Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ingatan
MENU
About Us  

Jalanan tengah malam begitu menyayat lapisan daging sampai tulangnya. Syiuran angin selalu berubah, kadang sangat lembut, kadang kecil sekali, dan keseringan mereka terlalu besar. Hingga mampu menggigilkan seluruh badan. Sebuah pemanas dalam kendaraan dinyalakan dengan ukuran yang sangat tinggi. Mengalahkan angin dingin dari luar. Embun sesekali terlihat mengendap di kaca jendela.

Sendirian bersama sepi membuat ia begitu kuat sekali, perjalanan yang harus dirampungkan. Tadi pagi awalnya akan segera pergi, tapi kadang ketidak terdugaan muncul hingga kita tidak bisa menghindar. Akhirnya baru bisa berangkat malam suntuk begini, untungnya pergi malam hari seperti ini tidak terlalu ramai, panas, macet, apalagi ditambah polusi udara beserta suara yang menyatu membunuh semua panca indra.

Mobil terus melaju kencang membawa deruan angin yang lembut, memasuki sebuah tol dengan plang tinggi bertahta gagahnya. Ia segera menarik kartu yang keluar dari mulut mesin. Patrol yang menghalang segera naik perlahan mempersilahkan mobil itu melewatinya. Perjalanan semakin terasa mencekam, suara mobil di jalan bebas hambatan ini terdengar begitu jeras menderu-deru. Sesekali ditemani mobil lain yang ikut melintas. Tak urung juga mereka sama-sama berlari kencang, menyusul yang di depan begitu seterusnya. Menyamakan kecepatan dengan plang di pinggir-pinggir.

“Tidak ada deruan angin sehebat ini sebelum aku bertemu kamu” ia menggerakan kemudi dengan teraturnya, kecepatan semakin dinaikan, “Entah bagaimana kamu di masa sekarang? Masih seperti dulu atau kamu sudah tumbuh dewasa dengan cepatnya, ah bodoh sekali aku ini, pasti kamu sudah tumbuh dengan cepatnya sama seperti aku ini. Besok kita harus bertemu bagaimana pun caranya” ia terus mengoceh sepanjang perjalanan mengusir rasa sepi yang semakin merajalela.

Keluar dari gerbang tol sambil menyerahkan lembaran uang pada penjaga tol. Bahkan di malam suntuk seperti ini masih saja mereka bekerja demi sebuah kehidupan yang lebih layak. Manusia jadi semakin dibutakan oleh uang. “Ah sudahlah” katanya segera menepis pikiran ngaur. Setelah melewati beberapa tol perjalannya semakin cepat selesai artinya ia bisa segera sampai tepat waktu.

Awan semakin berganti menjadi lebih segar dengan malam yang mengelupas dari kesuntukan. Hawanya jadi berbeda sekali dari mencekam menjadi sangat dingin. Sebentar lagi menjelang subuh dan mobilnya sudah terparkir di depan halaman rumah. Seperti kembali ke masa lalu ada tempat paling bersejarah dahulu kala. Tempat menetap paling nyaman dari apapun, tempat kembali paling dirindukan. Bukan mimpi ini benar adanya. Ia sudah kembali ke rumahnya tiga tahun lalu.

Kakinya berdiri pelan-pelan menginjak tanah yang sangat ia rindukan, matanya menerawang ke kanan dan kiri. Rindunya semakin menjadi-jadi. Pintu mobil segera di tutup perlahan. Koper dan tas ransel di bagasi dikeluarkan. Ia mendorongnya sampai ke depan pintu. Sedikit ragu memang karena semua orang rumah akan kaget sekali. Mereka akan menduga pergi besok padahal nyatanya sepagi ini dia sudah sampai.

Tok…Tok…Tok… pintu tigakali diketuk, tidak ada bell di sana atau bel interkom seperti di apartemen miliknya. Semua serba sederhana, dari mulai pintu gerbang yang tidak terbuka secara otomatis. Tidak ada respon dari dalam rumah, ia kembali mengetuknya tiga kali. Kalau masih tidak ada yang menjawab antara harus menelpon orang rumah atau harus menunggu sampai pagi.

“Daripada mengagetkan lebih baik menunggu sampai pagi, tapi kalau tidak mereka akan khawatir dan mengoceh terus, ah sungguh bingung sekali” akhirnya ia segera mengeluarkan ponselnya, memanggil nomor telpon yang diberi nama Kak Intan.

Tut…tut… ada panggilan tersambung lewat selulernya, tapi belum ada yang menjawab. Mungkin sekali lagi sampai panggilan ke tiga belum juga ada jawaban. Tidak menjadi putus asa, terus saja mencoba menghubungi sampai ada jawaban.

“Halooo” ada suara disebrang sana terdengar sangat ngantuk.

“Ka ini aku Ryan, tolong bukakan pintu depan” katanya segera.

“Apa? Kamu dimana Yan?” dia kaget sekali mendengar permintaanya.

“Cepat, Kak di luar dingin”

“Oke tunggu” panggilan berakhir cepat.

Lima menit kemudian pintu terbuka lebar. Sosok wanita dewasa berdiri tegak memegang gagang pintu kanan. Dia begitu kaget melihat orang di balik pintu. Dahinya mengernyit seperti orang bingung. Orang di belakang pintu itu berdiri memperhatikan Kak Intan yang terpaku. Entah apa yang ia pikirkan, mengabaikan kedatangan adiknya, tanpa langsung memeluknya atau mengajaknya masuk. Malah membiarkannya sama-sama kebingungan.

“Siapa?” apa maksud dari pertanyaan Kak Intan, tidakkah ia kenal dengan adiknya.

“Ryan” jawabnya singkat ada senyum yang geli ia bentuk. Kak Intan sangat polos sekali, oh yak dia begitu bingung karena baru bangun tidur, tidak sadar kalau adiknya telah pulang dari tiga tahun lalu pergi.

Tiba-tiba Kak Intan memeluknya segera, “Sumpah pangling liat kamu, Yan. Berubah total gini. Maaf Kakak gak nyadar” ia segera melepas pelukannya. Menatap lekat adiknya itu, “Kamu sumpah keren, ganteng, tinggi, putih, aaaaaa bangun tidur ketemu orang ganteng gini. Gak nyangka” katanya sangat memuja.

