Aku tak tahu siapa perempuan itu. Berapa usianya. Apakah masih muda ataukah tua. Bagaimana wajahnya. Aku tak tahu. Sama sekali tak tahu. Lebih tepatnya tak mau tahu. Tariannya bukanlah tarian paling hebat yang pernah kulihat. Namun yang aku tahu, ia menari dengan hati—Revandira Papinka.
***
Ika Marissa—penari paling hebat di sekolah. Belum ada yang menyainginya, termasuk adik kelas yang juga mengikuti eskul tari. Bahkan Ika mengalahkan para senior saat posisinya masih sebagai junior. Penampilannya menari mampu membuat semua orang terpukau.
Kemampuan yang dimiliki Ika bukan hanya menari Ballet. Gadis itu memiliki bakat modern dance dan cheers, namun ia lebih tertarik patda Ballet. Ia sudah dilatih sejak kecil. Ika sering bergabung di berbagai sanggar menari. Saat ini ia ditawari mengajar di studio tari, tetapi ia menolak. Alasannya sederhana, mencari uang yang tidak seberapa hanya membuang waktu baginya. Bagaimana tidak? Ika Marissa merupakan putri dari salah satu pengusaha ternama di Indonesia.
Selain itu, Ika sangat jago bermain basket. Ia sering mengikuti berbagai macam turnament, bahkan tingkat nasional. Ika Marissa memiliki postur tubuh seperti Liana, postur yang diidamkan oleh setiap perempuan. Tetapi, Ika lebih cantik dari Liana. Rambutnya hitam kecoklatan, matanya bulat, kulitnya putih, dan wajahnya khas Belanda. Karena Ibu Ika memang orang Belanda.
Segala kelebihan yang dimiliki Ika membuat Harzel iri. Namun yang lebih mendominasi adalah rasa kagum. Sehingga Harzel berteman akrab dengannya dan banyak belajar darinya. Sesuatu yang dimiliki Ika adalah sesuatu yang juga Harzel inginkan. Ia suka bergerak, memang dasarnya Princess Harzel dilahirkan dalam keadaan hiperaktif. Namun fisiknya menghalangi. Sakit kepalanya mulai memberontak saat ia melakukan kegiatan yang berat.
Namun saat ini, Ika membencinya, bahkan sangat membencinya. Alasannya sederhana—Harzel sendiri tidak habis fikir. Hanya karena hal sepele, sampai saat ini Ika melihatnya seperti melihat sampah. Bukan hanya Ika, bahkan teman-teman yang dekat dengan gadis itu.
Paul, kapten basket sekolahnya, menjalin hubungan dengan Ika sejak mereka masih duduk dibangku SMP. Paul juga merupakan teman satu kursus Harzel—terbilang cukup dekat—namun masih dalam koridornya.
Tanpa alasan, Paul memutuskan hubungannya dengan Ika, saat gadis itu masih benar-benar menyayanginya. Sekitar jarak satu minggu, Paul menyatakan perasaannya pada Harzel di cafe tempat mereka kursus bahasa inggris. Tentunya Harzel menolak.
Tidak tahu bagaimana itu bisa terjadi. Ika mengetahui segalanya, bahkan seseorang memberikannya video rekaman saat Paul menyatakan perasaannya pada Harzel. Sejak saat itu, dimatanya Harzel hanya seorang perusak.
Harzel masih ingat kata-kata Ika sekitar satu setengah tahun yang lalu.
“Lo munafik tau nggak! Bahkan, orang terdekat elo nggak pernah percaya sama elo! Apalagi gue!”
Harzel—yang merasa lelah bersabar dengan sikap Ika padanya—mulai menikmati perang diantara mereka. Ika bukan hanya membuat dirinya sendiri membenci Harzel, tetapi teman-temannya juga. Bahkan seluruh perempuan dikelasnya yaitu 12 IPS A, rata-rata membenci Harzel. Kecuali, adik perempuannya. Ratu Misella.
***
Harzel merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Sekejap saja, ia pasti tertidur. Dalam satu menit ia bisa menguap sampai tiga kali.
Tepatnya pukul setengah tujuh, ia baru saja pulang kerumah. Perjalanan dari Bandung sangat melelahkan rasanya. Harzel mulai memejamkan mata, alam mimpi mulai mendatanginya. Hingga Misella tiba-tiba mengguncang tubuhnya.
“Kak..kak.. ada telepon!!”
Harzel langsung tersintak duduk. Dengan keadaan setengah sadar, ia meraih Handphone dan meletakkannya ditelinga.
“Hallo?” sapanya dengan mata terpejam.
“Harzel!!!! Lo udah pulang, kan?” suara khas Sasha memekakkan telinga. Harzel sontak menjauhkan hp dari telinganya. Setelah merasa cukup lega, ia mendekatkannya lagi ke telinga.
“Ada apa, sih?”
“Lo nggak tau? Wah gawat!”
“Lo nggak usah berbelit-belit deh! Ada apa?” tanya Harzel kesal.
“Kita ada PR Fisika!!”
Harzel menguap, dan mulai berbicara lagi, “Trus?”
“30 soal dan yang lebih parah.. dikumpul besok!!”
Tubuh Harzel langsung menegang, matanya sontak melotot. Misella yang berada didepannya, memandangnya heran, “Lo.. lo serius?”
Sasha mengangguk diseberang sana, “Gue serius!” Harzel mengusap kepalanya, ia sama sekali tidak ahli fisika. 10 soal saja ia bisa menghabiskan waktu 2 jam untuk menjawabnya. Apalagi 30 soal? Berarti, ia bisa menghabiskan waktu 6 jam. Ia tidak yakin bisa tidur tenang malam ini.
