Dentuman elektrokardiogram terus bergema dalam ruangan serba putih. Di atas sebuah ranjang tinggi seorang gadis tak sadarkan diri. Tertidur pulas. Dengan masker oksigen dimulutnya. Selang menjulang tinggi menempel di tangan kirinya, tersimpan cairan dalam standart impus, mengalir cairan yang menetes terus menerus secara perlahan-lahan. Matanya membentuk lingkar hitam. Mukanya pucat pasi. Sudah lima hari ia tertidur pulas. Belum sadarkan diri. Mungkin ia masih menikmati mimpi-mimpi yang berlangsung dalam ingatannya. Sesekali matanya berjatuhan tetesan air. Entah mengapa matanya masih menutup rapat.
Orang disekitarnya terus menangis terisak. Memeluk tubuhnya yang kaku sembari menangis pilu. Sebagian lagi mencoba tegar menyaksikan semua yang terjadi. Bahkan tiap orang yang masuk harus memakai baju hijau, tutup kepala, dan penutup penutup mulut. Jangan terkontaminasi dengan virus yang dibawa pelayat. Pelayat itu tidak diizinkan menyentuh tubuh pasien mereka hanya bisa menatap di arah beberapa langkah.
Sungguh pilu gadis itu dengan kepala terbungkus perban tebal, tangan yang mulai melemas bahkan tubuh yang lupa akan arwahnya. Mereka seolah-olah terdiam pada dua waktu tak berirama.
****
“Ma, Bunga pergi dulu ya” teriaknya berlari keluar rumah.
“Hati-hati” Mama baru saja berkata tiba-tiba suara tubrukan sangat keras jelas pada telinganya menggema.
Brak....brak...dug....gbrakkk... aaaaaaaaaa...
Ada teriakan yang histeris di luar sana.
Mama berlari keluar. Memastikan firasatnya.
“BUNGA.....” teriak mama terburu-buru bahkan ia lupa mengenakan alas kaki, semua orang kaget, bahkan sudah mengerumuninya, Mama merangkak memeluk Bunga yang sudah tak sadarkan diri. Pelipisnya mengeluarkan banyak darah. Pada kepalanya ada darah yang ikut menetes. Bibirnya mengatakan sesuatu yang menggetarkan, tapi sama sekali tidak bisa diterima oleh pendengaran.
Tetangga sekitar memanggil ambulance tanpa waktu lama ambulance datang segera. Bunga dilarikan ke rumah sakit. Selama perjalanan. Mama terus menangis. Memeluk Bunga sambil berkata: “Bunga, bangun” air matanya membasahi pipi Bunga. Ia terbaring membeku. Beberapa menit ambulance berhenti di sebuah rumah sakit besar bertuliskan RS dr.SLAMET. Stretchers dikeluarkan oleh beberapa perawat laki-laki. Diikuti Mama, dan dua orang tetangganya. Mama terus menangis. Raut wajahnya tak karuan. Luar biasa shok. Bunga dibawa ke dalam ruang ICU (Intensive Care Unit). Mama bertekad memasuki ruangan tersebut. Beberapa suster menghalanginya untuk tidak masuk. Tapi, Mama terus memaksa. Dan dua orang suster bergegas menutup pintu. Di depan pintu Mama terduduk lemas. Menangis terisak-isak. Kedua tetangga memeluknya dan berkata: “Yang sabar ya Anita, lebih baik jika kita berdoa. Semoga Tuhan memberikan yang terbaik”. Mama mengangguk dengan mata berair tidak berhenti.
“Mamaa... “ teriak seorang gadis yang berlari dikoridor bersama seorang Bapak.
“Helen” Mama memandang dua orang tersebut.
“Kamu tidak apa-apa Anita?” tanya Gunawan ayah Bunga.
“Tidak, Mas, tapi... Bu” Mama tak kuasa menyebut nama anaknya sendiri. Ia memeluk suaminya dengan ketakutan.
“Kamu tenang ya, yang sabar...” jawab bijak suaminya.