“Haha, gak usah berlebihan, Kak. Aku adikmu, bay the way ini gak diajak masuk gitu? Di luar dingin loh”

“Aduh maaf, ayok masuk. Sini biar Kakak bawain barang-barang kamu” gagang koper yang Ryan genggam dengan jemarinya ditarik Kak Intan. Semua dibawa oleh Kakaknya, Ryan berjalan mendahului Kak Intan.

“Ternyata seperti ini Kakak memperlakukan tamu, sudah beda gak kaya dulu. Haha” tawanya mengahapus kata-kata yang begitu menakutkan.

“Yan, kamu mau dibikinin minuman apa? Mau teh manis anget?”

“Enggak usah, Kak. Mau istirahat dulu aja, pinjem selimbutnya” Ryan duduk di sofa ruang tamu. Settingan ruang tamu sudah berubah tidak seperti tiga tahun lalu, kalau bisa jangan ada yang dirubah. Kenangan lama jadi terasa hidup kembali. Ia melentangkan tubuhnya di sofa empuk, punggungnya pegal-pegal karena terlalu lama mengemudi. Matanya perih sekali akibat ac dalam mobil.

Kak Intan membawakan selimbut tebal untuk Ryan. Kasian melihat adiknya yang sudah menempuh perjalanan jauh. Perasaannya semakin ingin tahu tentang Ryan selama tinggal di Jakarta, meskipun Ryan bukan cewe yang paham tentang ke ingin tahuan seorang perempuan, Kak Intan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Ryan, “Yan, kamu ke sini sama siapa?”

Ryan menutup matanya perlahan-lahan, meskipun begitu telinganya masih mendengar dengan jelas, “Bawa mobil, Kak” jawabnya enggan.

“Serius? Udah punya SIM gitu? Dikasih mobil sama Papa hebat ih, kok bisa sih?” pertanyaan borongan.

“Orang yang baru datang bukannya disuruh istirahat malah dikasih pertanyaan” jawab Ryan tidak ada sangkut pautnya dengan pertanyaan Kak Intan.

“Aduh biarin dong, masih ada besok pagi istirahat mah,cerita dulu buruan” Kak Intan tidak mau penasarannya ditangguhkan sampai besok.

“Sejak masuk SMA Papa udah ngasih mobil, katanya biar gampang ke sana kesini daripada naik motor bahaya jatuh langsung luka parah, mobil masih mending. Aku udah punya SIM udah lulus mengemudi kelas dua SMA. Lagian udah 18 tahun bukan anak di bawah umur lagi” katanya jelas.

“Lain kali minta dong buat Kakak, naik angkot terus kesel”

“Aku juga engga minta, Papa yang ngasih cuma-cuma. Ikut aja ke Jakarta nanti pasti dikasih. Masa orang yang kerja gak mampu beli kendaraan”

“Ryan uangnya dibeliin keperluan sehari-hari lah malah habis. Udah gitu kadang harus beli barang penting dadakan. Huuuuuu” ia mengehela napas panjang.

“Hmmm” jawab Ryan asal. Rupanya ia sudah tertidur, derungan suara dari mulutnya seperti dibuat tidak sadar. Supaya orang di sampingnya tetap percaya bahwa ia masih menjadi pendengar yang baik.

***

“Ryan bangun, Nak” suara lembut terus memanggil nama orang yang sedang tertidur pulas di atas sofa. Tubuhnya membeku dilapis selimbut tebal. Tubunya terus digoyangkan supaya cepat bangun. “Nak, cepat bangun. Sudah pagi” suara tiga tahun lalu.

Ryan membuka matanya perlahan-lahan. Benar sekali wajah yang mulai menua itu tersenyum hangat padanya. Meskipun ia belum benar membuka kedua mata. Wanita ini mungkin menunggunya dari tadi. “Mama?” pertanyaan pertama saat matanya membuka perlahan-lahan.

“Siapa lagi kalau bukan Mama kamu, Ryan” suara paling dirindukan selama ini. Secepatnya Ryan memeluk Mama dengan lekat. Sampai Mama agak kesulitan bernapas, “Ryan, Mama gak bisa napas” suara yang lembut berubah jadi tersendak-sendak.

Segera melepas pelukan, “Maaf Ma Ryan, kangen berat Mama. Maaf juga datangnya tadi subuh harusnya berangkat pagi, habis Ryan udah gak bisa nunggu lagi buat pulang” jarinya mengusap wajah yang sedikit berminyak.

“Enggak apa-apa Mama ngerti kamu udah tiga tahun gak pulang” Mama paling pengertian, “Maaf juga Mama selalu menyuruh kamu pulang nanti-nanti. Ternyata malah tidak baik untuk kita yang merindukanmu. Maaf juga Mama ya” Mama mengelus tangan Ryan lembut.

“Ma, apa yang dilakukan Mama gak salah. Justru dengan keadaan ini aku jadi belajar satu hal penting. Menghargai waktu. Sungguh Ma, gak ada yang salah dengan apa yang Mama lakukan.”

“Cepet mandi, terus kita sarapan bareng” ajak Mama yang sudah menghidangkan makanan spesial untuk anaknya yang baru pulang ini.

Bau masakan tiga tahun lalu, di Jakarta tidak ada masakan sewangi ini. Mama masih jadi juara berbagai makanan, meskipun banyak junkfood lezat tetap kalah dengan masakan Mama. Perut kembung yang tadi subuh terisi angin berdering-dering. Mereka ternyata lapar sekali. Mama pasti sudah menyediakan ramuan herbal anti masuk angin. Ryan segera merapihkan bajunya. Tubuh yang lengket dengan bau tidak nyaman berubah sangat segar bahkan wanginya bukan seperti dia kemarin-kemarin, tapi tiga tahun lalu.

Di atas meja makan sudah dihidangkan berbagai masakan sunda diantaranya ada, sayur lodeh, ikan kertas goreng, tempe goreng, oseng kangkung, tidak ketinggalan sambal pedas yang wangi daun jeruk. Makanan sederhana ini bisa sangat mahal di ibu kota, rasanya pun tidak selezat buatan Mama.

Suasana tetap sama seperti dulu. Ada ketidak terdugaan entah bagaimana sampai ia tidak bisa pulang sesering para pemudik ibu kota, temannya saja bisa dibilang sering pulang kampung ia sendiri yang nyatanya sangat merindu sulit sekali pulang. Kenyataan selalu tidak adil, tapi ternyata tiga tahun kembali membawa dia ke tempat yang sama. Satu hal yang pasti ada orang yang harus dia temui hari ini.

