Tatapan kekaguman dan kecenderungan untuk memuja telah menjadi makanan sehari-hari setiap kali mereka memasuki kawasan yang baru. Entah apa yang membuat manusia melakukannya. Oleh karena itulah, Stephen sama sekali tak kesulitan dalam merespon apa yang mereka lakukan. Bukannya apa. Tapi melewatkan waktu seratus tahun dengan kondisi yang sama akan membuatnya mau tak mau merasa terbiasa juga. Dia hanya melempar senyum lembut nan berwibawa yang menjadi ciri khasnya. Terbayang pula kakak pertamanya yang akan memasang wajah masam, atau Mike yang bakal melebarkan mulutnya dan memberikan service cuma-cuma.
Setelah mendapat respons positif dari Mr. Hill yang membiarkannya terlambat dengan dalih ini hari pertamanya di sekolah, pemuda dengan topi terbalik itu memperkenalkan dirinya.
"Stephen Rodriguez. Mungkin sedikit aneh kalian mendapat teman baru di tengah semester semacam ini, tapi mari berteman."
Binar mata para gadis semakin menjadi-jadi, begitupula para pemuda yang berdecih karena sikap memuja berlebih yang diberikan padanya. Mr. Hill menghentikan kekacauan dengan mengetuk meja kerjanya. Dengan sikap berwibawa, ia edarkan pandangan ke seluruh kelas dan berkata, "Segera duduklah, di sebelah Olivia!" dia menjeda, ditatapnya gadis bersurai hitam yang terlihat asik dengan buku diatas mejanya, "Olivia angkat tanganmu!"
Gadis pirang di belakang Olivia cekikikan, didorongnya ringan punggung Olivia dengan pensil biru miliknya. Dia tampat terkejut, sekaligus linglung mendapati seseorang berdiri di depan kelas. Olivia menatap si gadis pirang di belakangnya. Setelah bisik-bisik sekilas, barulah gadis itu sadar, "Ow ... Maafkan aku, Mr. Hill." Dan mengangkat tangannya. Tampak merasa bersalah meski dia terlihat cukup tak peduli.
"Perhatikan sekelilingmu, Olivia!"
Dia mengangguk kecil, membenarkan kaca matanya dalam kegugupan yang ketara, "Uhm ... ya. Takkan kuulangi lagi."
Setelah perintah Mr. Hill barulah Stephen mulai berjalan. Beberapa gadis meliriknya, namun pandangannya hanya tertuju pada Olivia yang sekarang kembali asik dengan bukunya.
Di belakangnya si gadis pirang berdeham mencurigakan, tapi Olivia seolah menulikan telinganya. Stephen tersenyum, pertama kalinya dia menemukan gadis yang tak melemparkan pandangan fanatik pada keluarganya. Dikesampingkannya pikiran tentang gadis pink galak yang menjadi ketua OSIS di sekolah ini. Samantha benar-benar tumbuh menjadi gadis yang sempurna.
Stephen menatap gadis itu dengan teliti. Lekuk tubuhnya yang ramping, rambut hitamnya yang terawat meski kusut terlihat bahwa dia tak terlalu bisa mendandani diri. Kaca matanya yang terasa pas pada hidung mungil miliknya. Mata saphirenya yang lebar. Wajah Oriental yang terasa tak cocok dengan wajah lesu dan apatisnya.
Stephen merasa gadis ini akan lebih menawan jika menebarkan senyum, dalam keriangan dan kepolosan. Tapi sepertinnya dia tidak akan melihat hal dalam waktu dekat. Berani bertaruh dia adalah korban bullying secara social di sekolah ini. Tidak mengejutkan. Hampir setiap sekolah yang didatanginya bermasalah dengan penindasan.
"Hi!" sapanya ramah.
Olivia melirik sekilas, ditatapnya Stephen yang mengambil tempat duduk di sebelahnya dan melempar senyum bersahabat padanya. Dia menyerngit keberatan.. Seolah Stephen baru saja melakukan kesalahan. Seingatkan dia tak melakukan apapun selain mencoba untuk menyapanya, tapi kenapa dia bersikap seolah sangat terganggu duduk di sebelahnya?
