya dengan suara lembut, namun menantang. Kedua lelaki bertubuh besar itu pun mengangkat tangan sembari memundurkan langkahnya.
“Kalo elo berani macem-macem sama kita, gue bakal sakitin cewek ini!” Ujar seorang lelaki berambut gimbal yang sedang memegangi Harzel.
Ia pun mencengkram tangan Harzel dengan kasar, membuat Harzel meringis kesakitan.
Hati Revan mencelos seketika, namun ia memperingatkan diri agar tidak lengah.
“Lo fikir gue takut?” jawab Revan, lalu membidik pistolnya ke arah mata penjahat itu. Namun penjahat itu tidak bergeming.
Revan mengeluarkan sebuah Handy Talky di dalam kantung celananya dan mulai menghubungi seseorang.
“Jon, lepasin tuh cewek! Dia polisi, kita bisa habis!” Ujar lelaki berambut cepak dengan wajah ketakutan.
Lelaki bernama Jon itu pun melepaskan Harzel dan mendorongnya keras, untung saja Harzel bisa menjaga keseimbangan agar tidak jatuh.
Revan menarik Harzel kemudian menempatkan gadis itu di belakangnya.
Revan berbisik, “Lo tunggu disini! Gue mau ajak mereka main dulu.”
“Tapi Revan?”
Revan tidak menanggapi Harzel, ia mendekati dua orang lelaki bertubuh besar yang sudah pucat pasi, kemudian menerjang wajah keduanya hingga mereka jatuh terguling.
Revan menyodongkan pistolnya, kedua lelaki itu langsung angkat tangan. Revan pun menerjang kepalanya, hingga keduanya kembali jatuh terguling di aspal. Dengan cepat, Revan kembali menyodongkan pistol ke arah mereka untuk berjaga-jaga.
Dari kejauhan, terdengar mobil polisi mendekati mereka. Revan tersenyum puas, begitu juga Harzel. Namun, Harzel teringat sesuatu! Revan akan terseret karena membawa senjata api dan akan ditindak pidana kalau ketahuan.
Harzel berlari mendekatinya, mengabaikan kakinya yang makin nyeri. Ketika posisinya sudah dekat dengan Revan, ia sontak mengambil pistol di tangan Revan dengan cepat lalu menyimpan pistol itu di dalam ransel miliknya.
Revan menoleh dengan kaget, “Lo apa-apaan, sih?”
Tiba-tiba, satu pukulan dari lelaki bernama Jon mendarat ke perut Revan saat ia kehilangan fokus akibat Harzel.
Keduanya bangkit dan mulai mengeroyok Revan. Yang mereka inginkan sekarang menghabisi lelaki ini sebelum masuk dalam penjara.
Harzel yang merasa panik setengah mati, mengambil pistol di dalam ranselnya, “Lepasin dia!” Teriak Harzel sembari menodongkan pistolnya.
Kedua lelaki itu tidak takut sama sekali. Jon hendak merebut pistol dari Harzel. Dengan cepat pula, Revan langsung menerjang rekannya hingga terjerembab. Jon yang langsung menoleh, sontak mendapatkan tonjokan dari Revan. Revan langsung membalas perlakuan keduanya dengan menerjang dan menonjoknya, hingga kedua orang itu terjerembab ke aspal.
Tak lama kemudian, polisi langsung membawa mereka yang sudah babak belur ke dalam mobil. Setelah polisi dan penjahat itu pergi, salah satu polisi yang datang dengan sepeda motor mendekati Revan dan tersenyum.
“Harzel, ini Om William. Paman gue,” ujar Revan mengenalkan.
“Eh, iya,” Harzel mengulurkan tangannya yang disambut ramah oleh Om William, “Saya Harzel.”
Harzel memperhatikan Om William. Lelaki itu memiliki kemiripan fisik dengan Revan. Berpostur tinggi, berambut pirang, bermuka blasteran Inggris, namun Om William lebih putih daripada Revan. Entah pemikiran darimana, Harzel iri dengan kemulusan kulit lelaki yang sudah berumur itu.
