Dia... gadis yang sama seperti yang kulihat beberapa hari yang lalu di korridor sekolah. Gadis yang berhasil memicu getaran halus di dadaku. Masih hangat dalam fikiranku bagaimana caranya tersenyum sekaligus tertawa. Kini, perempuan—berambut panjang yang tergerai itu—lebih manis dilihat dari jarak dekat—Revandira Papinka
***
Setelah menguap beberapa kali, Harzel melangkah memasuki kelasnya. Penampilannya cukup kacau—selama ini Harzel memang bukan tipikal perempuan yang suka bergaya—tapi hari ini untuk pertama kalinya, ia lupa memakai bedak.
Gadis itu mengerjapkan matanya tiga kali, dugaannya benar, seisi kelas bertumpuk-tumpuk seperti cabai di pasar, tidak ada hal lain yang dilakukan teman sekelasnya selain mencontek PR Fisika.
“Harzelll!!!!!” Suara nyaring Sasha menggema, membuat Harzel harus menutup telinganya sendiri, “Lo pasti udah ngerjain PR, kan? Udah, kan? Princess sayang, gue percaya lo nggak akan lupa ngerjain PR, kan elo..”
“Stop!!” Bentak Harzel sembari menghentakkan kaki kanannya. Suaranya sangat keras, hingga seisi kelas menoleh ke arahnya. Sontak, Harzel langsung salah tingkah.
“Eh, nggak Sha.. Maksud gue, emm.. gue belum ngerjain PR.”
“What?” celetuk Liana yang baru saja datang. “Trus nasib kita gimana dong?”
Harzel menghela nafas lemas dan pasrah, “Trus Keyla?”
“Keyla juga belum,” jawab Sasha, “Jadi gimana? Astrid sama Dani bersikeras nggak mau kasih jawaban.”
Harzel menunjuk seisi kelas yang sedang mengerjakan PR, “Terus mereka..?”
“Itu masalahnya,” Sasha memasang tampang malas, “Mereka nyontek punya Revan, tapi gue nggak berani mintak, tuh cowok matanya nusuk banget.”
“Revan?” tanya Liana dan Harzel bersamaan.
Sasha mengangguk, “Ya, Revan.” Sesaat kemudian, Sasha menepuk keningnya sendiri, “Oh ya, kalian baru tau, Revan anak baru disini..”
“Yang mana orangnya?” tanya Harzel sambil celingak-celinguk mencari wajah asing di kelas ini.
“Duduk semeja sama Bimo.”
“Oh ya, Bimo mana?” tanya Liana sambil celingak-celinguk, bibirnya tersungging senyuman centil, “Gue kangen sama dia.”
Harzel langsung melangkah meninggalkan kedua temannya. Rasa kesal menjalari hatinya. Ia sangat benci berada pada kondisi dimana ia tidak mengerjakan PR. Tanpa ragu lagi, Harzel menerobos kerumunan teman-temannya yang sedang mencontek buku Revan.
“Gue liat dong!”
“Izin dulu sama Revan,” Jawab salah satu lelaki yang tengah menyalin PR.
Harzel menghembuskan nafas kesal, “Mana sih yang namanya Revan?” tanyanya dengan suara keras, terdapat nada kesal dalam suaranya.
Yang namanya disebut langsung menoleh sedikit dan kembali melengos cuek. Lelaki itu kembali melirik komik yang sedang ia baca.
Mata Harzel langsung menatap sosok laki-laki asing yang tengah duduk sembari membaca komik. Tiga hal yang dapat ia nilai saat melihat lelaki bernama Revan itu, sombong, sinis dan tampan.. yah Harzel harus mengakui bahwa Revan memiliki wajah yang enak dipandang. Kulit kuning langsat, hidung mancung, rambut pirang, dan dari wajahnya.. lelaki itu seperti blasteran Inggris. Dari caranya duduk, dapat ditebak bahwa lelaki itu berpostur tinggi, mungkin sekitar 175 cm atau lebih.
Dengan percaya diri, Harzel melangkah menuju meja Revan. Ia menyunggingkan senyum ramahnya—begitulah caranya jika menginginkan sesuatu—harus terkesan baik terlebih dahulu.
“Revan, ya?” tanyanya ramah.
“Em..” Revan hanya mengangguk cuek, bahkan ia sama sekali tidak menatap orang yang ada didepannya, lelaki itu sibuk membaca komiknya.
Huh orang ini songong banget!!. Batin Harzel geram. Namun tetap mencoba sabar.
“Gue...” Harzel ragu untuk melanjutkan.