"Ya? Kau cukup baik. Kupikir kalian adalah orang-orang yang berharga diri tinggi." Dia manjawab ketus. Begitu pula dengan tatapannya.
Stephen tak bisa menahan diri untuk terkekeh atas perkataan frontal gadis di sebelahnya. "Memang," ucapnya sungguh-sungguh, sementara Olivia berdecak sebal, "bukankan setiap manusia memiliki harga diri yang tinggi?" Jikalau memang aku bisa dikategorikan dengan manusia, pikirnya.
Buku yang sempat terabaikan kembali ditekuni. Stephen bisa melihat sekilas tulisan kalkulus ketika Olivia menyibak sedikit sampul dari buku yang dia pegang. Sebuah materi yang sudah lama ia kuasai, tapi tak pernah bisa menyaingi kemampuan Jason saat ini. Kepintaran Jason sungguh gila jika menyangkut angka. Entah kenapa dia hanya tertarik dengan masalah itu, dan bahasa. Meski dia tidak bisa kosakata yang muluk-muluk, namun setidaknya dia tidak akan kesulitan ketika berbicara dengan orang lain.
"Oh, kalau begitu aku salah," tukasnya mengakhiri pembicaraan secara sepihak.
Sejujurnya Stephen ingin melanjutkan pembicaraan, jika saja Mr. Hill tidak mengetuk meja sekali lagi. "Sesuai jadwal hari ini aku akan mengadakan ujian Kalkulus. Karena Rodriguez baru masuk. Ujian kali ini akan ditentukan oleh keputusannya. Jadi apa kau keberatan?"
Stephen menjawab dengan ketenangan yang luar biasa, "Tak masalah."
Apa yang membuatnya bingung selanjutnya adalah bagaimana orang-orang mendesah kecewa atas jawaban yang diberikannya. Dan Stephen terkekeh dalam hati. Mereka ingin dia membantu mereka menunda ujian rupanya.
Tentu saja. Ujian bukan hal yang menakutkan untuk Stephen. Berkali-kali mengenyam bangku sekolah dan berkali-kali pula menghabiskan hari membosankannya selama seratus tahun ini dengan kumpulan buku yang Jason, dan ia kumpulkan—Mike lebih suka mengumpulkan benda-benda seperti Game dan lainnya—membuatnya hafal betul dengan pelajaran mereka. Meski materinya berubah-ubah, dasarnya tetaplah sama.
Tapi hal yang membuatnya tertarik adalah bagaimana ekspresi Olivia yang terlihat berpikir keras akan apa yang sedang dia kerjakan. Seolah soal-soal-yang menurutnya mudah ini adalah soal diluar perkiraannya. Sesekali dia mencoret deretan angka yang salah dihitungnya, dan dikesempatan lain dia akan melihat ke luar jendela seolah mengingat-ingat sesuatu. Beberapa kali dia juga mengkerutkan keningnya, dan memulai pengerjaan dengan cara yang terlampau pelan dan hati-hati.
Dengan melihatnyapun Stephen tahu, Olivia adalah tipe orang yang gemar belajar. Lihat saja dia tak berniat untuk membuka buku seperti yang dilakukan teman-temannya untuk dua soal yang belum dikerjakannya. Stephen ingin membantu, tapi dia tahu Olivia akan keberatan akan hal itu.
Lima menit terakhir sebelum waktu yang ditentukan untuk mengumpulkan jawaban, Olivia sama sekali tak menemukan apapun yang bisa dia lakukan untuk kedua soal. Sementara yang lain telah mulai saling berbisik meminta jawaban. Stephen merasa heran, kenapa Olivia tidak meminta jawaban seperti yang lainnya? Namun Olivia malah meletakkan kepalanya ke meja, dan menatap hujan yang mulai turun lebih deras dan membasahi kaca-kaca. Stephen sekali lagi melihat lembar jawab Olivia yang tergeletak begitu saja.