Om William menyambut uluran tangan Harzel dan tersenyum hangat. Setelah berbincang sebentar, lelaki itu pamit.
“Lo nggakpapa, kan?” tanya Harzel dengan raut wajah khawatir.
Revan berdecak, rasa jahilnya makin menjadi-jadi, “Mestinya sih nggakpapa, gara-gara elo ngambil pistol gue sembarangan, gue jadi salah fokus dan penjahat itu malah nendang perut gue!”
“Tapi membawa senjata api itu kan dilarang. Kalo lo ketauan, lo bisa gabung dengan penjahat itu dalam penjara!”
“Gue nggak peduli, lagian masuk penjara itu asyik juga,” jawab Revan asal.
“Sinting lo!”
Harzel melangkah pergi tergopoh-gopoh. Ia sudah menebak, Revan pasti akan mengikutinya dan membantunya berjalan seperti di sekolah tadi.
“Balikin pistol gue!” Ujar Revan ketus sembari berjalan pelan di samping Harzel, tanpa membantu gadis itu sama sekali.
Harzel mengambil pistol di ranselnya dan menyerahkannya pada Revan. Revan pun mengambilnya dan memasukkannya di kantung celana.
“Intinya gue udah berusaha nyelamatin elo, sisanya terserah! Kalo elo ketangkep setelah ini, gue nggak tanggung!” Gerutu Harzel sambil terus berjalan.
“Gue juga nggak minta tanggung lo kok,” jawab Revan jahil, “Nanggung diri sendiri aja lo nggak bisa, gimana mau nanggung gue?”
Dengan kesal, Harzel langsung menonjok perut Revan. Sontak, lelaki itu langsung terduduk dan meringis kesakitan.
“Eh, sorry..” ucap Harzel. Wajahnya memancarkan ekspressi khawatir, membuat kejahilan Revan menjadi-jadi. Ia pun memasang ekspressi sakit yang dibuat-buat, padahal tonjokkan Harzel hanya seperti luka yang digigit semut baginya.
Harzel terduduk, kemudian mengusap perut Revan, “Jadi gimana dong? Kaki gue sakit, perut elo sakit. Kayaknya kita butuh Tim SAR.”
“Udah!” Revan menyibakkan tangan Harzel dan mulai berdiri. Ia melirik Harzel yang masih terduduk, “Elo masih kuat jalan?”
Harzel berdiri pelan-pelan, “Masih,” jawabnya lantang, “Emangnya, lo mau gendong gue?”
“Nggak!”
Revan langsung melengos pergi. Dengan cepat pula, Harzel menarik ujung jaketnya dengan kasar.
“Lo mau ninggalin gue disini? Dasar tega lo! Brengsek!” Gerutu Harzel setengah berteriak. Membuat kedua telinga Revan nyeri seketika.
Revan berbalik, menatap perempuan cerewet di depannya dengan tatapan tajam, “Serahin tas lo ke gue!”
Harzel mendelik heran, gaya bicara Revan seperti lelaki yang menodongnya tadi, “Lo kenapa, sih?”
“Nggak usah banyak nanya!” Tukasnya, “Cepetan!”
Harzel yang cukup percaya pada teman sekelasnya ini, langsung menyerahkan ransel merah jambunya. Revan menyambutnya dan merangkul ransel milik Harzel di kedua bahunya.
Harzel tersenyum puas, “Bagus deh, gue nggak capek-capek bawa tas.”
Revan memandangnya dengan ekspressi datar. Sesaat kemudian, ia langsung mengangkat Harzel.
Harzel yang takut terjatuh, berpegangan di bahu Revan, “Eh, turunin gue!” Bentaknya, “Lo jangan kurang ajar, ya! Gue ini cewek baik-baik!”
Revan melangkah sembari menggendong Harzel. Ia sibuk menggerutu dalam hati karena Harzel cukup berat dan membuat tangannya pegal.
“Revan! Lo denger gue nggak, sih??” teriak Harzel. Membuat telinga Revan benar-benar sakit.