Revan menutup komiknya lalu menatap Harzel yang tengah berdiri sambil mengiggit bibir. Darah Revan sontak mengalir deras. Ia mengerjapkan matanya.. satu kali.. dua kali.. tiga kali.. Ya! Tidak salah lagi. Di depannya berdiri perempuan dengan senyum manis yang ia lihat beberapa hari lalu. Di koridor sekolah dan berhasil memicu getaran halus di dadanya. Masih hangat dalam fikirannya, bagaimana cara perempuan itu tersenyum sekaligus tertawa. Kini ia melihat dengan jelas, perempuan—berambut panjang yang tergerai itu—terlihat lebih manis dari jarak yang dekat.
Revan menundukkan wajahnya. Mengatur detak jantungnya sendiri. Bagaimana bisa perempuan ini membuatnya tidak karuan padahal Revan baru dua kali melihatnya?
“Buku gue disana,” Revan menunjuk kerumunan teman-teman yang sedang menyalin PR. Harzel menatap mereka dengan ragu. Ragu bahwa manusia-manusia yang kini tengah sibuk menyalin PR mau berbagi dengannya.
Revan langsung berdiri, menerobos kerumunan para penyalin PR, “Kalian liat buku Bimo aja ya, jawabannya sama.”
Revan merebut bukunya sendiri dengan menyunggingkan senyum memaksa, membuat para perempuan membalasnya dengan senyuman centil. Sesaat kemudian, ia sudah berdiri didepan Harzel.
“Nih!” Ia menyerahkan bukunya pada Harzel.
Harzel mengambilnya sembari menyerngitkan dahi, “Loh? Kenapa bukan buku Bimo aja yang lo kasih ke gue?”
“Lo mau buku gue apa nggak?” tanya Revan sinis.
Harzel mendelik sebal. Namun saat ini ia tidak punya banyak waktu untuk adu mulut dengan anak baru ini, “Iya, iya. Gue mau buku elo.”
Revan memberikan bukunya dan Harzel menyambutnya dengan wajah sebal kemudian melangkah menuju bangkunya yang telah diduduki Sasha dan Liana.
Melihat wajah Harzel yang tidak menyenangkan, Sasha yang tahu diri, langsung berdiri untuk mempersilahkan Harzel duduk.
“Cepet kita salin! Ngerepotin banget sih PR ini!” Gerutu Harzel sembari menyalin jawaban fisika dari buku Revan dengan kecepatan tinggi seperti kesetanan.
“Wah, tulisan Revan cakar ayam juga ya,” komentar Sasha sambil terus menyalin. “Tapi lebih bagus dari tulisan lo, Zel.”
Harzel tersenyum hambar sekaligus maklum. Ia sudah paham tabiat temannya yang satu ini, suka ceplas ceplos dan cenderung polos. Liana yang juga mendengar Sasha berceletuk, tidak bisa menahan dirinya untuk tertawa.
“Secara nggak langsung, Sasha mau bilang tulisan elo lebih parah, Zel.”
“Terserah!” Ketus Harzel.
***
“Van, lo nggak ikut ke kantin sama Bimo?” tanya Faraz yang seketika duduk di sebelah Revan. Ini pertama kalinya Faraz menegur Revan. Entah mengapa ia merasa terkesan dengan Revan karena jawaban fisikanya 100% benar dan untuk pertama kalinya juga ia mendapatkan nilai 100 pada tugas fisika.
Revan melepaskan Headset di telinganya, “Nggak ah,” jawabnya. “Bimo makan bareng Liana. Gue nggak enak ganggu. Gue makan pas istirahat kedua aja.”
Faraz manggut-manggut. Tak lama kemudian, seorang lelaki—yang juga mengenakan seragam—berdiri di ambang pintu kelasnya sambil celingak-celinguk mencari seseorang.
“Harzel lagi keluar!” Teriak Faraz terkesan membentak. Membuat lelaki itu mendelik sinis padanya sebelum pergi meninggalkan kelas.
“Siapa tuh cowok?” tanya Revan sambil mendelik heran.
“Dia Rangga. Anak kelas IPS 2,” jawab Faraz. “Kayaknya dia suka sama si Harzel. Tapi gayanya sok banget tuh anak, sebelas dua belas sama si Paul.”
“Paul?” tanya Revan makin heran.
“Ya, itulah nasibnya si Harzel. Dua orang sok dan belagu malah suka sama cewek baik-baik kayak dia. Gue sebagai sahabatnya sih cuma bisa jagain dia dari tuh orang,” jelas Faraz, “Untung Paul kepincut sama adik kelas, jadi dia nggak ngejer Harzel lagi.”
“Emangnya Rangga bukan orang baik-baik?”
“Ya gitu deh,” Faraz mengangkat bahu. “Dia anak koruptor, tapi tetep aja nggak miskin-miskin. Dia juga anak gaul yang suka keluar malem ikut geng motor. Gue juga pernah denger dia suka main ke diskotik.”