Gadis di depannya menoleh ke belakang, namun dengan segera ditegur Mr. Hill, yang membuatnya tersentak dan segera kembali menatap ke depan. Olivia menutup lembar jawabnya dengan gumaman sebal ketika Mr. Hill ikut-ikutan menegurnya. Memintanya untuk mengumpulkan pekerjaannya, namun Olivia menggeleng menolak. Masih ada soal yang belum dikerjakannya.
Saat Mr. Hill berkeliling di deret bangku yang berlawanan dengannya, dia menggeser lembar jawabnya. Dia bisa merasakan tatapan heran dari Olivia untuknya. Dan Stephen tak tahu harus berkata apa selain memberikan senyum terbaiknya. Olivia terlihat ragu. Dia berkata pada dirinya sendiri tentang 'seharusnya aku tak melakukan ini,' dan dengan takut-takut mengintip jawaban Stephen.
Dilihat dari sikapnya yang kikuk, Stephen akhirnya menarik kesimpulan. Olivia adalah gadis yang jujur. Semenjak tadi dia hanya berhasil melihat satu jawaban karena terlalu sibuk menatap gerakan sekecil apapun yang dilakukan oleh Mr. Hill. Dia benar-benar takut apa yang akan dilakukannya ketahuan. Padahal Stephen sudah memastikan meski Olivia terang-terangan menoleh Mr. Hill tidak akan menyadarinya.
Dan tiba saatnya pengumpulan, Stephen menarik lembar jawabnya yang berkata, "C."
Bibir Olivia membuka dalam kekikukan. Dan Stephen terkekeh atas responnya. Pada akhirnya pun gadis ini melingkari lembar jawabnya. Namun tak memiliki waktu untuk mengecek apakah jawaban Stephen benar. Lagi pula jawaban Stephen sudah pasti benar, dia sudah pernah mengerjakan soal semacam ini ratusan kali.
Setelah semua lembar jawab terkumpul padanya Mr. Hill mengecek satu persatu sekilas. Kemudian meninggalkan kelas, setelah memberikan tugas yang harus dikumpulkan. Mengabaikan keluhan seluruh siswa, seolah mereka sudah terlalu muak dengan tugasnya. Olivia mendesah kecewa. Dan Stephen tak mengerti apa yang terjadi.
"Terlalu sulit?" tanyanya kemudian. Dia ingi mencoba untuk dekat dengan gadis, dia merasa mungkin dia bisa mendapatkan meski sedikit kehidupan yang lebih manusiawi. “Kau terlihat kesulitan mengerjakannya.”
Olivia menyengitkan dahinya, kemudian memangku dagunya dan menatap sebal pada bulir air di jendela. Seolah-olah dia menyalahkan segalanya tentang soal tadi pada titik-titik air di jendela.
"Bukan itu,” katanya. “Hanya saja melakukan kecurangan, aku tak pernah melakukannya."
Sebelah alis Stephen terangkat, "Tak pernah? Kenapa? Bukankah itu wajar? Yang lain juga melakukannya."
Sekonyong-konyong Stephen merasa bersalah. Sepertinya dia salah bicara, mengingat sekarang Olivia menunjukkan raut wajah kesal kepadanya. Stephen merutuki kebodohannya, seharusnya dia tak bicara terlalu banyak. Namun gumaman kecil Olivia membuatnya tersentak kecil meski dapat segera menguasai diri.
"Aku tidak pernah mencobanya. Kupikir mereka juga tidak akan memberikan jawaban padaku."
Untuk pertama kalinya Stephen tak bisa merespons ucapan seseorang untuknya. Sehingga keheninganlah yang menyelimuti mereka, hingga guru kedua—yang tak diketahui Stephen siapa namanya—datang dengan beberapa tumpuk buku dengan judul yang amat familiar baginya. Kali ini sastra? Mungkin buku yang beliau rekomendasikan untuk dibaca kali ini adalah salah satu buku yang berdiam di perpustakaan mini buatannya.
