Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ingatan
MENU
About Us  

“Ryan… Ryan…!” seorang laki-laki memasuki kelas Ryan sambil berteriak namanya.

            “Apaan?” tanya Ryan berdiri dari kursi.

“Hehe…” dia malah cengengesan, “Dipanggil pembina OSIS di ruang wakasek” ia menggaruk kepalanya. Tiga kali.

“Mau?” tanya Ryan singkat.

“Lha, mana gue tau!”

“Oh” Ryan meninggalkan kelas. Pergi menghadap pembina OSIS di ruang wakasek. Gaya berjalan Ryan selalu terlihat buru-buru padahal sebenarnya tidak. Ryan melewati beberapa koridor dan ruang guru untuk sampai di ruang wakasek. Pintu ruang wakasek terbuka lebar. Ryan langsung masuk. Mencari pembina OSIS.

“Ryan” panggil Bapak pembina OSIS, Pak Rehan.

Ryan mendekati Pak Rehan yang berada di kursi pojok menghadap jendela.

“Ada apa Pak?” tanya Ryan langsung.

“Gimana? Program kerja angkatan kamu sudah mulai disusun?” tanya Pak Rehan.

Ryan tidak langsung menjawab melainkan mengingat-ingat rencana apa yang sudah tim OSIS buat pada angkatan sekarang. “Sudah Pak, tapi belum beres semua. Pokjanya baru sampai semester ini”

“Tidak apa-apa, kalau rincian RAPBO (Rancangan Anggaran Pembiayaan Bulanan Organisai) sudah ada catatan yang masuk ke OSIS?”

“Sudah, datanya ada di sekretaris, nanti saya bukukan dan hasilnya diserahkan pada Bapak”

“Bagus, secepatnya ya. Supaya saya bisa langsung mengerjakan untuk laporan pada sekolah”

Ryan menganggukan kepala.

“Oh ya satu lagi, rapat minggu ini saya tidak bisa hadir. Langsung kamu saja yang pimpin, supaya terbiasa” Pak Rehan membenarkan posisi duduknya.

“Baik, Pak”

“Kerjakan yang terbaik ya!” Pak Rehan mengangkat jempolnya. “Dan jangan sampai ada catatan kalau kamu bolos mata pelajaran. Saya tidak suka, kamu harus menjadi seorang publik senter bagi siswa lain. Oke”

Ryan tersenyum mendengar perkataan Pak Rehan “Iya, baik Pak”. Ryan keluar dari ruang wakasek. Berat sekali menjadi seorang kepercayaan. Mudah-mudahan dia mampu memegang amanat dari Pak Rehan. Ryan pergi kembali ke kelasnya. Bel masuk juga sudah terdengar lima menit lalu. Hari ini harus kembali masuk pelajaran.

Untungnya guru mata pelajaran jam sekarang belum masuk, Ryan tidak harus ditumpahkan berbagai pertanyaan. Ryan duduk di kursi. Mengeluarkan buku pelajaran yang sudah agak lama dibiarkan membisu dalam lemarinya. Dan membisu dalam tas sekolah.

“Yan, udah baikan?”  Kanya membalikan tubuhnya. Langsung bertanya.

“Hmm” jawab Ryan membuka buku modulnya.

“Biasa aja kelessss” Kanya membalikan lagi badannya. Gondok.

Seorang siswa berteriak sambil lari terbirit-birit masuk kelas “Woy! Pak Anton ga ada!”

“Yang bener lo?” tanya serius seorang perempuan yang duduk di bangku depan.

“Asli, nih gue dapet tugas dari guru piket”

“Coba gue liat” Andreas menarik kertas dari tangan siswa tadi.

“Maaf Bapak tidak masuk hari ini. Kerjakan buku modul halaman 21 sampai 24. Sudah beres kumpulkan” Andreas membacakan catatan tersebut.

“Horeee! Akhirnya, tiga jam kita bebas” teriak yang lain.

Moment tidak ada guru adalah moment paling membahagiakan selama berada di sekolah. Bebas melakukan apa saja. Meskipun dititipakan tugas. Tapi, rasanya lebih baik ketimbang belajar tiga jam tanpa jeda. Mereka memilih melakukan apa yang mereka mau. Ada yang nobar. Ada yang bolak-balik jajan ke kantin. Ada yang main gitar. Ada yang baca buku. Dan mereka menikmati moment itu. Tapi, ingat ya kondisinya masih stabil. Ga ada yang nongkrong di luar. Karena, biasanya guru BK selalu jalan-jalan di koridor. Kalau-kalau ada murid yang nongkrong di depan kelas saat pelajaran.

Ryan memilih untuk tidur sambil memasangkan earphone di kedua telinganya. Mendengarkan lagu dari Bruno Mars Locked out the heaven.

Kanya membalikan badannya memandang Ryan yang berada dalam posisi mata terpejam, tangan dikepalkan pada dadanya. Kakinya selonjoran. Posisi paling Kanya sukai dari Ryan. Bisa memandang seluruh postur Ryan tanpa dihalang-halangai oleh matanya yang tajam.