“Harzel juga suka sama dia?” Revan bertanya lagi. Kali ini ia menatap Faraz lekat-lekat.
Faraz mengangkat bahu. “Kayaknya nggak,” jawabnya. “Gue nggak pernah denger dia suka seseorang.”
***
“Heh, kita mau duduk disini!” Bentak sekelompok anak berjumlah lima orang yang terdiri dari 2 lelaki dan 3 perempuan. Membuat Misella yang sedang memakan roti keju pada istirahat kedua tiba-tiba tersedak.
“Nggak!” Tukas Misella, “Gue duduk disini duluan.”
“Eh, lo nggak liat semua bangku disini penuh? Kita mau duduk disini. Elo kan sendirian nggak ada temen. Mending elo makan di kelas!” Ujar gadis berambut pendek dengan suara pelan, namun matanya menusuk.
“Gue bilang.. Nggak!!!” Bentak Misella dengan mata melotot.
Gadis itu pun menarik tubuh mungil Misella dengan kasar dan dipaksanya berdiri. Ia langsung mengangkat dagu Misella dan menatapnya sambil melotot.
“Nggak usah sok hebat disini! Gue tau siapa elo. Elo nggak bisa apa-apa, apalagi berantem. Lo bakal nangis sia-sia kalo berani ngelawan gue!”
Misella mengerjapkan matanya berkali-kali, lagi-lagi ia diperlakukan semena-mena oleh anak-anak SMA ini dan ia hanya bisa diam. Tidak ada yang menolongnya. Ia sudah tidak tahan, pandangannya mengabur, sebulir air bening menetes dari pelupuk matanya.
“Kayaknya kita udah buat dia ngerti, Ris,” ujar lelaki berambut jabrik, “Lepasin aja, dia nggak mungkin bisa ngelawan kita.”
Pandangan kelima orang tersebut dan Misella tertuju pada lelaki yang tiba-tiba duduk di bangku yang tadinya ditempati Misella. Semuanya mendelik kaget. Lelaki itu tersenyum pada Misella.
“Makanan gue belum elo pesen?”
***
“Bukannya elo duduk sama temen-temen Harzel, anak baru?” tanya lelaki—yang memiliki postur tinggi dan berambut jabrik—dengan tatapan dingin.
Revan langsung menatapnya tajam. Ia masih ingat wajah orang di depannya ini, wajah lelaki brengsek yang katanya menyukai dengan Harzel, “Mau adu kekuatan nih ceritanya?” tantang lelaki itu—yang Revan ketahui dari Faraz bernama Rangga
“Gue bakal nunjukkin kekasaran gue setelah temen lo itu ngelepasin dia,” Jawab Revan santai dan mencoba bersikap tenang ketika mendengar Misella meringis karena cengkraman perempuan bernama Rissa.
“Lepasin Ris,” perintah Rangga, “Gue mau urusan gue cepet selesai.”
Rissa melepaskan Misella dengan kasar. Sontak dengan cepat, Rangga menyeret Revan berdiri dan memberikan satu tonjokan di wajah. Revan balik mencengkram lelaki brengsek itu, lalu menyeretnya hingga kepala lelaki itu terkena dinding. Sontak dalam sekejap, mereka menjadi pusat perhatian.
***
Harzel dan teman-temannya langsung melihat kejadian itu setelah seseorang meneriakki mereka bahwa Revan sedang bertengkar dengan seseorang.
Di depan matanya, Harzel menyaksikan bagaimana Revan menyeret Rangga dengan kasar hingga kepala dan punggung Rangga terkena dinding.
“Kak, anak baru itu udah nolongin aku,” ujar Misella disela-sela wajah pucatnya.
Harzel mengusap rambut Misella, “Sella, sebaiknya kamu masuk kelas. Aku bakal nyelesain semuanya.”
Misella mengangguk dan langsung pergi keluar kantin. Dua tonjokkan pun telah mengenai wajah Rangga. Teman Rangga yang berkepala botak mencoba menyerang Revan, namun Revan menyibakkan tangannya hingga lelaki itu jatuh terjerembab.
Harzel masuk kerumunan, lalu menarik baju Revan dari belakang, “Revan, hentikan!”
“Lo nggak usah ikut-ikutan!” Bentak Revan.
Harzel tidak menyerah, ia terus menarik Revan, dibantu oleh beberapa lelaki disekitar mereka karena tenaga Revan terlampau kuat.
Setelah Revan terpisah dari Rangga, Harzel langsung berdiri di depan Revan dan menatap Rangga dengan tatapan tajam sembari berkacak pinggang.