“Ayo Ryan, cepet makan. Bukan di sana jarang kamu nemu makanan gini?” Mama sudah duduk di kursi paling ujung dari lima deretan kursi saling berhadapan.

“Di sana ada juga, cuman rasanya beda dengan yang dibuat Mama” piring putih yang menumpuk dekat tempat sendok ia raih, diisi nasi panas yang masih mengepul dari bakul anyaman. Semua lauk pauk yang dihidangkan Ryan ambil satu persatu, “Ma, boleh ya Ryan borong makanannya” perasaannya jadi canggung sekali, baru kali ini dia bisa bertemu Mama. Dulu mungkin bisa bertingkah apapun juga, sampai pernah membentak, sekarang. Tidak.

“Aduh kamu kaya sama siapa aja, lagian ini rumah kamu. Bebas mau ngambil yang mana juga” Mama selalu membuat dirinya menjadi seorang ibu paling pengertian.

“Maklum, Ma dia kan baru sekarang mudiknya. Malu kali udah lama gak ngumpul lagi sama kita” Kak Intan ikut nyambung padahal dia sudah mulai melahap nasi.

Ryan tidak banyak berkomentar lagi. Makanan dihadapannya harus segera dibereskan perut lapar tidak boleh dibiarkan terlalu lama. Sebersit kenangan masa lalu mengintai seisi pikirannya, entah bagaimana ada sosok perempuan menari terus di depan matanya. Sebuah pertanda untuk segera mungkin menemuinya. Dimana? Entah dimana dia sekarang tinggal. Bisa jadi dia pindah atau masih berdiam di tempatnya. Sampai lupa kalau masih ada teman dekat yang harus ia temui juga, ternyata sosok dia lebih kuat dalam ingatan daripada yang lainnya.

“Habis ini Ryan izin buat ketemu temen SMP”

Mama terlihat kaget sampai menengadahkan kepalanya, Kak Intan terlihat biasa saja, “Siapa?” tanya Mama singkat.

Loh lupa macam apa, siapa yang harus Ryan temui pertama kalinya. Teman aduh sampai lupa nama begini, ia menimbang-nimbang terlebih dahulu, “Andre, Ma. Ya Andre” katanya senang sekali bisa menemukan nama temannya itu.

“Oh Andre, boleh. Lagian kamu baru sampe jangan dululah ketemu mereka. Istirahat di rumah lebih baik. Biar masih ada hari esok, benakan Intan?” jelas Mama bertanya pada Kak Intan yang tidak ikut berkomentar.

“Iya, Yan. Bener kata Mama, besok aja kasian kamu cape”

Ryan menaruh gelasnya di atas meja. Dia tidak mau lagi menunggu perjumpaan sampai hari esok, “Gak apa-apa, Ma. Udah janjian juga sama Andre. Kan udah ketemu mereka lebih tenang jadi banyak waktu bareng keluarga” beruntung punya alasan tepat.

Akhirnya tidak ada lagi komentar atau larangan. Kak Intan juga suda mengizinkan, biasanya dia paling bersikeras tidak mengizinkan Ryan pergi kemanapun. Pukul 10.30 siang Ryan sudah membawa mobilnya pergi. Rencananya hari ini bertemu Andre di tempat nongkrong dulu pas SMP. Meskipun agak kesulitan mendapatkan nomor teleponnya.

Mobil hitam berplat Jakarta terparkir rapih diantara jajaran sepeda motor. Beberapa laki-laki duduk bersantai depan warung kekinian ini. Ryan turun dari mobilnya, matanya mencari sosok orang paling bersahabat. Seseorang di tempat duduk ujung melambai gembira ke arahnya. Tidak akan salah lagi itu pasti Andre, Ryan berjalan ke arahnya. Wajah Andre terlihat berbeda, semakin dewasa dengan kemeja kotak-kotak kaos abu polos, celana jeans hitam dan sepatu vans.

“Ryan” tunjuknya heran.

“Andre” balik menujuk juga.

Mereka bersalaman dengan gaya salaman mereka, tangan menjabat setelahnya mengadukan kepal. Rasanya sudah banyak perubahan di sini, warung yang dulunya sederhana sekali. Sekarang banyak modifikasi, banyak grafiti warna-warni menghiasi tembok warung, kursinya unik sekali dari drum bekas yang didaur ulang menjadi tempat duduk. Tidak pas kalau dipanggil warung, mungkin lebih baik dipanggil kedai, atau kafe. Ternyata mereka juga tidak mau kalah dengan era modernisasi ibu kota.

“Berapa lama gak ketemu?” Ryan melempar pertanyaan pada sahabat karibnya waktu SMP. Dikenal paling jail di kelas, paling banyak ide membatalkan ulangan dadakan.

“Seabad” jawabnya ngasal.

“Gila sudah selama itu kita ga ketemu” Ryan bergidik mendengar jawaban temannya, “Mesen kek” sindirnya kemudian.

“Hahah ngalem Pak Bos, tuh pesananya udah nongol. Tenang saya selalu paham” ia menepuk dadanya bangga sekali, “Ngomong betawi dong. Kan sekarang udah jadi orang Jakarta” seketika ia melempar tantangan kepada Ryan.

“Gue emang tinggal di Jakarta, tapi bukan tinggal di daerah orang Jakarta asli dengan budayanya yang kental. Gue tinggal di tempat orang-orang sibuk dengan dunianya masing-masing. Sesama pengguni yang saling tidak kenal” ada nada kesal dari tekanan suara yang Ryan katakan kepada Andre. Juice lemon kesukaannya dulu diminum perlahan-lahan lewat sedotan. Lalu melanjutkan perkataannya,”Entah bagaimana bisa, gue selalu ngerasa hidup sendirian, bokap yang sibuk dengan kerjaannya atau Mama yang gak banyak ngomel. Tiap hari pergi keluar, entah itu main basket sama kaya kita dulu atau makan di luar. Ah membosankan. Dan lo harus tau gue ketemu orang yang mirip banget sama…” tidak ada nama yang ia jelaskan di akhir.

“Bunga” Andre menambahkan dengan jelas.

“Nah itu, gak tau kenapa bisa semirip itu. Cuman rambutnya lebih panjang dari Bunga. Dre, lo harus tau selama gue tinggal di Jakarta bayang-bayang Bunga selalu mengikuti kemana gue pergi. Dia? Gimana keadaanya hari ini” keingin tahuannya sejak lama semoga bisa dibantu lewat cerita dari temanna.