Ryan memang selalu terlihat baik batin Kanya.

“Woy, liatain si Ryan ya” Astri teman sebangku Kanya menyenggol tangan Kanya. Ia tersentak kaget. Lalu buru-buru memandang ke arah Astri.

“Apaan sih, Astri” Kanya terlihat gugup.

“Haha…” Astri tertawa lepas, “Siapapun itu gak ada yang buta” Astri membuka matanya dengan kedua tangan.

“Maksud lo?” Kanya mengipas mukanya dengan buku.

“Kanya, gue juga tau lo itu suka sama tuh orang” Astri menunjuk-nunjuk Ryan.

Kanya menurunkan tangan Astri lalu, “Astri lo tuh ya, suuuttt!” Kanya menempelkan jarinya di mulut.

“Gue setuju kalo kalian jadian, secara gitu kalian tuh pasangan serasi” Astri mengibaskan rambutnya yang terlihat diberi warna coklat alami. “Lo kan ketua cheers and si Ryan ketua OSIS. Kalian sama famousnya. Cocok kan, tapi sayang, kalian sama-sama oon”

“Astri gue gak suka lo ngomong gitu” Kanya memasang muka jutek.

“Hehe… maaf ya, maksud gue cuman pengen lo berdua itu pada peka”

“Apanya yang peka, udah ah gue ke UKS dulu ya” Kanya berdiri dan mendorong meja ke depan agar ia bisa keluar dari mejanya.

“Ngapain?”

“Ada deh, bye” Kanya pergi meningalkan Astri.

****

Ryan berjalan menyusuri setiap jajaran rumah yang saling bergandengan. Terasa sepi hening.  Daun-daun pohon besar itu berjatuhan silih berganti. Kemudian disapukan angin sore semilir-semilir. Sejuk dan sepi sekali. Tidak seperti biasa. Yang kadang ada anak-anak kecil bermain sepeda atau anak kecil yang berteriak mengajak bermain di depan rumah temannya. Ryan menundukan kepala lalu meluruskan kembali pandangannya. Tangannya dibiarkan bersembunyi dalam saku celana. Dari arah kanan Ryan berbelok melewati gerbang besar yang tidak asing dengan nama lembaga di atasnya.

Ryan memilih duduk di kursi beton depan gerbang, samping kanannya berdiri pohon cemara tinggi dan pohon yang rimbun. Kakinya berselojor ke depan tanganya masih tetap tersembunyi. Matanya terpejam menikmati setiap hembus air yang membawa dedaunan. Tenang sekali. Rasanya lebih baik dari apapun. Hari ini Ryan punya janji khusus dengan seseorang yang setiap hari berada dalam hidupnya. Entah apa yang ingin dia sampaikan. Paling penting ia harus datang tepat waktu menunggunya dengan penuh kepastian.

“Ryan… Ryan!” suara itu terdengar lembut bersama angin sore. “Ryan..” tangannya menepuk pundak Ryan.

Ryan membuka matanya perlahan lalu melempar senyum pada suara lembut tadi.

“Kamu tidur?” tanyanya sambil mengambil tempat duduk samping Ryan.

Ryan menggelengkan kepala pelan.

“Kamu kaya yang tidur pulas” wajahnya memandang Ryan ramah.

“Udah kebiasaan kalau lagi nunggu pasti sambil tutup mata” Ryan mengeluarkan tangannya dan melipatnya di dada.

“Oh” sambil menghela napas panjang.

 Hening. Suasana mulai menjadi hening keduanya diam membisu. Ryan seperti sudah tidak mampu berkata apapun. Ia memandang sekitarnya dengan tatapan kosong. Begitupula dengan orang yang disampingnya yang sama-sama menatap dengan tatapan tanpa arti.

“Ryan!” panggilnya kembali suaranya halus sekali.

Ryan mengarahkan tatapannya ke arah samping.

“Ini buat kamu” dia mengeluarkan sebuah kubus yang terbungkus kertas kado garis-garis warna pink muda bercampur tua.

“Apa?” Ryan mengambilnya. Membolak-baliknya penasaran. “Boleh dibuka” ia mengangkat kubus tadi.

“Boleh” tersenyum masih ke arah Ryan.

Ryan membuka kertas kado yang membungkus benda di dalamya. Kertas kadonya terlepas. Ada kubus hitam nampak sekarang. Ryan membuka bagian atas. Dan sebuah jam tangan warna hitam menempel pada busa putih seperti bantal di dalam. Ryan mengambil jamnya. Mengamatinya dengan seksama. Terlihat cocok kalau Ryan memakainya. Ia pun segera menempelkan jam tersebut di pergelangan tangan kiri. Ryan tersenyum memandang jam yang sudah menempel tersebut.

“Bagus” gumamnya sambil tetap melihat jam tangannya.

“Terima kasih kamu sudah menyukainya, aku harap kamu bisa memakainya setiap waktu” katanya lembut, bibirnya kembali tersenyum berharap.