Sang guru memiliki paras yang cantik. Rahang yang tegas, dan mata yang seolah mengobservasi sekelilingnya, mata yang tidak akan melewatkan sedikitpun kecurangan ketika menunggui ujian. Dilihat dari respons teman sekelasnya—dimana mereka tidak berbicara satu sama lain—Stephen rasa beliau salah satu dari guru yang ditakuti. Menggunakan span selutut, dengan kemeja putih yang menunjukkan lekuk tubuhnya yang bagus. Bersurai coklat gelap, dan dikucir ekor kuda. Simple, namun rapi.
"Mungkin Tuan Rodriguez pertama kali melihat saya. Akan saya perkenalkan diri saya. Anda bisa memanggil saya Anna seperti yang mereka lakukan."
"Baik, Bu Anna."
Bu Anna menepuk tangannya. Membawa semua perhatian yang bahkan sejak tadi menuju padanya. Segera memerintahkan untuk membuka buku tebal yang dia bawa. Teman sekelasnya terlihat siap untuk mengantuk. Beberapa bahkan sudah menguap, beberapa yang lain masih sibuk dengan telepon pintarnya, meski dengan hati-hati. Takut Bu Anna akan menyitanya.
Stephen mengalihkan perhatiannya pada gadis di sampingnya, sedikit penasaran dengan ekspresi apa yang di tunjukkannya. Tapi nyatanya Olivia hanya menatap keluar jendela. Mengamati luar tanpa mencoba sedikitpun untuk memperhatikan. Padahal tadi dia terlihat sangat merasa bersalah saat mencontek, sekarang dia mengabaikan gurunya. Tapi bila diingat-ingat lagi, awal kedatangannya, dia sudah bertindak apatis dan mengabaikan semua orang.
"Ada masalah?” tanya Stephen. Mengabaikan Bu Anna yang sibuk membacakan buku, sambil menjelaskan kosa kata yang tidak dimengerti. “Kau tidak memperhatikan?"
Olivia melirik dalam keengganan. Dia terlihat sama mengantuknya dengan yang lain. Akhirnya sebuah respon normal. Stephen hampir berpikir bahwa mungkin Olivia adalah anak yang terlampau aneh dalam arti positif.
"Aku sudah pernah membaca buku itu,” katanya. Dia menatap Bu Anna tanpa benar-benar tertarik. “Minggu ini adalah kisah klasik Romeo and Juliet, kupikir aku tak perlu dibacakan lagi."
Stephen tertawa tertahan, menertawakan diri sendiri karena berpikir yang bukan-bukan. "Oh ... itu menjawab sikap santaimu."
Sebuah dengusan menjadi respon dari pernyataan Stephen. Seolah Stephen baru saja melewatkan sesuatu yang menyebalkan. Dia tertawa ringan, tanpa benar-benar mencoba untuk menertawakannya.
Saat menatap ke depan Stephen bisa melihat Ms. Anna yang terlihat bersemangat membacakannya meski tiada satupun yang mau mendengarkan. Bahkan Stephen pun sudah hafal diluar kepala cerita klasik ini. Yang akhirnya, dua jam pelajaran ia lewatkan dengan menikmati apa yang teman sekelasnya lakukan.
Salah seolah terlihat asik mencoret-coret buku, beberapa gadis mencuri pandang padanya. Tampak penasaran. Dia hanya tersenyum sebagai balasan, tanpa benar-benar mencoba menanggapi mereka. Beberapa meletakkan kepalanya di meja, menguap bosan, dan yang lain terlihat fokus mendengarkan dengan air mata yang berada di pelupuk.
Stephen ingin tertawa, namun ditahannya. Satu orang yang paling banyak diperhatikannya adalah Olivia. Dimana bahkan setelah sesi cerita diakhiri Olivia masih termenung pada pikirannya sendiri. Tangannya yang menopang dagu tanpa kurus, dibalut sweater yang melindunginya dari hawa dingin. Stephen tak tahu seberapa dinginnya sekarang mengingat dirinya tak lagi terpengaruh oleh suhu ruangan.