“Princess Harzel nan manis. Nasib gue dan Liana ada ditangan elo,” Suara Sasha memohon diseberang sana, “Elo tau sendiri, kan? Dani sama Astrid itu pelit! Jadi gue mohon sama elo.”
“Ya!”
Tutt!! Tutt!!
Harzel memutuskan hubungan telepon.
***
Revan membaca sekilas pertanyaan yang tertera di buku fisikanya. Saat ini, ia sudah mencapai nomor 28. Namun rasa kantuk yang melandanya, membuatnya ingin terlelap detik ini juga. Hingga matanya mulai memerah dan berair.
Revan melangkah ke kamar mandi. Setelah membasuh wajah, ia kembali duduk di meja belajarnya. Mematut soal fisika yang semalaman ini menemaninya. Lelaki berambut pirang itu menyesap kopinya sebelum lanjut menyelesaikan tiga soal lagi.
Revan melirik jam dinding yang tertera dikamarnya. Sudah menunjukkan pukul 12 malam.
***
Jam 12???
Harzel membenamkan wajahnya di atas meja belajar. Membiarkan bukunya basah lantaran matanya yang telah berair. Entah sudah berapa kali ia menguap, mungkin sudah puluhan kali sejak ia tahu bahwa besok ada PR.
Harzel kembali mengangkat kepalanya yang terasa berat setengah mati. Mulutnya komat-kamit memanjatkan do’a. Kemudian gadis itu menatap buku PR yang tergeletak diatas meja.
“Nomor 11?” matanya melebar menatap buku PR, ia mulai kehilangan kesadaran, “Selama 4 jam. Aku baru menyelesaikan 11 soal?” ia mengacak-ngacak rambutnya yang sudah berantakan seperti jerami, “Alangkah bodoh dirimu Harzel!”
“Oke!” Ia mulai berdiri dan menarik nafas panjang, “Aku harus ngelakuin sesuatu!”
***
Revan menutup bukunya setelah berhasil menyelesaikan 30 soal fisika. Untung Bimo mengingatkannya, meskipun lelaki itu menelponnya ketika jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Butuh waktu dua jam untuk menyelesaikan soal fisika 30 soal. Revan sendiri tidak menyangka fisika tidak sesulit yang ia bayangkan.
Entah kenapa, dua cangkir kopi membuat rasa kantuknya hilang. Revan pun meraih gitar yang tergeletak di pinggir lemari. Masih hangat difikirannya saat ia berada di rumahnya, ia sangat suka bermain gitar, mendengar musik, dan membaca komik sembari duduk di balkon. Menikmati semilir angin malam yang menghembus, membuat sekujur tubuhnya sejuk. Sesekali, ia memandangi bintang yang bersinar terang apabila langit sedang cerah. Berharap salah satu bintang itu adalah papanya.
Rumah Adrian memang tidak memiliki balkon. Namun Revan masih bisa melakukan kebiasaan lamanya. Ia melangkah mendekati jendela dan menyibakkan gorden kuning keemasan. Kemudian lelaki itu membuka kedua jendela dan duduk dipinggirnya. Semilir angin berhembus seketika menyambut kedatangannya.
Ia mulai memetik gitar. Hanya melodi tanpa suara. Bagaimana tidak? Lelaki itu sangat tidak pintar bernyanyi. Setiap kali ia mencoba bernyanyi, suaranya melantunkan nada berat, pendek-pendek, serat—seperti susah bernafas. Bahkan suaranya terdengar seperti mengoceh daripada bernyanyi.
Sesaat kemudian, ia menghentikan permainannya. Lelaki memicingkan mata, menatap sesuatu yang berada tepat di seberang kamarnya.
***
Setelah mencuci muka, Harzel mematikan lampu kamarnya. Yang tersisa hanyalah lampu kecil tepat di atas gorden putih yang menutupi jendela kamar. Ia menyukai suasana ini. Suasana yang menghiburnya dan menghilangkan segala gundah selain bernyanyi dan bermain piano. Suasana dimana ia bisa melihat dirinya sendiri membentuk siluet yang menari-nari di depan gorden putih.
Ia mulai menggerakkan bagian tubuhnya, tangan, kaki, kepala, maupun pinggang. Mulai membentuk tarian ballet yang telah ia hafal. Harzel memejamkan mata, hatinya merasa tenang dengan hanya bergerak luwes tanpa dilihat orang lain, tanpa dicemooh oleh siapapun. Meski terkadang gadis itu ingin membuktikan pada semua orang bahwa ia mampu. Ia bisa.
Harzel kembali membuka mata dan tersenyum menatap siluet bayangannya di depan gorden putih.
***
Revan menopangkan dagu. Tatapannya tidak beralih sejak tadi. Ia terus menatap siluet bayangan hitam yang menari-nari layaknya ballerina di balik gorden putih. Revan tersenyum tipis. Ia tahu bahwa tarian itu bukanlah tarian paling indah yang ia temui. Namun Revan mampu merasakan, gadis itu menari dengan hati.
Revan hanya tahu si penari itu adalah perempuan. Karena rambut panjangnya tergerai ikut menari-menari dan membentuk siluet bayangan indah di balik gorden putih. Lelaki itu tak tahu siapa perempuan itu. Apakah masih remaja ataukah sudah tua. Entahlah. Ia tidak mau tahu. Yang ia tahu, tarian itu adalah hiburannya sebelum tidur. Hanya itu!
seperti lagi baca novel terjemahan. hehe. bahasanya enak dan mudah dipahami. udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu
Comment on chapter PROLOG