Andre membeku, ia malah memainkan sendok setengah tenggelam dalam gelas minuman. Harus apa yang ia ceritakan, ia tahu sekali Ryan akan sengat penasaran, tapi, “Beda yak, ngomong sama orang Jakarta mah, dikit-dikit pake gue-lo, jadi malu nih aku yang biasanya pake aku-kamu” Andre mengalihkan pembicaraan, apa harus cerita semua langsung, atau lebih baik Ryan mencari kebenarannya sendiri.

“Biasa ajalah, masih tetap Ryan yang dulu” ini jadi begitu menggelitik, “Jangan bercanda, Dre. Penasaran gue selama tiga tahun terakhir ini, hidup kagak tenang”

“Jujur, selama tinggal satu daerah sama bu ketos, gak pernah ketemu sesering dulu pas masih satu sekolah. Rasanya dia juga ngilang dalam keseharian bahkan kita udah putus, kamu ingetkan si Lisna temannya itu”

“Nah itu, gue hampir lupain dia. Haha lucu sampai bisa ngelupain semua demi satu orang”

“Iya, kita putus. Sejak saat itu kita gak pernah ketemu. Kalo gak salah dulu pernah ada yang ketemu bu ketos, tapi dia gak kenal sama orang-orang satu sekolahannya. Katanya sih jadi sombong, tapi gak tau betul sih ceritanya. Ga bisa suudzon gini” berbicara terlalu jauh akan mengungkapkan hal lebih jauh juga.

“Gitu, kok bisa dia lupa. Dia kan orangnya bersahabat banget. Gue pengen ketemu, dia masih di alamat yang samakan?”

“Iya, belum pindah katanya. Hahah jujur gue gak se kepo lo” jelas Andre so-so jadi anak Jakarta menyamakan suara dengan Ryan.

Terima kasih Andre kamu masih jadi teman yang sama seperti tiga tahun lalu. Sebisa mungkin Ryan akan menemui orang yang selama ini ditunggu-tunggu. Sepulang dari sini tidak boleh ditunda lagi, langsung meluncur ke tempatnya. Berharap ada setitik harapan untuk dirinya. Jalanan sudah terlihat berbeda, Ryan hampir kebingungan ia tahu tidak ada tikungan menuju rumahnya, tapi harus berhenti dimana nanti. Oh iya, di toko berbagai jenis pupuk dan bibit tanaman sebelah kiri jalan raya.

Selama mengemudi matanya terus memperhatikan pinggir jalan. Barangkali secepatnya toko pupuk ditemukan, atau bagaimana sudah diganti dengan toko lain. Ah intuisi selalu berpihak pada dirinya. Intuisi tidak akan salah. Harapnya terus sepanjang jalan.

Tiba-tiba ia harus mengerem dadakan, seseorang akan menyebrang di depan sana. Seolah kembali ke masa lalu, bertemu masa lalu secepat ini. Bisa jadi ini kesalahan memperhatikan seseorang. Bisa jadi patamorgana semata karena terus membayangkan wajahnya. Tidak ada patamorgana di sini dia memang orang yang sama dengan tiga tahun lalu. Ryan segera memarkirkan mobilnya dipinggir jalan. Matanya terus memperhatikan orang yang hendak menyebrang. Perempuan dengan pakaian celana jeans hitam, atasan lengan pendek, dan tas pinggang serta rambut sedikit berwarna coklat tergerai menggerakan kepalanya ke kanan ke kiri hendak menunggu sampai benar-benar kosong tidak ada kendaraan berseliweran.

Jantung yang bergerak cepat sekali membuatnya gemeter. Kaget mungkin atau tidak percaya seolah mimpi jadi nyata atau seperti fans bertemu idolanya. Lebay. Klise. Bukan ini nyata sekali. Rindu paling dasyat dari apapun. Dia ingin keluar dari mobilnya, memanggil nama yang dulu sangat dekat dengannya. Biar terburu-buru agar tidak cepat berlalu pula. Tanpa pikir panjang lagi Ryan segera membuka pintu mobilnya, lalu berdiri di belakang pintu.

“Bunga!” panggilnya agak keras mengalahkan bisingnya jalan raya.

Orang yang hendak menyebrang itu seketika mengarahkan pandangnya ke arah Ryan. keningnya berkerut, jelas dia kebingungan. Sekali lagi memastikan bahwa yang dipanggil benar dia.

“Iya kamu” teriak Ryan lagi, lalu berjalan mendekatinya, “Bunga” panggilnya lagi, tenggorokannya menjadi kering sekali, bingung entah apa yang harus dikatakan, atau harus bilang apa, bertanya apa lagi. Pilu sekali kenyataan ini, ditambah orang dihadapannya malah celingukan tidak paham. Lebih baik diajak masuk ke mobil dan ngobrol di tempat lain. “Ikut saya bisa” jelas Ryan.

“Kamu?” pertanyaanya seperti orang pertama kali bertemu.

“Iya saya, bisakan sebentar saja” kok kamu seperti tidak mengenal aku batinnya, Ryan menarik tangan orang itu segera. Karena dia mungkin akan kabur seperti dulu menyebalkan. Sekarang dia penurut mau ikut dengannya.

Dalam mobil, Ryan entah harus bilang apa orang ini sudah ditinggalkan selama tiga tahun. Entah perasaan apa yang dia rasakan saat ini. Kaget mungkin pikirnya.

“Kamu udah dari mana?” pertanyaan paling tidak sesuai dengan perjumpaan pertama.

“Habis dari rumah temen, maaf kamu itu Ryan bukan?” pertanyaannya membuat siapapun bingung, seperti menebak-nebak saja.

“Apa? Iya tentu saya Ryan. Kamu masih ingat tidak Bunga? Kita adalah teman bahkan lebih dari teman. Sungguh saya rindu kamu, maaf tidak mengubungi kamu selama tiga tahun terakhir ini. Jangan salah paham saya tetap merindukan kamu”

“Aku enggak tahu harus bilang apa. Aku benar-benar lupa dengan apa yang pernah terjadi tiga tahun lalu. Namaku bukan Bunga, aku Elian” jelasnya suara parau menemaninya menjawab.