“Pasti, pasti aku pake. Tapi, kok malah kamu yang ngasih harusnya aku loh”

“Ah! Buat aku itu bukan suatu keharusan. Siapapun berhak memberi” ia memainkan daun kering ditangannya. “Lagiankan, kamu gak suka pake jam kali-kali jam pemberian aku dong yang sering kamu pake, jadi…” ia menarik napas, “Setiap waktu kamu gak pernah lupa dan mudah-mudahan kamu gak lupa sama orang yang ngasihnya hehe” ia ketawa kecil.

Thanks ya, seneng banget dapet hadiah dari kamu” Ryan ternyum malu.

“Biasa aja mukanya” tangannya mendorong bahu Ryan.

“Ini udah biasa”

“Jangan dilupain ya, meskipun suatu hari nanti kamu lupa sama aku. Tapi, aku harap kamu menyimpannya dengan baik.”

“Tenang aja” Ryan mengangkat pergelangan tangan kirinya dengan bangga.

Dia melempar senyum yang tidak biasa dari biasanya. Senyumnya tidak akan pernah terlupakan. Pemberiannya akan selalu Ryan simpan. Suatu saat nanti mungkin kita bakalan merasa rindu saat-saat sepert ini batin Ryan memandang ke arah disampingnya.

Hening. Hening. Lagi-lagi hening.

Syuuurrrr…syuuurrrr… suara angin lebih terdengar nyaring saat hening.

“Buat aku ini lebih dari cukup, Yan” katanya memecah keheningan.

“Mungkinkah, suatu saat nanti kita bakalan bisa seperti ini lagi?” tanya Ryan.

“Entahlah, kita harus bisa nunggu waktu” ada tekanan pada nada suaranya.

“Yuk, pulang” Ryan mengajaknya pulang. Mereka pulang bersama senja yang semakin membias. Punggung keduanya sudah semakin tidak terlihat. Tempat mereka duduk kini sudah dipenuhi gundukan daun-daun gugur. Mereka seperti tidak pernah bosan untuk jatuh meskipun rasanya tidak nyaman. Daun yang jatuh menandakan hidup mereka yang ikut mati juga. Sekuat apapun kalau sudah jatuh ia tidak bisa hidup kembali.

Ryan memandang dia pergi sambil melambaikan tangan lalu berteriak “Ryan sampai ketemu besok” suaranya lembut sekali meski dalam keadaan berteriak. Ryan membalasnya dengan senyuman. Semakin jauh semakin tidak terlihat. Mengecil. Mengecil. Menghilang. Ryan melangkah dengan perasaan penuh kebahagiaan. Tidak henti-hentinya memandang jam tangan  hitam itu.

****

Ryan segera bangun, ada ingatan yang menghalau pikirannya. Jam, jam itu dimana sekarang. Pikirannya sibuk mengingat-ingat. Matanya sibuk mencari-cari. Mungkin kah ia membawanya, sudah satu tahun ini dia tidak pernah memakainnya atupun melihatnya. Laci-laci lemari ia buka. Mengaduk-aduk dalamnya. Sampai hampir berantakan. Bawah ranjang pun ia cari. Sepertinya tidak ada. Ryan berdiri lelah. Tangannya berkacak pinggang. Lemari yang belum ia buka. Disambarnya dengan penuh harapan. Masih belum ada.  Ryan mencari keluar kamar. “Semoga ada dilaci dekat TV” katanya berharap.

Laci berukuran 180x41x49cm ditengahnya ada laci kecil yang berjajar. Ryan buka dengan seenaknya. Dalamnya ia keluarkan. Dan dimasukan kembali tidak beraturan saat yang ia cari tidak kunjung muncul. Laci ke-4, laci terakhir sebagai laci harapan. Ryan membukanya perlahan. Sayang sekali keberuntungan tak berpihak pada dirinya. Jam tanga rubber hitam itu tidak ada. Di box tempat berbagai jenis jam tangan milik Ryan pun sama sekali tidak menunjukan jam tangan yang ia cari. Semua ia kenal. Semuanya sama saja. Jam tangan itu meskipun lebih bagus dari jam tangan milik Ryan. Tapi, jam tangan itu akan selalu menjadi yang terbaik dari segalanya.

“Dimana ya?” Ryan mencoba mengingat-ingat kembali. Ia melempar tubuhnya di sofa depan TV. Mukanya ia tutup dengan telapak tangan.

“Arrrggghhh” suara itu malah muncul di mulut Ryan. Ia menepuk jidatnya beberapa kali. Ia kesal. Sudah seharusnya dia tidak melakukannya. Padahal dulu ia pernah berjanji untuk tetap menyimpannya dengan baik. Tapi, nyatanya malah tidak ketemu dan lupa simpan dimana.

“Gue yakin jam itu masih ada, tapi dimana masalahnya” gerutunya memukul-mukul sofa bagian bawah. Satu-satunya benda yang terhubung dengan seseorang di masa lalu. Dengan tempat paling mereka sukai. Dengan suasanan paling menyenangkan yang mereka sukai. Dengan waktu yang paling baik untuk bisa bertemu.

