Sudah tidak ada harapan lagi. Elektrokardiogram sedetik yang lalu bergaris lurus. Anita memeluk anaknya dengan perasaan luar biasa kaget dan bergetar. Mulutnya tidak henti untuk membaca beberapa doa yang ia tau. Dokter masuk bersama empat suster di belakangnya. Satu suster memeluk Anita sambil mengajaknya keluar. Anita menolak pergi ia ingin tetap berada disamping anaknya. Sekuat kemampuan suster itu tetap mencoba membawa Anita ke luar. Saat itu juga Anita tergeletak pingsan. Ia lalu dibawa ke ruang periksa di lantai bawah.
Dokter mulai melakukan pemeriksaan. Alat-alat yang terpasang dicek ulang. Setelah semua dalam keadaan baik. Dokter mulai melakukan operasi. Mencoba memberikan pertolongan. Menyelamatkan satu nyawa paling berharga. Duk..duk.. suara defibrillator ditekan-tekan pada paru-paru seorang gadis yang tergeletak pucat. Hidungnya dipasangkan kembali selang masker oksigen. Dokter mulai kewalahan saat elektrokardiogram masih bergaris lurus. Seorang suster bertugas mengelap keringat dokter. Dua suster lain ikut membantu dokter.
“Sekali lagi, bismillah” dokter menempelkan besi defibrillator terlebih dahulu sebelum menekankan pada paru-paru. Duk..duk.. defibrillator sudah menyentuh bagian paru-paru. Tubuh gadis itu terdorong ke depan. Mengikuti tekanan yang diberikan. Dokter berhenti. Ia memperhatikan elektrokardiogram. Menunggunya untuk kembali dalam keadaan normal dan berdetak.
Sayangnya, elektrokardiogram masih berbentuk lurus dengan suara “Tiiiiiidddd….” Nyaring mengisi seluruh ruangan. Dokter menggelengkan kepalanya. Pasrah dengan apa yang telah terjadi.
“Dok, tunggu satu menit lagi” suster yang bertugas mengelap keringat membangkitkan semangat untuk tetap menunggu.
Dokter mengangguk pasrah. Elektrokardiogram tetap saja memanjang tanpa lekukan. Suara seperti klakson berbunyi itu terus menggema di ruang operasi sedang dokter bersama susternya merasa cukup bersedih. Beberapa kali dokter menghela napasnya panjang berharap beberapa menit lagi akan ada perubahan, sebelum dinyatakan telah tiada.
“Suster kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Tuhan sudah membawanya pergi” dokter itu akan segera melepas alat-alat diruang operasi, “Kita sudah menempuh waktu untuk menunggu perubahan dan …” belum dokter melanjukan kalimatnya, suster memotongnya dengan teriakan bahagia:
“Dok…dok.. coba liat” suster satu lagi menyeringai bahagia. Menemukan elektrokardiogram kembali stabil dan “Tuk..tuk…” suara klakson itu berubah menjadi dentungan jam ding-ding.
Dokter terdiam sejenak perasaannya menganalisis apa yang terjadi, ia tidak tahu harus berkata apa lagi setelah tadi memutuskan akan segera mencabut semua alat pada tubuh gadis itu. Ada keajaiban yang Tuhan putuskan untuk umatnya. Matanya berbinar-binar bahagia bukan main,“Alhamdulillah” dokter tersenyum lega. “Akhirnya, pasien bisa melewati masa kritisnya” itulah sepenggal kalimat yang bisa ia lontarkan di depan suster-susternya.
“Segera kita bawa kabar baik ini kepada keluarganya” perintah dokter kepada susternya. Dokter merapihkan semua alat-alat yang tadi digunakan. Suster sudah kembali mengatur selang infus dan tabung oksigen. Gadis yang terkujur kaku masih menutup matanya. Meskipun ia sudah bisa melewati masa komanya dari menit lalu dan hari-hari kemarin mungkin bulan-bulan lalu.
***
Amnesia, ya karena benturan keras pada otak anak ibu, jadi kecelakaan ini tidak membuat pembuluh otaknya pecah sehingga menyebakan kematian. Kejadian ini membuat anak ibu amnesia ada sebagian memory yang terhapus pada otak anak ibu, beruntunglah karena anak ibu bisa selamat melewati masa kritisnya pernyataan dokter tadi siang membuat Anita tak bisa berpikir lain. Amnesia pada anaknya yang akan membuatnya sangat berat, apalagi ada kebohongan yang sudah Anita buat, kepatalan lagi. Amnesia yang akan sulit disembuhkan apabila semua kejadian yang melekat pada dirinya ditutup-tutupi.
“Baiklah akan aku tutup semua kenangan Bunga, biar dia terlahir sebagai manusia baru” Anita merekatkan jaket tipisnya, tubuhnya yang semakin kecil, kelopak mata yang menonjol dan bibir yang pucat membuatnya semakin berat. Ia berdiri dari kursi yang berjajar di lorong rumah sakit, berjalan menuju kamar Bunga.
Pagi itu semua keluarga sudah sepakat dengan keputusan Anita mengganti nama Bunga, ia memberi komando untuk tidak ada yang mengingatkan tentang kejadian buruk yang menimpa Bunga, dan jangan ada yang mengatakan semua kejadian ini bahkan ketika ia kecelakaan. Anita mengizinkan Bunga hidup dalam ingatan barunya. “Helen kamu jangan coba-coba mengingatkan Tétéhmu tentang apapun itu, jalani saja kehidupan baru ini, Mama minta sama kamu”
Helena mengangguk setuju. Ayah terus saja menggerutkan dahinya, tangannya dilipat sambil terus menimbang-nimbang perkataan istrinya. Meskipun tidak setuju pada akhirnya Ayah setuju dengan maksud tujuan baik, semoga ini jalan terbaik.
“Mama gak mau sampai tiba-tiba Bunga mengingat kejadian masa lalunya dan membuatnya kesakitan lebih dari yang dia rasakan saat koma. Mama mohon sekali lagi jangan ingatkan. Semoga kita bisa bekerja sama” Anita tersenyum pipinya semakin terlihat tirus, tulang rahangnya terlihat jelas juga. Ia semakin kecil dengan beban pikiran barunya.
“Kalian panggil saja Bunga dengan nama Elian Safira Bela, oh iya satu lagi semua hal yang ada kaitannya dengan nama lamanya segera buang, Mama akan berusaha untuk membuangnya dan mohon dari semua untuk ikut merahasiakan” Anita memandang keduanya yakin.
“Tapi Ma, kenapa harus diganti? Bunga lebih bagus seperti apa yang pernah diartikan” Ayah masih tidak setuju meskipun dipaksakan.
“Ayah tolong mengertilah. Bukankah nama yang bagus? Ganti semuanya lagian Elian juga bagus apalagi sekarang dia sekolah di tempat yang menarik segalanya harus menarik. Secepatnya ganti nama Bunga di SMA jadi Elian ini tugas ayah. Kamu Helen buang apapun itu yang menyangkut Bunga di kamarnya, semua harus baru termasuk namanya” Ia menjelaskan dengan panjang lebar tanpa sedikit pun ingin dikomentar. Apalagi ditentang oleh siapaun itu.