Sedikit terjadi badai petir dalam otak Ryan, apa mungkin dia salah orang seperti Sivia yang pernah dia anggap seperti Bunga. Tidak mungkin orang dengan wajah seperti ini jelas berada di tempatnya. Bahkan perasaannya yang kuat mengatakan dia memang Bunga, “Bagaimana kamu bisa lupa? saya Ryan kamu taukan. Elian? Sejak kapan nama kamu diganti, bisa tidak katakan sesuatu, sudah hampir tiga tahun saya berharap banyak bisa bertemu kamu lagi. Mohon jangan buat kecewa dan merasa sia-sia” kecepatan direndahkan sedikit supaya perbincangan keduanya benar-benar fokus.

“Mungkin aku pernah punya penyakit lupa, sampai sedetil apapun aku bisa melupakan masa lalu, jelas sekali enggak pernah punya cerita di masa lalu. Maaf setiap kali orang bilang aku Bunga justru banyak ingin tau apa benar aku memang Bunga bukan Elian. Dari keluarga bahkan seperti ada yang dirahasiakan. Tapi saat tau lewat year book nama aku bukan Elian, tapi Bunga. Satu yang pasti setiap kali aku ngerasa djavu ada wajah kamu yang hadir. Maka pertama kali kamu tadi manggil, aku ngerasa ini mimpi atau sedang djavu” baru sekali dia mengatakan panjang lebar seperti ini, wajahnya sangat lelah. Memikirkan hal tidak pasti dalam hidupnya, “Kamu bisa bantu aku kembaliin semua yang udah lupa?”

Kebingungan mempengaruhi selulur sel-sel otak Ryan. Sama sekali tidak mengerti apa maksud orang di sampingnya, harus apa yang ia katakan padahal sudah cukup jelas ada rasa bahagia bahkan paling bahagia bisa bertemu orang di masa lalunya. Lalu dia tiba-tiba lupa segalanya, bagaimana maksudnya sungguh tidak mengerti, “Bisa ikut saya sebentar?” mari kita coba mengorek masa lalu kami berdua katanya membatin.

“Kemana?” dia juga ikut bingung, berharap bisa menemukan titik terang.

“Ikut saja mungkin kamu akan ingat” jelasnya meyakinkan. Bisa jadi maksud dari Andre mengatakan Bunga sudah melupakan teman satu sekolahannya dulu karena dia memang lupa tentang hal itu, tidak mungkin ia melupakan dengan mudahnya bahkan sekaligus dengan orang paling dekat pun ia lupa.

Masih seperti tiga tahun lalu saja jalan menuju sekolah terasa begitu menyayat hati, dengan rumah yang berjajar rapih, lalu hamparan sawah luas. Mereka tidak sedang menguning melainkan masih tumbuh menjadi selembar ilalang hijau pekat. Di ibu kota sawah menjadi tempat langka, dulu waktu pulang sekolah sering sekali melihat para petani sedang panen. Setelah di sana kalau pulang yang dilihat tidak lain gedung pencakar langit, layar lebar di pinggir jalan atau kemacetan di sepanjang jalan. Sungguh kembali seperti tiga tahun lalu. Semuanya.

“Ini kita kemana?” pertanyaannya memecahkan keheningan diantara mereka berdua.

Ryan seperti tidak mau banyak berkata-kata, ia tahu akan sangat percuma mengatakan semua kenangan di jalan menuju sekolah dengan orang yang sudah lupa semuanya. Lebih baik menikmati sendiri dalam diam, “Ke tempat kita pernah berjuang bareng” rasanya ingin banyak bercerita kepada kamu Bunga, semua tentang pertama kali aku pergi ke Jakarta sampai aku bisa ketemu orang dengan wajah menyerupai kamu atau bagaimana susahnya aku pulang lagi ke sini, andai kamu bisa jelasin apa maksud lupa kamu ini.

“Jalan ini? Aku pernah liat jalan yang sama, bukankah di depan kita ada sebuah gerbang” tangannya menunjuk arah depan, ada sebuah gerbang yang bertahta di pinggir jalan.

“Iya, kamu betul. Itu kamu masih ingat” mukanya bersemangat sekali tatkala mendengar pernyataan bahwa dia masih ingat jalan menuju sekolah, tapi masih dengan sedikit keraguannya.

“Ah tidak, aku cuman sering melalui lewat mimpi” ia mengatakan hal begitu polosnya. Wajahnya masih seperti dulu begitu santai, penuh percaya diri dan kadang menjadi begitu tegang.

“Mimpi, seperti anak kecil saja. Oh tidak maksud saya, bisa tidak kamu ceritakan sedikit saja apa yang ada di mimpi kamu, barangkali saya bisa bantu kamu” jangan mengejeknya begitu jelas nanti ia akan tersinggung dan mendapatkan kesan pertama bertemu kembali yang amatir.

Tidak langsung menjawab banyak hal yang harus dipikirkan ulang.

Ryan segera membelokan mobilnya ke arah kanan, memang sudah siang sekali pukul 14.30 murid-muridnya sudah pulang semua mungkin, kecuali mereka yang betah di sekolah. Perjalanan menuju sekolah sepertinya sangat singkat dulu terasa begitu jauh atau karena pake mobil mempersingkat jarak tempuh. Oke tentu saja karena kendaraan. Entah harus panggil Bunga atau Elian, tapi yang jelas orang di sampingnya belum juga mengatakan banyak hal yang ia tahu di mimpinya itu. Raut wajahnya begitu serius, kalau diganggu dia pasti akan lupa apa yang sedang ia pikirkan.

Tempat yang sama seperti tiga tahun lalu, cat yang sama seperti dulu crem dan biru muda. Gerbang yang sama dengan jerujinya yang tinggi hanya saja warnanya begitu hitam pekat. Ia arahkan mobilnya menuju parkiran dekat ruang seni. Waktu itu ruang seni entah sekarang sudah berganti atau masih sama. Parkiran ini menyimpan banyak kenangan, terakhir saat mengantar Bunga melihat hasil kelulusan yang ditempel di mading. Rasanya seperti baru kemarin lulus dari sini sekarang malah sudah lulus sekolah menengah atas.

Mesin mobil ia matikan setelah mendapat tempat ter-aman. Setelahnya mengajak dia turun dari mobil. Banyak yang harus Ryan jelaskan dari temapat ini, kebetulan sekali keadaannya tidak begitu ramai, jadi lebih hening bisa mengatakan semuanya lebih baik juga. Sebelum berkeliling ke semua tempat Ryan terlebih dahulu izin pada petugas jaga sekolah. Biar tidak dikatakan yang bukan-bukan padahal niatnya baik. Beruntung petugas itu mengizinkan dengan memberikan peringatan untuk tidak berbuat apa-apa.