“Ryan kamu cari apa?” tanya Papa keluar dari ruang kerjannya.

“Itu loh Pa, jam tangan rubber warna hitam”

“Bukannya kamu punya tempat jam, kok ngak coba disitu?” Papa mengeluarkan air es dalam kulkas.

“Ga ada Pa, soalnya udah lama Ryan gak pake”

Papa meneguk air es. “Udah lama, maksudnya?”

“Hampir satu tahun Ryan gak make” kepalanya menengadah ke langit-langit.

“Gimana sih kamu, udah lama gak dipake sekarang dicari, mungkin udah hilang” Papa membawa segelas teh dingin menuju ruang TV yang berdekatan dengan dapur lalu duduk di sofa kiri Ryan.

“Gak mungkin Pa, jam itu jam paling mahal buat Ryan”

“Beli lagi, apa susahnya. Besok Papa ada acara kantor katanya ke Singapura, nanti deh sekalian aku beliin kamu jam tangan di sana. Paling bagus loh”

“Papa udah gak marah lagi?” Ryan memancing Papa.

“Buat apa terlalu lama marah-marah sama anak, toh mereka juga sudah pada gede” Papa menyalakan televisi di hadapannya.

“Siap Pa” Ryan mengangkat jempolnya lalu meneruskan pertanyaan, “Kalo Papa besok ke Singapura, Ryan sendiri di sini?”

Papa menganggukan kepala. Sambil terus melihat acara televisi kesukaannya.

Ryan terdiam melihat pengakuan Papa.

“Terus gimana? Kamu mau gak dibeliin jam tangannya, mau kaya gimana?”

“Enggak ah, lagian butuhnya yang Ryan cari”

“Seberapa mahal jam tangannya, kamu kan sudah lupa”

“Papa gak bakalan tau artinya” Ryan meninggalkan Papa. Ia pergi memasuki kamarnya.

“Kebiasaan kalo lagi bicara sama orang tua, kamu pergi gitu aja” Papa meneguk tehnya.

“Emang Papa engga?” Ryan menutup pintu.

Papa di luar hanya bisa memandangnya heran. Sudah satu setengah tahun ini Ryan ada bersama Papa. Tapi, rasanya belum bertemu dengan Ryan yang pertama kali pindah ke tempat ini. Ada pengaruh yang mengubah pikiran Ryan. Mungkin. Papa mengangkat bahunya. Terserah.

Ryan masih sibuk mencari jam tangannya. Jam tangan yang seharusnya tidak disimpan begitu saja. Janji. Dulu ia pernah berjanji akan selalu menyimpannya dengan baik. Buktinya, ia lalai dengan apa yang ia katakan. Ya, begitulah manusia. Tidak mampu menyimpan janji untuk  waktu lama. Ryan menarik kursi belajar. Duduk di atasnya sambil tetap mencari di antara benda-benda bervolume. Ada perasaan beda saat Ryan memandang laci meja belajar sebelah kanan. Ia membukanya perlahan. Menarik keluar isi di dalamnya. Bagian paling belakang yang gelap sebuah kubus hitam terdampar  membisu. Ryan menoleh ke arah kubus tersebut. Menariknya keluar sama seperti barang sebelumnya yang sudah berceceran di lantai.

“Kubus?” decak Ryan pelan. Ia membuka bagian tutupnya. Sebuah jam tangan rubber hitam di dalam tergeletak tanpa bantal. Jarum jamnya sudah tidak berputar. Bentuknya masih bagus untuk dipakai. Ryan tersenyum memandang jam dihadapannya.

Sesuatu terpancar dari kaca jam tersebut. Suatu film singkat di masa lalu yang datang begitu saja. Waktu memang tidak pernah menghapus sebuah sejarah. Karena, sejarahlah kita bisa menghargai waktu. Ryan memasangkan jam rubber itu di pergelangan kirinya, sama seperti pertama kali memakainya pada sore itu. Ia terus memandangnya. Tangannya beberapakali dibolak-balik. Ada tawa terlukis pada bibir Ryan. Jam sudah mati yang terlihat masih seperti baru.

Ryan melempar tubuhnya di atas ranjang sambil terus memandang jam tangan itu. Ia menghela napas panjang. Tangannya dilempar ke bawah. Ia alihkan pandangan pada langit-langit kamar yang setia menemai. Menemani Ryan saat ia membayangkan kenangan masa lalu. Kemudian matanya terpejam dengan damai.

***

“Ryan, bisa kau kembali?” gadis itu menunduk di samping Ryan.

“Maksud kamu?” Ryan memandangnya heran “Aku tidak kemana-mana, ini aku di sini, di dekat kamu” Ryan menyandarkan tubuhnya pada tiang beton.

“Tapi, kamu semakin jauh” tangannya dingin dan lembab.

“Jauh? Kamu, jangan dibiasakan untuk berpikir tanpa bukti!” Ryan menegaskan kata-katanya. “Aku tidak akan pernah mencoba menjauh”

“Benerkan, kita jadi jauh?” gadis itu memalingkan wajahnya dan berlalu pergi meninggalkan Ryan yang belum sempat berkata apa-apa.

