Harinya berjalan dengan luar biasa menyebalkan.
Dia menatap mereka bertiga yang berhenti di depan kelas sebelah, Samantha meminta Jason untuk masuk ke kelas terlebih dulu sementara dia mengantar Stephen. Sesekali dia menarik nafas dalam. Berharap guru pertamanya bakal bersahabat. Maksudku, bakal toleran dengan sikapnya yang diluar batas kewajaran. Mike membuka pintu pelan. Tanpa mengetuk, dan dia mengutuki dirinya karena lupa melakukannya. Pasti dia bakal dicap tidak sopan dipertama kali datang. bagus sekali.
"Masuklah!" Suara bariton membuatnya tergagap. Cukup keras, dan kelihatan banget kalau Mr. Burner adalah satu dari guru yang bakal dihindari Mike. Galak. Tipe orang disiplin. Dan Mike jauh dari kata disiplin. "Tuan Rodriguez."
Mike membuka pintu semakin lebar. Memberi senyuman sesopan mungkin, meski dia tak yakin senyuman itu bakal menyelamatkannya. Dia bukan tipe orang ramah seperti Stephen. Sejauh yang dia ingat, dia hanya bisa menyeringai jahil, atau tersenyum menggoda. Benar-benar senyum yang takkan menyelamatkannya dari guru laki-laki galak.
"Hello ... Mr. Burner," sapanya ragu-ragu.
"Kau terlambat, Mr. Rodriguez." Mike meringis pelan. Benar kan perkiraannya, dia sangat displin. "Apakah kota ini terlalu sulit bagimu dan saudara-saudaramu? Karena aku tak ingin kau menggunakan alasan tersesat di hari pertama."
Mike tergagap. Bingo. Itu adalah alasan klasik yang bakal dia berikan setiap dia terlambat dihari pertama. Dan alasan dia terlambat hari ini, bukanlah tersesat atau terlalu mengagumi kota. Jelas dia takkan mengatakan sejujurnya alasan dia terlambat. Mike bertanya-tanya, alasan apa yang diberikan kedua saudaranya. Sebelum dia ingat bahwa para guru selalu membiarkan mereka masuk. Meski biasanya Jason lebih bermasalah.
Lagi pula dia sudah hafal betul tentang kota ini. Tahu seluk beluk kota hujan, dan sekitarnya untuk mencari spot kencan semenjak dia datang di wilayah ini. Mike sedikit bersyukur dengan hobi kencannya. Setidaknya dia bisa dengan mudah menghafal tempat.
"Well ... Ada beberapa masalah dirumah. Kau tahu, kami baru saja pindah jadi—,"
Mr. Burner mendengus. Terlihat jelas dia sudah sering menghadapi anak didik seperti Mike. Dan Mr. Burner jelas tidak menyukai mereka. Tapi toh Mr. Bunner meminta Mike segera memperkenalkan diri.
"Perkenalkan dirimu, dan segera duduk. Ada banyak materi yang harus saya sampaikan."
"Thanks. Mr. Burner," girangnya.
Mike menatap kelas barunya. Dimulai dari cewe modis berambut coklat cerah. Punya cara duduk yang lucu. Seolah-olah dia tengah menggoda Mike dengan gaya yang sangat berbeda dengan style-nya. Begitu tidak nyaman. Membuat Mike tertawa dalam diam. Gadis modis yang ramping, dan jelas tinggi semampai telah tertarik dengannya semenjak dia bertemu pandang. Lucu sekali. Lihat saja mata coklatnya tak lepas dari tubuh Mike. Memandangnya penuh kekaguman. Tidak melewatkan satu inchipun bagian tubuh Mike. Memberi senyum semenawan yang dia bisa. Berharap Mike akan tertarik padanya. Dan Mike cukup menyukainya. Satu masuk ke daftar teman kencan.