“Kalo lo mau pulang dengan selamat! Lo harus kunci mulut lo itu!” Ancamnya dengan suara pelan, “Gue nggak bakal macem-macem! Gue udah pernah bilang kalo lo itu bukan tipe gue!”
“Ya, gue inget!” Ujar Harzel sembari mendelik sebal, “Lo juga bukan tipe gue!”
Revan tidak menjawabnya. Lelaki itu malas beradu mulut dengan Harzel. Revan sudah menduga bahwa ia akan kalah. Mereka pun terdiam beberapa saat, sambil mengatur detak jantung masing-masing.
Harzel mengerjapkan matanya beberapa kali. Gadis itu merasa gugup saat berhenti berbicara. Darahnya memompa keras, hingga wajahnya memerah, sedangkan tangannya menjadi pucat dan dingin.
“Lo darimana aja?” tanya Revan, kali ini nada suaranya melembut.
Harzel merapatkan mulutnya, membuat Revan mendelik heran.
“Lo kenapa sih?” tanya Revan sambil menyerngitkan dahi.
Revan tersenyum geli, senyum yang tidak bisa ia tahan. Revan baru mengerti mengapa Harzel membungkam mulutnya.
“Ternyata lo mau pulang dengan selamat,” ujarnya, “Itu bagus.”
***
Harzel mengeringkan rambutnya dengan handuk sembari melirik jam dinding yang tergantung di kamarnya. Hari sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
Ia menyibak gordennya sedikit. Gadis itu tersenyum sumringah melihat Revan duduk termenung di pinggir jendela. Dengan antusias, Harzel pun membuka gorden dan jendela kamarnya.
“Hei!” Sapanya pada Revan. Revan hanya menoleh sedikit, lalu melengos lagi untuk menatap bintang yang bertaburan di langit.
Merasa diabaikan, senyum Harzel pun berubah, ia langsung memasang tampang kesal, “Gue cuma mau bilang makasih!”
Revan tetap saja mengabaikannya, membuat Harzel langsung membalikkan badan dengan kesal.
“Eh, mulut bebek!” Panggil Revan. Membuat senyum Harzel mengembang meski Revan memanggilnya ‘mulut bebek’.
“Lo belum jawab pertanyaan gue!” ujarnya tanpa bisa menahan senyum lagi, “Lo darimana aja?”
Harzel berbalik dan membuka jendelanya, “Dasar kepo!”
“Okelah, itu memang bukan urusan gue,” jawabnya, lalu memandang Harzel dengan tampang serius, “Tapi lo harus tanggung jawab!”
“Emangnya salah gue apa?”
Revan mendengus, “Karena sifat lo yang sok tau itu, perut gue sakit sekarang,” Revan memegangi perutnya sambil meringis kesakitan, “Gue juga nggak yakin bisa masuk sekolah apa nggak, tapi gue nggak mau ketinggalan pelajaran.”
“Jadi,” Revan tersenyum licik, “Lo harus bawain gue makanan, minuman, dan minyak angin!”
Harzel terbelalak, “Hah?”
Revan mengangguk, lalu berdiri dan menatapnya lekat-lekat. “Sebaiknya lo tidur sekarang! Muka lo jelek banget kalo sampe nguap di sekolah.”
Tanpa ucapan selamat malam atau senyuman manis, Revan langsung menutup jendelanya. Membuat Harzel yang sedang berdiri di depan jendela kamarnya keki setengah mati.
Harzel mendelik kesal pada jendela Revan yang sudah tertutup. Ia langsung menutup jendela dan gorden kamarnya.
Harzel langsung rebah di kasurnya, mencoba memejamkan mata meski hatinya dongkol sama sekali. Namun, ia tidak bisa pungkiri bahwa Revan adalah pahlawannya malam ini.
Dan bagaimanapun juga, ia harus berterima kasih dan balas budi.
seperti lagi baca novel terjemahan. hehe. bahasanya enak dan mudah dipahami. udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu
Comment on chapter PROLOG