“Mama, Téh Bunga ada di dalam sana?” Helen menunjuk ruang ICU. (Kak)
Mama mengangguk. Ia masih menangis, kali ini tangisannya tak seperti semula yang menjadi-jadi. Tangisannya ririh penuh ketabahan. Gunawan tetap berada disampinya. Di mulutnya terus memanjatkan doa-doa. Memohon Tuhan agar memberikan terbaik untu anak pertamanya.
Helena duduk di samping Mama, tangannya gemetar. Pikirannya membayangkan yang tidak-tidak. Ia tersadar dua tahun lalu tetangnya juga pernah mengalami kecelakaan seperti Téh Bunga. Selang beberapa waktu tetangganya meninggal dunia akibat ada cedera dibagian kepala. “Tuhan berikan yang terbaik untuk Tétéh” batinnya. Ia menyadari masih banyak kesalahan pada Bunga. Masih sering ngejek, masih sering marah-marah, masih sering mukul dan kadang suka iseng menyembunyikan benda-benda Bunga. Helena terdiam meratapi semuanya. Ia ingin segera berbicara dengan kakaknya. Meskipun kemungkinannya sangat tipis. Ah dia harus percaya, Bunga akan baik-baik saja.
Satu jam lamanya dokter baru keluar dari ruangan ICU. Mama, Ayah dan putri sulungnya. Berjalan tak karuan mendekati dokter dengan jas putihnya, mungkin dokter itu sudah selesai melakukan tindakan medis.
“Gimana anak saya dok?” Mama memandang dokter bersama ketakutan yang merajai pikiran hati dan fisiknya.
“Ibu, Bapak bisa ikut saya ke ruangan?” Tiba-tiba dokter mengajak Mama dan Ayah pergi keruangannya, Helen tak ikut bersama dokter tidak mengizinkan anak dibawah umur ikut ke ruangannya.
“Saya akan menyampaikan beberapa hal Ibu, Bapak” kata dokter itu dengan tegasnya. Ketiganya sudah berada di ruang Dokter Ilyas Maulana, Mama dan Ayah duduk di depan dokter seperti orang yang sedang konsul, sedang Dokter Ilyas duduk di kursinya.
“Begini Ibu, Bapak, mohon maaf atas apa yang terjadi. Berhubung rumah sakit ini sangat terbatas akan alat-alat yang dibutuhkan, saya menganjurkan Bapak dan Ibu membawa anaknya ke luar kota. Rumah sakit umum Bandung sudah menyediakan berbagai alat yang lebih canggih juga tersedia alat yang kami butuhkan untuk proses tindak lanjutnya, saya minta Ibu, dan Bapak segera membawanya hari ini juga, jam ini juga sebelum terlambat.” Kata dokter yang sudah dewasa itu.
Tanpa dipikirkan lagi, selain menyetujui untuk membawa Bunga ke Bandung bahkan ke mana pun harus ditempuh demi keselamatan Bunga. Kemudian, ambulance sudah membawa tubuh Bunga yang kesakitan itu ke rumah sakit umum di Bandung, kecepatan ambulance melebihi pemain balap manapun, tidak peduli dengan kemacetan ada satu nyawa yang harus segera diselamatkan. Dengan waktu beberapa jam Bunga segera di bawa ke ruang operasi. Dokter di sana sangat telaten dan cekatan. Mereka segera memanggil suster serta siap melakukan operasi tanpa waktu lama, tanpa persyaratan yang menyulitkan.
Rumah sakit umum di Bandung itu keren menurut mereka keselamatan adalah yang utama makanya tidak ada penyulitan dari pihak rumah sakit kepada pasiennya. Seperti yang sudah-sudah dokter tidak mengizinkan siapapun masuk kecuali suster bersama alat-alat canggih itu. Banyak pengecekan saat itu terutama dibagian otak yang paling sensitif.
Mama, Ayah, dan dua saudaranya ikut menunggu di depan ruangan. Ada kursi khusus di sana mereka bisa duduk tanpa pegal, harus berdiri. Mama masih terlihat resah, Ayah terlihat resah, tapi masih tertutup dengan ketegaran seorang laki-laki. Mama masih tetap menangis tidak percaya, padahal tadi Bunga baru saja berpamitan dan Mama baru mengatakan “Hati-hati” siapa yang tau dengan takdir, mereka membawa manusia ke ranah ketidakpastian, ketiak berdayaan tentunya.