Yang lain tak jauh berbeda. Kulit pucat, sudah pasti. Memandang penuh kekaguman. Dan jelas dia tengah menunjukkan pesona terbaik mereka. Hanya untuk membuat Mike menaruh perhatian pada mereka. Mike sudah terbiasa dengan tatapan itu. Tentu saja, hampir setiap cewe yang bertemu pandang dengannya akan melongo, atau tersipu malu hanya dengan sebuah senyum, dan kedipan kecil. Mike takkan pernah bosan pada itu.
"Well ... Mike Rodriguez." Mike tersenyum lebar. Sementara beberapa cewek memekik tertahan. Girang. Dan tentu saja terpesona. "Karena kami bertiga memiliki nama Rodriguez. Bisakah kalian memanggilku, Mike?"
"Tentu."
Beberapa cewe mengangguk. Menyetujui dengan senang hati. Membuat Mike tersenyum lebar hingga Mr. Burner berdeham keras. "Cukup perkenalan dirinya, Mr. Rodriguez. Duduklah di kursi kosong di sebelah Tuan Wood!"
Mike menurut. Tak begitu senang di depan. Apalagi jika harus ditatap dengan buas oleh guru killer-nya. Dia melihat papan tulis sekilas. Beberapa tulisan cakar ayam, yang sama sekali tidak dimengerti olehnya. Berderet angka-angka dan huruf yang disusun dengan maksud yang bahkan Mike tidak mengerti. Oh bagus sekali. Guru Killer dengan pelajaran yang sama sekali tak dua mengerti bahkan setelah berkali-kali dia sekolah. 'Perpaduan yang hebat,' pikirnya sarkatik.
Tempat duduknya ada di bangku kedua dari belakang. Di sebelah cowok besar berkulit coklat, yang kelihatan jelas dia tak menyukai kedatangannya. Dia mempunyai rambut hitam ikal. Hidung bulat dipenuhi jerawat. Bahkan Mike hampir bertanya apakah benar itu jerawat, alih-alih disengat oleh lusinan lebah?
Dia tinggi. Lebih tinggi darinya, tapi cukup untuk mengimbangi tubuhnya yang besar. Berotot seperti beruang, menujukkan bahwa dia melakukan pekerjaan yang cukup menguras tenaga. Membuatnya terlihat kekar alih-alih gendut. Dia terlihat lebih tua dari kebanyakan remaja lainnya, seolah dia memang tinggal kelas.
Cowok itu menatapnya lekat. Namun kemudian mendengus, dan kembali melihat kedepan. Seolah berbicara, 'kenapa dia harus sebangku dengan Mike, sih', dan berharap bisa pindah saja. Cowo itu berpenampilan sederhana. Mike bisa mencium bau oli dari tangannya. Seperti dia tak mencuci bersih tangannya sebelum berangkat sekolah. Tangannya kelihatan terampil membuat sesuatu. Jemarinya besar-besar dan berkapal, seolah dia melakukan pekerjaan dengan jarinya. Kelihatan sekali dia sudah terbiasa merakit.
"Mike," ucapnya memperkenalkan diri sekali lagi. "Tak nyaman duduk bersamaku eh?"
Cowok itu mengerling jengah. Mengalihkan perhatiannya dari Mr. Burner yang sedang mengajar, dan berbalik menatap Mike. Kelihatan ingin sekali menghajarnya hingga tak berbekas. Mike terkekeh geli. Bagaimana mungkin cowok besar ini mengalahkannya? Dia jelas tidak ada apa-apanya dibanding Mike. Bahkan Mike sempat merasa tertarik untuk memakannya. Dia besar, tentu darahnya bakal banyak. Dan Mike akan kenyang.
Tapi tentu saja, dia masih mencoba untuk menahan dirinya. Cowok ini tidak ada apa-apanya ketimbang gadis yang semalam dia temui.
"Benar," dengusnya. "Tidak bisakah kau berhenti membuat para cewe terpikat denganmu hanya dengan lambaian? Kau tahu? Seumur hidupku, aku hanya pernah mengejar satu cewek, dan dia sama sekali tak menggubrisku."