Ryan memandang punggung gadis yang meninggalkannya lalu, “Tunggu!” teriaknya.

Gadis itu menoleh dan kembali berjalan meninggalkan Ryan.

“Coba jelasin apa maksud kamu?” Ryan melangkah terburu-buru mengejar gadis di depannya. “Dan kenapa kamu tiba-tiba pergi gitu aja?” katanya lagi.

Gadis itu menyusutkan air mata yang mulai menetes. “Cari tau sendiri” teriaknya sambil berlari meninggalkan Ryan.

Ryan hanya bisa menghentikan langkahnya. Percuma untuk dikejar dia tetap menghindar darinya. Dan apa maksud dari perkataannya barusan “Cari tau sendiri?” ada teka-teki yang harus dipecahkan. Ryan kembali ke tempat semula. Ia memandang lapangan dengan mata penasaran. Pikirannya goyah. Hatinya mulai menebak-nebak. Krek..krekk.. suara jendela tidak tertutup mulai berbunyi. Biasanya ibu perpus tidak pernah lupa menutup. Tapi, hari ini jendela dibiarkan terbuka.

Pada secarik kertas Ryan menulis pesan singkat.

Kami tidak akan pernah mencoba menghadirkan jarak. Bagaimana pun.

Ryan melipat kertas tersebut menjadi persegi. Ia melemparnya ke dalam perpus lewat jendela yang terbuka. Katanya supaya orang-orang tau bahwa dia tidak akan pernah merasa jauh seperti anggapan gadis tadi. Kemudian, Ryan pergi meninggalkan tempat itu. Tempat pertama kali bertemu dengan seseorang di masa lalu. Tempat paling baik untuk menunggu orang itu. Tempat penuh misteri dan tempat penuh kenangan.

****

Ryan terbangun kaget, matahari sudah muncul. Sinar matahari sudah menembus gordeng jendela kamar. Lampu diganti dengan cahaya putih alam. Ryan mengucek matanya beberapa kali. Ia tidak sadar bahwa ia baru saja bermimpi. Mimpi dengan tekstur nyata. Ryan melempar selimbutnya. Ia pergi membasuh muka di atas wastafel.

Saat Ryan hendak membuka keran ia baru menyadari. Jam tangan itu masih menempel ditangannya. Ryan melepasnya. Agar tidak basah oleh air. Keran ditekan dari atas. Air mengalir lembut. Mukanya dibasuh tanpa terlewatkan.

“Huuuhh” desah napasnya panjang. Ryan mengambil jamnya dan menyimpannya di atas meja belajar.  “Papa!” katanya kaget. Ryan melangkah keluar kamar. Mencari papa.

“Papa?” Ryan masuk ke ruang kerja. Papa tidak ada di sana. Ryan beralih ke kamar Papa. Ternyata ada di kamarnya, sedang mengepack baju ke dalam koper. “Pa?” panggil Ryan.

“Kamu udah bangun?” tanya Papa memandang Ryan.

“Papa, jadi ke Singapura?” suara Ryan serak.

“Iya, harus sudah di bandara jam 9 lebih 30 buat check in, boarding time-nya jam 10 lebih 40 menit” jelas Papa menutup kopernya untuk disleting.

“Mau dianter?” Ryan menawarkan.

Papa tersenyum mendengar perkataan Ryan. “Harus, kamu harus nganterin sampai bandara” Papa mengangkat kopernya. Meletakkannya samping ranjang. “Oh iya, selama aku tidak ada kamu jangan coba-coba meninggalkan apartemen” Papa mengenakan jasnya “Boleh main, tapi, sebelum jam 10 sudah ada di apartemen”

“Iya” jawab singakat Ryan sambil terus memperhatikan Papa.

“Kalau kamu bohong, aku sudah siapakan mata-mata untukmu” Mengarahkan jari telunjuk depan muka Ryan. “Sudah aku suruh  petugas administrasi di bawah untuk selalu mengawasi kamu”

“Ga ada kerjaan” Ryan semakin tertekan.

“Biarin aku bayar kok” Papa membenarkan dasinya. “Satu lagi, kalau lapar deliver aja atau telepon Mba Mirna”

“Hah?” Ryan mengerutkan dahi “Mba Mirna siapa?”

“Itu yang suka nganterin makanan tiap pagi”

“Oh” Ryan memonyongkan mulutnya “Nomor teleponnya?”

“Ada di buku telepon” Papa menarik kopernya keluar. Ryan menyusul Papa keluar. “Aku makan dulu, kamu cepat madi” perintahnya. Ryan meninggalkan Papa untuk pergi mandi.

10 menit kemudian.

Ryan sudah terlihat rapih. Wajahnya kembali bersinar. Bajunya rapih dan wangi. Ryan melangkah ke arah dapur. Di dapur  Papa masih duduk di meja makan dengan secangkir teh hangat. Ryan menaruh cangir dan mengisinya dengan teh.