Setelah kesunyian yang panjang diantara mereka. Akhirnya Stephen mengambil inisiatif untuk bertanya, "Menyukai hujan?"
Bahu Olivia terlihat bergerak akibat keterkejutan. Seolah-olah dia masih tidak terbiasa dengan keberadaan seseorang yang mengajaknya bicara. Ia tetap menatap Stephen. Wajahnya mengisyaratkan bahwa ia tengah berpikir. Matanya bergerak-gerak mencari alasan.
Stephen tersenyum atas respon dari Olivia, dan senyumannya semakin melebar ketika Olivia menjawab, "Apa aku terlihat aneh karena itu?"
Sebuah desiran tawa halus lolos dari sela-sela bibirnya. Oh sungguh wajah Olivia polos sekali, "Tidak. Hanya saja kebanyakan orang yang tinggal di kota hujan tak begitu," Stephen menjeda kalimatnya, mencari kata yang tepat, sementara Olivia menunggu dengan sabar, "tak begitu menikmatinya."
"Oh ..." hanya itu respons darinya, namun Stephen tahu ada yang ingin disampaikannya. "Kau seperti sudah menelitinya," dia tertawa pelan.
"Aku suka mengamati orang-orang,” katanya. Stephen menyapukan pandangan ke seluruh kelas yang memiliki kesibukannya masing-masing. “Asal kau tahu kedua kakakku memiliki sifat yang amat berbeda dan itu sulit dimengerti. Kau tahu, implusif, nakal, sementara yang satu lagi terlalu kaku, terlalu serius. Mereka berkebalikan dan terkadang sulit untuk mengatasinya."
Stephen mengerutkan keningnya ketika mendapati Olivia menunjukkan ekspresi keterkejutan pada suatu hal yang bahkan Stephen sendiri tak mengerti. Olivia terlihat bergerak-gerak kikuk. Membuka, dan menutupnya lagi.
Setelah beberapa detik barulah Olivia menjawab, "Kupikir kau kakak mereka." Saat itulah kebingungan berpindah pada pihak Olivia, apalagi ketika melihat Stephen yang tertawa tertahan. "Ada apa?" tanyanya benar-benar ingin tahu.
"Kupikir kau memikirkan sesuatu, tapi rupanya hal itu." Dan Olivia masih belum mengerti maksud Stephen. "Well ... banyak yang bilang aku adalah Kakak mereka. Mungkin aku kelihatan terlalu tua untuk seumuranku. Namun nyatanya Jasonlah yang tertua. Meski wajahnya masam begitu."
“Orang yang menggunakan jaket merah?” tanyanya.
Stephen mengangguk. “Kau memperhatikan kami, saat kami datang, ya?”
“Kalian mencolok,” katanya. Dia memutar-mutar bolpoinnya, seolah dia tidak bisa berpikir tanpa menggerakkan jemarinya. “Semua orang memperhatikan kalian.”
“Tidak sepertimu.” Olivia mengangkat sebelah alisnya. Stephen melirik ke belakang mereka dimana si gadis pirang memperhatikan pembicaraan mereka. Kemudian berbisik, “Mereka terlihat sangat terpesona. Itu sedikit mengganggu.”
“Kau mengatakannya sendiri?”
Stephen mengangkat bahunya. “Aku hanya mengatakan apa yang kurasakan.”
Olivia hanya merespon dengan 'Oh ...' tak tahu lagi harus mengatakan apa. Dan memilih untuk menghadap ke depan. Saat Ms. Anna telah kehabisan waktu, Ms. Anna memberikan tugas tentang buku yang Stephen yakin pasti ada merupakan salah satu koleksi. Dan masalahnya sekarang adalah mereka harus mengerjakannya secara berkelompok. Bersama teman sebangkunya. Dia tak yakin untuk membawa Olivia ke kediamannya.
Tapi jika untuk mengerjakan tugas, Jason takkan keberatan, kan?
baca prolognya sebentar berasa lg settingan film twilight, kota hujan hehe. but nice story, kusampai terlarut dalam pensetinggan. udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu
Comment on chapter BAB 1 : Olivia Hale