Dokter masih saja belum keluar padahal sudah cukup lama. Mama berdiri berjalan ke sana ke mari, kakinya bergetar-getar shok, bakan entah apa yang dirasakan tubuhnya hari ini. Kaget. Sangat kaget. Ayah menunduk lemas entah apa jawaba dokter itu nanti, masih jadi misteri. Dan dua keluarganya masih duduk ikut merasakan kekhawatiran.
Dokter keluar melepas masker pada mulut dan hidung, “Ibu kami sudah berusaha dengan semaksimal mungkin, mari kisa serahkan kepada Tuhan hasilnya”
Mama menghela kaget bukan main dengan apa yang dikatakan dokter yang sudah tua itu, “Dokter, tapi anak saya selamatkan” bibir Mama bergetar tak karuan.
“Berdoa Ibu semoga hasilnya baik, kami sudah berusaha menolong anak ibu. Semua keputusan ada ditangan Tuhan, kalo begitu saya permisi” dokter itu sangat ramah dan sopan sekali tanpa nada angkuh pada suaranya.
Mama, Ayah dan kedua saudaranya berharap penuh agar Bunga bisa kembali selamat bisa melewati masa kritisnya, dengan perasaan cemas Mama melihat suster-suster itu mengeluarkan Bunga dari ruang operasi dan memindahkannya ke ruang intensive care unit (ICU). Mereka mengikuti dari belakang. Sedang ada suster mengatakan tidak boleh masuk apabila sudah ada di ICU karena masih dalam proses pemulihan. Sehingga orang-orang yang masuk harus higienis. Semuanya paham dan mengangukan kepala. Meskipun ada rasa menyesal tidak bisa menemani anaknya yang sedang dalam masa kritis.
Mama memandang kaca ICU dengan harapan penuh. Bungan di dalam sana masih terbaring. Mama rindu kamu nak batinnya sebagai seorang wanita bersama rasa sakitnya.
Di luar hujan mulai mengguyur. Suasana rumah sakit semakin menyepi dan hening. Beberapa perawat berjalan bolak-balik membawa nampan berisi obat-obatan dan alkohol. Kursi koridor diisi oleh beberapa orang yang menunggu. Termasuk Mama, Ayah dan kedua keluarganya. Ada hal terlupakan selama anaknya dibawa ke RS. Baju dan sandalnya yang masih belum diganti dari pertama mendengar teriakan itu.
“Mas, aku lupa, tadi siapa orang yang menabrak Bunga?” tiba-tiba Mama berkata saat semua terasa sepi dan hening.
“Kamu jangan mikirin itu, polisi sudah menindak lanjut kasus kecelakaan ini” Ayah mengusap air matanya “Kita tunggu saja apa kata polisi” kata-katanya ringan, sekali lagi Ayah masih tetap tegar.
“Dasar pengendara tidak tahu aturan, semoga Tuhan memberikan balasan setimpal” Mama mulai mencaci-maki, padahal ia sendiri tidak tahu kendaraan apa yang telah menabrak anaknya sampai terbanting cukup jauh.
“Huusss, kamu ini, bicaralah yang baik-baki. Tak baik, doakan orang seperti itu” Ayah mengingatkan istrinya. Ia tak mau ambil pusing dengan masalah itu yang terpenting adalah anaknya bisa kembali sadar.
Mama terdiam mendengar perkatan Ayah. Ada benarnya juga. Mama memandang sekitar. Kedua saudaranya mengangguk lalu mengusap pundak Mama supaya lebih tegar. Tidak banyak hal dikatakan setelah itu mereka terdiam saja, dalam hatinya terus memanjatkan doa kepada Tuhan semoga esok hari ada keajaiban pada Bunga.