“Lo banci banget ya? Kenapa lo gangguin saudara gue??” teriak gadis itu marah. Matanya menatap tajam Rangga.
Rangga mengusap bibirnya yang mulai berdarah, lalu menatap Revan yang berdiri sambil dipegangi di belakang Harzel.
“Harzel minggir! Gue nggak rela kalo muka cowok di belakang elo masih mulus!”
Harzel tidak bergeming, ia tetap berdiri di depan Revan tanpa rasa takut sedikit pun.
Rangga yang terlampau emosi langsung menyerang Revan meskipun Harzel ada di depannya. Dengan cepat, Revan memeluk Harzel dari belakang lalu berbalik, hingga tonjokkan Rangga mendarat keras di punggung lelaki itu.
Revan langsung melepaskan Harzel dan mendorongnya pelan, “Pergi!”
Ia langsung berbalik, mencoba menyerang Rangga yang telah menonjok dan menendang punggungnya. Namun dipisahkan oleh segerombolan siswa laki-laki yang berada disana. Sehingga perkelahian bisa diselesaikan tanpa campur tangan guru.
“Wow, cara Revan nyelamatin elo tadi keren banget!” Ujar Sasha dengan gaya centil pada Harzel yang berdiri disampingnya.
“Lebay lo!” Ketus Harzel, lalu melirik Revan yang meringis sakit saat Bimo memijat punggungnya, “Lo bisa masuk daftar buku hitam kalo kasus ini sampe ketauan guru,” ujarnya pada Revan.
Revan menatapnya kesal. Gadis inilah yang menyebabkan Rangga menonjok punggungnya. Dan kini punggungnya serasa mau patah, “Trus?”
Harzel menatapnya tajam, “Gue cuma ngasih peringatan aja sama elo, soalnya lo anak baru disini!” Ucapnya dengan nada ketus, “Gue tau niat lo baik, tapi emosi elo berlebihan tau nggak!”
Revan berdiri dan melangkah mendekati Harzel. Ia menatap Harzel lekat-lekat. “Makasih!” ucapnya ketus. Setelah mengatakan itu, Revan langsung melengos pergi. Entah kemana.
***
“Hey, tunggu!”
Revan menghentikkan langkahnya, lalu menoleh ke sumber suara. Ia menemukan gadis bertubuh mungil, berkulit putih pucat, dan berambut ikal mendekatinya.
“Makasih ya,” ucapnya, “Kalo nggak ada kamu, aku nggaktau harus gimana tadi.”
Revan tersenyum, “Ya, sama-sama.”
“Oh ya, kenalin,” gadis itu mengulurkan tangannya, “Aku Ratu Misella. Kamu bisa panggil aku Sella.”
Revan menyambut uluran tangan Misella, “Revan,” setelah menyebutkan namanya, Revan langsung menarik tangannya.
“Aku denger kamu anak baru disini. Nama lengkap kamu?”
“Revandira Louis Papinka.”
Misella kembali menyunggingkan senyum dan mendongakkan kepala karena Revan jauh lebih tinggi darinya.
“Kamu kenal Harzel, kan?” tanyanya, “Dia kakak aku.”
Revan mendelik tidak percaya, “Dia kakak elo?”
Misella mengangguk. Revan hampir tidak percaya, tidak ada kemiripan sama sekali antara Harzel dan Misella. Harzel memiliki tubuh sintal, kulit kuning langsat, bibir cenderung merah, rambut hitam lurus, dan pipi yang tembam, sedangkan Misella memiliki tubuh mungil, kulit putih pucat, bibir pucat, rambut ikal kecoklatan, dan pipi tyrus.
“Aku tau kok apa yang kamu fikirin,” Misella tersenyum kecut, “Bukan cuma kamu, semua orang juga nggak percaya kalo Harzel adalah kakak aku. Dia memang jauh lebih istimewa dari aku..”
“Lo ngomong apaan, sih?” tukas Revan, “Nggak ada yang istimewa dari dia.”
“Kamu belum kenal aja,” jawab Misella. “Ya, aku memang nggak akrab sama Harzel di sekolah, soalnya dia lebih sering main sama teman-teman sekelasnya, kayaknya seru. Sayangnya, sampai saat ini aku belum punya temen.”
Misella kembali tersenyum, “Yaudah, aku masuk kelas duluan ya!”
Revan menanggapinya dengan mengangguk. Ia memperhatikan punggung gadis mungil itu hingga menghilang di balik tembok. Entah mengapa ia merasa kasihan pada Misella sekaligus kesal pada kakak Misella bernama Harzel itu.
seperti lagi baca novel terjemahan. hehe. bahasanya enak dan mudah dipahami. udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu
Comment on chapter PROLOG