“Tampan sekali kamu, tidak seperti biasa?” Papa meneguk tehnya.

“Maksud Papa?” Ryan heran dengan apa yang barusan ia dengar.

Papa malah tertawa, “Enggak, biasanya muka kamu itu selalu acak-acakan, seperti orang banyak  kerjaan, tapi kamu tetap tampan seperti aku” Papa menepuk dadanya bangga.

“Iya, terserah Papa” suaranya berat.

Papa dan Ryan terdiam untuk saling menikmati tehnya masing-masing. Baru kali ini Ryan bisa satu meja lagi dengan Papa. Meskipun bukan sedang makan. Rasanya baik dan penuh kehangatan.  Lebih baik lagi kalau Mama dan Kak Intan ada di sini. Pasti lebih hangat lagi. Hari ini Papa pergi ke Singapura selama satu minggu untuk urusan kantor. Keadaan sepi sudah mulai jadi kebiasaan untuk Ryan. Tetangga sebelah juga jarang keluar untuk sekadar bertegur sapa. Di sini orang-orang terlihat asik dengan dunianya masing-masing.

Papa berdiri dari kursinya. Mendorong koper yang ada di dekat sofa menuju pintu apartemen yang hanya ada satu sebagai pintu masuk dan pintu keluar. Ryan mengikuti Papa sambil menenteng jaket hitam dan kunci mobil. Kartu yang digunakan sebagai kunci di keluarkan dari sakelar. Krek pintu di tutup begitu saja. Kartunya di masukan dalam saku celana Ryan.

Papa berjalan mendahului Ryan yang masih berada di belakang. Papa sudah berada di depan pintu lift. “Ryan” panggil Papa melambaikan tangan. Ryan berjalan buru-buru ke arah Papa.

Klik pintu lift terbuka. Ada orang yang keluar. Papa masuk disusul Ryan. Orang-orang dalam lift selalu datar dan dingin. Mereka seperti tidak butuh bertegur sapa, padahal hidup di bawah atap apartemen yang sama. Inilah kota besar di mana manusia sebagai makhluk sosial sudah diabaikan. Mereka malah sibuk dengan gadgetnya masing-masing. Makhluk sosial yang berganti menjadi mahluk sosial media.

Papa keluar dari lift disusul Ryan. “Cepat kamu ambil mobilnya, aku tunggu di depan” menunjuk pintu masuk.

Ryan menganggukan kepala. Berjalan berlainan arah dengan Papa untuk mengambil mobil di tempat parkir. Ryan mencari mobil brio hitamnya. Itu dia, bersembunyi membelakangi Ryan. Ia membuka pintu dan menghidupkan mobilnya. Papa di depan pintu masuk sudah menunggu sambil melihat jam tangannya.

“Pa” teriak Ryan membuka kaca mobil. Papa menaruh kopernya di bagasi mobil. Lalu duduk sebelah kiri Ryan. “Langsung ke bandara Soekarno-Hatta?” tanya Ryan sambil terus mengemudi.

Papa menganggukan kepala. Mengeluarkan ponselnya. Menempelkan ponsel pada telinga kanannya. “Hallo” sapa Papa. Setelah itu, asik ngobrol lewat telepon dan ketawa-ketawa. Ryan memandang Papa sekilas. Lalu memandang lurus arah jalan.

Ryan membawa mobilnya melewati jalan Peta Barat meuju ke arah jalan Husein dan berakhir di bandaran Soekarno-Hatta

 “Pa, turun di terminal mana?” tanya Ryan sudah berada di bandara Soekarno-Hatta.

“Tuh, di terminal 2D” Papa menunjuk plang bertuliskan terminal 2D.

Ryan menghentikan mobilnya, “Pa, disini?”

Papa melihat ke luar jendela, “Iya, tuh sudah pada ngumpul rupanya” Papa memakai kembali jasnya yang dilepas selama perjalanan.

“Pa, biar sampai sini?” Ryan melirik ke arah Papa.

“Oke, buka dulu bagasinya” papa membuka pintu mobil. Ryan juga berjalan ke belakang mobil. Membuka bagasi dan mengeluarkan koper ukuran sedang milik Papa.

“Hati-hati di jalan ya, kalo ada apa-apa telepon aku” Papa mengulurkan tangannya. Ryan mencium tangan Papa. Ia kembali duduk di kursi kemudi. Sambil melambaikan tangan ia melajukan mobilnya meninggalkan bandara.

Selama dalam perjalanan pulang entah apa yang mengganggu pikiran Ryan. Jelas sekali ada perasaan ingin pulang. Kembali berada di rumah Mama. Kembali berada di sekolahnya dulu. Kembali berdiri menyender tembok beton untuk menunggu seseorang yang lama sekali muncul. Atau menunggu di depan pintu gerbang sambil memenjamkan mata. Menikmati hembusan angin sore. Dan suara itu tiba-tiba mengejutkannya. Kenangan itu…

Mobil terus melaju melewati tol. Jalanan tanpa hambatan. Mobil apapun tidak berhak untuk berhenti di sana. Kecepatan mulai dinaikan. Ryan mengemudi mobilnya dengan sangat cepat. Byurrr… suara mobil menerpa oksigen di sekitar jalan. Beberapa menit kemudian Ryan sudah ada di tempat parkir pinggir jalan. Ia memilih untuk makan di luar. Karena sejak tadi siang ia hanya bisa meneguk teh sedangkan nasi atau roti pun belum masuk dalam perutnya.