Dingin semakin menerjang tatkala hari menggelap bersama bintangnya yang mengurang. Tawa, canda, dan senyuman berganti menjadi ketakutan. Ada malaikat pencabut nyawa yang berdiri tegap dekat bibir pintu. Seolah-olah menunggu waktu yang tepat membawa sehelai rohani yang tak berdaya itu. Dentuman elektrokardiogram menemani jasadnya sedang arwahnya masih terdampar ketakutan. Ada malaikat maut menunggunya dengan sabar.
****
Hari ke sembilan
Bunga masih tertidur pulas. Belum ada gerakan dari tubuhnya bahkan sekadar menggerakan jari-jari tangan. Tuhan masih mempertahankan Bunga dalam kondisi koma. Hari ini ada pengumuman ke-lulusan diterima atau tidak di SMA 1 Merdeka. Bagaimana ia akan pergi menemui Pak Endang selaku guru yang menerima hasil kelulusan, sedangkan kondisinya sangat tidak memungkinkan. Kita tidak pernah tau kapan sesuatu terjadi. Sudah jadi rahasia Tuhan. Beberapa hari lalu Bunga masih segar bugar. Dan hari ini Tuhan punya kehendak lain.
Di sekolah, Pak Endang menghubungi Ayah Bunga untuk segera datang. karena, surat kelulusan harus segera diterima dan melakukan daftar ulang.
Ayah segera mungkin pergi ke sekolah. Berangkat dari Bandung ke daerahnya. Setelah sampai di rumah Ayah pergi ke SMP Bunga menaiki motor Honda tahun 2007. Bisa saja ia tidak mengambilnya, karena kondisi Bunga tak memungkinkan untuk bertahan lama. Tapi, keyakinannya kuat bahwa anaknya bisa kembali sadar dan kembali bersendau gurau bersama-sama. Di depan gerbang terlihat beberapa anak menenteng amplop putih bertuliskan lembaga sekolah tingkat SMA. Ayah segera memarkirkan motornya. Dan mencari-cari Pak Endang guru Bunga. Sebagai informasi, bahwa Pak Endang ini salah satu teman akrab Gunawan Ayah Bunga sejak dari SMA sampai kuliah, hanya saja waktu kuliah keduanya memilih jurusan yang berbeda. Tidak begitu ragu ketika harus menemui Pak Endang. Ayah memasuki ruang guru seperti yang ditunjukan seorang satpam. Benar saja Pak Endang duduk dimejanya sambil menulis beberapa catatan dalam agenda.
“Sampurasun Pak Haji” sapa Ayah dengan candaanya.
“Rampes, ya Allah Gun, berapa lama kita tidak berjumpa?” Pak Endang memandang lekat pada Gunawan Ayah Bunga. Seperti tak menyangka kalo yang ada dihadapannya adalah sahabat karibnya dari SMA.
“Tahunan lah, Endang kau terlihat seperti sudah tua” kembali Ayah melontarkan kata-kata gurauan. Ia berjabat tangan dan memeluk sahabatnya.
“Eh, jangan salah ini akibat terlalu banyak penelitian, biasa gaya profesor” Pak Endang tertawa lepas mengatakannya.
“Haha, bisa saja. Oh iya, surat untuk anakku mana?” secara tidak langsung ia menyampaikan maksud dan tujuannya. Sekalian bersilaturahmi dengan sahabat lamanya.
“Selamat, anakmu dapat nilai tinggi” Pak Endang menyodorkan amplop putih kepada Ayah. Seraya memujinya ramah.
“Siapa lagi kalo bukan kau yang mengajarinya”
“Haha” tawa Pak Endang memecah keheningan ruang guru.
Mereka berdua kembali bercengkaraman. Melepas rasa rindu antara satu sama lain yang sudah lama tidak betemu. Sesekali mereka tertawa. Kemudain hening. Kadang juga mereka berbicara serius. Lalu, terakhir dua orang itu larut dalam kesedihan luar bisa. Pak Endang merasa berduka dengan apa yang terjadi pada Bunga. Anak didiknya yang cekatan, penurut, sopan, penuh prestasi dan sebagai ketua OSIS terbaik. Sekarang, Bunga terbaring kaku diantara dua keputusan Tuhan.