Poor. Cowok gelap yang bahkan tak bisa mendapatkan satu cewek seumur hidupnya? Berbanding terbalik dengan Mike yang sekali kedip. Cewe bakal senang hati berkencan dengannya.
"Dan melampiaskan kemarahanmu padaku? Kekanak-kanakan sekali."
Wood mendelik tak suka. "Katakan itu, dan aku bakal melemparmu keluar jendela," geramnya. Ancamannya terlihat tak main-main.
"Melemparku?" Mike menahan tawanya. Seorang manusia. Melemparnya? Itu lucu. Mungkin Mike bakal berpikir dua kali pada ancaman itu jika yang mengatakannya adalah Jason. Tapi dia? Hanya manusia yang congkak karena badannya yang besar. Sombong dengan badannya yang berotot karena sering bekerja kasar. Menggertak Mike dengan melemparnya keluar? Itu bakal jadi lelucon yang paling digemari. Seperti seorang tikus got yang menggertak ular yang akan memangsanya. "Kau yakin bisa melakukannya sebelum terbunuh?"
Mike menyandarkan punggungnya santai. Menikmati setiap reaksi yang diberikan yang lainnya. Mungkin dia akan mengatakan itu semua pada cowo. Menakut-nakutinya, mengancam, dan sebagainya. Namun dia bakal meperlakukan cewek dengan sangat baik. Sebaik seorang serigala menggoda gadis tudung merah sebelum merebusnya. Sesekali dia memergoki beberapa cewek melirik padanya. Membuatnya terkekeh karena mereka bakal merespon manis ketika Mike membalasnya. Malu karena ketahuan mencuri pandang si cowok populer.
"Yeah." Cowok itu memutar bola matanya. Menganggap apa yang dikatakan Mike adalah lelucon. "Aku takut," katanya sarkatik.
Mike memicingkan matanya. Sedikit kesal, dan menggeram pelan menahan diri untuk tidak membenturkan kepala Wood ke tembok. Dan membuat isinya berhamburan. Dia pernah melihatnya di game yang diamainkan dan itu sangat-sangat indah. Tapi tidak. Bakal jadi berita heboh jika dia menghancurkan tenggkorak cowo itu. Huh dia takkan mau pindah sekolah hanya karena cowok menyebalkan, dan jelek sepertinya.
"Kau ..."
"Sepertinya Mr. Rodriguez, dan Mr. Wood memiliki sesuatu yang menarik untuk diceritakan. Dan lebih menarik dari pada apa yang kuajarkan di depan." Mike menggeram kesal. Guru di depannya dengan seenaknya memotong apa yang dikatakannya. Memang dia pikir dia siapa? Dengan seenaknya memotong ucapan eksistensi yang 100 kali lebih kuat darinya. "Bisa kau jelaskan didepan, Mr. Rodriguez?"
Mike menarik nafas panjang. Menenangkan diri, sebelum dia menghancurkan kelasnya dengan 'tidak sengaja'. Yang bakal membuat semua orang meregang nyawa, demikian juga dirinya, dan saudara-saudaranya. Dia tahu betul bahwa para vampir harus menyembunyikan eksistensi mereka dari para Fana (sebutan untuk manusia). Itulah yang membuat eksistensi mereka hanyalah cerita yang bahkan tak memiliki bukti kebenarannya. Sulit jika mangsa mereka mengetahui tentang keberadaan mereka.
Itu pernah terjadi ratusan tahun yang lalu. Membuat dunia menjadi kacau karena banyak orang yang dituduh penyihir atau diekseskusi massal. Padahal pada akhirnya mereka tidak pernah membunuh satupun vampir. Menurut catatan sih demikian.
Berbeda dengan para kijang yang tak memiliki akal, dan hanya insting diantara predator mereka. Manusia memiliki akal. Memiliki kemampuan, dan rencana untuk menghindari mereka. Dan mereka tak hanya satu. Tak terhitung, dan abadi. Vampir bisa hidup selama ratusan, bahkan ribuan tahun.