Ryan berjalan memasuki Kentucky Fried Chicken memesan makanan terlebih dahulu. Setelah pelayan memberikan pesanan. Ryan berjalan menaiki anak tangga dan duduk di pojok balkon KFC. Sambil menikmati nasi dan ayam goreng ia terus melihat ke bawah. Orang di bawah sana sibuk dengan kepentingannya masing-masing. Ada yang bolak-balik dengan mobilnya. Ada yang baru ke luar dari KFC dan ada juga mbak-mbak yang akan berangkat kerja. Meskipun ini hari minggu. Dan setiap orang itu punya kenangan. Kenangan masa lalu yang penuh arti tanpa bisa dilupakan begitu saja.

Ryan menyedot segelas pepsi dihadapannya lewat sedotan hitam. Nasi dan ayam gorengnya sudah lebih dahulu habis. Tinggal minumannya yang masih penuh. Tanpa disadari seorang gadis mengambil duduk di depanya.

“Ryan, ngelamun terus” tangannya menepuk meja.

Ryan terperanjat kaget baru menyadari ada gadis di depannya, “Kanya? Ngapain lo disini?” keningnya berkerut.

“Gue dari tadi” Kanya memasukan kentang gorengnya ke dalam mulut.

“Terus lo ngapain?” tanya Ryan datar.

“Gue lagi makan ini” Kanya menunjukan potongan kentang gorengnya.

“Gue gak nanya itu” Ryan melipat tangannya di atas dada. Ia memalingkan pandangan. Memandang kembali ke arah bawah.

“Gue gak sengaja liat lo, ya gue duduk di sini biar ada temen” Kanya beralih pada minumannya. “Terus lo, lagi ngapain disini?”

Ryan tidak menjawab.

Merasa gondok dengan tidak menjawab pertanyaannya Kanya berhenti untuk diam. Ia terus menikmati kentang goreng dan meneguk segelas pepsi. Ryan di depannya masih saja diam. Mungkin pikirannya tidak diam. Otaknya terus berpikir. Berpikir tentang apa yang telah dilalui. Kanya sendiri bingung apa yang sebenarnya Ryan butuhkan. Padahal satu tahun yang lalu. Sosok Ryan penuh dengan ambisi. Ceria dan penuh semangat. Tapi, akhir-akhir ini Ryan banyak memilih diam. Melamun. Lalu tiba-tiba menghilang.

“Ryan” panggil Kanya memberanikan diri.

Ryan membalikan pandangaannya ke arah Kanya. Mata mereka bertemu untuk sedetik lamanya. Kanya buru-buru menundukan kepala. Dia dibuatnya kikuk. Gerak tubuhnya jadi salah tingkah. Selalu tiba-tiba dan tanpa peringatan dulu. Kanya meneguk pepsinya tanpa sedotan. Pepsi pun habis dengan cepat.

Ryan berdiri dari kursi lalu, “Gue duluan”

“Hah?” Kanya kaget mendengar suara Ryan. Ternyata dari tadi ia masih merasa salah tingkah. “Oh” matanya terbelalak kaget.

Ryan mengerutkan keningnya “Gue duluan” mengulang kalimatnya.

Kanya menundukan kepala menandakan ‘Iya’. Ryan pun pergi tanpa harus meminta maaf pada Kanya yang padahal banyak digondokin. Ryan membuka pintu mobil dan menyalakan mesin. Mobil pun melaju meninggalkan parkiran KFC.

Klik pintu lift terbuka. Ryan masuk bersama beberapa penghuni lain dan office boy yang membawa kereta dorong berisi alat kebersihan. Dalam lift Ryan terus saja memandang jam tangannya. Jam tangan yang baru ditemukan kembali. Kejadian masa lalu kembali menari-nari dalam pikirannya. Semua kejadian yang berlalu begitu saja. Takan pernah terlupakan walaupun waktu berusaha keras memisahkan. Jam tangan paling baik selama hidupnya.

Klik dentungan pintu lift terbuka Ryan terperanjat dari bayangannya. Ia keluar dan berlari melewati lorong apartemen. Di depan pintu ia segera membuka pintu. Menutupnya kembali. berdiri menghadap kaca jendela dekat ruang tv. Memandang ke bawah dan memandang gedung di depannya. Rasa baik-baik kembali lagi. Suasana paling khas yang tercipta di kota besar ini. Suasana orang-orang sibuk dengan aktivitas masing-masing. Andai saja ia bisa mengajak seseorang di masa lalunya berdiri di sampingnya. Memandang kota besar ini lewat jendela lebar apartemen atau memandangnya dari lantai paling atas dan berteriak bersama-sama. Mengajaknya menikmati suasana baru di masa depan.