Pak Endang baru sadar, ia belum juga menjenguk Bunga semenjak kecelakaan. Saat akan menjenguk selalu saja ada kepentingan lain. Ada undangan dari Dinas Pendidikan lah, ada undangan untuk pengumuman masuk SMA. Ada rapat untuk penerimaan siswa baru. Banyak pekerjaan yang harus dikerjakan dan bersifat penting. Maka dengan rasa bersalah ia meminta maaf sebesar-besarnya pada Ayah. Karena, belum bisa menjenguk Bunga. Hari ini, Pak Endang berancana akan menjenguk Bunga bersama perwakilan guru lainnya. Rencananya akan pergi naik bus sekolah.
***
Beberapa hari lalu Bunga dipindahkan ke ruang rawat inap. Sehingga keluarga bisa kapan saja membesuk. Mama sudah beberapa hari tidak pulang ke rumah masih betah di RS menjaga Bunga yang masih menutup rapat matanya. Mama memeluknya rekat. Didekatkan mulutnya ke telinga Bunga. Melanturkan beberapa doa-doa bagi orang yang sakit.
Pintu ruangan terbuka. Sesaat Mama membalikan pandangan pada pintu ruangan. Didapati Ayah datang bersama beberapa guru-guru Bunga, Mama segera menghentikan kegiatannya dan mengambil tempat untuk menyalami guru-guru yang menjenguk anaknya.
“Assalamualaikum” sapa salah satu diantara beberapa yang datang.
“Waalakiumsalam” Mama mengusap air matanya. Lalu merapihkan baju yang masih belum juga diganti selama tiga hari. Mana bisa memikirkan baju saat anaknya terbaring koma. Sungguh kepanikan luar biasa membuat seseorang lupa hal lainnya.
“Bagaimana kabarnya, Bu?” tanya Pak Endang menyalami Mama dan disusul beberapa guru lainnya juga yang ikut menyalami.
“Alhamdulilah baik, Bapak sendiri” balas Mama.
“Senantiasa diberi kesehatan oleh Allah” Pak Endang tersenyum ringan. Ditatapnya Bunga yang bergelut dengan berbagai selang pada tubuhnya. “Rahasia Tuhan siapa yang tau. Seperti masih kemarin saya mengajaknya berbicara, saya sangat sedih mendengar apa yang terjadi” kata Pak Endang ririh.
“Semoga diberi ketabahan yah Bu, saya juga sangat sedih mendengar apa yang terjadi, kemari saya baru saja mempersiapkannya untuk tampil di garduasi, dia terlihat cantik sekali, Bu” tambah Bu Indah yang juga ikut hadir.
“Sudah takdirnya” jawab Mama penuh kepiluan. Wajahnya memucat. Ayah berdiri berada disampingnya. Mengelus pundak istrinya yang melemas. “Amin, terima kasih banyak Ibu-Bapak sudah mau datang jauh-jauh kesini”
“Sudah kewajiban kami saling melayad apalagi Bunga adalah murid kami juga, Ia adalah orang yang tangguh, saya percaya pada kekuatannya” kata Bu Indah menjawab perkataan Mama. Sedang guru yang lainnya terdiam pilu menyaksikan keadaan Bunga sungguh saat perihatin.
”Semoga Allah memberikan yang terbaik, Bunga adalah anak yang kuat, gigih, dan punya semangat tinggi. Saya berharap dia bisa melawannya dengan penuh kekuatan. Gun, kamu dan keluarga yang sabar. Jangan khawatir anakmu pasti bisa melewati” Pak Endang mengelus rambut Bunga pelan tak mau kalah memberi semangat dari Bu Indah.
“Amin semoga, sekali lagi kami berterima kasih” jawab pelan Ayah. Kala itu sedang menunduk lemas.
Pak Endang mendekatkan bibirnya pada telinga Bunga. Kemudian melanturkan beberapa doa-doa. Selesai membacakan doa. Beliau bersama guru yang lain ikut berpamitan. Mama dan Ayah mengantar mereka sampai pintu saja.