Tetap muda sama seperti saat mreka dilahirkan kembali. Tetap kuat bahkan semakin kuat, bahkan tak bisa dihancurkan kecuali ditusuk jantungnya. Padahal kulit mereka lebih kuat dari baja, tidak bisa ditusuk oleh pedang manapun. Kecuali cakar, gigi, dan kemampuan vampir lainnya. Sedangkan manusia, hanya dengan memutar lehernya. Mereka akan meregang nyawa. Sangat rapuh seperti kaca.
Selain itu bila eksistensi mereka terbeberkan. Bisa dipastikan para Fana akan berbondong-bondong mencarinya. Entah memburunya, atau menjadi bagian dari mereka. Dan setiap peraturan akan ada penegaknya. Bukan hanya satu yang menjadi kekang mereka. Vampir memiliki dewan yang mereka sebut Senat. Dan manusia yang mengetahui keberadaan Vampir, dan memburu mereka. Mereka menamai diri mereka sebagai Hunter, manusia menganggap mereka sebagai penyihir atau orang berkemampuan super. Meski mereka semakin langka sekarang.
"Tidak, Mr. Burner. Maafkah saya," kata Mike meminta maaf. "Hanya saja, saya ingin memiliki teman sebangku yang menyambut ramah saya."
Mr. Burner mendelik. Sementara Wood menggerutu kesal. "Benar begitu, Mr. Wood?"
Wood mengangguk. Cukup takut untuk menatap guru di depannya. Membuat Mike terkekeh dalam hati. Dimana sikap arogan yang ingin melemparnya keluar jendela? Lucu sekali jika dia menjadi anjing penurut seperti ini.
"But ... Tak apa Mr. Burner. Saya tak ingin menganggu pelajaran anda. Lanjutkanlah. Dan saya akan menyelesaikannya nanti."
"Aku tak ingin mendengar keributan lagi, mengerti? Dan Mr. Wood. Bersikap baiklah!"
Mr. Burner kembali menghadap papan tulis. Melanjutkan pembelajarannya yang sempat terganggu dengan keributan kecil yang dilakukan oleh Mike, dan Wood. Mike menebak bahwa Mr. Burner sudah cukup bosan dengan Wood. Dan kelihatannya Wood sering sekali membuat masalah. Sehingga Mr. Burner memberi teguran padanya, bahkan tanpa meminta penjelasan. Cowo di sebelahnya memang memiliki nasib yang terlampau buruk. Lebih buruk lagi dengan Mike yang menjadi Partnernya.
"Kau dengar itu, bung?" Wood mendelik tak suka. "Bersikap baiklah padaku."
Wood membuang muka. Memfokuskan dirinya pada Materi Mr. Burner tak ingin ditegur lagi mungkin. Mike bisa melihat tubuh cowok itu menegang. Mungkin instingnya cukup menyadari bahwa Mike itu berbahaya. Predator paling berbahaya dari semua yang ada.
Jenis yang bahkan bisa dengan brutal memangsa buruannya. Jenis yang menarik mangsanya dengan pesona. Meski mereka jelas tak membutuhkannya. Karena dia bahkan bisa membantai semua orang disini. Begitu mudah. Seperti menghancurkan kaca dengan tongkat baseball.
Mike menatap sekeliling. Bosan dengan Wood yang tak lagi bisa dikerjai. Memberi senyuman menggoda pada cewek berambut coklat bergelombang. Membuatnya memiliki semburat merah dipipinya yang lucu. Membuat Mike meneguk ludah paksa ketika mengingat apa yang membuat pipinya memiliki warna merah yang lucu.
Sesuatu yang berwarna merah, dan begitu segar. Namun jelas aromanya yang tak seenak cewek tadi malam. Mike mengumpat kesal. Menggeram tertahan ketika rasa haus kembali membakar kerongkongannya. Membuatnya mati-matian menahan diri untuk tidak menyerang manusia yang ada di dekatnya. Hanya perlu mengayunkan tangan. Dan satu manusia tak bisa lagi kabur darinya. Dia bisa menikmati makan siang yang menyanangkan, yang enak. Tidak lagi mengonsumsi darah-darah basi para pendonor.