“A kadé cctv everywhare” katanya menakut-nakuti. (Hati-hati)

“Siap bos” teriak Ryan bersemangat. Petugas paling akrab dulu waktu masih sekolah, sudah biasa kalau dia suka bercanda, “Yuk, kamu ikut saya” ajak Ryan berjalan di depan dia, “Saya harus panggil kamu siapa?” lebih baik bertanya terlebih dahulu biar merasa nyaman untuk keduanya.

“Terserah kamu mau panggil aku Bunga atau Elian. Tapi untuk lebih mudah panggil saja Bunga, bisa membantu supaya mengingat lagi nama itu”

“Nama kamu yang sekarang bagus Elian, tapi lebih bagus nama kamu dulu, itu sudah menjadi bagian dari hari-hari kita”

Dia diam saja tidak ikut menjawab malah terus melihat sekitarnya. Bola mata itu terus menggerakan ke kana dan kiri, sama seperti dulu ia sering sekali melihat kana-kiri saat dia merasa kebingungan.

“Eh kamu belum cerita tentang mimpi kamu” sedikit mengingatkan supaya tidak ada penasaran nantinya.

“Selama tiga tahun ini sering banget ngerasa djavu atau sering banget mimpi aneh gitu. Pertama, ngerasa djavu kalau lagi ke siangan padahal baru pertama kalinya ke siangan, kedua mimpi jadi anak SMP terus pulang bareng sama laki-laki yang wajahnya hampir mirip kamu, terus ngobrol gitu di bawah pohon jati kalo gak salah, ketiga sering banget djavu sama hal-hal kecil, ngerasa banget mereka itu deket, tapi kenapa asing. Rasanya tuh pengen banget marah, teriak, terus bilang: kenapa? Siapa? Dimana? Bunga? Siapa Bunga? Siapa laki-laki itu! gak ada satu orang pun yang bisa bantu, hari ini baru bisa ketemu sosok laki-laki yang wajanya hampir sama. Terus tempat ini, jalan yang tadi menuju arah sini. Sering banget ketemu di mimpi, lucu yak kalo dipikir-pikir. Kenapa bisa coba kaya di film-film gitu yang katanya hilang ingatan-kebayang-bayang-ingat lagi-pulih gitu, cuman kenapa buat aku itu susah. Banyak sekali yang ingin aku tanyakan, pertanyaannya sama siapa? Gak ada satu pun bisa bantu” luapan emosi terlihat jelas, tangannya yang dari tadi terus bergerak-gerak lalu menyembunyikan rambutnya dipinggir telinga. Adegan semacam ini jadi sebuah ingatan untuk Ryan, ternyata dia masih sama selalu mengaitkan rambut di belakang telinga seperti dulu tatkala ia berhenti berbicara.

“Kamu masih tetap yang dulu” celetuknya ringan.

Dahinya berkerut, “Maksud kamu? Ah, iya, mungkin kamu ingat semuanya. Jelaskan saja apa yang kamu ingat, mungkin itu sangat membantu. Maaf sebelumya, bukan membuat kamu jadi tidak nyaman, sungguh aku tidak ingat apa-apa” jelasnya lagi.

Banyak sekali yang harus saya beri tahu, rasanya tidak baik dikatakan lebih pas kalau diajak ke tempat pertama kita pernah menunggu dulu. Perpustakaan. Ryan lantas mengajak dia untuk mengikutinya lagi, perpustakaan itu dulu ada di pinggir lapangan. Masih sama berdiri tegak di sana. Petugas tidak membersihkan tempat ini, dedaunan dan debu-debu menutup sebagian lantainya. Kotor sekali jika dipakai duduk lesehan. Ryan mencari tempat untuk bisa duduk di sekitar itu. Beruntung, dipinggir perpus ada kursi dari beton lumayan sama kotor, tapi bisa dibersihkan. Ryan membiarkan dia berpikir mengingat tempat serupa di memori otaknya. Kalau sudah lumayan ingat bisa nyaman diajak menelusuri masa lalu.

“Kamu sudah ingat tempat ini?” Ryan menengadahkan kepalanya ke langit luas tanpa batas mereka sangat teratur mengganti-ganti tepat waktu tidak membiarkan orang mengabadikannya walau sedetik pun.

Dia mengangguk, “Aku pernah ke sini. Melihat punggung seorang laki-laki yang pergi berlalu. Melihat bagaimana tempat ini menjadi sangat sepi, gersang, tak terurus. Menemani setiap musik paling menakutkan di sini”

“Itu saja?”

“Iya”

“Banyak hal tentang dirimu di sini, kamu adalah seorang kutu buku, tiap hari bisa bertemu kamu di dalam sana” jari telunjuknya mengarah ke pintu perpustakaan yang terkunci rapat, “Teman akrab ibu dan bapak pengelola perpus, bahkan kamu pernah merasa seseorang jadi begitu menakutkan saat kamu menyenggol bukunya kejadiannya dalam perpus ini. Kita sering kali janjian di sini, karena aku nunggu kamu, eh malah kamu yang pertama nunggu bukan saya yang harusnya tepat waktu nunggu kamu”

“Tapi pernah kamu pergi ninggalin aku? Atau aku malah ninggalin kamu sendirian di sini?”

Apa harus dijawab pertanyaan ini, jelas sekali dulu sebelum Ryan pergi mengingatkan Bunga waktu itu namanya, untuk bertemu di depan perpus ada hal yang harus dia jelaskan supaya paham. Supaya tidak terjadi kesalah pahaman, tapi ternyata orang yang begitu diharapkan tak kunjung datang juga, harus seperti apa ia mengatakannya, “Tidak kita tidak saling meninggalkan” kepalanya diturunkan memandang kedua kakinya yang begitu lemas.

“Mungkin di mimpi itu aku terlalu takut sampai ngerasa ada yang ninggalin atau aku ngelupain dia. Entahlah. Kebenaran apa lagi yang harus aku ketahui sekarang” rambutnya yang sedikit jadi pirang disapu angin siang itu, percuma dibenarkan toh akan kembali berantakan nantinya. Sampai lupa dia belum memberi tahu orang tuanya di rumah. Acara dadakan ini lebih menarik dari apapun.

“Kita ke tempat lain” Ryan berdiri dari duduknya, berjalan mendahului di depan menuju ke belakang perpus. Tepat sekali ada sebuah kantin cukup luas di sana, sayang kantin itu dikunci tidak bisa masuk.

