Lupa, hilang, terlupakan. Tiga hal yang saling berkaitan satu sama lain. Lantas membuat siapapun akan merasa asing sekali. Hidup tidak melulu tentang ingat, tapi sisi lainnya adalah lupa. Manusia bukan makhluk pengingat yang kuat terlebih mereka selalu punya penyakit lupa. Tidak ini bukan soal disengaja, melainkan memang benar penyakit lupa. Ia sudah benar-benar lupa, ingatannya terhapus begitu saja. Bagai papan tulis yang semakin penuh dengan tulisan lalu sang guru menghapusnya untuk menulis lembar baru.
Tiap orang memang suka hal baru, tidak kah mereka juga harus menyimpan kenangan lama dalam buku lama mereka. Barangkali jadi petunjuk untuk dikemudian. Ah tidak buat Elian. Rupanya apapun yang terjadi dulu. Sebelum ingatannya memudar, ia tau namanya bukan Elian. Hidupnya tidak seperti sekarang. Bahkan mungkin, menjadi seorang murid putih-biru yang maunya mencoba hal baru, tanpa tersentuh hiruk-piuk dunia kota.
“Elian, kamu mau kemana?”
“Tidak, saya cuman mau mencari udara segar”
“Jangan lama-lama, sebentar lagi kamu masuk ruang Dokter Ihsan”
“Baik”
Sudah tiga bulan lalu Elian berada di tempat serba putih dengan bau-bau obat tidak sedap. Beberapa kali ia harus mau dicek atau kalau tidak diajak berbincang oleh seorang psikolog. Entah untuk apa, katanya biar ia sembuh. Padahal tubuhnya sangat sehat. Orang-orang kadang aneh, memperlakukan orang sehat seperti orang sakit. Mungkin karena mereka butuh pasien dan butuh uang yang jelas. Elian berjalan gontai dengan pakaian putihnya, sama sekali tidak lepas sejak tiga bulan lalu. Tangannya dipakaikan selang, katanya biar keren saja. Tubuhnya terkurung dalam hiruk-piuk bau obat-obatan. Dan ia dipaksa untuk toleransi.
“Jadi sudah ada perubahan?”
Elian menggeleng pelan, matanya melamun. Layaknya orang pasrah.
“Kita tidak bisa memaksa otak untuk selalu ingat, mereka punya fasenya. Mungkin saat ini otakmu sedang tidak mau mengingat. Padahal biarkan saja, kau tak usah repot mengingat. Memang kalau sudah ingat kau akan bahagia?”
“Justru karena aku tidak ingat apa-apa, aku jadi kebingungan. Semua orang tau sedang aku tidak tahu. Apakah itu benar?”
“Benar tidaknya bukan mereka yang menilai. Tapi keyakinan kamu. Saya tau, saya tidak punya hak atas apa yang kamu lakukan, tapi kamu juga harus ingat. Kamu punya masa depan, biar saja masa lalu tetap disana. Toh kamu tidak butuh mereka”
“Saya cuman mau sembuh. Itu saja”
“Dan saya cuman mau kamu tidak egois”
Mereka duduk bersampingan di kursi besi rumah sakit. Beberapa orang saling berlalu lalang masuk dan keluar pintu rumah sakit. Mereka sama sekali tidak peduli. Keduanya saling berpikir untuk menyampaikan argumennya. Beberapa jam lagi Elian akan masuk ke ruang pemeriksaan. Entah apa lagi yang akan dilakukan oleh Dokter Ihsan. Menurutnya ia tidak seperti Dokter lagi, melainkan teman sekligus sahabat.
“Dokter Ihsan, minggu lalu bilang apa?”
“Tidak ada. Dia malah senang katanya ada perubahan”
“Saya tidak suka cara dia menatap kamu”
“Oh jadi ini alasan kamu, supaya saya tidak meneruskan pengobatan. Ternyata kamu yang egois”
“Tidak El, saya cuman tidak suka itu saja, bukan soal pengobatan kamu”
“Yan, siapapun berhak untuk cemburu termasuk kamu, katakan saja. Jangan jadi alasan karena Dokter Ihsan”
“Saya akan mengantar kamu ke dalam ruangan, siap-siap saja”
Elian berdiri dibantu oleh Ryan, seorang masa lalunya yang ternyata menginginkan untuk tidak mengingat apapun lagi, ia sudah pasrah untuk tidak mengajak Elian bersikuku mengikat masa lalunya, malah Elian yang bersikuku untuk ingat kembali. Sore itu bersama cahaya senja yang tumpah pada tembok rumah sakit, mereka berjalan saling beriringan. Salah satu menuntun yang lainnya. Bukan perihal sakit melainkan perihal segera sembuh.
Akhirnya setiap orang berusaha untuk mengingat. Mesikpun sebagian sudah menggugur jatuh dibawa angin lalu menjadi rapuh. Lantas apa lagi selain menjadi abu. Begitulah pikiran manusia kalau sudah rapuh ya terhapus. Tidak ingat apapun lagi. Selain berusaha mengingat, mengembalikan setiap potongan-potongan ingatan. Jelas tidak seutuh ketika mereka tumbuh.