Cewek itu harus bertanggung jawab. Dialah yang membuat Mike begitu sulit mengontrol dirinya. Bahkan semburat merah seorang cewek yang hampir setiap hari ditemuinya. Bisa membuatnya hampir kehilangan kendali. Tentu ini akan buruk jika terus terjadi. Dan Jason takkan segan menyeretnya pergi, dan mengurungnya digorong-gorong. Membuatnya mengerang tanpa bisa meminum setetes darahpun. Hukuman kejam khas Jason.
Mike mengerang tertahan. Menggeram pelan, dan membuat badai diluar sana. Matanya kembali menyalang. Dan Mike terus mengumpat dalam hati. Dia belum lama ada di sekolah ini. Dan dia harus kehilangan kendali sekarang? Tidak. Dia tidak selemah itu. Dia bukanlah vampir muda yang dengan seenaknya mengambil pejalan kaki dan membuatnya diburu karena mengungkap identitasnya. Dan Mike takkan menggali kuburannya sendiri.
Beberapa orang memekik kaget. Tentu saja, dengan badai yang datang tiba-tiba. Kaca-kaca bergetar terkena sapuan angin yang kuat. Mike juga akan kaget, jika dia bukan penyebabnya. Dan Jason pasti sudah menyadarinya. Mike harus menghentikan ini sebelum semuanya semakin buruk. Diingatnya beberapa acara kencannya. Seharusnya itu cukup efektif. Dan benar. Berangsur-angsur rasa hausnya berkurang. Namun tidak hilang.
Mike berdiri, membuat Mr. Burner terkejut. Dan mengalihkan perhatiannya dari luar jendela. Badai sudah berangsur mereda. Meninggalkan tanda tanya di benak semua orang di tempat itu.
"Ada yang salah, Mr. Rodriguez?"
"Aku tidak enak badan," gumam Mike berbohong. "Biarkan aku pulang!"
"Kau baru disini." Mr. Burner menyerngit tak percaya. "Bukankah terlalu cepat untuk pulang, Mir. Rodriguez?"
Mike menutup matanya. Benar, dia tidak bisa pulang begitu saja. Dia harus menahan dirinya, bersikap sangat biasa. Dia menarik nafas dalam, sebuah kesalahan. Bau darah dari kawan-kawan sekelasnya memukul penciumannya dengan kuat. Dia menahan nafasnya, meski sebenanya dia tidak perlu bernafas selayaknya manusia. Kemudian mendudukkan dirinya kembali, dan tersenyum memaksa.
"Kau benar, Mr. Burner. Terlalu cepat untukku. Maaf telah mengganggu pelajaran anda lagi."
Mr. Burner mendengus. Kembali melanjutkan pelajarannya. Meskipun semua orang sedang berbisik heran. Mike bisa merasakan tatapan teman-teman sekelasnya. Mulai dari yang menganggapnya aneh, hingga benar-benar khawatir padanya.
Di sebelahnya Wood bertanya ragu. "Kau baik-baik saja?"
Mike memberikan cengiran terbaiknya. "Yeah, Mr. Wood."
"Tayson," katanya. "Panggil aku Tayson."
"Yeah, Tayson," Aku mengangguk. "Aku baik-baik saja. Trims."
Mike tak bisa meninggalkan kelas begitu saja. Seharusnya dia tahu itu, tapi dengan bodohnya dia berdiri, dan memerintah Mr. Burner untuk membiarkannya pergi? Uh ... itu bakal jadi kecurigaan. Dan apa-apaan acara lepas kendalinya tadi? Dia tak pernah merasakannya selama ini.
baca prolognya sebentar berasa lg settingan film twilight, kota hujan hehe. but nice story, kusampai terlarut dalam pensetinggan. udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu
Comment on chapter BAB 1 : Olivia Hale