Ayah melangkah pelan menuju sofa dekat jendela. Ia mengeluarkan amplop putih yang didapatkannya tadi di sekolah Bunga. Mama memandangnya lemas. Seperti ada sebuah ketidakmungkinan saat Ayah membuka amplop dan membaca kata demi kata dalam amplop tersebut. Selesainya ia meletakan amplop tersebut di atas meja. Lalu memandang ke arah Mama, “Lulus. Dan apa yang harus kita lakukan” tanyanya bingung.
“Ya, bagus. Kamu yang harus mengurus segalanya. Sebagai perwakilan” jawab Mama enteng. Ada nada amarah pada setiap napas ucapannya.
“Jangan main-main. Sekadar lulus saja tidak cukup, di sini dicantumkan ada rapat orang tua yang membahas biaya masuknya..” kata-katanya terhenti.
“Oh jadi kamu keberatan, kalo-kalo kita udah ngeluarin uang banyak bakalan sia-sia. Karena Bunga yang semakin parah atau bahkan...” dan tidak melanjutkan kata apa setelah bahkan, “Mana naluri seorang Ayah. Kamu harusnya optimis dia bakalan sembuh. Bukan berkecil hati” Mama semakin menunjukan kekesalannya.
“Bukannya gitu” Ayah menghela napas sejenak kemudian “Oke, nanti saya yang akan mengurusnya” sudah tidak ingin adu mulut dengan istrinya. Ayah menyetujui apa yang dikatakan istrinya itu. Pertengkaran dan adu mulut malah memperburuk keadaan apalagi Bunga ada di depan mereka.
****
Dibawah langit biru Ayah menempuh perjalannan menuju SMA 1 Merdeka. Untuk melakukan rapat orang tua. Ia sudah bisa membayangkan bagaimana. Jika ternyata Bunga tidak mampu melanjutkan hidupnya. Akan sia-sia apa yang dilakukannya sekarang. Buru-buru Ayah menepis pemikiran negatifnya. Ia teringat kata-kata temannya Jangan khawatir anakmu pasti bisa melewati. Ia harus yakin suatu hari Tuhan menjawab doa-doanya.
Sesampainya di sebuah parkiran Ayah berjalan santai. Layaknya orang tua murid lain. Tanpa membawa kesedihan. Ditunjukan wajah seperti biasa. Ayah memasuki ruangan masih dengan wajah yang dibuat tidak terjadi apa-apa. Jauh dalam hatinya gejolak kebimbangan terus terbayang. Tapi gejolak semangatnya sama berapi-api.
Kata-kata yang diucapkan pihak sekolah seperti terbuang begitu saja. Beberapa kata sempat ia cerna. Kata yang lain malah buyar begitu saja. Apa yang dikatakan pihak sekolah ia setujui saja tanpa banyak ini itu. Tidak seperti orang tua murid lain yang banyak komentar.
Di atas selembar kertas A4 yang diberikan pihak sekolah. Ayah menandatangani persetujuan. Berisikan pernyataan biaya SPP, bangunan, dan hal-hal kecil lainnya. Surat pernyataannya kini telah sah dengan ditempelnya materai. Anaknya kini sudah menjadi murid SMA 1 Merdeka yang siap diospek bulan depan. Ayah yakin kamu pasti bisa batinya. Seraya keluar meninggalkan ruang rapat.
Senja tumbuh subur di antara bangunan sekolah. Riuk-riuk angin menerbangkan daun-daun kering. Sepi dan tiada hening diantara warna senja yang mengguyur sebagian banguna. Pohon rimbun dekat bangunan berhenti bernapas seolah-olah ia sendiri tanpa teman. Di depan ruang penuh tunpukan buku. Sesekali dijatuhi daun-daun kering. Gemercik pasir terseret angin bercampur daun-daun mengendap tepat di depan ruang bertumpuk buku.
Saat kita menegoknya. Sebuah keheningan dirajut indah di depannya bersama senja yang beberapa detik lagi menghilang ditelan gelap. Suara tawa manusia yang mengenakan baju seragam tak terdengar seperti biasa. Hening ini mengelabui tempat ini. Sepi menemaninya sampai mata senja menghitam tak bertepi.
Kursi beton itu sudah tertutup debu-debu nakal.