Ryan memandang jam tangannya bangga. Suatu hal kecil yang tidak akan pernah terlupakan. Hal kecil yang hadir bersama paketnya. Dari paket suasana, tempat, kondisi, dan orang yang telah diwakili semuanya. Oleh benda kecil ini.

Terima kasih telah menghadirkan kembali episode singkat di masa lalu. Dan aku merindukanmu sangat merindukan  katanya membatin sambil terus memandang arah jendela.

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Melawan Tuhan
2750      1033     2     
Inspirational
Tenang tidak senang Senang tidak tenang Tenang senang Jadi tegang Tegang, jadi perang Namaku Raja, tapi nasibku tak seperti Raja dalam nyata. Hanya bisa bermimpi dalam keramaian kota. Hingga diriku mengerti arti cinta. Cinta yang mengajarkanku untuk tetap bisa bertahan dalam kerasnya hidup. Tanpa sedikit pun menolak cahaya yang mulai redup. Cinta datang tanpa apa apa Bukan datang...
Mamihlapinatapai
5991      1639     6     
Romance
Aku sudah pernah patah karna tulus mencintai, aku pernah hancur karna jujur tentang perasaanku sendiri. Jadi kali ini biarkan lah aku tetap memendam perasaan ini, walaupun ku tahu nantinya aku akan tersakiti, tapi setidaknya aku merasakan setitik kebahagian bersama mu walau hanya menjabat sebagai 'teman'.
Jingga
5758      1476     2     
Romance
Kehilangan memang sangat menyakitkan... Terkadang kita tak mampu mengekspresikan kesedihan kita membuat hati kita memendam sakit... Tak berakhir bila kita tidak mau mengakui dan melepas kesedihan... Bayang-bayang masa lalu akan selalu menghantui kita... Ya... seperti hantu... Jingga selalu dibayangi oleh abangnya yang sudah meninggal karena kecelakaan... Karena luka yang mendalam membuatnya selal...
Slap Me!
1483      674     2     
Fantasy
Kejadian dua belas tahun yang lalu benar-benar merenggut semuanya dari Clara. Ia kehilangan keluarga, kasih sayang, bahkan ia kehilangan ke-normalan hidupnya. Ya, semenjak kejadian itu ia jadi bisa melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Ia bisa melihat hantu. Orang-orang mengganggapnya cewek gila. Padahal Clara hanya berbeda! Satu-satunya cara agar hantu-hantu itu menghila...
V'Stars'
1404      638     2     
Inspirational
Sahabat adalah orang yang berdiri di samping kita. Orang yang akan selalu ada ketika dunia membenci kita. Yang menjadi tempat sandaran kita ketika kita susah. Yang rela mempertaruhkan cintanya demi kita. Dan kita akan selalu bersama sampai akhir hayat. Meraih kesuksesan bersama. Dan, bersama-sama meraih surga yang kita rindukan. Ini kisah tentang kami berlima, Tentang aku dan para sahabatku. ...
My Soulmate Is My Idol
2471      951     0     
Romance
Adeeva Afshen Myesha gadis cantik yang tak pernah mengenal cinta sampai dia menyukai salah satu penyanyi bernama Gafa Aileen, sebenarnya sebelum Gafa menjadi penyanyi terkenal Adeeva sudah menyukainya. "Gafa itu punya suara yang lembut, dia pembawa warna baru di hidup gue. Meskipun sekarang gue tau Gafa ga suka Gue tapi Gue yakin bakal bisa bikin Gafa jatuh cinta sama gue" ~Adeeva Af...
Sibling [Not] Goals
1125      616     1     
Romance
'Lo sama Kak Saga itu sibling goals banget, ya.' Itulah yang diutarakan oleh teman sekelas Salsa Melika Zoe---sering dipanggil Caca---tentang hubungannya dengan kakak lelakinya. Tidak tau saja jika hubungan mereka tidak se-goals yang dilihat orang lain. Papa mereka berdua adalah seorang pencinta musik dan telah meninggal dunia karena ingin menghadiri acara musik bersama sahabatnya. Hal itu ...
Senja Kedua
3456      1310     2     
Romance
Seperti senja, kau hanya mampu dinikmati dari jauh. Disimpan di dalam roll kamera dan diabadikan di dalam bingkai merah tua. Namun, saat aku memiliki kesempatan kedua untuk memiliki senja itu, apakah aku akan tetap hanya menimatinya dari jauh atau harus kurengkuh?
Akhir SMA ( Cerita, Cinta, Cita-Cita )
1685      843     1     
Romance
Akhir SMA yang tidak pernah terbayangkan dalam pikiran seorang cewek bernama Shevia Andriana. Di saat masa-masa terakhirnya, dia baru mendapatkan peristiwa yang dapat mengubah hidupnya. Ada banyak cerita terukir indah di ingatan. Ada satu cinta yang memenuhi hatinya. Dan tidak luput jika, cita-cita yang selama ini menjadi tujuannya..
Me vs Idol
387      285     1     
Romance