“Kantin?” tanyanya bingun matanya menatap lurus pintu terkunci.

“Iya, kamu ingat tempat ini?”

Kepalanya menggeleng dua kali.

Dia tidak ingat ternyata, pengetahuan harus diberikan walau hanya setitik, semua harus disampaikan, “Tempat jajan kita dulu, tempat kamu ngobrol sama sahabat kamu Lisna.” belum Ryan menyelesaikan perkataannya dia kebingungan dengan sebuah nama, “Lisna?” dia juga lupa dengan sahabat dekatnya dulu, sungguh lupa macam apa ini.

“Iya, Lisna sahabat kamu, lupa juga ternyata. Kamu sama dia kaya sendal kemana-mana selalu berdua. Persahabat paling romatis diantara kalian. Nanti saya bawa kamu bertemu Lisna. Dia mungkin sangat merindukan kamu Bunga, dulu waktu try out kamu pernah kepagian datang terus nunggu sampai siang di kantin. Katanya belum ada siapa-siapa udah datang, lucu juga. Satu hal tentang djavu kamu memang orang yang sering kesiangan, sekalinya tepat waktu kepagian. Petugas jaga gerbang sama guru BP sering banget negur kamu malah bosen katanya, beruntung kamu ketua OSIS jadi gak banyak diomelin”

“Ketua OSIS? Bagaimana bisa itu, aku orang paling anti ikut organisasi di sekolah, bahkan gak pernah ikut acara-acara OSIS. Kesiangan, dari sejak kelas satu samapi kelas dua selalu on time, baru naik kelas tiga semester 2 sering banget kesiangan”

“Loh kebalik, saya sangat mengagumi saat orasi di depan umum, atau saat menjatuhkan orang yang tidak suka dengan kamu, bukan cuman itu kamu sangat pintar sampai saya ngerasa minder jadi laki-laki kurang pintar”

“Tunggu, sangat pintar” tangannya dilipat di depan dada.

“Iya, sering dipanggil maju ke depan atas hasil belajar kamu yang memuaskan, jujur saja kamu paling rajin dulu. Bisa bagi waktu antara organisasi, belajar, dan cinta monyet kamu”

“Haha… bagaimana bisa itu?” dia tertawa puas sekali entah menertawakan apa, “Kamu harus tau, aku selama di sekolah paling enggak suka belajar, kadang lupa ngerjain pr, ya jadinya sering ngopas dari PR temen. Gak pernah ngebayangin jadi murid pintar, apalagi aktif digorganisasi gitu. Males harus pulang sore, aku gak mungkin gitu” ungkapan Ryan sepertinya sangat bertolak belakang dengan kehidupannya yang sekarang, “Kadang sering banget ngantuk waktu ada pelajaran. Selagi gurunya oke dibawa tidur, terus tidur sampe selesai itu paling luar biasa menyenangkan. Nih, terus kalo ada ulangan harusnya kan belajar  ya, haha aduh aku malah bisa lupa hal itu” dia tertawa mengungkap dirinya sekarang, sepertinya sangat lucu, “Aduh kok jadi blak-blakan gini”

“Ga apa-apa tenang saja, ceritakan semua tentang kamu sekarang dan saya akan menceritakan kamu di masa lalu” ucapannya jadi terdengar begitu puitis, layaknya orang bijak penuh perhatian penuh dengan bahasa melo drama, “Yuk, kita ke ruang OSIS, jalannya ke sini” ia mengarahkan langkahnya kembali keluar dari jalan menuju kantin, ruang OSIS ada di ujung deretan gedung yang bersebelahan dengan perpustakaan. Sekarang tempat itu lebih luas, terpelihara, bersih dan penuh karya seni. Kita bisa melihatnya lewat jendela yang menganga tanpa gordeng. Kaca jendelanya keliatan transparan.

“Ini apa ya?” dia melongo ke kaca jendela memperhatikan isi ruangan itu, “Kok seperti ruang organisasi? Ini kita pernah masuk sini juga? Atau malah aku yang paling sering masuk sini? Ah benar sekali akukan ketua OSIS jadi bebas masuk ruang organisasi manapun. Oh iya, dulu ngerasa pernah sendirian di tempat ini, nunggu siapa ya temen gitu. Ah pokoknya nunggu orang absrak itulah” dia menceroscos terus mengatakan semua secara ringan. Tanpa melepaskan pandangannya dari kaca jendela. Tubuhnya yang sekarang menjadi begitu ramping terlihat menempel ke tembok beton di bawah kaca. Aroma tubuhnya yang berganti menjadi seperti aroma seorang anak bayi, dia mungkin memakai parfum bayi. Dulu dia punya aroma paling terbaik sepanjang masa, entah bau parfum apa yang jelas aroma paling dirindukan.

“Saya harus jawab apa? Kamu sudah tau semuanya” Ryan terus memperhatikan perempuan di depannya. Masih terpesona dengan gaya bicaranya, masih sama sepeti dulu.

“Heh. Aku ingat sesuatu, dulu pernah bertemu siapa yak namanya lupa pas waktu pergi ke Bogor, dia jadi tourguide gitu. Katanya pernah satu sekolah, akrab banget kayaknya kita dulu. Manggil Bunga juga waktu itu”

“Darman” maksudnya nama ini karena tidak ada lagi murid yang pergi ke Bogor selain Darman. Jelas sangat dekat dengan kamu itu teman satu organisasi ia menggerutu.

“Nah itu, apa?” sesuatu bahasa bervolume kecil menganggu pendengarannya.

Dalam seketika dering ponsel memecah keheningan. Mereka berdua saling tatap, lalu saling mencari dering ponsel siapa itu. Ternyata seseorang menelpon ke ponsel Bunga, ia mengambil dari tasnya, lalu menerima panggilan dan berjalan menjauh dari Ryan. Tidak lama ia kembali lagi lalu, “Maaf ya aku harus pulang, kamu bisa atar pulang? Turunkan saja sampai ke ujung gang ini biar nanti naik angkutan umum” jelasnya terlihat cukup ketakutan.

“Saya antar sampai rumah kamu saja” sangat tidak tega meninggalkan di pinggir jalan untuk kemudia naik angkutan umum, lagian sehari full ini Ryan benar-benar free engga ada kegiatan selain pulang ke rumah. “Kenapa buru-buru? masih banyak yang harus kamu ketahui di sini?” aneh memang sedang asiknya menjelaskan semua malah harus pulang.

“Mama nelpon katanya ada temen nunggu di rumah” dia berjalan terburu-buru mendahului Ryan. Sepertinya sudah tidak sabar ingin cepat pulang.

Ryan mengangguk paham tidak ada percakapan setelah itu, sampai mereka masuk ke mobil dan Ryan segera mengemudikan mobilnya, meninggalkan tempat paling bersejarah itu. Gang yang masih sepi sekali, satu hal mereka lupakan. Kursi dari beton yang ada di bawah pohon jati mereka lalui tanpa sudi menyapa terlebih daulu. Mereka mungkin lupa.

Beberapa menit saja mereka sudah sampai tujuan, sayang sekali Ryan kesulitan memarkirkan mobilnya ada mobil yang terparkir di pinggir jalan menuju gang rumah dia, “Gak apa-apa disini? Susah parkir ada mobil juga” ungkap Ryan mengagetkan orang di pinggirnya.

“Engak apa-apa. Makasih” dia begitu terburu-buru membuka pintu mobil.

Apa harus pergi begitu saja tanpa meninggalkan pesan,”Tunggu” teriak Ryan kembali membuat dia membalikan badannya melongo ke dalam mobil. “Boleh minta no telpon atau kontak lainnya?” biar mudah kalau suatu saat diajak keliling kaya tadi lagi.

“Oh, ini pindai saja kodenya” dia menyerahkan ponselnya ke arah Ryan. Sudah mengerti Ryan segera meluarkan ponselnya lalu mengambil gambar dari bar kode yang ditunjukan dia.

“Terima kasih” ucapnya sambil menyerahkan ponsel perempuan di masa lalunya itu, jangan sampai dia terlambat datang.

Dia mengambilnya lalu segera pergi berlari kecil menuju rumahnya. Aneh sekali bagaimana dia bisa lupa, atau dia punya penyakit yang menyebabkan semua memori di sel otaknya terhapus. Ah tidak dia begitu sehat waktu itu, atau jangan-jangan pernah mengalami trauma berat sampai waktu bangun lupa semuanya. Itu terlalu berlebihan tidak mungkin, bisa saja karena dia kecelakaan lalu membentur kepalanya dan menyebabkan luka dalam. Heh itu sangat mungkin terjadi. Apa tidak seperti di film-film.

“Kamu kenapa bisa lupa”

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
OUR PATH | MinYoon
360      244     1     
Fan Fiction
"Inilah jalan yang aku ambil. Tak peduli akan banyaknya penolakan masyarakat, aku akan tetap memilih untuk bersamamu. Min Yoongi, apapun yang terjadi aku akan selalu disimu." BxB Jimin x Yoongi Yang HOMOPHOBIC bisa tinggalkan book ini ^^
Pilihan Terbaik
4596      1419     9     
Romance
Kisah percintaan insan manusia yang terlihat saling mengasihi dan mencintai, saling membutuhkan satu sama lain, dan tak terpisahkan. Tapi tak ada yang pernah menyangka, bahwa di balik itu semua, ada hal yang yang tak terlihat dan tersembunyi selama ini.
F I R D A U S
685      450     0     
Fantasy
Invisible
687      434     0     
Romance
Dia abu-abu. Hidup dengan penuh bayangan tanpa kenyataan membuat dia merasa terasingkan.Kematian saudara kembarnya membuat sang orang tua menekan keras kehendak mereka.Demi menutupi hal yang tidak diinginkan mereka memintanya untuk menjadi sosok saudara kembar yang telah tiada. Ia tertekan? They already know the answer. She said."I'm visible or invisible in my life!"
You Can
1145      721     1     
Romance
Tentang buku-buku yang berharap bisa menemukan pemilik sejati. Merawat, memeluk, hingga menyimpannya dengan kebanggaan melebihi simpanan emas di brankas. Juga tentang perasaan yang diabaikan pemiliknya, "Aku menyukainya, tapi itu nggak mungkin."
DANGEROUS SISTER
8436      1939     1     
Fan Fiction
Alicea Aston adalah nama barat untuk Kim Sinb yang memiliki takdir sebagai seorang hunter vampire tapi sesungguhnya masih banyak hal yang tak terungkap tentang dirinya, tentang jati dirinya dan sesuatu besar nan misterius yang akan menimpanya. Semua berubah dan menjadi mengerikan saat ia kembali ke korea bersama saudari angkatnya Sally Aston yang merupakan Blood Secred atau pemilik darah suci.
Renafkar
9022      1748     5     
Romance
Kisah seorang gadis dan seorang lelaki, yakni Rena dan Afkar yang sama-sama saling menyukai dalam diam sejak mereka pertama kali duduk di bangku SMA. Rena, gadis ini seringkali salah tingkah dan gampang baper oleh Afkar yang selalu mempermainkan hatinya dengan kalimat-kalimat puitis dan perlakuan-perlakuan tak biasa. Ternyata bener ya? Cewek tuh nggak pernah mau jujur sama perasaannya sendiri....
Jika Aku Bertahan
12159      2532     58     
Romance
Tidak wajar, itu adalah kata-kata yang cocok untuk menggambarkan pertemuan pertama Aya dengan Farel. Ketika depresi mengambil alih kesadarannya, Farel menyelamatkan Aya sebelum gadis itu lompat ke kali. Tapi besoknya secara ajaib lelaki itu pindah ke sekolahnya. Sialnya salah mengenalinya sebagai Lily, sahabat Aya sendiri. Lily mengambil kesempatan itu, dia berpura-pura menjadi Aya yang perna...
seutas benang merah
2064      819     3     
Romance
Awalnya,hidupku seperti mobil yang lalu lalang dijalan.'Biasa' seperti yang dialami manusia dimuka bumi.Tetapi,setelah aku bertemu dengan sosoknya kehidupanku yang seperti mobil itu,mengalami perubahan.Kalau ditanya perubahan seperti apa?.Mungkin sekarang mobilnya bisa terbang atau kehabisan bensin tidak melulu berjalan saja.Pernah mendengar kalimat ini?'Jika kau mencarinya malah menjauh' nah ak...
With you ~ lost in singapura
406      277     2     
Fan Fiction
Chaeyeon, seorang siswi SMA yang sangat berani untuk pergi menyusul Tae-joon di Paris. Chanyeol, seorang idol muda yang tengah terlibat dalam sebuah skandal. Bagaimana jika kedua manusia itu dipertemukan oleh sebuah takdir?